Anda di halaman 1dari 8

B.

Masyarakat Madani
1) Pengertian dan Ciri-Ciri Masyarakat Madani
Istilah civil society yang kini sering diterjemahkan dengan istilah masyarakat
madani tampaknya semakin mendapat tempat di dalam wacana politik di Indonesia.
Sebagai sebuah konsep, masyarakat madani berasal dari proses sejarah Barat. Akar
perkembangannya dapat dirunut mulai Cicero dan bahkan sejak zaman Aristoteles. Yang
jelas, Cicero yang mulai menggunakan istilah societes civilis dalam filsafatnya. Dalam
tradisi Eropa sampai abad ke-18, pengertian civil society dianggap sama dengan
pengertian negara, yakni suatu kelompok yang mendominasi seluruh kelompok
masyarakat lain.
Masyarakat madani merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat yang saling
bekerjasama dalam membangun hubungan social dan solidaritas masyarakat yang
didasarkan pada integrasi sosial (Raharjo).
Masyarakat madani adalah kehidupan social yang terorganisasi serta ditandai
dengan adanya kesukarelaan, keswasembadaan dan kemandirian masyarakat terhadap
negaranya yang dilindungi oleh aturan dan nilai-nilai hokum (Muhammad A. S. Hikam).
Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi
dan menghargai hak asasi dan tanggungjawab manusia (PBB).
Berdasarkan definisi dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat
madani memiliki ciri-ciri:
1. Adanya nilai dan norma sosial
Masyarakat madani mengakui adanya hak dan kebebasan individu yang
dibuktikan dengan perwujudan nilai dan norma sosial dalam kehidupan
bermasyarakat. Masyarakat madani hidup berdasarkan aturan hokum serta
ketaatan pada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Memiliki Peradaban yang Tinggi
Masyarakat madani memiliki peradaban yang tinggi dapat dibuktikan
dengan majunya teknologi dan ilmu pengetahuan saat ini serta melalui adab dan
tata krama sesama manusia.
3. Adanya Ruang Publik yang Bebas
Masyarakat madani juga berhubungan erat dengan prinsip-prinsip
demokrasi. Salah satu tanda demokrasi adanya ruang public masyarakat untuk
mengutarakan opininya. Kebebasan setiap warga Negara dilindungi oleh undang-
undang yang berlaku. Namun, adanya ruang public harus dimanfaatkan dengan
baik. Jangan sampai ada perpecahan karena penggunaan hak berpendapat yang
melampaui batas.
4. Adanya Supremasi Hukum
Supremasi hokum dapat diartikan sebagai kekuasaan tertinggi dalam
hokum. Artinya keadilan dapat tercapai apabila hokum ditempatkan dalam posisi
tertinggi.
5. Adanya Partisipasi Sosial
Partisipasi sosial merupakan salah satu tanda terwujudnya karakteristik
masyarakat madani yang menjunjung tinggi gotong royong.

