Anda di halaman 1dari 40

Referat

Gangguan Endokrin Pada Penyakit Ginjal Kronik

Oleh :

Muhammad Syukra 1840312204


Amelinda Syafrawi Dinata 1840312307
Intan Putri Feriza 1840312442
Rani Novelty 1840312625
Rio Martin Raja Gukguk 1840312630
Charan Kamal Kaur Toor 1740312409
Ghina Pretty Wardani 1840312011

Preseptor :
dr. Eka Agustia Rini, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
PADANG
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunian-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang
berjudul “Gangguan Endokrin Pada Penyakit Ginjal Kronik”.
Referat ini merupakan salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Eka Agustia Rini, Sp.A(K) selaku
preseptor yang telah memberikan masukan dan bimbingan dalam pembuatan
referat ini. Penulis mengucapkan terima kasih juga kepada semua pihak yang
telah membantu menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk
menyempurnakan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Padang, Juli 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... v
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. vI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah ......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................ 2
1.4 Manfaat Penulisan ...................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Ginjal Kronik pada Anak .............................................. 3
2.1.1 Epidemiologi ..................................................................... 3
2.1.2 Etiologi dan Faktor Resiko ................................................. 4
2.1.3 Klasifikasi ........................................................................ 4
2.1.4 Patogenesis ...................................................................... 5
2.1.5 Manifestasi Klinik ............................................................ 6
2.1.6 Diagnosis ......................................................................... 6
2.1.7 Tata Laksana .................................................................... 7
2.2 Gangguan Endokrin pada Penyakit Ginjal Kronik ..................... 10
2.2.1 Gangguan Pertumbuhan ................................................... 10
2.2.3 Gangguan Pembentukan Vitamin D, Kalsium
dan Fosfor ........................................................................ 12
2.2.2 Gangguan Fungsi Tiroid ................................................... 21
2.2.4 Gangguan Sintesis Eritropoietin ....................................... 25
2.2.5 Gangguan Disfungsi Seksual ............................................ 28

BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................. 31

DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.7.1: Rumus Holliday-Segar 8

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2.2.1: Sintesis dan metabolisme vitamin D serta regulasi 12


kalsium, fosfor, dan metabolisme tulang.
Gambar 2.2.3.1: Efek penyakit ginjal kronis pada aksis hipotalamus- 22
hipofisis-tiroid
Gambar 2.2.3.2: Penyakit ginjal kronis terkait dengan Gangguan 25
Tiroid
Gambar 2.2.4.1: Skema ertropoiesis 26
Gambar 2.2.4.2: Diferensiasi Eritroid yang dipengaruhi oleh EPO 27
ginjal
Gambar 2.2.4.3: Perbandingan pembentukan EPO pada ginjal 28
normal dan PGK

:
:

v
DAFTAR SINGKATAN

BFU-Es : Burst-Forming Unit Erythroids


CAKUT : Congenital Anomalies of The Kidney and Urinary Tract
CAPD : continous ambulatory peritoneal dialysis
CFU-Es : Colony forming Unit Erythroids
CFU-GEMMs : Colony-Forming Units Generating Granulocytes, Erythrocytes,
Monocytes, And Megakaryocytes
EPO : Eritropoietin
ESAs : erythropoiesis stimulating agents
ESS : euthyroid sick syndrome
GHBP : GH Binding Protein
GHRH : Growth Hormone Releasing Hormone
HUS : Hemolytic Uremic Syndrome
HSP : Henoch Schloen Purpura
IGF : Insuline Like Growth Factor
KDIGO : Kidney Disease Improving Global Outcomes
LFG : laju filtrasi glomerulus
NAPRTCS : North American Pediatric Renal Transplant Cooperative Study
NKFK/DOQI : National Kidney Foundation’s Kidney Outcomes Quality
Initiative
PGK : Penyakit Ginjal Kronik
RAAS : rennin-angiotensin-aldosteron
REPC : renal EPO-producing cells
SLE : Systemic Lupus Erythematosus
VUR : vesicoureteral reflux

vi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu keadaan dimana


terjadinya penurunan fungsi ginjal irreversible sehingga terjadi penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG). PGK tidak jarang ditemukan pada anak dan diperlukan
adanya deteksi dini supaya pengelolaan dapat dilakukan dengan tujuan
mempertahankan kemampuan fungsional nefron yang masih ada serta memacu
pertumbuhan fisik yang maksimal sebelum dilakukan dialisis atau transplantasi.1

Prevalensi dari PGK adalah 1,5 sampai tiga per 1.000.000 anak di bawah
usia 16 tahun. Suatu laporan dari ItaKid Project di Italia menyebutkan prevalensi
PGK sebanyak 74,7 dalam 1.000.000 dengan insidensi sekitar 12,1 per 1.000.000
pada populasi yang tergantung umur (rentang usia 8,8 - 13,9 tahun). Data
epidemiologi lain di Chili dan Swedia juga menyebutkan angka insidensi berkisar
antara 5,7-7,7 kasus dalam 1.000.000 populasi. North American Pediatric Renal
Transplant Cooperative Study (NAPRTCS) juga menyebutkan bahwa PGK
cenderung lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan perempuan
dengan distribusi ras meliputi 61% Kaukasian, 19% African-Amerika dan 14%
Hispanik.2,3

Mekanisme pasti yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal progresif


masih belum jelas. Faktor yang berperan antara lain kerusakan akibat proses
imunologis yang terus berlangsung, hiperfiltrasi hemodinamik dalam
mempertahankan glomerulus, diet protein dan fosfat, proteinuria yang persisten,
dan hipertensi sistemik. Penumpukan kompleks imun atau antibodi anti membran
basal glomerulus akan menyebabkan inflamasi glomerulus yang persisten yang
pada akhirnya dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut. Hiperfiltrasi juga
berperan dalam kerusakan glomerulus.1

PGK pada anak akan memperlihatkan gejala berupa gangguan


pertumbuhan, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan

1
metabolik, gangguan sintesis eritropoietin, gangguan perdarahan, gangguan
kardiovaskular, gangguan neurologis, dan gangguan perkembangan seksual.
Penatalaksanaan PGK adalah untuk menangani faktor primer penyebab gangguan
ginjal, memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, mencegah atau memperlambat
penurunan fungsi ginjal, dan mengoptimalisasikan pertumbuhan dan
perkembangan anak.1

1.2 Batasan Masalah

Batasan penulisan referat ini membahas mengenai definisi, epidemiologi,


etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, dan
penatalaksanaan Gangguan Endokrin Pada Penyakit Ginjal Kronik.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan referat ini bertujuan untuk memahami serta menambah


pengetahuan mengenai Gangguan Endokrin Pada Penyakit Ginjal Kronik.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan referat ini menggunakan metode penulisan tinjauan kepustakaan


yang merujuk ke berbagai literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik pada Anak 4


Berdasarkan Clinical Practice Guidelines on Chronic Kidney Disease oleh
National Kidney Foundation’s Kidney Outcomes Quality Initiative
(NKFK/DOQI) didefinisikan bahwa Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu
penyakit yang memenuhi kriteria:
 Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan , baik abnormalitas struktur atau fungsi ginjal
dengan atau tanpa penurunan Glomerulus Filtration Rate, yang
bermanifestasi sebagai satu atau lebih gejala:
a. Abnormalitas komposisi urin
b. Abnormalitas pemeriksaan pencitraan
c. Abnormalitas biopsi ginjal
 Glomerulus Filtration Rate < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan
atau tanpa gejala kerusakan ginjal lain yang telah disebutkan.

2.1.1 Epidemiologi
Prevalensi Penyakit Ginjal Kronik pada anak (PGK) terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Tidak banyak dijumpai informasi mengenai
epidemiologi PGK pada anak. Hal ini mungkin disebabkan banyak kasus yang
asimtomatis menjadi tidak terdiagnosa atau tidak terlaporkan. 3
Prevalensi dari PGK adalah 1.5 sampai tiga per 1 000 000 anak di bawah
usia 16 tahun. Suatu laporan dari ItaKid Project di Italia menyebutkan prevalensi
PGK sebanyak 74.7 dalam 1 000 000 dengan insidensi sekitar 12.1 per 1 000 000
pada populasi yang tergantung umur (rentang usia 8.8- 13.9 tahun). Data
epidemiologi lain di Chili dan Swedia juga menyebutkan angka insidensi berkisar
antara 5.7-7.7 kasus dalam 1 000 000 populasi. North American Pediatric Renal
Transplant Cooperative Study (NAPRTCS) menyebutkan bahwa PGK cenderung
lebih mempengaruhi anak laki-laki dibandingkan perempuan dengan distribusi ras
meliputi 61% Kaukasian, 19% African-Amerika dan 14% Hispanik.2,3

3
2.1.2 Etiologi dan faktor risiko 5
Berbeda pada kasus PGK dewasa yang kebanyakan disebabkan oleh
diabetes dan hipertensi, kebanyakan kasus PGK pada anak merupakan kejadian
yang berasal dari kelainan kongenital. Laporan dari NAPRTCS menyebutkan
bahwa penyebab terbanyak dari PGK adalah kelainan kongenital yang disebut
juga Congenital Anomalies of The Kidney and Urinary Tract (CAKUT) yaitu
sekitar 48%, dan juga menjadi penyebab PGK terbanyak pada anak yang berusia
lebih muda. Pada anak berusia lebih dari 12 thn penyebab terbanyak PGK adalah
glomerulonefritis. Berbagai studi juga telah melaporkan glomerulonefritis kronik
sebagai menjadi penyebab utama PGK pada anak-anak di India, Asia Tenggara,
Amerika Latin, Karibia dan sub Saharan Afrika dengan prevalensi antara 30-60%,
yang mungkin berhubungan dengan prevalensi infeksi bakteri, virus dan parasit
yang banyak dijumpai di negara berkembang.
Beberapa faktor risiko terjadinya PGK pada anak antara lain adalah ;
riwayat keluarga dengan penyakit ginjal genetik/polikistik, bayi dengan berat
badan lahir rendah, anak dengan riwayat gagal ginjal akut, hipoplasia atau
displasia ginjal, obstruktif uropaty, vesicoureteral reflux (VUR), diabetes melitus,
riwayat Systemic Lupus Erythematosus (SLE), riwayat Henoch Schloen Purpura
(HSP), sindrom nefrotik, nefritis akut, hipertensi dan riwayat Hemolytic Uremic
Syndrome (HUS).

