Oleh :
Preseptor :
dr. Eka Agustia Rini, Sp.A(K)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunian-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang
berjudul “Gangguan Endokrin Pada Penyakit Ginjal Kronik”.
Referat ini merupakan salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Eka Agustia Rini, Sp.A(K) selaku
preseptor yang telah memberikan masukan dan bimbingan dalam pembuatan
referat ini. Penulis mengucapkan terima kasih juga kepada semua pihak yang
telah membantu menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk
menyempurnakan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... v
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. vI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah ......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................ 2
1.4 Manfaat Penulisan ...................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Ginjal Kronik pada Anak .............................................. 3
2.1.1 Epidemiologi ..................................................................... 3
2.1.2 Etiologi dan Faktor Resiko ................................................. 4
2.1.3 Klasifikasi ........................................................................ 4
2.1.4 Patogenesis ...................................................................... 5
2.1.5 Manifestasi Klinik ............................................................ 6
2.1.6 Diagnosis ......................................................................... 6
2.1.7 Tata Laksana .................................................................... 7
2.2 Gangguan Endokrin pada Penyakit Ginjal Kronik ..................... 10
2.2.1 Gangguan Pertumbuhan ................................................... 10
2.2.3 Gangguan Pembentukan Vitamin D, Kalsium
dan Fosfor ........................................................................ 12
2.2.2 Gangguan Fungsi Tiroid ................................................... 21
2.2.4 Gangguan Sintesis Eritropoietin ....................................... 25
2.2.5 Gangguan Disfungsi Seksual ............................................ 28
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.7.1: Rumus Holliday-Segar 8
iv
DAFTAR GAMBAR
:
:
v
DAFTAR SINGKATAN
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
Prevalensi dari PGK adalah 1,5 sampai tiga per 1.000.000 anak di bawah
usia 16 tahun. Suatu laporan dari ItaKid Project di Italia menyebutkan prevalensi
PGK sebanyak 74,7 dalam 1.000.000 dengan insidensi sekitar 12,1 per 1.000.000
pada populasi yang tergantung umur (rentang usia 8,8 - 13,9 tahun). Data
epidemiologi lain di Chili dan Swedia juga menyebutkan angka insidensi berkisar
antara 5,7-7,7 kasus dalam 1.000.000 populasi. North American Pediatric Renal
Transplant Cooperative Study (NAPRTCS) juga menyebutkan bahwa PGK
cenderung lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan perempuan
dengan distribusi ras meliputi 61% Kaukasian, 19% African-Amerika dan 14%
Hispanik.2,3
1
metabolik, gangguan sintesis eritropoietin, gangguan perdarahan, gangguan
kardiovaskular, gangguan neurologis, dan gangguan perkembangan seksual.
Penatalaksanaan PGK adalah untuk menangani faktor primer penyebab gangguan
ginjal, memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, mencegah atau memperlambat
penurunan fungsi ginjal, dan mengoptimalisasikan pertumbuhan dan
perkembangan anak.1
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Epidemiologi
Prevalensi Penyakit Ginjal Kronik pada anak (PGK) terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Tidak banyak dijumpai informasi mengenai
epidemiologi PGK pada anak. Hal ini mungkin disebabkan banyak kasus yang
asimtomatis menjadi tidak terdiagnosa atau tidak terlaporkan. 3
Prevalensi dari PGK adalah 1.5 sampai tiga per 1 000 000 anak di bawah
usia 16 tahun. Suatu laporan dari ItaKid Project di Italia menyebutkan prevalensi
PGK sebanyak 74.7 dalam 1 000 000 dengan insidensi sekitar 12.1 per 1 000 000
pada populasi yang tergantung umur (rentang usia 8.8- 13.9 tahun). Data
epidemiologi lain di Chili dan Swedia juga menyebutkan angka insidensi berkisar
antara 5.7-7.7 kasus dalam 1 000 000 populasi. North American Pediatric Renal
