Manusia memiliki bermacam ragam kebutuhan batin maupun lahir akan tetapi,
kebutuhan manusia terbatas karena kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia
lainnya. Karena manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama
karena manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui
adanya yang maha kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan.
Sehingga keseimbangan manusia dilandasi kepercayaan beragama. Sikap orang dewasa
dalam beragama sangat menonjol jika, kebutuhan akan beragama tertanam dalam
dirinya. Kestabilan hidup seseorang dalam beragama dan tingkah laku keagamaan
seseorang, bukanlah kestabilan yang statis. Adanya perubahan itu terjadi karena proses
pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang
ada. Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan
atas nilai-nilai yang dipilihnya.
Kita mungkin telah dapat merasakan bagaimana pentingnya peranan yang telah
dimainkan oleh agama dalam kehidupan manusia. Hal itu malah mungkin menimbulkan
kekecewaan pada manusia, karena betapa sering perwujudan agama gagal. Begitu juga
kita telah merasakan betapa pentingnya mutu kehidupan beragama itu bagi seluruh
tradisi manusia.
Barangkali kita juga telah mengambil sikap baru terhadap agama lain yang
bukan agama kita peluk sendiri. Bukan dalam arti bahwa kita menyetujui semua agama
tersebut. Dalam menelaah kehidupan semua agama manusia tersebut, tidak ada hal
yang mengharuskan garis batas keyakinan agama lain terlewati. Namun barangkali kita
telah dapat memandang agama-agama tersebut sebagai keyakinan yang dianut oleh
manusia yang hidup, yaitu orang-orang yang juga mempertanyakan berbagai masalah
dasar yang juga kita pertanyakan, mereka juga mencari hidup yang lebih luhur
terhadap agamanya.
Agama mengambil bagian pada saat-saat yang paling penting dan pada
pengalaman hidup. Agama merayakan kelahiran, menandai pergantian jenjang masa
dewasa, mengesahkan perkawinan, serta kehidupan keluarga, dan melapangkan jalan
dari kehidupan kini menuju kehidupan yang akan datang. Bagi juataan manusia, agama
berada dalam kehidupan mereka pada saat-saat yang paling khusus maupun pada saat-
saat yang paling mengerikan. agama juga memberikan jawaban-jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan kita. Adakah kekuatan tertinggi lain yang
mampu memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan kita? Bagaimanakah
kehidupan dimulai? Apa arti semuanya ini? Mengapa orang menderita? Apa yang terjadi
terhadap diri kita apabila kita telah mati?
Mengingat hal demikian wajarlah jika agama menjadi sangat dibutuhkan oleh
manusia, karenanya ia mampu memberikan jawaban sekaligus inspirasi bagi
terwujudnya kehidupan yang diinginkan manusia.
B. Fungsi Agama Dalam Kehidupan Manusia
Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah
disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga
kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang
lain seperti yangakan diuraikan di bawah ini :
1. Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia
Agama dikatakan memberi pandangan dunia kepada manusia karena ia
sentiasanya memberipenerangan kepada dunia (secara keseluruhan), dan juga
kedudukan manusia di dalam dunia.Penerangan dalam masalah ini sebenarnya sulit
dicapai melalui indra manusia, melainkan sedikitpenerangan daripada falsafah.
Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya bahwadunia adalah ciptaan
Allah SWT dan setiap manusia harus menaati Allah(s.w.t). begitu jugauntuk yang
beragama lain dengan kepercayaan kepada Tuhan yg di miliki.
2. Menjawab pelbagai pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh manusia
Sebagian pertanyaan yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan pertanyaan
yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya pertanyaan kehidupan
setelah mati, tujuan hidup,soal nasib dan sebagainya. Bagi kebanyakan manusia,
pertanyaan-pertanyaan ini sangat menarik dan perlu untuk menjawabnya. Maka, agama
itulah fungsinya untuk menjawab persoalan-persoalan ini.
Perintah Allah kepada rasul juga merupakan perintah kepada umatnya bahwa
makanan yang kita makan itu betul-betul dibuat dari bahan yang halal dan baik, baik
disini berarti makanan tersebut bergizi yang dapat menimbulkan kesehatan dan
keadaannya tidak menjijikan. Disamping harus halal dalam ilmu agama (islam)
makanan itu harus baik artinya cara pembuatannya/prosesnya dengan cara yang baik.
2. Kebutuhan rasa aman
Artinya bahwa manusia hidup perlu adanya pelindung sehingga terhindar dari
gangguan atau ancaman darimana pun, sehingga tercipta ketenangan hidup dan
keamanan dalam dirinya.
3. Kebutuhan integrasi sosial
Sebagai manusia yang normal pasti berintegrasi dengan manusia yang lainnya
baik secara lagsung maupun tidak langsung akan saling membantu dan saling
membutuhkan satu sama lain jadi artinya tidak ada manusia satupun yang hidup
sendiri tanpa adanya bantuan orang lain.
4. Kebutuhan harga diri
Manusia dalam hidupnya perlu adanya harga diri atau kebanggaan diri atau kata
lain rasa ingin dihargai dilingkungannya baik dilingkungan keluaraga, masyarakat
ataupun dilingkungan kerjanya.
5. Kebutuhan untuk mengembangkan diri
Artinya bahwa manusia itu dalam hidupnya ada kebutuhan untuk berapresiasi
mengembangkan bakat dan hobinya sehingga menghasilkan karya yang baik dan
berguna baik untuk dirinya maupun untuk orang lain sehingga tejadi kepuasan didalam
dirinya. Kembali kepada pengawasan, diatas telah disebutkan bahwa pengawasan
interen yang ada pada diri kita itu adalah keiman dan ketakwaan yang diajarkan oleh
agama islam. Keimananpun bisa tipis dan bisa tebal itu tergantung usaha kita
bagaimana supaya selalu dekat kepada Allah caranya dengan beribadah dan selalu
mempelajari ajarannya.
Setiap manusia yang normal tentunya tidak akan terlepas dari lima kebutuhan
tersebut dan selalu berkaitan satu sama lain.