2.1.3 Klasifikasi4,5
The National Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative
(NKFK/DOQI) sebelumnya telah membuat klasifikasi PGK menjadi 5 stadium
yang ditentukan oleh nilai LFG dimana klasifikasi bertujuan sebagai pedoman
dalam hal identifikasi awal kerusakan ginjal, penatalaksanaan dan pencegahan
komplikasi. Klasifikasi PGK ini selanjutnya dikembangkan pada tahun 2012 oleh
Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) yang mengeluarkan
rekomendasi untuk mengklasifikasikan PGK berdasarkan penyebab, kategori LFG
dan kategori albuminuria dan berlaku untuk anak berusia lebih dari 2 tahun
NKF-KDOQI membagi PGK dalam lima stadium yaitu:
 Stadium 1: kerusakan ginjal dengan LFG normal atau peningkatan LFG (≥90
mL/menit/1,73 m²)

4
 Stadium 2: kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (60-89
mL/menit/1,73 m²)
 Stadium 3: penurunan LFG sedang (30-59 mL/ menit/1,73 m²)
 Stadium 4: penurunan LFG berat (15-29 mL/ menit/1,73 m²)
 Stadium 5: gagal ginjal (LFG < 15 mL/menit/1,73 m² atau dialisis).

2.1.4 Patogenesis1
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah
proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder.
Kelainan ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler
glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilangnya
muatan negatif glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik
keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein yang sebelumnya
terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran
glomerulus dan akhirnya diekskresikan dalam urin.

Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah
arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga
mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan
menurunnya tekanan perfusi aliran darah ke ginjal. Hal ini dideteksi lalu
mengaktifkan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS) yang akan
meningkatkan vasokonstriksi dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada
reseptor volume intravaskular yang akan merangsang peningkatan aldosteron
yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus distal dan merangsang pelepasan
hormon antidiuretik yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus.
Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma
berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat edema

Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan hormon antidiuretik


akan mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol,
trigliserida, dan lipoprotein serum meningkat disebabkan oleh hipoproteinemia
yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya
katabolisme lemak yang menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase
plasma. Hal ini kalau berkepanjangan dapat menyebabkan arteriosklerosis

5
2.1.5 Manifestasi Klinik

Edema anasarka pada awalnya dijumpai edema terutamanya jelas pada


kaki, namun dapat juga pada daerah periorbital, skrotum atau labia. Bisa juga
terjadi asites dan efusi pleura. Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan
massif (anasarka). Proteinuria atau 0,05 g/kgBB/hari pada anak–anak.
Hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia > 250mg/dl. Pada sebagian pasien
dapat ditemukan gejala yaitu: hipertensi, hematuria, diare, anorexia, fatigue
atau malaise ringan, nyeri abdomen atau, berat badan meningkat,
hiperkoagulabilitas.6,7

2.1.6 Diagnosis
2.1.6.1 Anamnesis1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di
kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai
jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin
berwarna kemerahan yang menandakan hematuria.

2.1.6.2 Pemeriksaan Fisik8


Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema di kedua kelopak
mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum atau labia. Kadang-
kadang ditemukan hipertensi. Penyakit ginjal kronik pada anak bisa
menyebabkan bengkak pada kedua tungkai. Pembengkakan biasanya
simetris di kiri dan kanan pada anak-anak. Hematuria adalah adanya darah
dalam urin. Hematuria pada anak biasanya bisa dilihat secara makroskopik
atau mikroskopik. Oliguria merupakan penurunan produksi urin. Anak-anak
dikatakan oliguria bila kencingnya ,1ml/kgBB/jam. Tekanan darah sistolik
dan/atau diastolik ≥ persentil 95 sesuai usia anak, atau tekanan darah >
130/80. PGK juga bias mnyebabkan timbulnya gangguan pertumbuhan,
pucat (Anemia), kelainan tulang, sesak, demam berulang.

6
2.1.6.3 Pemeriksaan penunjang8

Pada urinalisis menggunakan dipstik ditemukan proteinuria masif (3+


sampai4+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan
hipoalbuminemia (< 3,5 mg/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah
yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin
umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila ditemukan
hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular
contohnya pada sklerosis glomerulus fokal. Pemeriksaan penunjang lain yang
diperlukan adalah pemeriksaan laboratorium seperti profil lipid dan elektrolit,
pencitraan radiologi seperti USG, CT-scan dan MRI, dan juga biopsi ginjal.

2.1.7 Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan penyakit ginjal kronis adalah untuk menangani


penyebab primer gangguan ginjal, menghilangkan atau meminimalkan kondisi-
kondisi komorbid, mencegah atau memperlambat penurunan fungsi ginjal,
menangani gangguan metabolik yang terkait dengan penyakit ginjal kronik,
mencegah dan menangani penyakit kardiovaskular, dan mengoptimalisasikan
pertumbuhan dan perkembangan. Pasien dengan penyakit ginjal kronis harus
menjalani evaluasi untuk menentukan diagnosis jenis penyakit ginjal, kondisi
komorbid, stadium kerusakan ginjal menurut LFG, komplikasi terkait tingkat
LFG, faktor-faktor risiko penurunan fungsi ginjal, dan faktor-faktor risiko bagi
penyakit kardiovaskular.9,10,11
Penanganan hipertensi dengan terapi ACE inhibitor (angiotensin-
converting enzyme inhibitor) melindungi nefron yang tersisa dari cidera lebih
lanjut dan memperlambat penurunan fungsi ginjal. Antagonis reseptor angiotensin
juga memiliki sifat renoprotektif. Terapi diindikasikan jika tekanan darah anak
lebih dari persentil ke 95 menurut usia, tinggi badan, dan jenis kelamin.
Pembatasan cairan dan garam dapat mengurangi tekanan darah pada dewasa dan
anak. Jumlah garam yang disarankan adalah 0,5-1 mEq/kgBB/hari atau kira-kira 2
gr NaCl/hari untuk remaja dengan berat badan 20-40 kg.12 Latihan aerobik teratur
selama 30-60 menit per hari juga disarankan.

7
Penanganan dislipidemia pada anak dengan penyakit ginjal kronis dan
LDL puasa > 100 mg/dl, intervensi gaya hidup, seperti latihan sedang, reduksi
konsumsi lemak jenuh dan kolesterol, direkomendasikan untuk 6 bulan pertama.
Jika kadar LDL target tidak dicapai (<100 mg/dl), terapi statin direkomendasikan
untuk dimulai (dosis dewasa 10 mg per hari per oral). Kadar bikarbonat serum
perlu diawasi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 3, 4, dan 5 dan
pasien yang menjalani dialisis. Kadar bikarbonat serum perlu dipertahankan di
atas 22 mmol/L. Kebutuhan cairan, natrium dan kalium dapat dihitung
menggunakan metode Holliday-Segar, namun perlu diingat bahwa metode ini
tidak dapat digunakan untuk neonatus berusia < 14 hari. Perumusan kebutuhan
cairan holliday segar sebagai berikut:13,14,15
Tabel 2.1.7.1: Rumus Holliday-Segar13
Zat Kebutuhan per hari
Air 100 ml/kgBB untuk 10 kg pertama, 50
ml/kgBB untuk 10 kg kedua, dan 20
ml/kgBB untuk tiap kg berikutnya
Natrium 3 mmol/kgBB/hari
Kalium 2 mmol/kgBB/hari

Kebutuhan elektrolit harian untuk natrium dan kalium dapat dilihat dalam
tabel, sementara kebutuhan harian untuk kalsium adalah 0,3 mmol/kg BB per hari
dalam kondisi normal dan 1 mmol/kg BB per hari jika terdapat defisiensi
kalsium.15
Koreksi anemia dapat dilakukan melalui pemberian EPO (human
recombinant erythropoietin) dan suplemen besi. Dosis biasa EPO adalah 300
unit/kg, dibagi dalam tiga dosis. Jika kadar hemoglobin yang diinginkan telah
dicapai, frekuensi pemberian EPO dapat dikurangi menjadi dua kali atau bahkan
satu kali per minggu. Dosis pemeliharaan EPO bervariasi antara 60 dan 600
unit/kg/minggu. Kadar hemoglobin target yang disarankan oleh K/DOQI adalah
11-12 g/dl (hematokrit 33-36%). Pemeliharaan kadar hemoglobin ini perlu
dilakukan dengan pemberian besi yang cukup untuk mempertahankan TSAT
(transferring saturation) lebih dari 20% (kisaran 20-50%) dan kadar feritin serum
di atas 100 ng/ml (kisaran 100-800 ng/ml).11,13,16