Transplant Cooperative Study (NAPRTCS) menyebutkan bahwa PGK cenderung
lebih mempengaruhi anak laki-laki dibandingkan perempuan dengan distribusi ras
meliputi 61% Kaukasian, 19% African-Amerika dan 14% Hispanik.2,3
3
2.1.2 Etiologi dan faktor risiko 5
Berbeda pada kasus PGK dewasa yang kebanyakan disebabkan oleh
diabetes dan hipertensi, kebanyakan kasus PGK pada anak merupakan kejadian
yang berasal dari kelainan kongenital. Laporan dari NAPRTCS menyebutkan
bahwa penyebab terbanyak dari PGK adalah kelainan kongenital yang disebut
juga Congenital Anomalies of The Kidney and Urinary Tract (CAKUT) yaitu
sekitar 48%, dan juga menjadi penyebab PGK terbanyak pada anak yang berusia
lebih muda. Pada anak berusia lebih dari 12 thn penyebab terbanyak PGK adalah
glomerulonefritis. Berbagai studi juga telah melaporkan glomerulonefritis kronik
sebagai menjadi penyebab utama PGK pada anak-anak di India, Asia Tenggara,
Amerika Latin, Karibia dan sub Saharan Afrika dengan prevalensi antara 30-60%,
yang mungkin berhubungan dengan prevalensi infeksi bakteri, virus dan parasit
yang banyak dijumpai di negara berkembang.
Beberapa faktor risiko terjadinya PGK pada anak antara lain adalah ;
riwayat keluarga dengan penyakit ginjal genetik/polikistik, bayi dengan berat
badan lahir rendah, anak dengan riwayat gagal ginjal akut, hipoplasia atau
displasia ginjal, obstruktif uropaty, vesicoureteral reflux (VUR), diabetes melitus,
riwayat Systemic Lupus Erythematosus (SLE), riwayat Henoch Schloen Purpura
(HSP), sindrom nefrotik, nefritis akut, hipertensi dan riwayat Hemolytic Uremic
Syndrome (HUS).
2.1.3 Klasifikasi4,5
The National Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative
(NKFK/DOQI) sebelumnya telah membuat klasifikasi PGK menjadi 5 stadium
yang ditentukan oleh nilai LFG dimana klasifikasi bertujuan sebagai pedoman
dalam hal identifikasi awal kerusakan ginjal, penatalaksanaan dan pencegahan
komplikasi. Klasifikasi PGK ini selanjutnya dikembangkan pada tahun 2012 oleh
Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) yang mengeluarkan
rekomendasi untuk mengklasifikasikan PGK berdasarkan penyebab, kategori LFG
dan kategori albuminuria dan berlaku untuk anak berusia lebih dari 2 tahun
NKF-KDOQI membagi PGK dalam lima stadium yaitu:
Stadium 1: kerusakan ginjal dengan LFG normal atau peningkatan LFG (≥90
mL/menit/1,73 m²)
4
Stadium 2: kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (60-89
mL/menit/1,73 m²)
Stadium 3: penurunan LFG sedang (30-59 mL/ menit/1,73 m²)
Stadium 4: penurunan LFG berat (15-29 mL/ menit/1,73 m²)
Stadium 5: gagal ginjal (LFG < 15 mL/menit/1,73 m² atau dialisis).
2.1.4 Patogenesis1
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah
proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder.
Kelainan ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler
glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilangnya
muatan negatif glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik
keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein yang sebelumnya
terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran
glomerulus dan akhirnya diekskresikan dalam urin.
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah
arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga
mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan
menurunnya tekanan perfusi aliran darah ke ginjal. Hal ini dideteksi lalu
mengaktifkan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS) yang akan
meningkatkan vasokonstriksi dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada
reseptor volume intravaskular yang akan merangsang peningkatan aldosteron
yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus distal dan merangsang pelepasan
hormon antidiuretik yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus.
Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma
berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat edema
5
2.1.5 Manifestasi Klinik
2.1.6 Diagnosis
2.1.6.1 Anamnesis1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di
kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai
jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin
berwarna kemerahan yang menandakan hematuria.
