Anda di halaman 1dari 1

Daya Saing Indonesia terhadap MEA di bidang manufaktur

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 merupakan realisasi pasar bebas di Asia
Tenggara yang telah dilakukan secara bertahap mulai KTT ASEAN di Singapura pada tahun
1992. Tujuan dibentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) untuk meningkatkan stabilitas
perekonomian di kawasan ASEAN, serta diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah di
bidang ekonomi antar negara ASEAN. Konsekuensi atas kesepakatan MEA tersebut berupa
aliran bebas barang bagi negara-negara ASEAN, dampak arus bebas jasa, dampak arus bebas
investasi, dampak arus tenaga kerja terampil, dan dampak arus bebas modal. Hal-hal tersebut
tentunya dapat berakibat positif atau negative bagi perekonomian Indonesia.

Mayoritas produk manufaktur Indonesia yang diperdagangkan di lingkup Asean memiliki


daya saing rendah. Hanya sekitar 1% produk industri domestik yang punya daya saing kuat bila
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) diberlakukan mulai akhir 2015. Di sisi lain, sekitar 30%
produk industri berdaya saing sedang pun bisa terancam bila tidak ditangani serius.

Kenyataan itu terungkap dari studi Ditjen Kerjasama Industri Internasional (KII)
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang didasarkan pada analisis Revealed Comparative
Advantage (RCA). Seperti diungkapkan Dirjen KII Kemenperin Agus Tjahajana di Jakarta,
pekan lalu, studi dilakukan dengan memanfaatkan data-data hasil pantauan Industrial Resilience
Information System (IRIS). Data ini sekaligus sebagai acuan early warning system (EWS)
terhadap barang-barang impor asal Asean yang masuk ke pasar domestik.

Agus mengatakan, data IRIS diambil selama tiga tahun (2011-2013), merujuk pada
ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Negara yang dirugikan oleh sebuah pakta
perdagangan dapat mengadukan ke WTO, tapi laporan yang diajukan harus berdasarkan data
selama tiga tahun berturut-turut.

Kemenperin membagi kelompok produk dalam empat kuadran. Kuadran I adalah produk
dengan daya saing kuat, kuadran II kelompok berdaya saing sedang, kuadran III berdaya saing
lemah, serta kuadran IV merupakan kelompok produk dengan daya saing lemah sekali.
“Kelompok kuadran IV ini hopeless alias kartu mati jika MEA diberlakukan,” kata Agus.

Menurut Agus Tjahajana, tercatat ada 1.596 harmonized system (HS) number yang daya
saingnya sedang dari 4.778 HS produk yang diperdagangkan Indonesia dengan Vietnam.
Artinya, hanya 33% produk industri nasional yang memiliki daya saing sedang terhadap produk
Vietnam. Sedangkan dengan Thailand tercatat 26% produk Indonesia berdaya saing sedang,
dengan Singapura 22%, dan dengan Kamboja 28%.

Anda mungkin juga menyukai