CORAK AKIDAH DALAM KEHIDUPAN
1. INTISARI
Pembahasan diatas dapat diintisarikan seperti table dibawah ini :
No Abu Bakar Umar Usman Ali
Wasiat Abu Tim formatur
1. Proses pengangkatan Dibaiat Umar Ahlul Madinah
Bakar Umar
Adanya tindakan Terjadi konflik
pembersihan Pembunuhan Internal,
Penaklukan
2. Peristiwa penting Nabi-nabi Palsu Khalifah seperti
Persia
dan Kaum Usman Tahkim dan
Murtad perang Shifin
Fokus pada
pembenahan Afrika, Siprus,
Damaskus,
Islam dan Politik Armenia,
3. Ekspansi Suriah, Mesir –
Internal serta Kabul,
dan Irak
memadamkan Farghanah
pemberontak
Penyusunan
Pembenahan Al-Quran yang
Administrasi sekarang
Mengumpulkan Negara dan disebut Quran
4. Kontribusi –
Al-Quran Penggalan Islam mushaf
dari awal Hijrah Usmani serta
Nabi SAW Perluasan
Masjid Nabawi
Dibunuh
Dibunuh oleh dalam Upaya Dibunuh oleh
5. Wafat Sakit Abu Lu’luah konspirasi Abdurrahman
(budak Persia) diantaranya bin Muljam
Ghafiqi
Berani dan
Lembut dan
6. Sifat Pribadi Bijaksana Berani dan Adil bersikap
Agamis
ilmiah
SEJARAH PERADABAN ISLAM (Fase Mekah dan Madinah)
Kondisi bangsa arab sebelum kedatangan islam, terutama di sekitar Mekah masih diwarnai
dengan penyembahan berhala sebagai Tuhan. Yang dikenal dengan istilah paganisme. Selain
menyembah berhala, di kalangan bangsa Arab ada pula yang menyembah agama Masehi
(Nasrani), agama ini dipeluk oleh penduduk Yaman, Najran, dan Syam. Di samping itu juga
agama Yahudi yang dipeluk oleh penduduk Yahudi imigran di Yaman dan Madinah, serta agama
Majusi, yaitu agama orang-orang persia.
Nabi Muhammad SAW lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal atau 20 April 571 M. Ketika itu
Raja Yaman Abrahah dengan gajahnya menyerbu Mekah untuk menghancurkan Ka’bah.
Sehingga tahun itu dinamakan Tahun Gajah. Beliau telah menjadi yatim piatu ketika berumur
delapan tahun, dan beliau diasuh oleh kakek dan pamannya, Abdul Muthalib dan Abu Thalib.
Pada umur 12 tahun Nabi Muhammad sudah mengenal perdagangan, sebeb pada saat itu beliau
telah diajak berdagang oleh paman beliau, Abu Thalib ke Negeri Syam. Dari pengalamannya
berdagang, maka setelah beranjak dewasa, beliau ingin berusaha berdagang dengan membawa
barang dagangan Khadijah, seorang saudagar wanita yang pada akhirnya menjadi istri beliau.
Fase kenabian Nabi Muhammad dimulai ketika beliau bertahannus atau menyepi di Gua Hira,
sebagai imbas keprihatinan beliau melihat keadaan bangsa Arab yang menyembah berhala. Di
tempat inilah beliau menerima wahyu yang pertama, yang berupa surat Al-‘Alaq 1-5. Dengan
wahyu yang pertama ini, maka beliau telah diangkat menjadi Nabi, utusan Allah. Pada saat itu,
Nabi Muhammad belum diperintahkan untuk menyeru kepada umatnya, namun setelah turun
wahyu kedua, yaitu surat Al-Mudatsir ayat 1-7, Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasul
yang harus berdakwah. Dalam hal ini dakwah Nabi Muhammad dibagi menjadi dua periode,
yaitu :
a. Periode Mekah, ciri pokok dari periode ini adalah pembinaan dan pendidikan tauhid (dalam
arti luas)
b. Periode Madinah, ciri pokok dari periode ini adalah pendidikan sosial dan politik (dalam arti
luas)
A. PERIODE MEKAH
Pada periode ini, tiga tahun pertama dakwah islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Nabi
Muhammad mulai melaksanakan dakwah islam di lingkungan keluarga, mula-mula istri beliau
sendiri, yaitu Khadijah, yang menerima dakwah beliau, kemudian Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar
sahabat beliau, lalu Zaid bekas budak beliau. Di samping itu, juga banyak orang yang masuk
islam dengan perantaraan Abu Bakar yang terkenal dengan julukan Assabiqunal
Awwalun(orang-orang yang lebih dahulu masuk islam), mereka adalah Utsman bin Affan,
Zubair bin Awwan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdur Rahmanbin ‘Auf, Thalhah bin ‘Ubaidillah,
Abu Ubaidah bin Jarhah, dan Al-Arqam bin Abil Arqam, yang rumahnya dijadikan markas untuk
berdakwah(rumah Arqam). Kemudian setelah turun ayat 94 Surah Al-Hijr, nabi Muhammad saw
memulai dakwah secara-terang-terangan.
Dalam menyebarkan agama islam, Nabi Muhammad melakukannya dengan tiga cara, yaitu:
a. Rahasia. Pada tahapan ini Nabi menyempaikannya hanya pada kalangan keluarganya sendiri
dan teman dekatnya.
b. Semi Rahasia. Beliau menyebarkan Agama Islam dalam ryang lingkup yang lebih luas,
termasuk Bani Muthalib dan Bani Hasyim.
c. Terang-Terangan (Demonstratif). Nabi dalam berdakwah secara terang-terangan ke segenap
lapisan masyarakat, baik kaum bangsawan maupun hamba sahaya.
Dakwah yang disampaikan Nabi ini mendapatkan penolakan masyarakat Quraisy dalam berbagai
cara. Penolakan tersebut diantaranya:
a. Lunak. Cara ini dilakukan dengan menyebar propaganda. Bahwa Nabi Muhammad adalah
seorang pembohong, penjahat, dan juga pembuat perpecahan di kalangan bangsa arab dan
lainnya
b. Semi Lunak. Yaitu dengan membujuk Nabi Muhammad untuk menghentikan dakwah
islamiyah
c. Kasar/Keji. Yaitu dengan melakukan penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisik maupun
nonfisik
Dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw tidak mudah karena mendapat tantangan dari
kaum kafir Quraisy. Hal tersebut timbul karena beberapa faktor, yaitu sebagai berikut :
1. Bidang Politik Kekuasaan. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.
Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Nabi Muhammad berarti tunduk kepada
kepemimpinan Bani Abdul Muthalib
2. Sosial (persamaan derajat sosial). Nabi muhammad menyerukan persamaan hak antara
bangsawan dan hamba sahaya
3. Agama dan Keyakinan. Para pemimpin Quraisy tidak mau percaya ataupun mengakui serta
tidak menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat
4. Budaya. Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat akar pada bangsa Arab,
sehingga sangat berat bagi mereka untuk meninggalkan agama nenek moyang dan mengikuti
agama islam
5. Ekonomi. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki
B. PERIODE MADINAH
Sebab utama Rasulullah besama para sahabat melakukan hijrah ke Madinah, yaitu :
1. Perbedaan iklim di kedua kota mempercepat dilakukannya hijrah. Iklim Madinah lembut dan
watak rakyatnya yang tenang sangat mendorong penyebaran dan pengembangan agama islam.