6
2.1.6.3 Pemeriksaan penunjang8
2.1.7 Tatalaksana
7
Penanganan dislipidemia pada anak dengan penyakit ginjal kronis dan
LDL puasa > 100 mg/dl, intervensi gaya hidup, seperti latihan sedang, reduksi
konsumsi lemak jenuh dan kolesterol, direkomendasikan untuk 6 bulan pertama.
Jika kadar LDL target tidak dicapai (<100 mg/dl), terapi statin direkomendasikan
untuk dimulai (dosis dewasa 10 mg per hari per oral). Kadar bikarbonat serum
perlu diawasi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 3, 4, dan 5 dan
pasien yang menjalani dialisis. Kadar bikarbonat serum perlu dipertahankan di
atas 22 mmol/L. Kebutuhan cairan, natrium dan kalium dapat dihitung
menggunakan metode Holliday-Segar, namun perlu diingat bahwa metode ini
tidak dapat digunakan untuk neonatus berusia < 14 hari. Perumusan kebutuhan
cairan holliday segar sebagai berikut:13,14,15
Tabel 2.1.7.1: Rumus Holliday-Segar13
Zat Kebutuhan per hari
Air 100 ml/kgBB untuk 10 kg pertama, 50
ml/kgBB untuk 10 kg kedua, dan 20
ml/kgBB untuk tiap kg berikutnya
Natrium 3 mmol/kgBB/hari
Kalium 2 mmol/kgBB/hari
Kebutuhan elektrolit harian untuk natrium dan kalium dapat dilihat dalam
tabel, sementara kebutuhan harian untuk kalsium adalah 0,3 mmol/kg BB per hari
dalam kondisi normal dan 1 mmol/kg BB per hari jika terdapat defisiensi
kalsium.15
Koreksi anemia dapat dilakukan melalui pemberian EPO (human
recombinant erythropoietin) dan suplemen besi. Dosis biasa EPO adalah 300
unit/kg, dibagi dalam tiga dosis. Jika kadar hemoglobin yang diinginkan telah
dicapai, frekuensi pemberian EPO dapat dikurangi menjadi dua kali atau bahkan
satu kali per minggu. Dosis pemeliharaan EPO bervariasi antara 60 dan 600
unit/kg/minggu. Kadar hemoglobin target yang disarankan oleh K/DOQI adalah
11-12 g/dl (hematokrit 33-36%). Pemeliharaan kadar hemoglobin ini perlu
dilakukan dengan pemberian besi yang cukup untuk mempertahankan TSAT
(transferring saturation) lebih dari 20% (kisaran 20-50%) dan kadar feritin serum
di atas 100 ng/ml (kisaran 100-800 ng/ml).11,13,16
8
Osteodistrofi ginjal perlu dicurigai ketika LFG turun di bawah 50
ml/menit/1,73 m2. Terapi vitamin D diindikasikan pada pasien dengan kadar 1,25
dihidroksikolekalsiferol di bawah kadar target menurut stadium penyakit ginjal
kronis. Ergokalsiferol perlu diberikan pada pasien dengan kadar 25-hidroksi-
vitamin D yang rendah. Pasien dengan kadar 25-hidroksi-vitamin D normal
namun dengan peningkatan kadar PTH dapat diberi 0,01-0,05 μg/kg BB/24 jam
kalsitriol. Kadar produk kalsium/fosfor juga perlu diawasi untuk mencegah
dEPOsisi garam kalsium fosfat di jaringan (kalsium < 2,4 mmol/L; fosfat < 1,8
mmol/L). 11,13,16
Pertumbuhan perlu dievaluasi secara teratur pada anak-anak dengan
penyakit ginjal kronis. Terapi rhGH diindikasikan pada anak dengan penyakit
ginjal kronis dengan hambatan pertumbuhan (< -2 SD). Dosis yang biasa
digunakan adalah 0.05 mg/kg/hari, secara subkutan selama 6 hari dalam satu
minggu. Status gizi pasien dengan penyakit ginjal kronis perlu diawasi secara
teratur dan mereka yang mengalami penurunan masukan diet atau malnutrisi
perlu menjalani modifikasi diet, konseling, dan edukasi atau terapi nutrisi
khusus.15,17