2) Perkembangan Masyarakat Madani


Secara historis civil society di Indonesia telah muncul ketika proses transformasi
akibat modernisasi terjadi yang menghasilkan pembentukan masyarakat baru yang
berbeda dengan masyarakat tradisional. Dengan demikian, akar civil society di
Indonesia bisa dirunut secara historis semenjak terjadinya perubahan sosial ekonomi
pada masa kolonial Belanda. Hal tersebut mendorong terjadinya pembentukan
masyarakat baru lewat proses industrialisasi, urbanisasi, dan pendidikan modern.
Hasilnya antara lain adalah munculnya kesadaran baru di kalangan kaum elit pribumi
yang kemudian mendorong terbentuknya organisasi- organisasi sosial modern di awal
abad 20. Dalam perjalanannya, pertumbuhan civil society di Indonesia pernah
mengalami suatu masa yang cukup menjanjikan bagi pertumbuhannya. Hal ini terjadi
sejak kemerdekaan sampai dengan 1950-an, yaitu pada saat organisasi-organisasi sosial
dan politik dibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dari warga
masyarakat yang baru saja merdeka. Oleh karena itu, terciptalah kekuatan masyarakat
yang mampu menjadi penyeimbang dan pengawas terhadap kekuatan negara. Sayang
sekali iklim demikian itu tidak berlangsung lama karena ormas-ormas dan lembaga-
lembaga sosial berubah menjadi alat bagi merebaknya aliran politik dan pertarungan
berbagai ideologi. Pada awal 1960-an, akhirnya mengalami kemunduran yang nyata.
Demokrasi terpimpin maupun orde baru membuat posisi negara semakin kuat
sedangkan posisi rakyat lemah. Pada masa itu terjadi paradok, yaitu semakin
berkembangnya kelas menengah pada masa orde baru ternyata tidak mampu mengontrol
hegemoni negara karena ternyata kelas menengah di Indonesia memiliki ketergantungan
yang sangat tinggi terhadap negara dan penguasa. Kelas menengah di negeri ini juga
masih punya problem kultural dan primordial, yaitu ada kelas menengah pribumi dan
nonpribumi, muslim dan nonmuslim, Jawa dan non-Jawa. Hal ini berpengaruh terhadap
munculnya solidaritas di kalangan para anggotanya. Akibatnya, negara mudah
melakukan tekanan dan pencegahan bagi timbulnya solidaritas kelas menengah untuk
memperluas kemandirinnya.
Proses menuju masyarakat madani pada dasarnya tidaklah mudah, harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1. Kualitas sumber daya manusia yang tinggi yang tercermin antara lain dari
kemampuan tenaga-tenaga profesionalnya untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan pokok sendiri (mampu mengatasi
ketergantungan) agar tidak menimbulkan kerawanan, terutama bidang
ekonomi.
3. Semakin mantap mengandalkan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri
(berbasis kerakyatan) yang berarti ketergantungan kepada sumber
pembangunan dari luar negeri semakin kecil atau tidak ada sama sekali.
4. Secara umum telah memiliki kemampuan ekonomi, sistem politik, sosial
budaya dan pertahanan keamanan yang dinamis, tangguh serta berwawasan
global.
Dalam rangka menuju masyarakat madani (civil society), melalui beberapa proses
dan tahapan-tahapan yang konkret dan terencana dengan matang, serta adanya upaya
untuk mewujudkan dengan sungguh-sungguh. Langkah pertama yang perlu diwujudkan
adalah adanya pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintahan yang baik
dalam rangka menuju kepada masyarakat madani adalah berorientasi kepada dua hal,
sebagai berikut:
1. Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, yaitu
mengacu pada de-mokratisasi dengan elemen: legitimasi, akuntabilitas,
otonomi, devolusi (pendelegasian wewenang) kekuasaan kepada daerah, dan
adanya mekanisme kontrol oleh masyarakat.
2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien
melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. Hal ini tergantung pada sejauh
mana pemerintah memiliki kompetensi, struktur dan mekanisme politik serta
administrasi yang berfungsi secara efektif dan efisien.

Dalam kehidupan demokrasi, agar masyarakat dapat hidup secara madani harus
mempunyai tiga syarat, yaitu sebagai berikut :
1. Ketertiban dalam pengambilan suatu keputusan yang menyangkut kepentingan
bersama.
2. Adanya kontrol masyarakat dalam jalannya proses pemerintahan.
3. Adanya kemerdekaan memilih pemimpinnya.
Ketiga hal tersebut merupakan sarana untuk mewujudkan kehidupan yang
demokratis, yaitu kehidupan yang dalam pemerintahannya bersumber dari, oleh, dan
untuk rakyat itu sendiri.