Sedangkan kota Mekah sebaliknya.
2. Nabi-Nabi umumnya tidak dihormati di negara-negaranya sehingga Nabi Muhammadpun
tidak diterima oleh kaumnya sendiri
3. Tantangan yang nabi hadapi tidak sekerasa di Mekkah
Dalam periode ini, pengembangan islam lebih ditekankan pada dasar-dasar pendidikan
masyarakat islam dan pendidikan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, Nabi kemudian
meletakkan dasar-dasar masyarakat islam di Madinah, sebagai berikut
a. Mendirikan Masjid
Tujuan Rasulullah mendirikan masjid ialah untuk mempersatukan umat islam dalam satu majelis,
sehingga di majelis ini umat islam bisa bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah secara
teratur, mengadili perkara-perkara dan musyawarah. Masjid ini memegang peranan penting
untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempererat tali ukhuwah islamiyah.
b. Mempersatukan dan mempersaudarakan antara kaum Anshar dan Muhajirin
Rasulullah saw mempersatukan keluarga-keluarga islam yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar.
Dengan cara mempersaudarakan kedua golongan ini, Rasulullah saw telah menciptakan suatu
pertalian yang berdasarkan agama pengganti persaudaraan yang berdasar kesukuan seperti
sebelumnya.
c. Perjanjian saling membantu antara sesama kaum muslimin dan bukan muslimin
Nabi Muhammad saw hendak menciptakan toleransi antargolongan yang ada di madinah, oleh
karena itu Nabi membuat perjanjian antara kaum mus;limin dan nonmuslimin.
Menurut Ibnu Hisyam, isi perjanjian tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Pengakuan atas hak pribadi keagamaan dan politik
2. Kebebasan beragama terjamin untuk semua umat
3. Adalah kewajiban penduduk Madinah, baik muslim maupun nonmuslim, dalam hal moril
maupun materiil. Mereka harus bahu membahu menangkis semua serangan terhadap kota
mereka(Madinah)
4. Rasulullah adalah pemimpin umum bagi penduduk Madinah. Kepada beliaulah dibawa segala
perkara dan perselisihan yang besar untuk diselesaikan
d. Meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi dan sosial untuk masyarakat baru
Ketika masyarakat islam terbentuk maka diperlukan dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat yang
baru terbentuk tersebut. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan dalam periode ini
terutama ditujukan kepada pembninaan hukum. Ayat-ayat ini kemudian diberi penjelasan oleh
Rasulullah, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan beliau sehingga terdapat dua sumber
hukum dalam islam, yaitu Al-Quran dan hadis.
Dari kedua sumber hukum islam tersebut didapat suatu sistem untuk bidang politik, yaitu sistem
musyawarah. Dan untuk bidang ekonomi dititikberatkan pada jaminan keadilan sosial, serta
dalam bidang kemasyarakatan, diletakkan pula dasar-dasar persamaan derajat antara masyarakat
atau manusia, dengan penekanan bahwa yang menentukan derajat manusia adalah ketakwaan.
e. Mengadakan perjanjian dengan seluruh penduduk Madinah, baik yang sudah masuk islam
maupun yang belum masuk islam. Perjanjian ini dikenal dengan “Piagam Madinah”, yang berisi
undang-undang dikenal dengan konstitusi Madinah. Konstitusi ini secara garis besar
menyangkuit masalah-masalah yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu:
1. Bidang Politik. Dalam piagam Madinah menerapkan sistem Musyawarah
2. Bidang Keamanan. Seluruh warga negara berhak mendapat keamanan dan kemerdekaan
3. Bidang Sosial. Nabi meletakkan dasar persamaan di antara manusia
4. Bidang ekonomi. Nabi saw menerapkan sistem yang dapat menjamin keadilan sosial
5. Bidang keagamaan. Hak beragama dijamin, namun harus memiliki sikap toleransi terhadap
kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat atau penduduk kota
madinah.
Adapun penjabaran dari piagam ini yang dijadikan sebagai dasar dalam membina masyarakat
islam yang baru dibentuk Rasulullah saw, meliputi beberapa prinsip, yaitu:
a. Al-Ukhuwah. Ukhuwah ini meliputi Ukhuwah Basyariyah, Ukhuwah Wathaniyah dan
Ukhuwah Islamiyah
b. Al-Musawa. Semua penduduk memiliki kedudukan yang sama dan setiap warga masyarakat
memuliki hak kemerdekaan, kebebasan, dan yang membedakan hanyalah ketakwaannya
c. At-Tasamuh. Umat Islam siap berdamping secara baik dengan semua penduduk termasuk
Yahudi serta bebas melaksanakan ajaran agama dan harus memiliki sikap toleransi
d. Al-Ta’awun. Semua penduduk harus saling tolong menolong dalam hal kebaikan.
e. Al-Tasyawur. Jika ada persoalan dalam Negara, harus melakukan musyawarah
f. Al-‘Adalah. Berkaitan erat dengan hak dan kewajiban setiap individu dalam kehidupan
bermasyarakat(Adil)
Sejarah Arab Pra Islam
ARAB PRA ISLAM
Ditilik dari silsilah keturunan dan cikal bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum Bangsa
Arab menjadi Tiga bagian, yaitu :
1. Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa
dilacak secara rinci dan komplit. Seperti Ad, Tsamud, Thasn, Judais, Amlaq dan lain-
lainnya.
2. Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub
bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.
3. Arab Musta’ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il, yang
disebut pula Arab Adnaniyah.
1. SISTEM POLITIK DAN KEMASYARAKATAN
a. Kondisi Politik
Bangsa Arab sebelum islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri.
Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional.
Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah
pertalian darah. Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila
mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu
akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau
dianiaya “.
Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin
kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi
politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah
dan menghadang musuh dari luar kabilah.