Ketika anak menunjukkan tanda-tanda akut dalam gagal ginjal kronis,
terapi pengganti ginjal diperlukan untuk menyelamatkan nyawanya. Dialisis
peritoneal dalam bentuk CAPD (continous ambulatory peritoneal dialysis) dapat
digunakan pada anak sebelum transplantasi ginjal dapat dilakukan.13,16,18
Tanda-tanda klinis yang perlu diperhatikan untuk segera memulai dialisis
adalah sindrom uremia yang nyata seperti muntah-muntah, kejang, penurunan
kesadaran hingga koma; kelebihan cairan yang menimbulkan gagal jantung,
edema paru dan hipertensi; dan asidosis yang tidak dapat dikoreksi dengan
pemberian bikarbonat intravena. Dialisis juga dapat mulai dilakukan bila
ditemukan kadar ureum darah ≥ 200-300 mg/dl atau kreatinin 15 mg/dl,
hiperkalemia ≥ 7 mEq/l, atau bikarbonat plasma ≤ 12 mEq/l.Hemodialisis dapat
dilakukan secara akut bila terjadi kelebihan cairan, seperti edema paru atau gagal
jantung kongestif, atau terjadi kondisi serius yang mengancam jiwa pasien, seperti
hiperkalemia, asidosis metabolik, hipo atau hipernatremia. 13,19,20
9
Penyakit ginjal kronis stadium 5 merupakan indikasi untuk transplantasi.
Meskipun demikian, tidak semua pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 5
dapat menjadi kandidat untuk transplantasi ginjal. Prosedur ini dapat terlalu
berisiko bagi sebagian karena komorbiditas yang telah diderita pasien atau
karena kontraindikasi tertentu, seperti infeksi kronis yang akan dieksaserbasi oleh
imunosupresi. Kontraindikasi absolut bagi transplantasi ginjal adalah keganasan
aktif, terutama jika telah bermetastasis. Infeksi HIV dan potensi rekurensi
penyakit ginjal juga perlu dipertimbangkan dalam rencana transplantasi. 21
10
dan berat badan setiap 3 – 4 bulan, bilamana tinggi badan kurang dari persentil
3 sesuai dengan umur dan jenis kelaminnya, maka gagal tumbuh. 23,24
Gagal tumbuh dapat terjadi dalam keadaan GH normal atau meningkat.
Hal ini menunjukkan bahwa pada penyakit ginjal kronik terjadi ketidakpekaan
terhadap GH di perifer, kemungkinan karena mekanisme molekuler
kurangnya densitas reseptor GH pada organ target dalam keadaan uremia, namun
sampai saat ini pengukuran reseptor GH pada jaringan manusia masih belum
memungkinkan, tetapi dapat diukur secara tidak langsung dengan mengukur
kadar serum GH binding protein.25 Pada manusia, afinitas yang tinggi GH
Binding Protein (GHBP) dalam sirkulasi dapat menggambarkan ekspresi
reseptor GH, karena berasal dari domain ekstraseluler reseptor GH dari
pembelahan proteolitik. Pada penelitian terhadap 126 anak dengan penyakit ginjal
kronik, 77% kadar GHBP rendah. 2 6
Insuline Like Growth Factor (IGF) dan kondrosit pada lempeng
pertumbuhan, berperan penting pada pertumbuhan linier. Hormon
pertumbuhan (GH) dan IGF berperan sinergis dalam merangsang
proliferasi dan hipertropfi kondrosit pada lempeng pertumbuhan sehingga
sangat berperan pada pertumbuhan linier. Pada anak dengan penyakit ginjal
kronik, terjadi banyak sekali kelainan pada aksis GH-IGF. Walaupun kadar
serum IGF pada anak ini dalam rentang normal, namun aktivitas
biologiknya rendah, hal ini karena berlebihnya unsaturated IGF yang terikat
pada binding site.26,27 Pengobatan dengan hormon pertumbuhan telah disepakati