8
Osteodistrofi ginjal perlu dicurigai ketika LFG turun di bawah 50
ml/menit/1,73 m2. Terapi vitamin D diindikasikan pada pasien dengan kadar 1,25
dihidroksikolekalsiferol di bawah kadar target menurut stadium penyakit ginjal
kronis. Ergokalsiferol perlu diberikan pada pasien dengan kadar 25-hidroksi-
vitamin D yang rendah. Pasien dengan kadar 25-hidroksi-vitamin D normal
namun dengan peningkatan kadar PTH dapat diberi 0,01-0,05 μg/kg BB/24 jam
kalsitriol. Kadar produk kalsium/fosfor juga perlu diawasi untuk mencegah
dEPOsisi garam kalsium fosfat di jaringan (kalsium < 2,4 mmol/L; fosfat < 1,8
mmol/L). 11,13,16
Pertumbuhan perlu dievaluasi secara teratur pada anak-anak dengan
penyakit ginjal kronis. Terapi rhGH diindikasikan pada anak dengan penyakit
ginjal kronis dengan hambatan pertumbuhan (< -2 SD). Dosis yang biasa
digunakan adalah 0.05 mg/kg/hari, secara subkutan selama 6 hari dalam satu
minggu. Status gizi pasien dengan penyakit ginjal kronis perlu diawasi secara
teratur dan mereka yang mengalami penurunan masukan diet atau malnutrisi
perlu menjalani modifikasi diet, konseling, dan edukasi atau terapi nutrisi
khusus.15,17
Ketika anak menunjukkan tanda-tanda akut dalam gagal ginjal kronis,
terapi pengganti ginjal diperlukan untuk menyelamatkan nyawanya. Dialisis
peritoneal dalam bentuk CAPD (continous ambulatory peritoneal dialysis) dapat
digunakan pada anak sebelum transplantasi ginjal dapat dilakukan.13,16,18
Tanda-tanda klinis yang perlu diperhatikan untuk segera memulai dialisis
adalah sindrom uremia yang nyata seperti muntah-muntah, kejang, penurunan
kesadaran hingga koma; kelebihan cairan yang menimbulkan gagal jantung,
edema paru dan hipertensi; dan asidosis yang tidak dapat dikoreksi dengan
pemberian bikarbonat intravena. Dialisis juga dapat mulai dilakukan bila
ditemukan kadar ureum darah ≥ 200-300 mg/dl atau kreatinin 15 mg/dl,
hiperkalemia ≥ 7 mEq/l, atau bikarbonat plasma ≤ 12 mEq/l.Hemodialisis dapat
dilakukan secara akut bila terjadi kelebihan cairan, seperti edema paru atau gagal
jantung kongestif, atau terjadi kondisi serius yang mengancam jiwa pasien, seperti
hiperkalemia, asidosis metabolik, hipo atau hipernatremia. 13,19,20

9
Penyakit ginjal kronis stadium 5 merupakan indikasi untuk transplantasi.
Meskipun demikian, tidak semua pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 5
dapat menjadi kandidat untuk transplantasi ginjal. Prosedur ini dapat terlalu
berisiko bagi sebagian karena komorbiditas yang telah diderita pasien atau
karena kontraindikasi tertentu, seperti infeksi kronis yang akan dieksaserbasi oleh
imunosupresi. Kontraindikasi absolut bagi transplantasi ginjal adalah keganasan
aktif, terutama jika telah bermetastasis. Infeksi HIV dan potensi rekurensi
penyakit ginjal juga perlu dipertimbangkan dalam rencana transplantasi. 21

2.2 Gangguan Endokrin pada Penyakit Ginjal Kronik

2.2.1 Gangguan Pertumbuhan


Pertumbuhan normal merupakan hasil interaksi faktor genetik, nutrisi,
metabolik dan endokrin. Sekresi hormon pertumbuhan (GH) oleh kelenjar
hipofisis, dirangsang oleh Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) dari
hipotalamus, somatostatin yang juga disekresikan oleh hipotalamus menghambat
sekresi hormon pertumbuhan. Pada saat GH disekresikan kedalam sirkulasi secara
pulsatil, maka dilepaskan Insuline Like Growth Factor 1 (IGF-1), ini yang
menyebabkan pertumbuhan tulang. Dalam sirkulasi GH diikat oleh protein
pengikat khusus (GHBP) yang bekerja pada reseptor GH ekstraseluler. IGF-1
dalam sirkulasi diikat oleh beberapa protein pengikat (IGFBPs). IGFBP yang
sangat tergantung pada GH adalah IGFBP-3.22
Anak yang menderita penyakit ginjal kronik, cenderung
mengalami gagal tumbuh. Analisis dari North American Renal Trials and
Collaborative Studies (NAPRTCS), pada anak penyakit ginjal kronik, 37%
perawakan pendek terjadi pada pasien saat diberikan pengobatan konsevatif, 47
% saat diberikan dialisis dan 43 % pada saat anak akan transplantasi ginjal.
Etiologi perawakan pendek pada penyakit ginjal kronik karena uremia
penyebabnya multifaktor, antara lain malnutrisi, gangguan keseimbangan air dan
elektrolit, asidosis metabolik, anemia dan gangguan hormonal yang menyangkut
aksis hormon somatotropik dan gonadotropik. Sehingga pada pasien penyakit
ginjal kronik pertumbuhan harus selalu dipantau dengan mengukur tinggi

10
dan berat badan setiap 3 – 4 bulan, bilamana tinggi badan kurang dari persentil
3 sesuai dengan umur dan jenis kelaminnya, maka gagal tumbuh. 23,24
Gagal tumbuh dapat terjadi dalam keadaan GH normal atau meningkat.
Hal ini menunjukkan bahwa pada penyakit ginjal kronik terjadi ketidakpekaan
terhadap GH di perifer, kemungkinan karena mekanisme molekuler
kurangnya densitas reseptor GH pada organ target dalam keadaan uremia, namun
sampai saat ini pengukuran reseptor GH pada jaringan manusia masih belum
memungkinkan, tetapi dapat diukur secara tidak langsung dengan mengukur
kadar serum GH binding protein.25 Pada manusia, afinitas yang tinggi GH
Binding Protein (GHBP) dalam sirkulasi dapat menggambarkan ekspresi
reseptor GH, karena berasal dari domain ekstraseluler reseptor GH dari
pembelahan proteolitik. Pada penelitian terhadap 126 anak dengan penyakit ginjal
kronik, 77% kadar GHBP rendah. 2 6
Insuline Like Growth Factor (IGF) dan kondrosit pada lempeng
pertumbuhan, berperan penting pada pertumbuhan linier. Hormon
pertumbuhan (GH) dan IGF berperan sinergis dalam merangsang
proliferasi dan hipertropfi kondrosit pada lempeng pertumbuhan sehingga
sangat berperan pada pertumbuhan linier. Pada anak dengan penyakit ginjal
kronik, terjadi banyak sekali kelainan pada aksis GH-IGF. Walaupun kadar
serum IGF pada anak ini dalam rentang normal, namun aktivitas
biologiknya rendah, hal ini karena berlebihnya unsaturated IGF yang terikat
pada binding site.26,27 Pengobatan dengan hormon pertumbuhan telah disepakati
secara umum untuk meningkatkan tinggi badan akhir pada anak prepubertas
yang mengalami penyakit ginjal kronik, namun pada anak usia pubertas efeknya
tidak jelas.28
Berdasarkan penelitian Powell dkk, GH rekombinan diebrikan pada 44
anak pendek usia 2 ½ - 11 tahun karena penyakit ginjal kronik, memberikan
hasil yang baik.27 Pengobatan yang diberikan dengan suntikan GH
rekombinan dengan dosis 0,35 mg/kgBB/minggu atau 0,05 mg/kgBB/hari,
tentunya juga dilakukan koreksi terhadap anemia dan asidosis metaboliknya
serta perbaikan nutrisinya. Pada penelitian Nissel R, dkk (2008), yang

11
melibatkan 193 anak laki-laki dan 47 anak perempuan, dengan pengobatan
hormon pertumbuhan.28

2.2.2 Gangguan Pembentukan Vitamin D, Kalsium, dan Fosfor

Kekurangan vitamin D sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa


dan berpengaruh terhadap metabolisme tulang dan mineral. Pada penelitian
sebelumnya didapatkan anak-anak dengan PGK (Penyakit Ginjal Kronik)
memiliki prevalensi defisiensi vitamin D (25 (OH) D) o20ng / ml) berkisar antara
28 hingga 58%. Defisiensi vitamin D juga umum terjadi pada anak-anak yang
sehat, 25% anak-anak dan remaja memiliki konsentrasi 25 (OH) D) o20 ng / ml.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Heidi J dkk, hampir setengah dari 182
pasien dengan penyakit ginjal dan sepertiga dari 276 anak-anak sehat kekurangan
25-hydroxyvitamin D (o20ng / ml).29,30

Biokimia Vitamin D

Berbeda dengan namanya, vitamin D bukan merupakan vitamin,


melainkan hormon steroid. Vitamin D diproduksi oleh aktivasi fraksi sterol
tumbuhan dan hewan, pitosterol dan kolesterol masing-masing, oleh sinar
matahari (Gambar 1). Sterol tanaman diaktifkan oleh produk iradiasi UVB
vitamin D-2. Pada hewan dan manusia, 7-dehydrocholesterol, prekursor vitamin D
terutama ditemukan di lapisan epidermis kulit, diaktifkan oleh sinar matahari
untuk menghasilkan vitamin D-3 dan terikat dengan vitamin D binding protein
(VBP). Ini diangkut ke hati di mana ia dihidroksilasi dengan cepat oleh vitamin
D-25-hidroksilase untuk membentuk 25-hidroksivitamin D [25 (OH) D], bentuk
utama sirkulasi vitamin D.31,32
Lebih lanjut, melalui hidroksilasi oleh enzim 25-hydroxyvitamin D-1-α-
hydroxylase, 25 (OH) D diubah menjadi bentuk aktif secara biologis, 1,25 di-
hydroxyvitamin D [1,25 (OH) 2 D]. 1,25 di-hydroxyvitamin D mengatur lebih
dari 200 gen yang berbeda, secara langsung atau tidak langsung, dengan mengikat
hormon nuklir vitamin D reseptor (VDR) yang menggerakkan berbagai proses
biologis. Sebagian besar konversi 25 (OH) D hingga 1,25 (OH) 2 D terjadi di
ginjal dan diatur dengan ketat oleh hormon paratiroid (PTH), kalsium, dan kadar