Kedudukan pemimpin kabilah ditengah kaumnya, seperti halnya seorang raja. Anggota
kabilah harus mentaati pendapat atau keputusan pemimpin kabilah. Baik itu seruan damai
ataupun perang. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, seperti layaknya
pemimpin dictator yang perkasa. Sehingga adakalanya jika seorang pemimpin murka, sekian ribu
mata pedang ikut bicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka.
Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah system dictator. Banyak hak yang terabaikan.
Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan
pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya
mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan dan kesewenangannya.
Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisi.
Rakyat hanya bisa merintih dan mengeluh, ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap
harus diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikitpun.
Kadang persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem keturunan
paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan orang banyak, seperti
bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, memperlihatkan keberanian, membela diri
dari serangan orang lain, hingga tak jarang mereka mencari-cari orang yang siap memberikan
sanjungan dan pujian tatkala berada dihadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair yang
memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga kedudukan para
penyair itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.
b. Kondisi Masyarakat
Dikalangan Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat. Yang kondisinya berbeda antara
yang satu dengan yang lain. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan sangat
diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun harus dengan pedang yang
terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seorang ingin dipuji dan menjadi terpandang dimata
bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum
wanita.
Karena jika seorang wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah untuk
suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa menyulutkan api peperangan dan
pertempuran diantara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki tetap dianggap sebagai
pemimpin ditengah keluarga, yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti.
Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita.
Begitulah gambaran secara ringkas kelas masyarakat bangsawan, sedangkan kelas masyarakat
lainnya beraneka ragam dan mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan wanita.
Para wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih
dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima orang
atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai
setiap lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran, seperti :
1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain
yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin
seketika itu pula.
2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita
pelacur.
3. Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki
lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil
istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran
seorang anak yang pintar dan baik.
4. Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan peperangan. Untuk
pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan
menghalalkannya menurut kemauannya.
Banyak lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki yang diluar
kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa jahiliyah ialah poligami
tanpa da batasan maksimal, berapapun banyaknya istri yang dikehendaki. Bahkan mereka bisa
menikahi janda bapaknya, entah karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada
ditangan kaum laki-laki tanpa ada batasannya.
Perzinahan mewarnai setiap lapisan mayarakat, tidak hanya terjadi di lapisan tertentu atau
golongan tertentu. Kecuali hanya sebagian kecil dari kaum laki-laki dan wanita yang memang
masih memiliki keagungan jiwa.
Ada pula kebiasaan diantara mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya,
karena takut aib dan karena kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak laki-lakinya,
karena takut miskin dan lapar. Disini kami tidak bisa menggambarkannya secara detail kecuali
dengan ungkapan-ungkapan yang keji, buruk, dan menjijikkan.
Secara garis besar, kondisi masyarakat mereka bisa dikatakan lemah dan buta.
Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup
layaknya binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang diperlakukan layaknya benda
mati. Hubungan ditengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi
kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat dibutuhkan untuk menghadang serangan
musuh.
2. SISTEM KEPERCAYAAN DAN KEBUDAYAAN
Kepercayaan bangsa Arab sebelum lahirnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah Isma’il Alaihis-
Salam, yaitu menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang intinya menyeru
menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.
Waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak diantara mereka yang melalaikan ajaran
yang pernah disampaikan kepada mereka. Sekalipun begitu masih ada sisa-sisa tauhid dan
beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga muncul Amr Bin Luhay, (Pemimpin Bani
Khuza’ah). Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal baik, mengeluarkan shadaqah dan respek
terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir mereka
menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang disegani.
Kemudian Amr Bin Luhay mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat
penduduk Syam menyembah berhala. Ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan
benar. Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para Rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil
membawa HUBAL dan meletakkannya di Ka’bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah
untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Orang orang Hijaz pun banyak yang mengikuti
penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan penduduk tanah suci.
Pada saat itu, ada tiga berhala yang paling besar yang ditempatkan mereka ditempat-
tempat tertentu, seperti :
1. Manat, mereka tempatkan di Musyallal ditepi laut merah dekat Qudaid.
2. Lata, mereka tempatkan di Tha’if.
3. Uzza, mereka tempatkan di Wady Nakhlah.
Setelah itu, kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil
bertebaran disetiap tempat di Hijaz. Yang menjadi fenomena terbesar dari kemusyrikan bangsa
Arab kala itu yakni mereka menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim.
Ada beberapa contoh tradisi dan penyembahan berhala yang mereka lakukan, seperti :
1. Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya, berkomat-kamit dihadapannya,
meminta pertolongan tatkala kesulitan, berdo’a untuk memenuhi kebutuhan, dengan
penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafaat disisi Allah dan
mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
2. Mereka menunaikan Haji dan Thawaf disekeliling berhala, merunduk dan bersujud
dihadapannya.
3. Mereka mengorbankan hewan sembelihan demi berhala dan menyebut namanya.
Banyak lagi tradisi penyembahan yang mereka lakukan terhadap berhala-berhalanya,
berbagai macam yang mereka perbuat demi keyakinan mereka pada saat itu.
Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa
hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah dan menghubungkan mereka kepada-Nya, serta
memberikan manfaat di sisi-Nya.
Selain itu, Orang-orang Arab juga mempercayai dengan pengundian nasib dengan anak panah
dihadapan berhala Hubal. Mereka juga percaya kepada perkataan Peramal, Orang Pintar dan
Ahli Nujum.
Dikalangan mereka ada juga yang percaya dengan Ramalan Nasib Sial dengan sesuatu. Ada juga
diantara mereka yang percaya bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya tidak tentram jika
dendamnya belum dibalaskan, ruh nya bisa menjadi burung hantu yang berterbangan di padang
seraya berkata,”Berilah aku minum, berilah aku minum”!jika dendamnya sudah dibalaskan,
maka ruh nya akan menjadi tentram.
Sekalipun masyarakat Arab jahiliyah seperti itu, toh masih ada sisa-sisa dari agama Ibrahim dan
mereka sama sekali tidak meninggalkannya, seperti pengagungan terhadap ka’bah, thawaf
disekelilingnya, haji, umrah, Wufuq di Arafah dan Muzdalifah. Memang ada hal-hal baru dalam
pelaksanaannya.