secara umum untuk meningkatkan tinggi badan akhir pada anak prepubertas
yang mengalami penyakit ginjal kronik, namun pada anak usia pubertas efeknya
tidak jelas.28
Berdasarkan penelitian Powell dkk, GH rekombinan diebrikan pada 44
anak pendek usia 2 ½ - 11 tahun karena penyakit ginjal kronik, memberikan
hasil yang baik.27 Pengobatan yang diberikan dengan suntikan GH
rekombinan dengan dosis 0,35 mg/kgBB/minggu atau 0,05 mg/kgBB/hari,
tentunya juga dilakukan koreksi terhadap anemia dan asidosis metaboliknya
serta perbaikan nutrisinya. Pada penelitian Nissel R, dkk (2008), yang
11
melibatkan 193 anak laki-laki dan 47 anak perempuan, dengan pengobatan
hormon pertumbuhan.28
Biokimia Vitamin D
12
fosfor. Dalam keadaan aktif ini, vitamin D memiliki efek endokrin dalam
mengatur kalsium serum dan metabolisme tulang. Konversi ke 1,25 (OH) 2 D
juga terjadi di berbagai jaringan seperti otak, payudara, dan kulit, dan dalam
monosit dan makrofag. Produksi lokal 1,25 (OH) 2 D mengatur proliferasi sel,
diferensiasi, dan apoptosis serta meningkatkan kekebalan tubuh berfungsi di
lokasi-lokasi tersebut. Melalui mekanisme ini, vitamin D mempengaruhi sel
secara langsung melalui autokrin dan fungsi parakrin yang berada di bawah
kendali otonom. VDR ditemukan di mana saja mulai dari nukleus sampai semua
jaringan dan sel sistem kekebalan tubuh, VDR dapat merespons terhadap 1,25
(OH) 2 D yang diaktifkan untuk ekspresi gen di hampir semua situs di dalam
tubuh.30,32
13
Gambar 2.2.2.1: Sintesis dan metabolisme vitamin D serta regulasi kalsium,
fosfor, dan metabolisme tulang.35
14
reabsorpsi kalsium dan tubulus sekresi fosfat tubular, dan merangsang enzim
ginjal 1-alpha-hydroxylase untuk menghasilkan 1,25 (OH) 2 D. Namun, seperti
disebutkan di atas, pasien dengan penyakit ginjal kronik tidak dapat memproduksi
jumlah 1,25 (OH) 2 D yang memadai. Pasien-pasien ini mungkin juga memiliki
gizi awal yang buruk yang berhubungan dengan asupan yang kurang karena
penurunan nafsu makan, serta pembatasan diet nutrisi spesifik, seperti fosfor,
menyebabkan substrat yang tidak memadai dikonversi menjadi kalsitriol.32,33
15
Pada 2005, Hollis et al menunjukkan korelasi terbalik antara total 25OHD
dan tingkat PTH98, pada penurunan konsentrasi 25OHD menghasilkan
peningkatan level PTH yang tiba-tiba. Nilai serum 25OHD serum 20ng / ml
didefinisikan sebagai ambang kekurangan. Studi yang dilakukan pada bayi dan
anak-anak tidak mengonfirmasi titik batas ini dan nilai 20ng / ml tidak dapat
dianggap sebagai konsentrasi serum 25OHD yang menunjukkan kekurangan
vitamin pada populasi anak-anak. Atapattu et al menunjukkan bahwa kekurangan
pada vitamin D berdasarkan ketinggian PTH paling baik didefinisikan oleh nilai
serum 25OHD <13,6 ng / ml pada anak-anak dan remaja.29
Pengobatan
16
sudah cukup untuk menyediakan semuanya dari manfaat kesehatan nonskeletal
potensial terkait dengan vitamin D, khususnya yang memaksimalkan fungsi otot. 30
Hanya 5% hingga 13% anak yang mendapat ASI yang pernah mendapat
rekomendasi 200 IU per hari sebelumnya. Anak yang ditemukan kekurangan
vitamin D harus diobati dengan baik 50.000 IU per minggu atau 2000 IU per hari
selama 6 minggu untuk mencapai kadar serum 25 (OH) D 30 ng / mL. Endocrine