12
fosfor. Dalam keadaan aktif ini, vitamin D memiliki efek endokrin dalam
mengatur kalsium serum dan metabolisme tulang. Konversi ke 1,25 (OH) 2 D
juga terjadi di berbagai jaringan seperti otak, payudara, dan kulit, dan dalam
monosit dan makrofag. Produksi lokal 1,25 (OH) 2 D mengatur proliferasi sel,
diferensiasi, dan apoptosis serta meningkatkan kekebalan tubuh berfungsi di
lokasi-lokasi tersebut. Melalui mekanisme ini, vitamin D mempengaruhi sel
secara langsung melalui autokrin dan fungsi parakrin yang berada di bawah
kendali otonom. VDR ditemukan di mana saja mulai dari nukleus sampai semua
jaringan dan sel sistem kekebalan tubuh, VDR dapat merespons terhadap 1,25
(OH) 2 D yang diaktifkan untuk ekspresi gen di hampir semua situs di dalam
tubuh.30,32

13
Gambar 2.2.2.1: Sintesis dan metabolisme vitamin D serta regulasi kalsium,
fosfor, dan metabolisme tulang.35

Calcitriol mengatur penyerapan usus kalsium, resorpsi tulang, dan ekskresi


kalsium dan fosfat ginjal. Perubahan fungsi ginjal, seperti yang ditemukan pada
penyakit ginjal kronis (PGK), menghasilkan penurunan aktivitas ginjal 1-alpha-
hidroksilase, yang menyebabkan penurunan produksi kalsitriol. Hal ini
menyebabkan penurunan penyerapan kalsium usus dan penurunan ginjal ekskresi
fosfat, menghasilkan hipokalsemia dan hiperfosfatemia.32,33

Hipokalsemia mengurangi aktivitas reseptor penginderaan kalsium di


kelenjar paratiroid dan merangsang sekresi PTH. PTH, sebagai respons terhadap
kalsium serum rendah dan kadar serum fosfat yang meningkat, meningkatkan

14
reabsorpsi kalsium dan tubulus sekresi fosfat tubular, dan merangsang enzim
ginjal 1-alpha-hydroxylase untuk menghasilkan 1,25 (OH) 2 D. Namun, seperti
disebutkan di atas, pasien dengan penyakit ginjal kronik tidak dapat memproduksi
jumlah 1,25 (OH) 2 D yang memadai. Pasien-pasien ini mungkin juga memiliki
gizi awal yang buruk yang berhubungan dengan asupan yang kurang karena
penurunan nafsu makan, serta pembatasan diet nutrisi spesifik, seperti fosfor,
menyebabkan substrat yang tidak memadai dikonversi menjadi kalsitriol.32,33

Pada subjek normal, sekresi PTH dihambat oleh adanya pertumbuhan


fibroblast factor-23 (FGF-23), hormon fosfaturik, dan ko-reseptornya. Namun,
tidak seperti PTH, FGF-23 menghambat hidroksilasi 1-alpha dari 25 (OH) D,
akibatnya, produksi kalsitriol jauh lebih terbatas pada pasien dengan penyakit
ginjal kronik ketika tingkat FGF-23 meningkat. Tingkat FGF-23 dapat naik pada
tahap awal penyakit ginjal kronik untuk mencegah hiperfosfatemia dan telah
dikaitkan dengan prognosis ginjal yang buruk, tetapi mekanisme yang
mendasarinya tetap sulit dipahami,dan dengan demikian pengukuran FGF-23
tidak signifikan secara klinis. Karenanya, beberapa faktor dalam penyakit ginjal
kronik dapat berkontribusi pada gangguan pada jalur ini. 32

Konsep Defisiensi Vitamin D

Untuk menetapkan ambang batas nilai serum 25OHD menunjukkan


kecukupan dibutuhkan temuan yang relevan secara klinis, variabel yang diukur
tergantung pada level 25OHD. Rakhitis mungkin merupakan variabel klinis dalam
pediatri, seperti yang diusulkan oleh IOM di 1997, tetapi penelitian tentang anak-
anak dari seluruh dunia belum mendukung tingkat ambang mutlak konsentrasi
serum 25OHD untuk terjadinya rakitis. Mayoritas anak-anak pasien dengan
rakhitis memiliki kadar serum 25OHD di bawah 10 ng / ml, tetapi pasien dengan
rakhitis disebabkan oleh kekurangan vitamin D dan serum konsentrasi 25OHD
yang lebih besar dari 20ng / ml juga telah terjadi dilaporkan. Selanjutnya,
didapatkan bahwa data konsentrasi 25OHD dan rakhitis dapat dikacaukan oleh
asupan kalsium.29,34

15
Pada 2005, Hollis et al menunjukkan korelasi terbalik antara total 25OHD
dan tingkat PTH98, pada penurunan konsentrasi 25OHD menghasilkan
peningkatan level PTH yang tiba-tiba. Nilai serum 25OHD serum 20ng / ml
didefinisikan sebagai ambang kekurangan. Studi yang dilakukan pada bayi dan
anak-anak tidak mengonfirmasi titik batas ini dan nilai 20ng / ml tidak dapat
dianggap sebagai konsentrasi serum 25OHD yang menunjukkan kekurangan
vitamin pada populasi anak-anak. Atapattu et al menunjukkan bahwa kekurangan
pada vitamin D berdasarkan ketinggian PTH paling baik didefinisikan oleh nilai
serum 25OHD <13,6 ng / ml pada anak-anak dan remaja.29

Pengobatan

Institute of Medicine merekomendasikan 600 IU vitamin D per hari untuk


memenuhi kebutuhan kebanyakan orang berusia 1 hingga 70 tahun. Endocrine
Society merekomendasikan 1500 hingga 2000 IU per hari untuk orang dewasa dan
1000 IU untuk anak-anak. Vitamin D harus diberikan dengan kalsium untuk
mempertahankan kesehatan tulang pada mereka yang kekurangan. Saat ini, tidak
ada konsensus tentang bentuk suplemen vitamin D lebih unggul.
Namun,dilakukan studi terkontrol suplementasi placebo dengan vitamin D 2 dan
vitamin D 3 pada 85 orang sehat selama 25 minggu dimulai di akhir musim panas.
Peneliti menemukan vitamin itu D 3 lebih efektif daripada vitamin D 2 dalam
menjaga kadar serum 25 (OH) D selama musim gugur dan musim dingin. Mereka
juga menemukan penurunan relatif dalam serum 25 (OH) D 3 kadar dalam
kelompok yang diberi vitamin Suplemen D 2 . Dosis tunggal 50.000-IU vitamin
D 2 atau D 3 menghasilkan peningkatan yang sama dalam total 25 (OH) D, tetapi
D 3 memiliki waktu paruh yang lebih lama.30

Perawatan seharusnya diikuti oleh dosis pemeliharaan. Endocrine Society


mendukung rekomendasi ini tetapi menambahkan bahwa dosis pemeliharaan 1000
IU per hari mungkin diperlukan untuk secara konsisten meningkatkan kadar
serum 25 (OH) D di atas 30 ng / mL pada pasien berusia 1 hingga 18 tahun dan
sebagai sebanyak 1500 hingga 2000 IU per hari pada pasien berusia 19 tahun
hingga 50 tahun. Tidak diketahui saat ini apakah ini rekomendasi pengobatan

16
sudah cukup untuk menyediakan semuanya dari manfaat kesehatan nonskeletal
potensial terkait dengan vitamin D, khususnya yang memaksimalkan fungsi otot. 30

Pada pasien dengan sinkronisasi malabsorpsi Dromes, dengan obesitas,


atau minum obat yang mempengaruhi metabolisme vitamin D, dosis pemeliharaan
mungkin perlu berkisar antara 3000 dan 6000 IU setiap hari. American Academy
of Pediatrics merekomendasikan semua anak mendapatkan 400 IU vitamin D per
hari dari beberapa hari pertama kehidupan mereka hingga remaja. Kekurangan
vitamin D pada anak-anak telah dilaporkan antara 10% hingga 65% . 30

Hanya 5% hingga 13% anak yang mendapat ASI yang pernah mendapat
rekomendasi 200 IU per hari sebelumnya. Anak yang ditemukan kekurangan
vitamin D harus diobati dengan baik 50.000 IU per minggu atau 2000 IU per hari
selama 6 minggu untuk mencapai kadar serum 25 (OH) D 30 ng / mL. Endocrine
Society saat ini tidak merekomendasikan suplemen hanya untuk pencegahan jatuh,
pencegahan penyakit kardiovaskular atau kematian, atau peningkatan kualitas
hidup. Pasien yang memakai suplemen vitamin D untuk kasus defisiensi,
pemeriksaan rutin pengujian tory untuk memantau level 25 (OH) D tidak
direkomendasikan selama dosis pemberian sampai batas yang disarankan. 36

Kekurangan vitamin D pada Penyakit Ginjal Kronik

Studi epidemiologis menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit ginjal


kronik berada pada peningkatan risiko untuk kekurangan vitamin D karena
paparan sinar matahari berkurang, asupan makanan yang kaya vitamin D lebih
rendah, dan meningkat kandungan melanin yang diamati pada kulit populasi ini.
Dalam kelompok anak-anak dengan penyakit ginjal kronik dari 2005 hingga 2006,
prevalensi vitamin D defisiensi adalah 39% (n = 88) dengan rata-rata konsentrasi
D25 (OH) 21,8 ng / mL. Selain itu, pasien ini menunjukkan tantangan fisiologis
meningkatkan risiko defisiensi, termasuk penurunan produksi endogen,
menurunnya penyerapan usus, aktivitas enzim menurun untuk membentuk
vitamin D fungsional di ginjal, dengan proteinuria, peningkatan kehilangan kemih
calcidiol, dan protein pengikat vitamin D. Dalam pasien dengan penyakit ginjal
kronik, suplemen vitamin D tampaknya memiliki manfaat dalam mencegah atau