Semua gambaran agama dan kebiasaan ini adalah syirik dan penyembahan terhadap berhala
menjadi kegiatan sehari-hari , keyakinan terhadap hayalan dan khurafat selalu menyelimuti
kehidupan mereka. Begitulah agama dan kebiasaan mayoritas bangsa Arab masa itu. Sementara
sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Masehi, Majusi, dan Shabi’ah yang masuk kedalam
masyarakat Arab. Tetapi itu hanya sebagian kecil oleh penduduk Arab. Karena kemusyrikan dan
penyesatan aqidah terlalu berkembang pesat.
Itulah agama-agama dan tradisi yang ada pada saat detik-detik kedatangan islam. Namun agama-
agama itu sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang
musyrik yang mengaku pada agama Ibrahim, justru keadaannya jauh sama sekali dari perintah
dan larangan syari’at Ibrahim. Mereka mengabaikan tuntunan-tuntunan tentang akhlak yang
mulia. Kedurhakaan mereka tak terhitung banyaknya, dan seiring dengan perjalanan waktu,
mereka berubah menjadi para paganis (penyembah berhala), dengan tradisi dan kebiasaan yang
menggambarakan berbagai macam khurafat dalam kehidupan agama, kemudian mengimbas
kekehidupan social, politik dan agama.
Sedangkan orang-orang Yahudi, berubah menjadi orang-orang yang angkuh dan sombong.
Pemimpin-pemimpin mereka menjadi sesembahan selain Allah. Para pemimpin inilah yang
membuat hukum ditengah manusia dan menghisab mereka menurut kehendak yang terbetik
didalam hati mereka. Ambisi mereka hanya tertuju kepada kekayaan dan kedudukan, sekalipun
berakibat musnahnya agama dan menyebarnya kekufuran serta pengabaian terhadap ajaran-
ajaran yang telah ditetapkan Allah kepada mereka, dan yang semua orang dianjurkan untuk
mensucikannya.
Sedangkan agama Nasrani berubah menjadi agama paganisme yang sulit dipahami dan
menimbulkan pencampuradukkan antara Allah dan Manusia. Kalaupun ada bangsa Arab yang
memeluk agama ini, maka tidak ada pengaruh yang berarti. Karena ajaran-ajarannya jauh dari
model kehidupan yang mereka jalani, dan yang tidak mungkin mereka tinggalkan.
Semua agama dan tradisi Bangsa Arab pada masa itu, keadaan para pemeluk dan masyarakatnya
sama dengan keadaan orang-orang Musyrik. Musyrik hati, kepercayaan, tradisi dan kebiasaan
mereka hampir serupa.
SEJARAH MUNCULNYA ILMU KALAM DAN KERANGKA BERFIKIR ALIRAN-ALIRAN
KALAM
Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-644 ) problema
keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah. Tapi setelah Umar wafat
dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 ) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba’, seorang
Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim, salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun
itu ditiupkan, Abdullah bin Saba’ pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang
serius justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh ( 656 ).
Perselisihan di kalangan Umat islam terus berlanjut di zaman pemerintahan Ali bin Abi
Thalib ( 656-661 ) dengan terjadinya perang saudara, pertama, perang Ali dengan Zubair,
Thalhah dan Aisyah yang dikenal dengan perang jamal, kedua, perang antara Ali dan
Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Pertempuran dengan Zubair dan kawan-
kawan dimenangkan oleh Ali, sedangkan dengan Muawiyah berakhir dengan tahkim (
Arbritrase ).
Hal ini berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya aliran-
aliran Teologi dalam islam.
Pada zaman Bani Abbas ( 750-1258 M ) Filsafat Yunani dan Sains banyak dipelajari Umat
Islam. Masalah Tauhid mendapat tantangan cukup berat. Kaum Muslimin tidak bisa
mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa mereka menggunakan senjata filsafat
dan rasional pula. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah mempertahankan ketauhidan dengan
argumentasi-argumentasi filosofis tersebut.
Namun sikap Mu’tazilah yang terlalu mengagungkan akal dan melahirkan berbagai
pendapat controversial menyebabkan kaum tradisional tidak menyukainya.
Akhirnya lahir aliran Ahlussunnah Waljama’ah dengan Tokoh besarnya Abu Hasan Al-
Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.
Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orangorang yang melakukan
pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu
disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau
harus dibunuh?
Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan)
padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi
kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran?
Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan.
Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau
pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham
Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya,
maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang
buruk.
Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung
kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah,
sebagai berikut: Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan
mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh
'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan
'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan
yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.
Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada ‘Ali, karena Khalifah ini menerima usul
perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, dalam “Peristiwa Shiffin” di
situ ‘Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan “de jure”-nya. Karena
itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal
dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti
sikap mereka terhadap ‘Utsman, kaum Khawarij juga memandang ‘Ali dan Mu’awiyah
sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil).
Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah, juga Amr ibn al-
’Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu’awiyah mengalahkan Ali dalam
“Peristiwa Shiffin” tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam,
berhasil membunuh hanya ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka, dan
‘Amr ibn al-’Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama
Kharijah yang disangka ‘Amr, karena rupanya mirip).
Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij
akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam,
pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling
banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu’tazilah. Mereka inilah
sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang
kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik
dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam ‘Abdull’ah ibn al-Mubarak.
Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian: Agama adalah kepunyaan ahli
(pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum
Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional).
Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum
Mu’tazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Mu’tazili ialah rasionalitas dan paham
Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan
unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn
Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak
berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm
mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyahnya dari Aristotelianisme, yaitu bagian
dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa
dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa
mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi
pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti
perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan
bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang
berpribadi personal God.
Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai
hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai
kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun,
santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat
Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai
hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal
sebagai al-Nufat (“pengingkar” [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu’aththilah (“pembebas”
[Tuhan dari sifat-sifat])
Kaum Mu’tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu’tazilah justru
menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu’tazilah
disebut sebagai “titisan” doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi
kaum Mu’tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat
Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu’tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu
penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan
(seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum
Mu’tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya
membawa kaum Mu’tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah
oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi
dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-
Ma’mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam
dan Falsafa
Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia
telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat
inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma’mun dalam
membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam
sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), dengan
campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak
sejarah perkembangan pemikiran Islam,termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga
Falsafah Islam.”
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum
Mu’tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-
Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mu’tazilah (dan kota
Basrah memang pusat pemikiran Mu’tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia
meninggalkan paham Mu’tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang
anti Mu’tazilah. Ilmu Kalam al-Asy’ar’i itu, yang juga sering disebut sebagai paham
Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling
berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut
pandangan sebagian besar kaum Sunni.