Society saat ini tidak merekomendasikan suplemen hanya untuk pencegahan jatuh,
pencegahan penyakit kardiovaskular atau kematian, atau peningkatan kualitas
hidup. Pasien yang memakai suplemen vitamin D untuk kasus defisiensi,
pemeriksaan rutin pengujian tory untuk memantau level 25 (OH) D tidak
direkomendasikan selama dosis pemberian sampai batas yang disarankan. 36
17
mengurangi hiperparatiroidisme yang terjadi sebagai bagian dari osteodistrofi
ginjal untuk memperbaiki tulang dan mineral gangguan. 30
18
Keseimbangan Kalsium43
Konsentrasi kalsium serum dijaga pada kadar normal oleh suatu sistem
terintegrasi dengan melibatkan Ca” sensing receptor (CaSR), hormon paratiroid
(PTH), vitamin D, dan kalsitonin. CaSR merupakan protein membrane yang
mengikat Ca” dan menentukan pengaturan sekresi PTH. PTH adalah hormon
polipeptida dengan 84 asam amino yang meningkatkan kadar kalsium dengan
merangsang reabsorbsi kalsium di ginjal, meningkatkan kecepatan resorpsi
kalsium di tulang, dan meningkatkan absorbsi kalsium di usus dengan
meningkatkan pembentukan 1,25 dihidroksi vitamin D (1,25-diOH-D). Vitamin
D3 (kolekalsiferol) disintesis di kulit dari 7- dehidrokolesterol dengan bantuan
pajanan sinar UV. Selanjutnya Vitamin D3 dihidroksilasi di hati menjadi 25-OH-
D (kalsidiol), yang kemudian dihidroksilasi lagi di ginjal menjadi 1,25- diOH-D
(kalsitriol). Fungsi utama vitamin D adalah menjaga keseimbangan kadar normal
kalsium dan fosfat (Fi) serum melalui kerja bentuk aktifnya pada organ target,
yaitu usus, tulang, ginjal, dan kelenjar paratiroid.
Kalsitonin adalah peptida dengan 32 asam amino yang disekresi oleh sel
parafollikular kelenjar tiroid. Hormon ini disekresi bila terjadi peningkatan kadar
kalsium serum. Efek biologis utamanya adalah menurunkan resorpsi tulang
dengan menghambat aktivitas osteoklas.
Hipokalsemia44
Pada umumnya gejala hipokalsemia baru terjadi setelah melampaui kadar
yang sangat rendah. Biasanya gejala belum muncul bila belum berada di bawah
1,8 mmol/L, bahkan pada beberapa pasien tetap asimtomatik pada kadar 1,2
mmol/L. Etiologi hipokalsemia bisa disebabkan oleh 1) hipoparatiroid kongenital
seperti neonatal transien, familial , sindrom digeorge 2)didapat seperti, autoimun,
pasca operasi, infiltrasi, 3)PTH resistens seperti pseudohipoparatiroid,
pseudopseudohipoparatiroid, deisiensi vitamin D 4)Lain-lain seperti defisiensi
kalsium hipomagnesium, hipofosfatemia termasuk gagal ginjal kronis
(osteodistrofi renalis), hypoproteinemia, obat-obatan (furosemid, kalsitonin, bahan
antineoplastik), hungry bones, penyakit kritis.
Hipokalsemia dapat asimtomatik dan secara tidak sengaja diketahui dari
pemeriksaan laboratorium untuk alasan lain atau timbul gejala kram otot yang
19
hilang-timbul, parestesia, tetani, spasme karpopedal, laringospasm, atau kejang.
Pada umumnya pemeriksaan fisis tidak ditemukan sesuatu yang berarti selain
peningkatan iritabilitas neuromuscular: hiperrefleksia, tanda Chvostek (kedutan
pada otot sekeliling mulut bila diketuk ringan di atas saraf fasialis) atau tanda
Trousseau (spasme karpopedal bila tekanan darah ditahan pada 20 mmHg di atas
sistolik selama 3 menit), dan kadang-kadang katarak atau gigi geligi yang tidak
normal.