17
mengurangi hiperparatiroidisme yang terjadi sebagai bagian dari osteodistrofi
ginjal untuk memperbaiki tulang dan mineral gangguan. 30

Gangguan Pembentukan Kalsium dan Fosfor

Selama pertumbuhan, tuntutan terhadap mineralisasi tulang sangat tinggi,


rendahnya asupan kalsium dapat mengakibatkan rendahnya mineralisasi matriks
dEPOsit tulang baru dan disfungsi osteoblast. 37 Defisiensi kalsium akan
mempengaruhi pertumbuhan linier jika kandungan kalsium dalam tulang kurang
dari 50% kandungan normal.38 Kalsium membentuk ikatan kompleks dengan
fosfat yang dapat memberikan kekuatan pada tulang, sehingga defisiensi fosfor
dapat mengganggu pertumbuhan. Defisiensi fosfor yang berlangsung lama akan
menyebabkan osteomalasia dan dapat menyebabkan pelepasan kalsium dari
tulang.39

Pada PGK, biasanya terdapat komplikasi kronik yang meliputi anemia


akibat eritropoietin yang tidak adekuat, serta penyakit tulang, biasanya dengan
kadar kalsium rendah, fosfat tinggi dan hormon paratinoid tinggi. Peningkatan
hormon paratiroid (PTH) bisa terjadi akibat retensi fosfat, yang menyebabkan
turunnya kalsium terionisasi. Akibat klinisnya ialah osteoporosis akibat
hiperparatiroidisme, osteomalasia akibat kekurangan vitamin D dan kalsifikasi
ektopik.40 Masalah jantung akibat hipokalsemia ialah penurunan kontraktilitas
jantung. Kadar kalsium yang berlebihan meningkatkan penghambatan efek pada
natrium dalam otot skelet. Hal ini menimbulkan penurunan eksitabilitas baik pada
otot dan saraf, yang akhirnya menimbulkan flaksiditas. Hipokalsemia tersebut
berasal dari menurunnya penyerapan kalsium di usus akibat menurunnya kalsitriol
dan juga terkait dengan peningkatan fosfat atau hiperfosfat- emia pada pasien
PGK.41 Gagal ginjal merupakan penyebab tersering dari hiperfosfatemia.
Hiperfosfatemia dapat diakibatkan oleh kurangnya eksresi fosfat melalui urin,
asupan fosfat yang berlebihan, atau pelepasan fosfat dari sel. Peningkatan fosfat
semakin menurunkan kalsium dengan menyebabkan dEPOsit kalsium fosfat di
jaringan yang menstimulasi peningkatan hormon paratiroid dan menyebabkan
hiperparatiroid sekunder .42

18
Keseimbangan Kalsium43
Konsentrasi kalsium serum dijaga pada kadar normal oleh suatu sistem
terintegrasi dengan melibatkan Ca” sensing receptor (CaSR), hormon paratiroid
(PTH), vitamin D, dan kalsitonin. CaSR merupakan protein membrane yang
mengikat Ca” dan menentukan pengaturan sekresi PTH. PTH adalah hormon
polipeptida dengan 84 asam amino yang meningkatkan kadar kalsium dengan
merangsang reabsorbsi kalsium di ginjal, meningkatkan kecepatan resorpsi
kalsium di tulang, dan meningkatkan absorbsi kalsium di usus dengan
meningkatkan pembentukan 1,25 dihidroksi vitamin D (1,25-diOH-D). Vitamin
D3 (kolekalsiferol) disintesis di kulit dari 7- dehidrokolesterol dengan bantuan
pajanan sinar UV. Selanjutnya Vitamin D3 dihidroksilasi di hati menjadi 25-OH-
D (kalsidiol), yang kemudian dihidroksilasi lagi di ginjal menjadi 1,25- diOH-D
(kalsitriol). Fungsi utama vitamin D adalah menjaga keseimbangan kadar normal
kalsium dan fosfat (Fi) serum melalui kerja bentuk aktifnya pada organ target,
yaitu usus, tulang, ginjal, dan kelenjar paratiroid.
Kalsitonin adalah peptida dengan 32 asam amino yang disekresi oleh sel
parafollikular kelenjar tiroid. Hormon ini disekresi bila terjadi peningkatan kadar
kalsium serum. Efek biologis utamanya adalah menurunkan resorpsi tulang
dengan menghambat aktivitas osteoklas.
Hipokalsemia44
Pada umumnya gejala hipokalsemia baru terjadi setelah melampaui kadar
yang sangat rendah. Biasanya gejala belum muncul bila belum berada di bawah
1,8 mmol/L, bahkan pada beberapa pasien tetap asimtomatik pada kadar 1,2
mmol/L. Etiologi hipokalsemia bisa disebabkan oleh 1) hipoparatiroid kongenital
seperti neonatal transien, familial , sindrom digeorge 2)didapat seperti, autoimun,
pasca operasi, infiltrasi, 3)PTH resistens seperti pseudohipoparatiroid,
pseudopseudohipoparatiroid, deisiensi vitamin D 4)Lain-lain seperti defisiensi
kalsium hipomagnesium, hipofosfatemia termasuk gagal ginjal kronis
(osteodistrofi renalis), hypoproteinemia, obat-obatan (furosemid, kalsitonin, bahan
antineoplastik), hungry bones, penyakit kritis.
Hipokalsemia dapat asimtomatik dan secara tidak sengaja diketahui dari
pemeriksaan laboratorium untuk alasan lain atau timbul gejala kram otot yang

19
hilang-timbul, parestesia, tetani, spasme karpopedal, laringospasm, atau kejang.
Pada umumnya pemeriksaan fisis tidak ditemukan sesuatu yang berarti selain
peningkatan iritabilitas neuromuscular: hiperrefleksia, tanda Chvostek (kedutan
pada otot sekeliling mulut bila diketuk ringan di atas saraf fasialis) atau tanda
Trousseau (spasme karpopedal bila tekanan darah ditahan pada 20 mmHg di atas
sistolik selama 3 menit), dan kadang-kadang katarak atau gigi geligi yang tidak
normal.
Pada pemeriksaan fisis dapat saja ditemukan gambaran khas Albright
hereditary osteodystrophy (perawakan pendek, muka bulat, metakarpal pendek,
kalsifikasi subkutan; pesudohipoparatiroid tipe Ia, sindrom DiGeorge (muka khas,
kelainan jantung, tidak kelenjar thimus), atau gambaran rakitis (kaki melengkung
atau knock knees, metafisis tulang panjang melebar, daerah kostokondral
menonjol, dahi menonjol) pada kasus defisiensi vitamin D.
Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis hipokalsemia meliputi
pemeriksaan kalsium total dan ion serum, PTH, magnesium, fosfat, kreatinin,
fosfatase alkali, dan kalsium urin. Bila diduga terdapat penyakit tulang metabolik
dibutuhkan pula pemeriksaan kadar 25-OH- D dan 1,25-diOH-D.
Kalsium dan magnesium (Mg) cenderung saling bertolak belakang.
Hipokalsemia akan terjadi bila terjadi pemberian Mg tinggi. Keadaan ini biasanya
ditemukan pada bayi premature yang ibunya mendapat tokolitik mengandung Mg.
Hipomagnesemia berat juga akan berakibat hipokalsemia, karena Mg dibutuhkan
sebagai kofaktor dalam pelepasan PTH. Jadi kedua keadaan ekstrim Mg akan
berakibat hipokalsemia.
Pasien dengan hipokalsemia, hipokalsiuria, hiperfosfatemia, dan kadar
PTH rendah menderita hipoparatiroid yang disebabkan oleh defek primer pada
sintesis atau sekresi PTH. Kadar paratiroid meningkat ditemukan pada keadaan
hipokalsemia atau resistensi terhadap PTH (pseudohipoparatiroid) sebagai usaha
kompensasi.
Tatalaksana simtomatis pada hipokalsemia akut adalah pemberian
Kalsium Glukonat 10% (93 mg Ca elemental dalam 10 mL), 1-2 mL/kgBB dalam
10 menit. Meskipun kalsium klorida dapat digunakan tapi dapat mengakibatkan
asidosis metabolik. Bila gejala akut sudah mereda diberikan kalsium infus

20
intravena dengan dosis yang dapat menjaga kadar kalsium pada kadar normal
rendah sambil dicari etiologi hipokalsemia.
Terapi hipo- atau pseudohipoparatiroid menggunakan kalsitriol (20-60
ng/kgBB/har1) dan suplemen kalsium oral (30-75 mg Ca elemental/kgBB/hari).
Untuk memantau hiperkalsemia, hiperkalsiuria, dan nefrokalsinosis perlu
dilakukan pemeriksaan kalsium serum, keratinin, dan USG ginjal.

2.2.3 Gangguan Tiroid45,46

Dua pertiga katabolisme hormon terjadi di ginjal. Pada pasien dengan


gagal ginjal, pembersihan ginjal menurun bersamaan dengan aliran darah ginjal.
Seiring perkembangan penyakit ini, transportasi hormon tubular dan peritubular
menurun, menyebabkan disparitas dalam konsentrasi hormon serum. Berbagai
penelitian telah menunjukkan disfungsi tiroid pada pasien dengan PGK yang
meliputi konsentrasi rendah hormon tiroid yang beredar, perubahan metabolisme
hormon tiroid perifer dan perubahan ikatan hormon ke mengangkut protein, serta
pengurangan kadar hormon tiroid dan peningkatan cadangan iodida di kelenjar
tiroid.

PGK mempengaruhi kedua sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid dan


metabolisme hormon tiroid perifer. Uremia mempengaruhi fungsi dan ukuran
tiroid. Pasien uremia memiliki volume tiroid yang besar dibandingkan dengan
pasien dengan fungsi ginjal normal dan memiliki prevalensi gondok yang lebih
tinggi, terutama pada wanita. Nodul tiroid dan karsinoma tiroid lebih sering
terjadi pada pasien uremia daripada populasi umum.