(…Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak
kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh
puluh tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam
neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti
Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy’ari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan
lawan-lawan al-Asy’ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu’tazilah dan Syi’ah (yang dalam
Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum Mu’tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl
al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai
contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling
terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-
nya itu alAsy’ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih
mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin,
teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian
pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung
kepada paham Qadariyyah beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak
lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian
terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian: Sesungguhnya para pengikut paham
Asy’ari dan sebagian orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-
Jahm ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini
menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidakmasuk akal… Begitu
pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu’tazilah dalam masalah-masalah
Qadariyyah –sehingga kaum Mu’tazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah– dan
mereka (kaum Asy’ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada
pada bendabenda bernyawa mempunyai dampak atau menjadi sebab adanya
kejadiankejadian (tindakan-tindakan).[13]
Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak
sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb alAsy’ari yang ia
sebutkan dirumuskan sebagai “sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya
kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi
dengan kemampuan tersebut” Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya itu
disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syafii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn
Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai
salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.
Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy’ari, juga dikecam kaum Hanbali dari
segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam
khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional (‘aql,
akal) terhadap keterangan tekstual (naql, “salinan” atau “kutipan”), baik dari Kitab Suci
maupun Sunnah Nabi. Kaum “liberal”, seperti golongan Mut’azilah,cenderung
mendahulukan akal, dan kaum “konservatif” khususnya kaum Hanbali, cenderung
mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta’wil),
sebagaimana telah kita bahas.[16] Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy’ari
cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang
memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan “bi la kayfa”
(tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) –
menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode
al-Asy’ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.Tetapi bagian-
bagian lain dari metodologi al-Asy’ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum
Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu’tazilah, Ilmu Kalam
al-Asy’ari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika
(manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari
premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-
muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan,
hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta’aqqul
(intelektualisasi).
Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategorikategori yang sepuluh
(esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-
konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah
sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal
sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa “hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam
alam pikiran” (Al-haqiqah fi al-ayan, la fi al-adzhan).
Perbedaan metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam,
yaitu kerangka berfikir rasional dan kerangka berfikir tradisional.
1. hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas di sebut dalam Al-Qur’an
dan Hadist Nabi, yakni ayat yang gathi (tersayang tidak boleh disamakan dengan arti lain)
1. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti Zhanni (tersayang
boleh mengandung arti lain).
Aliran yang sering di sebut-sebut memiliki cara berfikir teologi rasional adalah mu’tazilah
dan adapun yang sering disebut-sebut memiliki metode berfikir tradisional adalah
Asy’ariyah.
1. Aliran Antroposentris
2. Teolog Teosentris
Manusia teosentris adalah manusia statis karena sering terjebak dalam kepasrahan mutlak
kepada tuhan. Bagianya, segala sesuatu/perbuatanya pada hakikatnya adalah aktiitas
tuhan. Ia tidak mempunyai ketetapan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan.
Aliran teosentris menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat bisa
datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Aliran ini yang tegolong kategori Jabbariyah.
Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu selalu berada
dalam abmbiu (serba ganda) baik secara subtansial maupun formal.
Aliran ini juga berkeyakinan bahwa daya manusia merupakan proses kerja sama antara
daya yang transedental (Tuhan) dalam bentuk kebijasanaan dan daya temporal (manusia)
dalam bentuk teknis.
Kebahagian bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuanya membuat
pendalam agar selalu berada tidak jauh kekanan atau kekiri tetapi tetap ditengah-tengah
antara berbagai ekstrimitas aliran teolog yang dapat di masukkan ke dalam kategori ini
adalah Asy’ariyah.
4. Aliran Nihilis
Aliran Nihilis menganggap bahwa hakekat realitas transcendental hanyalah ilusi. Aliran ini
pun menolak tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi tuhan kosmos.
Kekuatan terletak pada kecerdikan diri sendiri manusia sendiri sehingga mampu
melakukan yang terbaik dari tawaran yang tebutuk. Idealnya manusia mempunyai
kebahagian besifat fisik yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.
Karakteristik Ajaran Islam
“karakteristik” dalam kamus bahasa Indonesia, diartikan sesuatu yang mempunyai karakter atau
sifat yang khas. Islam dapat diartikan agama yang diajarkan Nabi Muhammad SAW yang
berpedoman pada kitab suci al Qur'an dan diturunkan di dunia ini melalui wahyu Allah SWT.
Berarti karakteristik ajaran Islam dapat diartikan sebagai ciri yang khas atau khusus yang
mempelajari tentang berbagai ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia dalam berbagai bidang
agama, muamalah (kemanusiaan), yang didalamnya temasuk ekonomi, sosial, politik,
pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan disiplin ilmu yang baik dan benar. Konsepsi Islam dalam
berbagai bidang yang menjadi karakteristiknya itu dapat dikemukakan sebagai berikut.
7 Bidang Agama Menurut Nurcholis Majid dalam bukunya, bahwa dalam bidang agama, Islam
mengakui adanya pluralisme. Pluralisme menurut Nurcholis adalah sebuah aturan Tuhan yang
tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Islam adalah agama
yang kitab sucinya yang dengan tegas mengakui hak agama lain, kecuali yang berdasarkan
paganisme dan syirik. Islam selaku agama besar terakhir, mengklaim bahwa sebagai agama yang
memuncaki proses perrtumbuhan dan perkembangan agama-agama tersebut. Tetapi perlu
diingat, bahwa justru penyelesaian terakhir yang diberikan Islam sebagai agama terakhir untuk
persoalan keagamaan itu ialah ajaran pengakuan akan hak agama-agama itu untuk berada dan
untuk dilaksanakan. Karena itu agama tidak boleh dipaksakan. (QS. Al-Baqara:256). Bahwa Al-
Quran juga mengisyaratkan bahwa para penganut berbagai agama, asalkan percaya kepada
Tuhan dan hari akhir serta berbuat baik, semuanya akan selamat. (QS. Al- Baqara:62).
8 Bidang Ibadah Secara harfiah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah SWT, karena
didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid. Ibadah adalah sebagai upaya mendekatkan diri
kepada Allah SWT dengan mentaati segala perintahNya dan menjauhi semua laranganNya.
Ibadah ada yang umum ada yang khusus. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh
Allah SWT, sedangkan yang khusus adalah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT akan
perincian- perinciannya, tingkat, dan cara-caranya yang tertentu. Dalam Islam diterangkan
bahwa dalam beribadah dilarang yang namanya "kreatifitas", sebab meng create atau membentuk
suatu ibadah dalam agama Islam dinnnilai sebagai bid'ah yang dikutuk Nabi sebagai kesesatan.