Pada pemeriksaan fisis dapat saja ditemukan gambaran khas Albright
hereditary osteodystrophy (perawakan pendek, muka bulat, metakarpal pendek,
kalsifikasi subkutan; pesudohipoparatiroid tipe Ia, sindrom DiGeorge (muka khas,
kelainan jantung, tidak kelenjar thimus), atau gambaran rakitis (kaki melengkung
atau knock knees, metafisis tulang panjang melebar, daerah kostokondral
menonjol, dahi menonjol) pada kasus defisiensi vitamin D.
Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis hipokalsemia meliputi
pemeriksaan kalsium total dan ion serum, PTH, magnesium, fosfat, kreatinin,
fosfatase alkali, dan kalsium urin. Bila diduga terdapat penyakit tulang metabolik
dibutuhkan pula pemeriksaan kadar 25-OH- D dan 1,25-diOH-D.
Kalsium dan magnesium (Mg) cenderung saling bertolak belakang.
Hipokalsemia akan terjadi bila terjadi pemberian Mg tinggi. Keadaan ini biasanya
ditemukan pada bayi premature yang ibunya mendapat tokolitik mengandung Mg.
Hipomagnesemia berat juga akan berakibat hipokalsemia, karena Mg dibutuhkan
sebagai kofaktor dalam pelepasan PTH. Jadi kedua keadaan ekstrim Mg akan
berakibat hipokalsemia.
Pasien dengan hipokalsemia, hipokalsiuria, hiperfosfatemia, dan kadar
PTH rendah menderita hipoparatiroid yang disebabkan oleh defek primer pada
sintesis atau sekresi PTH. Kadar paratiroid meningkat ditemukan pada keadaan
hipokalsemia atau resistensi terhadap PTH (pseudohipoparatiroid) sebagai usaha
kompensasi.
Tatalaksana simtomatis pada hipokalsemia akut adalah pemberian
Kalsium Glukonat 10% (93 mg Ca elemental dalam 10 mL), 1-2 mL/kgBB dalam
10 menit. Meskipun kalsium klorida dapat digunakan tapi dapat mengakibatkan
asidosis metabolik. Bila gejala akut sudah mereda diberikan kalsium infus
20
intravena dengan dosis yang dapat menjaga kadar kalsium pada kadar normal
rendah sambil dicari etiologi hipokalsemia.
Terapi hipo- atau pseudohipoparatiroid menggunakan kalsitriol (20-60
ng/kgBB/har1) dan suplemen kalsium oral (30-75 mg Ca elemental/kgBB/hari).
Untuk memantau hiperkalsemia, hiperkalsiuria, dan nefrokalsinosis perlu
dilakukan pemeriksaan kalsium serum, keratinin, dan USG ginjal.
21
daripada populasi tanpa gangguan ginjal. Diperkirakan bahwa prevalensi
hipotiroidisme di antara anak-anak usia sekolah dan remaja berkisar dari 1
banding 500 (0,2%) hingga 1 banding 1000 (0,1%). Berdasarkan penelitian
Garrido-Magaña tahun 2009, didapatkan bahwa pasien anak-anak dengan PGK
memiliki insiden yang lebih tinggi hipotiroidisme (28%).
22
waktu paruh TSH. Temuan ini menunjukkan adanya gangguan intratiroidal dan
hipofisis terkait dengan uremia.