3) Asal Usul Istilah Masyarakat Madani


Pada dasawarsa terakhir abad ke-20, telah lahir kembali dalam wacana dan gerakan
politik global sebuah istilah yang telah lama dilupakan, yaitu istilah civil society
(masyarakat madani). Istilah tersebut secara konseptual dikembangkan dari pengalaman
era pencerahan Eropa Barat abad ke-1, yaitu pada masa munculnya kembali di Eropa
Timur pada dasawarsa 1980-an sebagai jawaban terhadap negara dengan sistem partai
sosialis (tunggal) yang otoriter yang kemudian dapat dijatuhkan. Dari Eropa Timur,
gemanya kemudian menjalar dan menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Di Eropa
Barat, gema tersebut mengambil bentuk tumbuhnya kritik sayap kanan terhadap negara
kesejahteraan, sementara di Amerika Latin diartikulasikan dengan keinginan untuk
bebas dari pemerintahan militer. Di sisi lain, di Afrika, Asia Timur, dan Timur Tengah,
civil society digunakan untuk mengekpresikan keanekaragaman perjuangan untuk
demokratisasi dan perubahan politik (Amin Abdullah, 2003:1). Gema civil society
(masyarakat madani) pada perkembangan berikutnya ternyata masuk ke dalam wacana
lembaga-lembaga multilateral. Sebagai contoh, The Inter-American Development Bank
(Bank Pembangunan Antar-Amerika) merintis sebuah proyek penguatan civil society di
Amerika Latin pada dasawarsa 1990-an. Di samping itu, IDB (Bank Pembangunan
Internasional), Bank Dunia, UNDP (Program Pembangunan PBB), Yayasan Soros, dan
Pemerintahan Denmark, semuanya mulai membiayai program-program pengembangan
civil society di Eropa Timur, Afrika, dan Amerika Latin. Dari fakta ini, istilah civil
society telah berkembang dari sekedar konsep menjadi sebuah gerakan (Amin Abdullah,
2003:3).
Istilah “Masyarakat Madani” dimunculkan pertama kalinya di kawasan asia
tenggara oleh Cendikiawan Malaysia yang bernama Anwar Ibrahim. Masyarakat
madani berbeda dengan masyarakat civil barat yang beriorientasi penuh pada kebebasan
individu, menurut mantan perdana mentri malaysia itu Masyarakat Madani adalah
sistem sosial yang tumbuh berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan
antara kebebasan individu dan mayarakat yang berupa pemikiran, seni, pelaksanaan
pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu keinginan individu. Ia
juga mngatakan masyarakat madani memiliki ciri-ciri yang khas yaitu kemajemukan
kebudayaan (Multicultural), Hubungan timbal balik (Reprocity) dan sikap yang saling
memahami dan menghargai. Anwar Menjelaskan watak masyarakat madani yang ia
maksud adalah guiding ideas, dalam melaksanakan ide-ide yang mendasari
keberadaanya yaitu prinsip moral, keahlian, kesamaan, musyawarah dan demokratis.
Dawam Rahardjo juga mengemukakan defenisi masyaraakat madani adalah
proses penciptaan peradaban yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan bersama.
Menurutnya masyarakat madani adalah warga negara bekerja samaa membangun ikatan
sosial, jaringan produktif, solidaritas kemanusiaan yang bersifat non negara. Ia juga
mengemukakan dasar utama masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi nasional
yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik
permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan.
Sejalan dengan itu, Azyumardi Azra juga mengemukakan bahwa masyarakat
madani lebih dari sekedar gerakan prodemokrasi yang mengacu pada pembentukan
masyarakat bekwalitas dan ber-tamaddun (Civility). Menurut tokoh cendikiawan
muslim indonesia Norcholish Madjid istilah masyarakat madani mengandung makna
toleransi kesediaan priadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan
tingkah laku social.