PGK adalah penyakit yang melibatkan hilangnya fungsi ginjal secara


progresif dan ditandai dengan peningkatan serum senyawa nitrogen dan racun
lainnya yang dapat menyebabkan perubahan endokrin dan metabolisme. Secara
umum, beberapa tanda dan gejala pada pasien PGK dengan hipotiroidisme, seperti
asthenia, intoleransi terhadap rambut dingin, kering, rapuh, mengantuk,
keterlambatan dalam pertumbuhan, lesu dan hiperkolesterolemia. Sampai saat ini,
penelitian masih langka, terutama yang melibatkan anak-anak, namun semuanya
setuju bahwa insiden disfungsi tiroid pada pasien dengan PGK lebih besar

21
daripada populasi tanpa gangguan ginjal. Diperkirakan bahwa prevalensi
hipotiroidisme di antara anak-anak usia sekolah dan remaja berkisar dari 1
banding 500 (0,2%) hingga 1 banding 1000 (0,1%). Berdasarkan penelitian
Garrido-Magaña tahun 2009, didapatkan bahwa pasien anak-anak dengan PGK
memiliki insiden yang lebih tinggi hipotiroidisme (28%).

Gambar 2.2.3.1: Efek penyakit ginjal kronis pada aksis hipotalamus-hipofisis-


tiroid.47

Hormon tiroid berperan dalam aspek pertumbuhan dan perkembangan


seksual, kemungkinan dampak disfungsi tiroid pada anak-anak dengan PGK juga
harus diperhitungkan dalam penelitian di masa depan, karena pertumbuhan dan
perkembangan seksual sangat berpengaruh pada anak. Namun pada penelitian
Garrido-Magaña, tidak ditemukan hubungan antara variabel, yang mungkin
disebabkan faktor-faktor lain yang menunda pertumbuhan dan perkembangan.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tinggi untuk usia lebih mungkin
terpengaruh pada pasien dengan masalah tiroid, namun hasilnya secara statistik
tidak signifikan.

Konsentrasi TSH serum biasanya normal atau meningkat pada penyakit


ginjal kronis, tetapi responsnya terhadap hormon pelepasnya (TRH) umumnya
rendah. Respon TSH ke TRH tertunda karena penurunan klirens dan peningkatan

22
waktu paruh TSH. Temuan ini menunjukkan adanya gangguan intratiroidal dan
hipofisis terkait dengan uremia.

Konsentrasi free T3 dan T4 bebas biasanya normal atau rendah pada


pasien dengan penyakit ginjal kronis. Penurunan kadar T3 (low T3 syndrome)
adalah perubahan tiroid yang paling sering diamati pada pasien ini. Penurunan
konsentrasi T3 ini telah dikaitkan dengan penurunan sintesis perifer T3 dari T4.
Asidosis metabolik kronis yang terkait dengan penyakit ginjal kronis dapat
berkontribusi dalam efek ini. Walaupun konsentrasi T4 bebas dan total mungkin
normal atau sedikit berkurang, kadang-kadang T4 bebas mungkin tinggi karena
efek heparin yang digunakan dalam antikoagulasi selama hemodialisis pada PGK,
yang menghambat ikatan T4 dengan protein pengikatnya.

Pada PGK, ESS (euthyroid sick syndrome) ditandai dengan tidak adanya
peningkatan T3 total. Terlepas dari total klirens T3 rendah pada pasien PGK
akibat adanya redistribusi T3 dari vaskular ke ekstravaskular. Namun, konsentrasi
free T3 tinggi karena pengurangan dalam pembersihan ginjalnya. Kadar T3 yang
rendah dalam PGK mungkin disebabkan oleh iodothyronine deiodinase
(membantu sintesis T3 dari T4) yang dipengaruhi oleh puasa, asidosis metabolik
kronis, dan malnutrisi protein kronis yang terlihat pada PGK. Faktor-faktor
tersebut mempengaruhi ikatan protein dengan T3. Kadar T3 yang rendah dalam
PGK juga mungkin disebabkan oleh penurunan konversi perifer (ekstratiroid) dari
T4 ke T3 karena penurunan pembersihan sitokin inflamasi seperti TNF-alpha dan
IL-1. Sitokin ini menghambat ekspresi 15-deiodinase yang membantu mengubah
T4 ke T3. Kadar free T3 yang rendah telah terbukti sebagai prediktor independen
mortalitas pada pasien hemodialisis. Level T3 yang rendah dalam PGK mungkin
tidak dapat meningkatkan level TSH. Bukti eksperimental menunjukkan bahwa
dalam uremia, sensitivitas tirotrops meningkat. Ini mungkin menjelaskan
pengaturan ulang tirostat sentral yang mengindikasikan redahnya hormon tiroid
yang bersirkulasi dan akhirnya mempengaruhi penghambatan umpan balik
negatif. Dalam PGK, kompensasi fisiologis untuk T3/T4 rendah (dengan kadar
TSH normal) menyebabkan penurunan katabolisme protein yang meningkatkan
kelebihan nitrogen.

23
PGK erat kaitannya dengan kejadian hipotiroidisme primer. Prevalensi
hipotiroidisme primer terutama dalam bentuk subklinis, meningkat seiring
menurunnya GFR. Prevalensi hipotiroidisme subklinis dari 7% pada pasien
dengan eGFR > 90 ml/menit per 1,73 m2 yang meningkat menjadi 17,9% pada
pasien dengan GFR < 60 ml/menit per 1,73 m2.

Ginjal berkontribusi pada pembersihan yodium terutama melalui filtrasi


glomerulus. Konsentrasi yodium serum tinggi dalam penyakit ginjal kronis tetapi
tidak berkorelasi dengan tingkat gagal ginjal. Kelebihan yodium ini telah
dikaitkan dengan peningkatan prevalensi gondok dan hipotiroidisme yang
dilaporkan dalam penyakit ginjal kronis. Paparan yodium yang tinggi membuat
perkembangan hipotiroidisme pada pasien penyakit ginjal kronis. Beberapa
penulis telah melaporkan bahwa pembatasan diet iodium pada pasien uremia pada
hemodialisis dapat memperbaiki hipotiroidisme dengan menghindari perlunya
penggantian hormon dengan levotiroksin.

Adanya kesamaan tanda dan gejala, kadang-kadang sulit untuk


mengidentifikasi pasien PGK dengan hipotiroidisme. Sebagian besar penelitian
melibatkan populasi orang dewasa dan menunjukkan prevalensi yang berkisar
antara 5 dan 30%. Beberapa penelitian yang melibatkan anak-anak dengan PGK
dengan kejadian disfungsi tiroid yang berkisar antara 10 dan 55%. Berkenaan
dengan jenis kondisi, dalam kasus anak-anak dan orang dewasa, ESS paling
umum, diikuti oleh hipotiroidisme primer. Hipotiroidisme sekunder dan gondok
hanya dijelaskan pada orang dewasa.

24
Gambar 2.2.3.2: Penyakit ginjal kronis terkait dengan gangguan tiroid.47

2.2.4 Gangguan Sintesis Eritropoietin

Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi serta menjadi penyebab


kematian pada pasien PGK. Anemia dapat tejadi pada kondisi laju filtrasi
glomerulus yang rendah terutama pada PGK end stage.48

Eritroipoiesis48,49

Eritrosit beredar selama 100-120 hari di dalam tubuh manusia. Setelah


100-120 hari, sel darah merah ditelan oleh makrofag. Sekitar 1% dari 25 × 10 12
eritrosit orang dewasa dikeluarkan setiap harinya. Kemudian digantikan oleh
retikulosit yang berasal dari sumsum tulang merah. Oleh karena itu, konsentrasi
hemoglobin darah (Hb) dan kapasitas O2 tetap stabil di dalam tubuh. Untuk itu,
dibutuhkan glikoprotein erythropoietin (EPO) dalam proses eritropoiesis. Dalam
kondisi normal, konsentrasi hormon ini hanya – 10-11 mol/L dalam plasma darah.
Namun, jumlahnya dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada kondisi hipoksia.

Eritropoietin (EPO) adalah senyawa glikoprotein sebesar 30,4-kDa, tediri


atas tiga tetra-antennary N-linked glycan (Asn 24, Asn 38, dan Asn 83) dan satu
O-linked glycan (Ser 126). N-glikans sangat penting untuk sekresi, stabilitas
molekul, pengikatan reseptor, dan dalam bioaktifitas vivo dari EPO.

25
EPO diproduksi oleh liver pada fetus. Setelah lahir, ginjal menjadi tempat
utama pembentukan EPO. Fibroblas peritubular di korteks ginjal adalah tempat
utama sintesis EPO. Sebagai itu EPO juga diproduksi di hati, limpa, sumsum
tulang, dan otak dalam jumlah kecil. Konsentrasi EPO di dalam sirkulasi akan
meningkat apabila terjadi penurunan konsentrasi Hb pada anemia tanpa
komplikasi. Parameter penting adalah pO2, konsentrasi Hb, dan afinitas Hb-O2.

Gambar 2.2.4.1: Skema ertropoiesis49

Eritrosit adalah keturunan sel CD34 + hematopoietik, juga disebut 'CFU-


GEMMs' (Colony-Forming Units Generating Granulocytes, Erythrocytes,
Monocytes, And Megakaryocytes). Sumsum tulang manusia memiliki sekitar 5 ×
105 sel induk hematopoietik, dan menghasilkan sekitar 2 × 10 11 sel darah merah
setiap harinya. ‘BFU-Es’ (Burst-Forming Unit Erythroids) adalah sel paling awal
dari kompartemen eritrositik. 'CFU-Es' (Colony forming Unit Erythroids) dan
BFU-Es, mengekspresikan reseptor EPO yang berlimpah (EPO-R). CFU-Es
mengalami apoptosis tanpa EPO, sedangkan pada Kehadiran EPO, CFU-Es dan
keturunannya membelah beberapa kali menghasilkan 8-64 eritroblas dalam 7-8
hari. Setelah tingkat erythroblast ortokromatik (normoblast) tercapai, sel-sel tidak
membelah lagi tetapi mengeluarkan intinya dan menjadi retikulosit. Kira-kira 1-2
hari, retikulosit dikeluarkan ke sirkulasi kemudian retikulosit matang dan menjadi
eritrosit.

