A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan pariwisata secara nasional maupun regional Papua dan
Maluku, pemerintah telah menyadari pentingnya pengembangan sektor pariwisata, oleh
karenanya, dalam kepemimpinan Bupati Drs. Matias Mairuma, sejak tahun 2016, sektor
pariwisata telah ditetapkan sebagai salah satu sektor unggulan (core bussiness) daerah
yang dapat diusahakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kaimana sejak dahulu telah dikenal karena senjanya melalui lagu ciptaan Surni Warkiman
yang dipolulerkan oleh Alfian, “Senja di Kaimana”. Ternyata Kaimana tidak hanya dikenal
karena senjanya tetapi juga dikenal karena beberapa hal, antara lain Kaimana dikenal
sebagai wilayah dengan kelimpahan (biomass) ikan terutinggi di Asia Tenggara (lebih dari
270 ton per km laut), Kaimana juga dikenal karena memiliki banyak ikan endemis yang
unik. Sebagai bagian Segitiga Karang Dunia (Coral Triangle), Kaimana juga memiliki
keanekaragaman sumber daya hayati bawah laut yang tinggi. Dalam dunia pariwisata,
Kaimana juga memiliki potensi pariwisata bahari yang tidak kalah dengan Kabupaten Raja
Ampat, Tambrauw, bahkan dalam beberapa hal Kaimana memiliki keunggulan kompetitif,
namun perkembangan sektor pariwisata di Kabupaten Kaimana masih berjalan lamban.
Potensi pariwisata yang menjanjikan ini turut mempengaruhi pertumbuhan sector usaha
pariwisata di Kabupaten kaimana. Usaha-usaha dalam dunia industri pariwisata tersebut
dapat dilihat dari berkembangnya usaha jasa akomodasi berupa hotel, hotel, homestay,
maupun usaha jasa lainnya seperti munculnya jasa perjalanan wisata, jasa angkutan, jasa
makanan dan minuman, serta hiburan, dan lain-lain. Kemunculan usaha jasa pariwisata
yang cukup berkembang ini di satu sisi dapat memberikan dampak ekonomi yang baik bagi
Kabupaten Kaimana. Ke depan sector pariwisata akan semakin berperan dalam
perkembangan perekonomian di Kabupaten Kaimana seiring dengan terus meningkatnya
jumlah kunjungan wisata di Kabupaten Kaimana. Jumlah kunjungan yang semakin
meningkat akan menggerakkan mata rantai perekonomian di Kabupaten Kaimana hingga
peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, namun di sisi lain, berkembangnya
pariwisata melalui kemunculan berbagai bentuk usaha jasa pariwisata juga dapat
memberikan dampak yang buruk, antara lain pencemaran lingkungan, polusi budaya, dan
laim-lain. Oleh karena itu, perkembangan pariwisata ini perlu dikelola secara baik melalui
regulasi kepariwisataan agar dapat memberikan manfaat yang besar kepada daerah dan
masyarakat serta menekan sekecl mungkin dampak negatifnya.
B. Permasalahan
Mengacu pada kondisi dewasa ini, terdapat beberapa masalah utama yang muncul terkait
dengan usaha pariwisata di Kabupaten Kaimana, antara lain :
Sedangkan kegunaan dari tulisan ini adalah adalah sebagai acuan atau referensi
penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Kaimana tentang
ijin usaha pariwisata.
D. Pembahasan
1. Kajian Teoretis
Hal mendasar yang perlu untuk disadari oleh pemangku kebijakan bahwa pengembangan
industri pariwisata(termasuk didalamnya usaha pariwisata)dalam hal ini penyelenggaraan
kepariwisataan menimbulkan paradox dalam pengembangan industri pariwisata. Sifat
paling mendasar dari investasi pada industry pariwisata adalah "High Investment, Not Quick
Yield" artinya investasi di bidang pariwisata membutuhkan investasi yang besar dengan
tingkat pengembalian yang lama (jangka panjang). Kondisi ini sungguh tidak menarik bagi
kebanyakan stakeholders kepariwisataan yang masih memiliki budaya "Instant and
Shortcut" dimana lebih menyukai melakukan investasi yang dapat segera memberikan
keuntungan. Sehingga para investor tidak tertarik menanamkan modalnya dalam
mengembangkan usaha pariwisata. Dalam konteks ini diperlukan integrasi usaha
pariwisata (tourism business integration) yang merupakan sinergi pelaku kepariwisataan
secara horisontal maupun vertikal dan memberikan keuntungan atau manfaat bagi masing-
masing pihak. Oleh karenanya diperlukan bentuk-bentuk insentif yang mampu merangsang
timbulnya investasi di bidang kepariwisataan dengan menggunakan manajemen
partisipatoris dengan melibatkan seluruh stakeholdersbaik masyarakat, dunia usaha,
lembaga keuangan, pemerintah daerah, serta pemerintah pusat.
Salah satu hal yang penting untuk mendukung hal-hal tersebut di atas diperlukan adanya
pengaturan yang terkait dengan usaha pariwisata, mulai dari pendaftaran, pemuktahiran,
pembinaan dan pengawasannya. Hal ini dilakukan agar keberadaan usaha pariwisata
memberi dampakyang positif terhadap kemajuan pariwisata suatu daerah.