4) Runtuhnya Orde Baru dan Bangkitnya Masyarakat Madani


Wacana civil society telah menjadi salah satu cara untuk melepaskan
kekecewaan atau ketidakpuasan sebagian warga masyarakat terhadap praktik-praktik
politik Orde Baru yang sangat hegemonik dalam pengelolaan sosial, ekonomi, politik,
dan kebudayaan. Dalam penataan politik, misalnya, rezim Orde Baru melakukan hal-
hal berikut ini.
1) Reformasi pada tingkat elite dengan membentuk korporasi negara di mana
militer, teknokrat, dan birokrat menjadi sendi-sendi utamanya.
2) Depolitisasi arus bawah melalui kebijakan massa mengambang dan di
kalangan mahasiswa melalui kebijakan normalisasi kehidupan kampus.
3) Institusionalisasi politik dalam masyarakat dengan berbagai cara: (i)
penyederhanaan sistem kepartaian dan penyatuan ideologi politik formal
melalui asas tunggal Pancasila, (ii) dalam penataan kebudayaan, terutama
yang terkait dengan ideologi bangsa, selain pengasastunggalan ideologi
organisasi politik (dan organisasi masyarakat), juga dilakukan program
penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan mata
pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dengan memonopoli
interpretasi Pancasila oleh negara, dan (iii) penerapan pendekatan keamanan
kepada para pembangkang.
Dalam penataan ekonomi, rezim Orde Baru melakukan akumulasi modal
melalui (i) mobilisasi kekuatan kelas borjuis nasional sebagai motornya, walaupun
masih dimonopoli kelompok non-pribumi dan (ii) pelibatan diri secara aktif dalam
sistem kapitalis dunia sehingga diperoleh dukungan, baik finansial, teknik, keahlian
maupun politik dari lembaga-lembaga internasional yang berkepentingan dengan
ekspansi sistem kapitalisme global. Dalam penataan sosial, rezim Orde Baru
melakukan proses produksi dan reproduksi sosial melalui (i) penguasaan wacana yang
menyangkut tema modernisasi, terutama pembangunan ekonomi dan (ii) penciptaan
legalisme-konstitusionalisme atau pembuatan sub-wacana dan sub-praksis politik
dengan acuan konstitusional.
Di tengah hegemoni negara era Orde Baru yang melakukan pembatasan dan
penutupan ruang kebebasan itu, masyarakat madani civil society memperoleh
momentumnya sebagai obyek wacana. Ketika bangsa Indonesia memasuki era
reformasi sebagai koreksi terhadap era sebelumnya, wacana masyarakat madani
terakumulasi menjadi cita-cita ideal untuk mewujudkan masyarakat Indonesia baru.
Pada awal era reformasi banyak seminar, diskusi, dan talkshow yang digelar dan
artikel yang ditulis tentang membangun masyarakat Indonesia baru yang terkait
dengan wacana masyarakat madani, baik secara eksplisit maupun implisit. Lebih dari
itu, di era Habibie yang sangat singkat, masyarakat madani telah dijadikan pemerintah
sebagai acuan reformasi dan pembentukan masyarakat Indonesia baru melalui
pendirian Tim Nasional Reformasi menuju Masyarakat Madani. Yang lebih
memprihatinkan adalah bahwa sebagian besar dari fenomena komunalisme dan
radikalisme massa itu menggunakan instrumen agama (bahasa, organisasi, simbol, dan
sentimen) dalam ideologi dan gerakannya.
Dalam perkembangan selanjutnya terlihat ada kesenjangan antara harapan
membangun masyarakat Indonesia baru yang menjadikan masyarakat madani (civil
society), baik sebagai basis maupun cita-cita idealnya, dan kenyataan sosial yang
menampilkan radikalisme massa, seperti terlihat pada amuk massa (main hakim
sendiri) terhadap pelanggaran tindak pidana (mencuri, mencopet, menodong), tawuran
dan/atau kerusuhan (baik antar dan intra-etnis maupun antar dan intra-agama), atau
sekedar mobilisasi massa sebagai dampak dari konflik antarelite politik; bahkan juga
terjadi baku hantam di forum sidang tahunan MPR November 2001. Contoh-contoh
radikalisme massa ini, bagaimanapun, mengimplisitkan tampilan sifat komunal
masyarakat Indonesia ketika memasuki ruang publik. Yang lebih memprihatinkan
adalah bahwa sebagian besar dari fenomena komunalisme dan radikalisme massa itu
menggunakan instrumen agama dalam ideologi dan gerakannya.
Daftar Pustaka : Sunarso, dkk. (2016). Pendidikan kewarganegaraan. Yogyakarta: UNY Press
https://www.scribd.com/doc/102326597/MAKALAH-MASYARAKAT-MADANI

Anda mungkin juga menyukai