Bilangan shalat lima waktu beserta tata cara menggerjakannya ataupun ketentuan ibadah haji dan
tata cara mengerjakannya misalkan adalah ibadah yang sudah ditetapkan oleh Allah ketentuan-
ketentuan dan segalanya, makasebagai manusia atau penganutnya tidak boleh ikut campur
bahkan mengubahnya
9 Bidang Akidah Karakteristik Islam yang dapat diketahui melalui bidang akidah ialahbahwa
akidah Islam bersifat murni baik dalam isinnya maupun prosesnya. Yang diakui sebagai Tuhan
yang wajib disembah hanyalah Allah SWT. Murni dalam isinya artinya bahwa keyakinan
tersebut sedikitpun tidak boleh melenceng atau diberikan kepada yang lain sealin Allah SWT.
Murni dalam prosenya artinya adalah bahwa dalam prosesnya harus langsung tidak boleh
diwakilkan atau melalui perantara. Akidah yang seperti iitulah yang akan melahirkan bentuk
pengabdian hanya kepada Allah SWT, yang selanjutnya dapat berdampak kepada cara
bertingkah laku, dan pada akhirnya berbuat dan menimbulkan amal sholeh.
11 Bidang Pendidikan Sejalan dengan bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan tersebut di atas,
Islam juga memiliki ajaran yang khas dalam pendidikan. Islam memandang bahwa pendidikan
adalah hak bagi setiap orang, laki-laki maupun perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat.
Seperti yang terkutip di hadist Rasul. "Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi orang Islam laki-laki
dan perempuan. Tuntutlah ilmu mulai dari buaian hingga ke liang lahat". Di dalam Islam banyak
diketahui metode-metode pembelajaran seperti: ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi,
penugasan, teladan, pembiasaan, karya wisata, cerita, hukuman, nasihat, dan sebagainya.
12 Bidang Sosial Ajaran Islam dalam bidang sosial adalah yang paling menonjol karena seluruh
bidang ajaran Islam adalah untuk kesejahteraan manusia. Islam menjunjung tinggi tolong
menolong, saling menasehati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, kerukunan antar
tetangga, tenggang rasa dan kebersamaan. Menurut penelitian yang dilakukan Jalaluddin
Rahmat, Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan
ibadah. Islam ternyata banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial dari aspek kehidupan
ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi pada
Allah SWT. Muamalah jauh lebih luas dari pada ibadah (dalam arti khusus). Dalam hadistnya,
Rasulullah SAW mengingatkan imam supaya memperpendek shalatnya bila di tengah jamaah
ada yang sakit, orang lemah, orang tua, atau orang yang mempunyai keperluan. Istri Rasulullah
SAW Siti Aisyah, mengisahkan: Rasulullah SAW shalat di rumah dan pintu terkunci. Lalu aku
datang (dalam rijwayat lain aku minta dibukakan pintu), maka Rasulullah SAW berjalan
membuka pintu, kemudian kembali ke tempat shalatnya. Hadist ini diriwayatkan oleh lima orang
perawi, kecuali Ibn Majah. Lalu Islam sangat menilai bahwa ibadah berjamaah atau bersama-
bersama denggan orang lain lebih tinggi dari pada yang dilakukan secara perorangan, dengan
perbandingan 27 derajat. Dari sini kita mengetahui betapa Islam dan ajarannya menjunjung
tinggi nilla-nilai sosial.
14 Bidang Kesehatan Ciri khas Islam selanjutnya dapat dilihat dari konsepnya mengenai
kesehatan. Ajaran Islam memegang prinsip pencegahan lebih baik daripada penyembuhan. Yang
dalam bahasa Arab, prinsip ini berbunyi, al-wiqayah khair min al-'laj. Untuk menuju pada upaya
pencegahan tersebut, Islam menekankan segi kebersihan lahir dan batin. Kabersihan lahir dapat
mengambil bentuk kebersihan tempat tinggal, lingkungan sekitar, badan, pakaian, makanan,
minuman, dan lain sebagainya. Dalam hubbungan ini kita dapat menelaah ayat Al-Quran yang
artinya: Seesungguhnya Allah menyukai orang-oang yang bertaubat dan senang kepada orang-
orang yang membersihkan diri. Bertaubat yang dikemukakan di atas akan menghasilkan
keseehatan mental, dan kebersihan lahiriah akan menghasilkan kesehatan fisik. Selanjutnya kita
baca lagi ayat Al-Quran yang artinya: Dan bersihkanlah pakaianmu dan tinggalkanlah segala
macam kotoran.
15 Bidang Politik Ciri ajaran Islam selanjutnya dapat dijketahui melalui konsepsinya dalam
bidang politik. Dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 156 terdapat perintah menaati ulil amri yang
terjemahannya termasuk penguasa di bidang politik, pemerintah dan negara. Dalam hal ini Islam
tidak menerangkan atau menyuruh ketaatan yang buta. Tetapi menghendaki suatu ketaatan yang
kritis dan selektif, maksudnya adalah jika pemimpin tersebut berpegang teguh kepada tuntunan
Allaj SWT dan RasulNya maka kita patut mentaatinya, tetapi jika pemimpin tersebut
bersebalahan dan bertentangan dengan kehendak Allas SWT dan RasulNya maka boleh dikritik
atau diberi saran agar kembali ke jalan yang benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika
pemimpin tersebut juga tidak menghiraukan, boleh saja untuk tidak dipatuhi. Masalah politik ini
selanjutnya berhubungan dengan bentuk pemerintahan. Dalam sejarah kita mengetahui berbagai
bentuk pemerintahan, seperti republik yang dipimpi presiden, kerajaan yang dipimppin raja, dan
sebagainya. Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan tertentu. Oleh karena itu setiap bangsa
boleh menentukan bentuk pemerintahannya masing-masing. Namun, yang terpenting bentuk
pemerintahan tersebut digunakan sebagai alat untuk menegakkan keadilan, kemakmuran,