2. Asas/Prinsip Yang Terkait
a. menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep
hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang MahaEsa,
hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan
lingkungan;
b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;
c. memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan
proporsionalitas;
d. memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;
e. memberdayakan masyarakat setempat;
f. menjamin keterpaduan antar sektor, antardaerah, antara pusat dan daerah yang
merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan
antarpemangku kepentingan;
g. mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang
pariwisata; dan
h. memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Memasuki era otonomi daerah atau desentralisasi saat ini, DPRD dan pemerintah daerah
mempunyai kewenangan yang luas dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dari sisi
praksis tidak jarang terjadi dalam penerapan kewenangannya tidak selaras dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atupun dengan peraturan Perundang-
undangan yang sama. Oleh karena itu, DPRD dan Kepala Daerah dalam membentuk
Peraturan Daerah harus selalu memperhatikan asas pembentukan dan asas materi muatan
Peraturan Perundang-undangan.
Pembentukan Peraturan Daerah dalam hal ini materinya jelas dilarang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
kedudukannya2, yaitu :
Menurut UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pasal 1 angka 3 Pariwisata adalah
berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang
disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Berpangkal
tolak dari pengertian tersebut di atas, maka Pariwisata merupakan suatu fenomena yang
bermuara pada hubungan antara perjalanan dengan hunian yang tidak bersifat permanen,
dengan demikian pariwisata sesungguhnya bukan merupakan tujuan bersifat menetap,
akan tetapi terkait dengan pengeluaran sejumlah biaya. Jadi pariwisata pada dasarnya
adalah suatu bentuk kegiatan manusia yang berpangkal tolak pada perjalanan atau dengan
kata lain pariwisata tersebut merupakan "manusia" dalam "perjalanan". Sehingga
pengusahaan pariwisata perlu didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan
oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, maka konsepsi ini tentu
lebih luas konsepsi pariwisata yang selama ini dipahami sebagai segala sesuatu yang
berhubungan denganwisata, termasuk pengusahaan daya tarik wisata serta usaha–usaha
yang terkait dibidang tersebut. Dalam konsepsi pariwisata yang baru dunia kepariwisataan
melibatkan secara aktif masyarakat, pengusaha dan pemerintah (pusat/daerah) dengan
tugas, peran, hak dan kewajiban masing-masing.
Dengan demikian, peraturan daerah yang mengatur tentang dunia usaha pariwisatadi
daerah tidak lagi hanya berorientasi pada pemikiran bagaimana memberikan pelayanan
kepada dunia usaha (pengusaha) dengan pemberian perizinan dan administratif dari
kegiatan pariwisata yang dilakukan pengusaha wisata.
Pasal 15
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 16
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan dan melindungi usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi dalam bidangusaha pariwisata dengan cara:
Pada sisi yang lain, sesuai dengan pasal 3 ayat (1), Pendaftaran usaha pariwisata harus
memenuhi prinsip dalam penyelenggaran pelayanan publik yang transparan. Adapun
pelayanan publik yang transparan tersebut meliputi (ayat 2) :
Peraturan Menteri ini mengatur dengan jelas dan tegas bahwa (Pasal 4 ayat
Labih jauh di pasal yang sama, yaitu ayat (2), (3), dan (4), peraturan menteri ini juga
mengatur bentuk dan keberadaan pengusaha pariwisata. Berikut ini adalah detail dari
kutipan ayat-ayat tersebut :
Terkait dengan bentuk badan usaha dan badan usaha berbadan hukum, dalam pasal 5
ayat (1) secara gamblang dijelaskan terdapat 3 golongan usaha pariwisata yaitu :
a. usaha mikro dan kecil, dapat berbentuk perseorangan, badan usaha, atau badan
usaha berbadan hukum;
b. usaha menengah dapat berbentuk perseorangan, badan usaha, atau badan usaha
berbadan hukum; dan
c. usaha besar berbentuk badan usaha berbadan hokum
Detail dari kriteria masing-masing golongan tersebut di atas, dijelaskan secara runtut
pada ayat (2), (3) dan (4), sebagai berikut :
Ayat (2),
Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki kriteria:
Ayat (3),
Usaha menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memiliki kriteria:
Ayat (4),
Usaha besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memiliki kriteria:
Peraturan Menteri ini terdiri dari 10 Bab dan 43 Pasal. Berikut ini adalah gambaran
secara umum masing-masing bab :
4. Landasan Filosofis
Materi yang akan diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Kaimana tentang
usaha pariwisataini harus terdiri dari beberapa hal sebagai berikut;
E. PENUTUP
1. Simpulan
2. Saran
Mengacu pada uraian pada bab-bab sebelumnya dan kondisi riil di lapangan mengenai
usaha pariwisata, berikut ini adalah beberapa saran Kegiatan yang diperlukan untuk
mendukung penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik lebih lanjutdan
implementasi Peraturan Daerah tentang usaha pariwisata:
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4866);
--------------------------------******