26
Gambar 2.2.4.2: Diferensiasi Eritroid yang dipengaruhi oleh EPO ginjal.53

Konsentrasi EPO meningkat secara eksponensial dengan penurunan


konsentrasi Hb darah. Nilai EPO dapat meningkat hingga 10.000 IU/L pada
anemia berat (nilai normal: ∼6–32 IU/L). EPO juga terstimulasi saat pO2 arteri
berkurang atau ketika afinitas O2 darah abnormal tinggi. Kadar EPO juga
meningkat saat mendaki gunung dalam waktu 1-2 hari setelah pendakian. Kadar
EPO juga bisa meningkat pada latihan fisik.

Mekanisme Gangguan Eritropoietin pada PGK48

Berbagai faktor berkontribusi terhadap anemia pada PGK. Di antara


faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia ginjal adalah kekurangan EPO.
Insufisiensi EPO mungkin disebabkan oleh penurunan kepekaan terhadap oksigen
dan penurunan produksi EPO di REPC (renal EPO-producing cells). Fibrosis
interstitial pada PGK yang disebabkan oleh kidney injury sebelumnya
menyebabkan hilangnya fungsi ginjal normal yang tidak dapat dikembalikan lagi
ke fungsi semula. Fibroblast atau pericyte (REPC) berdiferensiasi menjadi
myofibroblas pada PGK. Myofibroblas dapat memproduksi EPO namun hanya
dalam jumlah sedikit.

27
Gambar 2.2.4.3: Perbandingan pembentukan EPO pada ginjal normal dan PGK.52

Ketika terjadi hipoksia pada ginjal normal, pericytes menghasilkan EPO


dengan mengikat kompleks HIF2a/HIFb menjadi 5’HRE gen EPO, yang
mengarah ke transkripsi EPO. Pada PGK, pericytes berdiferensiasi ke
myofibroblast, diikuti oleh dEPOsisi masiv ECM dan fibrosis. Regulasi EPO 5’
dalam myofibroblast diblok, mengurangi kapasitas pengikatan HIF kompleks dan
transkripsi EPO.

Terapi Anemia pada PGK49

Pilihan terapi untuk anemia ginjal adalah pemberian erythropoiesis


stimulating agents (ESAs) dan tablet Fe, yang bertujuan untuk meningkatkan
kepekaan terhadap O2. Namun demikian, pemberian erythropoiesis stimulating
agents (ESAs) masih menjadi perdebatan karena dapat menyebabkan kematian,
gangguan kardiovaskular dan kanker. Pilihan terapi lain adalah dengan PHD
inhibitor, PHD inhibitor dapat mengaktifkan jalur HIF sehingga dapat
meningkatkan transkripsi gen EPO di REPCs.

2.4.5 Gangguan Disfungsi Seksual

Disfungsi pubertas merupakan menifestasi utama gangguan endokrin pada


anak. Anak-anak dengan PGK juga mengalami pubertas yang tertunda oleh

28
hipogonadisme hipergonadotropik dengan adanya peningkatan gonadotropin
bersamaan dengan kadar hormon gonadal rendah. Data menunjukkan bahwa
meskipun peningkatan pengetahuan tentang faktor-faktor yang menyebabkan
keterlambatan pematangan pada anak-anak dengan PGK, sekitar 50% terus
menunjukkan onset pubertas tertunda, dengan mereka yang membutuhkan
transplantasi ginjal terapi sebelum usia 13 menjadi yang paling terpengaruh.
Penyebab yang mendasari termasuk disregulasi hypothalamus-pituatary gonadal
axis ditunjukkan oleh gangguan sensitivitas terhadap gonadotropin dan
bioaktivitas luitenising hormon.50

Akan terjadi perubahan sekresi hormonal pada PGK. Dalam keadaan


normal pulsatile hypothalamic secretion of gonadotropin-releasing hormone
(GnRH) menstimulasi produksi hormon luteinizing (LH) dan hormon perangsang
folikel (FSH) oleh kelenjar pituitari. LH adalah pengatur utama produksi
testosteron. FSH, bersamaan dengan kadar testosteron jaringan tinggi,
merangsang spermatogenesis. Pada pasien PGK, sekresi LH tetap normal, tetapi
amplitude pelepasan pulsatile berkurang. LH tinggi, sebagian karena umpan balik
dari kadar testosteron rendah dan sebagian karena berkurangnya fungsi ginjal.
Selain perubahan sekresi ini, pensinyalan normal hormon lutenizing dihambat
dalam PGK. Hal ini tampaknya terjadi dalam tingkat proporsional keparahan
terhadap pengurangan laju filtrasi glomerulus (GFR).51

Kekurangan testosteron (atau hipogonadisme) sering terjadi pada pasien


dengan PGK dan khususnya pada mereka yang menjalani dialisis. Data
menunjukkan mungkin 40-60% dari pasien hemodialisis menunjukkan
hipogonadisme, dan angka yang lebih rendah sekitar 15-40% berlaku ke PGK
tahap 1-4.52

Ketidakteraturan menstruasi sering terjadi pada wanita premenopause dengan


PGK dengan variabilitas luas yang dilaporkan untuk pola siklus menstruasi.
Amenore (tidak adanya siklus menstruasi) yang sering didefinisikan sebagai
primer (tidak adanya siklus menstruasi pada usia 15 tahun) atau sekunder (tidak
adanya siklus menstruasi selama lebih dari 3 bulan dengan siklus menstruasi yang
sebelumnya teratur atau tidak adanya menstruasi selama lebih dari 6 bulan dengan

29
siklus menstruasi yang sebelumnya tidak teratur) terjadi pada 30-40% wanita
premenopause dengan PGK. Kelainan menstruasi pada wanita dengan PGK
adalah anovulasi yang menyebabkan amenore. Sekitar sepertiga dari
premenopause wanita dengan PGK melaporkan amenore dengan kurang dari 40%
melaporkan siklus menstruasi regular. Mulai dari pola menstruasi tidak teratur
yaitu spotting sesekali sampai sering perdarahan uterus disfungsional terjadi
hingga 30% dari premenopause wanita dengan PGK. Peningkatan kadar hormone
seperti prolaktin, endorfin, dan leptin pada PGK telah terlibat dalam
downregulation sekresi GnRH hipotalamus pada wanita dengan PGK. 53,54

30
BAB 3
KESIMPULAN
Penyakit ginjal kronik pada anak merupakan masalah kesehatan pada anak
yang cukup serius dengan prevalensi dan mortalitas yang semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Penegakan diagnosis penyakit ginjal kronik pada anak diketahui
dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Anamnesis yang didapatkan
berupa keluhan bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai atau seluruh tubuh
dan dapat disertai urin yang lebih keruh dan pekat dari biasanya. Pemeriksaan
fisik yang paling sering ditemukan berupa gejala edem, hematuria, oliguria,
hipertensi. Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan antara lain proteinuria
dan atau hematuria, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dll.

Penyakit ginjal kronik dapat bermanifestasi pada sistem lainnya pada


tubuh, termasuk sistem endokrin. Sistem endokrin yang terlibat berupa growth
hormone, eritropoetin, tiroid, paratiroid, gonad. Penyakit ginjal kronik dapat
menurunkan tingkat sensitifitas kerja growth hormone di perifer, sehingga
menyebabkan gagal tumbuh pada seorang anak. Mekanisme ini juga bersamaan
dengan terganggunya metabolisme insuline like growth factor yang normalnya
bekerja sama dengan GH untuk merangsang proliferasi dan hipertrofi kondrosit
pada lempeng pertumbuhan. Pada sistem eritropoetin pasien PGK, dapat terjadi
anemia.Penyakit ginjal kronik dapat mengganggu metabolisme fosfat akibat
terjadi retensi posfat sehingga terjadi peningkatan hormon paratiroid. Peningkatan
hormon paratiroid ini menyebabkan turunnya kalsium terionisasi, sehingga
memicu kondisi osteoporosis, osteomalasia (akibat kekurangan vitamin D) dan
kalsifikasi ektopik. Kondisi ini juga memicu kejadian hipokalsemia sehingga
mengganggu kontraktilitas otot jantung. PGK juga mempengaruhi tiroid dengan
kelainan berupa konsentrasi hormon tiroid yang rendah, perubahan metabolisme
hormon tiroid dan perubahan ikatan hormon dengan protein. Manifestasi lain yang
dapat muncul adalah pubertas yang tertunda akibat proses hipergonadotropik
hipogonadisme pada aksis hipotalamus pituitari gonad.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Husein A Latas. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC; 2002.


2. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri). Annual Report of Indonesian Renal
Registry. Pernefri. 2015:8:1-45.
3. Harambat, J., Van Stralen, K.J., Kim, J.J., Tizard, E.J. 2012. Epidemiology of chronic
kidney disease in children. Pediatr Nephrol, 27(3): 363–373.
4. NKF-KDIGO. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and
management of chronic kidney disease. ISN. 2013; 3(1):1–163.
5. Sekarwana, N., Pabuti, A. 2017. Penyakit Ginjal Kronik. In D. Rachmadi, N.
Sekarwana, D. Hilmanto, & H. Garna, ed. Buku Ajar Nefrologi Anak. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia: 609–624.
6. Chesney, R.W. The Idiopathic Nephrotic Syndrome. Curr Opin Pediatrics ; 1999.
11 : 158-61.
7. Donna L, W. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester.
Jakarta: EGC ; 2004
8. Hidayati EL. Gangguan Ginjal Pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta ; 2018.
9. Eknoyan G. The importance of early treatment of the anemia of chronic kidney
disease. European Renal Association-European Dialysis and Transplant Association.
2001. 45-49
10. Tong A, Lowe A, Sainsbury P, Craig JC. Experiences of parents who have children
with chronic kidney disease: a systematic review of qualitative studies. Pediatrics.
2008. 349-360
11. Wong CS, Mak RH. Chronic kidney disease. In: Kher KK, Schnaper HW, Makker
SP. Clinical Pediatric Nephrology 2nd edition. InformaUk Ltd. 2007. 339-352
12. Bahrun D. Hipertensisistemik.Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, penyunting. Buku ajar nefrologianak.Edisi 2. Jakarta. 2009: 242-290
13. Schmitt CP, Mehls O. Disorders of Bone Mineral Metabolism in Chronic Kidney
Disease. In: Geary, Schaefer. Comprehensive pediatric nephrology. Mosby, Inc.
2008. 773-792
14. Yap HK. Anaemia, renal osteodystrophy, growth failure in chronic renal failure. In:
Chiu MC, Yap HK, editors. Practical Paediatricnephrology. Medcom Ltd. 2005: 253-
261
15. Chan WKY. Fluid and electrolyte disorder. In: Chiu MC, Yap HK, editors.
Practical paediatricnephrology.Medcom Ltd. 2005: 59-79
16. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification.
17. Tse NKC, Lo LYL.Nutritional and dietary management in chronic kidney disease. In:
Chiu MC, Yap HK, editors. Practical paediatricnephrology.Medcom Ltd. 2005:
295-305
18. VanDeVoorde RG, Warady BA. Management of chronic kidney disease. In: Avner
ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N. Pediatric Nephrology 6th edition.
Springer. 2009. 1661-1692
19. Rachmadi D. Chronic Kidney Disease. Dalam: Lubis B dkk. Kumpulan Naskah
Lengkap PIT IV IKA Medan 2010. USU Press, Medan. 2010. 303-316
20. Wassner SJ. Nutrition in renal disease. In: Kher KK, Schnaper HW, Makker SP.
Clinical pediatric nephrology 2nd edition. Informa UK Ltd. 2007.451-458
21. Harmon WE.Pediatric Kidney Transplantation. In: Avner ED, Harmon WE, Niaudet
P, Yoshikawa N,editors. Pediatric Nephrology 6th edition.Springer.2009. 1867-1902
22. Kemp S. Growth Failure. Pediatric Endocrinology 2007 Nov 16 [cited; Available
from: http://www.emedicine.com/ped/topic902.htm
23. Miller D, MacDonald D. Management of Pediatric Patients With Chronic Kidney
Disease. Pediatric Nursing. 2006;32:128-34.
24. Nissel R, Lindberg A, Mehls O, Haffner D. Factors predicting the near-final
height in growth hormone treated children and adolescents with chronic kidney
disease. J Clin Endocrin Metab. 2008;1:1-14.
25. Nshoff BT, Cronin MJ, Reichert M, Haffner D, Wingen A-M, Blum WF, et al.
Reduced Concentration of Serum Growth Hormone (GH)-Binding Protein in Children
with Chronic Renal Failure: Correlation with GH Insensitivity. J Clin Endocrinol
Metab. 1997;82:1007–13.
26. To¨nshoff B, Cronin MJ, Reichert M, Haffner D, Wingen A-M, Blum WF, et al.
Reduced Concentration of Serum Growth Hormone (GH)-Binding Protein.
27. Powell DR, Durham SK, Liu F, Baker BK, Lee PDK, Watkins SL, et al. The
Insulin-Like Growth Factor Axis and Growth in Children with Chronic Renal
Failure: A Report of the Southwest Pediatric Nephrology Study Group. J Clin
Endocrinol Metab. 1998;83:1654–61.
28. Nissel R, Lindberg A, Mehls O, Haffner D. Factors predicting the near-final
height in growth hormone treated children and adolescents with chronic kidney
disease. J Clin Endocrin Metab. 2008;1:1-14.
29. Haq A, Wimalawansa SJ, Pludowski P, Anouti FA. Clinical practice guidelines for
vitamin D in the United Arab Emirates. J Steroid Biochem Mol Biol. 2016;175:4–11.
30. Grossman Z, Hadjipanayis A, Stiris T, Del Torso S, Mercier JC, Valiulis A, Shamir
R. Vitamin D in European children-statement from the European academy of
Paediatrics (EAP). Eur J Pediatr. 2017;176(6):829–31.
31. Saggese G, Vierucci F, Boot AM, Czech-Kowalska J, Weber G, Camargo CA Jr, et
al. Vitamin D in childhood and adolescence: an expert position statement. Eur J
Pediatr. 2015;174(5):565–76.
32. Golden NH, Abrams SA, Committee on Nutrition. Optimizing bone health in children
and adolescents. Pediatrics. 2014;134(4):e1229–43.
33. Okazaki R, Ozono K, Fukumoto S, Inoue D, Yamauchi M, Minagawa M, et al.
Assessment criteria for vitamin D deficiency/insufficiency in Japan: proposal by an
expert panel supported by the research program of intractable diseases, Ministry of
Health, Labour and Welfare, Japan, the Japanese Society for Bone and Mineral
Research and the Japan Endocrine Society [opinion]. J Bone Miner Metab.
2017;35(1):1–5.
34. Fu Y, Hu Y, Qin Z, Zhao Y, Yang Z, Li Y, et al. Association of serum 25-
hydroxyvitamin D status with bone mineral density in 0-7 year old children.
Oncotarget. 2016;7(49):80811–9.
35. Holick MF. Review of vitamin D deficiency. N Engl J Med. 2007;357:266-81.
36. European Food Safety Authority panel on dietetic products, nutrition, and allergies.
Scientific opinion on dietary reference values for vitamin D. EFSA J.
2016;14(10):4547.
37. Khairy SAM, Mattar MK, Refaat LAM, El-Sherbeny SA. Plasma micronutrient levels
of stunted Egyptian school age children. Kasr El Aini Med J 2010;16(1)
38. Prentice A, Bates CJ. An appraisal of the adequacy of dietary mineral intakes in
developing countries for bone growth and development in children. Nutr Res Rev
1993;6(1):51-69.
39. Mikhail WZA, Sabhy HM, El-sayed HH, Khairy SA, Salem HYHA, Samy MA.
Effect of nutritional status on growth pattern of stunted preschool children in Egypt.
Acad J Nutr 2013;2(1):1-9.
40. David R, David W, Bradley J. Dalam: Lecture Notes on Clinical Medicine (6th ed).
Jakarta: Erlangga, 2007.
41. (Harjanto DD, Saraswati MR, Suastika K. A Case of Severe Hypocalcemia Secondary
to Acquired Hypoparathyroidism. Journal of Internal medicine. 2008;9(2):134-43).
42. (O’Callaghan C. Gagal Ginjal Kronik dan Renal Bone Disease. In: At a Glance
Sistem Ginjal (3nd ed). Jakarta: Erlangga, 2009; p. 92-3).
43. Allgrove J. The parathyroid and disorders of calcium metabolism. Dalam: Brook
CGD, Clayton PE, Brown RS, penyunting. Clinical pediatric endocrinology. Edisi ke-
5. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2005. h. 254-79.
44. Caplin N. Calcium regulation and hypocalcemic disorders. Dalam: Moshang T Jr,
penyunting. Pediatric endocrinology: The requisites in pediatrics. Edisi ke-1.
Missouri: Elsevier Mosby; 2005. h. 217-25.
45. Mohamedali M, Maddika SR, Vyas A, Iyer V, Cheriyath P. Thyroid Disorders and
Chronic Kidney Disease. International Journal of Nephrology. 2014;1-6.
46. E. Garrido-Magaña1, S.E. Heyser-Ortiz, A. Aguilar-Kitsu, L. Mendoza-Guevara, A.
Ramírez-Rivera, E. Nishimura-Meguro, et al. Thyroid Dysfunction in Children with
Chronic Renal Failure. Nefrología. 2009;29(5):449-455.
47. Iglesias P, J D´ıez J. Thyroid dysfunction and kidney disease. European Journal of
Endocrinology. 2009;160;503–515.
48. Shih HM, Wu CJ, Lin SL. 2018. Physiology and pathophysiology of renal
erythropoietin-producing cells. Journal of the Formosan Medical Association (2018)
xx. 1-9.
49. Jelkmann, W. 2016. Erythropoietin. Front Horm Res. Basel, Karger, 2016;47:115–
127.
50. Franke D, Winkel S, Gellermann J, Querfeld U, Pape L, Ehrlich JH, et al. Growth and
maturation improvement in children on renal replacement therapy over the past 20
years. Pediatr Nephrol. (2013) 28:2043–51.
51. Palmer BF. Sexual dysfunction in men and women with chronic kidney disease and
end-stage kidney disease. Adv Ren Replace Ther (2003) 10:48–60.
52. Yilmaz MI, Sonmez A, Qureshi AR, Saglam M, Stenvinkel P, Yaman H, et al.
Endogenous testosterone, endothelial dysfunction, and cardiovascular events in men
with nondialysis chronic kidney disease. Clin J Am Soc Nephrol (2011) 6:1617–25.
53. Anantharaman P, Schmidt RJ. Sexual function in chronic kidney disease. Adv
Chronic Kidney Dis. 2007;14(2):119–25.
54. Matuszkiewicz-Rowinska J, Skorzewska K, Radowicki S, Niemczyk S, Sokalski A,
Przedlacki J, Puka J, Switalski M, Wardyn K, Grochowski J, et al. Endometrial
morphology and pituitary-gonadal axis dysfunction in women of reproductive age
undergoing chronic haemodialysis – a multicentre study. Nephrol Dial Transplant.
2004;19(8):2074–7.

Anda mungkin juga menyukai