kesejahteraan, keamanan, kedamaian, dan ketentraman masyarakat
16 Bidang Pekerjaan Karakteristik Islam selanjutnya dapat dilihat dari ajarannya mengenai kerja.
Islam memandang bahwa kerja sebagai ibadah kepada Allah SWT. Atas dasar ini maka kerja
yang dikehendaki Islam adalah kerja yang bermutu, terarah kepada pengabdian kepada Allah
SWT, dan kerja yang bermanfaat bagi orang lain. Untuk itu Islam tidak menekankan pada
banyaknya pekerjaan, tetapi pada kualias manfaat kerja. Seperti pada ayat Al-Quran yang artinya
adalah Dialah yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu
yang paling baik amalnya. Ayat tersebut dengan tegas menerangkan bahwa siapa yang paling
baik amalnya, bukan yang paling banyak amalnya. Selain itu amal tersebut juga harus
bermanfaat bagi orang lain. Seperti di hadist Rasul bahwa orang yang paling baik adalah yang
paling bermanfaat bagi yang lainnya. Untuk menghasilkan produk pekerjaan yang bermutu,
Islam memandang kerja yang dilakukan haruslah profesional, yaitu kerja yang didukung
pengetahuan, keahlian, pengalaman, kesungguhan, dan seterusnya. Suatu pekerjaan yang
diserahkan bukan pada ahlinya maka tunggulah kehancurannya
DINASTI UMAYAH
Dalam peristiwa tahkim itu, Ali telah terperdaya oleh taktik dan siasat Muawiyah yang pada
akhirnya ia mengalami kekalahan secara politis. Sementara itu, Muawiyah mendapat kesempatan
untuk mengangkat dirinya sebagai khalifah sekaligus raja.
Dinasti inilah yang untuk pertama kalinya mendobrak sistem pemilihan pemimpin yang sedari
awal dijalankan secara musyawarah mufakat menjadi sistem keluarga atau monarki.
Peristiwa ini di masa kemudian menjadi awal munculnya pemahaman yang beragam dalam
masalah teologi, termasuk tiga kekuatan kelompok yang sudah mulai muncul sejak akhir
pemerintahan Ali yaitu Syiah, Muawiyah, dan Khawarij.
Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb. Nama Dinasti Umayyah
dinisbahkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Muawiyah selain sebagai
pendiri juga sebagai khalifah pertama Bani Umayyah. Muawiyah dipandang sebagai pembangun
dinasti ini, oleh sebagian sejarawan dipandang negatif sebab keberhasilannya memperoleh
legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Shiffin. Terlepas dari itu, dalam diri
Muawiyah terkumpul sifat-sifat sorang penguasa, politikus, dan administrator.
Pada masa kekhalifahan Bani Umayyah terdapat beberapa khalifah yang sangat berpengaruh. Di
antaranya adalah Al Walid bin Abdul Malik Umar bin Abdul Aziz.
Di bawah kepemimpinan Al Walid bin Abdul Malik, kekuasaan islam meluas ke Spanyol atas
peran pasukan yang dipimpin Thoriq bin Ziyad. Bukan hanya itu, karena kekayaan kerajaan yang
semakin menumpah ruah, sektor pembangunan sangat diutamakan. Pembangunan masjid-masjid,
pabrik-pabrik dan sumur digalakkan.
Di antara masjid yang dibangun adalah Masjid Al Amawi di Damaskus, Masjid Al Aqsa di
Yerussalem dan perluasan masjid Nabawi di Madinah. Selain membangun masjid, Al Mawlid
juga turut membangun rumah sakit untuk para penyandang penyakit kusta di Damaskus. Pada
zaman inilah, peradaban Islam mengalami kemajuan.
Sementara itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz sangat terkenal dengan kekayaannnya. Namun,
setelah menjabat sebagai khalifah, beliau menjalani hidup dengan segala kesederhanaan dan
terkenal dengan sifat jujur dan adilnya. Selain terkenal karena sifatnya, Umar bin Abdul Aziz
juga terkenal dengan keluasan ilmunya, khususnya di bidang ilmu hadis.
Pada masa inilah, untuk pertama kalinya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan secara resmi
untuk mengumpulkan hadis. Ia juga mendamaikan konflik panjang yang terjadi antara sekte
Amamiyah, Syiah, dan Khawarij.
Harus diakui memang, masa kepemimpinan Bani Umayyah terdapat banyak sekali kemajuan
yang telah dicapai, baik di bidang politik, maupun di bidang keilmuan. Pada waktu itu, banyak
sekali kebijakan yang dikeluarkan oleh para khalifah Bani Umayyah yang menguntungkan
masyarakat, khususnya umat islam.
Banyak sekali ekspansi yang dilakukan secara besar-besaran sehingga kekuasaan Islam meluas
sampai ke Afrika Utara bahkan Spanyol. Bukan hanya itu, perkembangan pesat terlihat dari segi
peradaban yang ditandai dengan semakin banyaknya corak-corak bangunan yang indah dan
dibangunnya fasilitas umum yang tidak pernah ada sebelumnya. Di segi pemerintahan,
administrasi adalah hal yang paling utama dibenahi ketika itu.
Pun dengan perkembangan keilmuan, Bani Umayyah menjadikan kota Makkah dan Madinah
tempat berkembangnya musik, lagu, dan puisi. Sementara di Irak (Bashrah dan Kufah)
berkembang menjadi pusat aktivitas intelektual di dunia Islam. Sedangkan di Marbad, kota satelit
di Damaskus, berkumpul para pujangga, filsuf, ulama, dan cendikiawan lainnya.
Banyak sekali bidang keilmuan yang berkembang saat itu, di antaranya adalah ilmu bahasa Arab,
ilmu qiro’at, ilmu hadis, ilmu fiqih sampai ilmu biografi yang sudah berkembang pada masa itu.
Namun, semua itu sirna begitu saja semenjak munculnya kelompok-kelompok yang merasa tidak
puas terhadap pemerintahan Bani Umayyah, seperti kelompok Khawarij, Syi’ah, dan kelompok
muslim non-Arab (mawali).
Tidak adanya kejelasan sistem dan ketentuan pergantian khalifah disinyalir sangat kuat menjadi
dalih ketidakpuasan tersebut. Ditambah lagi tidak ada niatan atau sikap untuk menggalang
persatuan menjadi hal paling krusial sehingga antara kedua belah pihak yang bersaing malah
semakin meruncing menuju konflik.
Bukan hanya itu saja, sikap bermewah-mewahan sebagian keluarga di lingkungan khalifah
membuat mereka tidak mampu menanggung beban negara yang sangat berat. Terlebih,
terbunuhnya Khalifah Marwan bin Muhammad oleh tentara Abbasiyah di kampung Busir daerah
Bani Sueif menjadi tanda berakhirnya Dinasti Bani Umayyah di Damaskus.