Pada PGK, ESS (euthyroid sick syndrome) ditandai dengan tidak adanya
peningkatan T3 total. Terlepas dari total klirens T3 rendah pada pasien PGK
akibat adanya redistribusi T3 dari vaskular ke ekstravaskular. Namun, konsentrasi
free T3 tinggi karena pengurangan dalam pembersihan ginjalnya. Kadar T3 yang
rendah dalam PGK mungkin disebabkan oleh iodothyronine deiodinase
(membantu sintesis T3 dari T4) yang dipengaruhi oleh puasa, asidosis metabolik
kronis, dan malnutrisi protein kronis yang terlihat pada PGK. Faktor-faktor
tersebut mempengaruhi ikatan protein dengan T3. Kadar T3 yang rendah dalam
PGK juga mungkin disebabkan oleh penurunan konversi perifer (ekstratiroid) dari
T4 ke T3 karena penurunan pembersihan sitokin inflamasi seperti TNF-alpha dan
IL-1. Sitokin ini menghambat ekspresi 15-deiodinase yang membantu mengubah
T4 ke T3. Kadar free T3 yang rendah telah terbukti sebagai prediktor independen
mortalitas pada pasien hemodialisis. Level T3 yang rendah dalam PGK mungkin
tidak dapat meningkatkan level TSH. Bukti eksperimental menunjukkan bahwa
dalam uremia, sensitivitas tirotrops meningkat. Ini mungkin menjelaskan
pengaturan ulang tirostat sentral yang mengindikasikan redahnya hormon tiroid
yang bersirkulasi dan akhirnya mempengaruhi penghambatan umpan balik
negatif. Dalam PGK, kompensasi fisiologis untuk T3/T4 rendah (dengan kadar
TSH normal) menyebabkan penurunan katabolisme protein yang meningkatkan
kelebihan nitrogen.
23
PGK erat kaitannya dengan kejadian hipotiroidisme primer. Prevalensi
hipotiroidisme primer terutama dalam bentuk subklinis, meningkat seiring
menurunnya GFR. Prevalensi hipotiroidisme subklinis dari 7% pada pasien
dengan eGFR > 90 ml/menit per 1,73 m2 yang meningkat menjadi 17,9% pada
pasien dengan GFR < 60 ml/menit per 1,73 m2.
24
Gambar 2.2.3.2: Penyakit ginjal kronis terkait dengan gangguan tiroid.47
Eritroipoiesis48,49
25
EPO diproduksi oleh liver pada fetus. Setelah lahir, ginjal menjadi tempat
utama pembentukan EPO. Fibroblas peritubular di korteks ginjal adalah tempat
utama sintesis EPO. Sebagai itu EPO juga diproduksi di hati, limpa, sumsum
tulang, dan otak dalam jumlah kecil. Konsentrasi EPO di dalam sirkulasi akan
meningkat apabila terjadi penurunan konsentrasi Hb pada anemia tanpa
komplikasi. Parameter penting adalah pO2, konsentrasi Hb, dan afinitas Hb-O2.
26
Gambar 2.2.4.2: Diferensiasi Eritroid yang dipengaruhi oleh EPO ginjal.53
27
Gambar 2.2.4.3: Perbandingan pembentukan EPO pada ginjal normal dan PGK.52
28
hipogonadisme hipergonadotropik dengan adanya peningkatan gonadotropin
bersamaan dengan kadar hormon gonadal rendah. Data menunjukkan bahwa
meskipun peningkatan pengetahuan tentang faktor-faktor yang menyebabkan
keterlambatan pematangan pada anak-anak dengan PGK, sekitar 50% terus
menunjukkan onset pubertas tertunda, dengan mereka yang membutuhkan
transplantasi ginjal terapi sebelum usia 13 menjadi yang paling terpengaruh.
Penyebab yang mendasari termasuk disregulasi hypothalamus-pituatary gonadal
axis ditunjukkan oleh gangguan sensitivitas terhadap gonadotropin dan
bioaktivitas luitenising hormon.50
29
siklus menstruasi yang sebelumnya tidak teratur) terjadi pada 30-40% wanita
premenopause dengan PGK. Kelainan menstruasi pada wanita dengan PGK
adalah anovulasi yang menyebabkan amenore. Sekitar sepertiga dari
premenopause wanita dengan PGK melaporkan amenore dengan kurang dari 40%
melaporkan siklus menstruasi regular. Mulai dari pola menstruasi tidak teratur
yaitu spotting sesekali sampai sering perdarahan uterus disfungsional terjadi
hingga 30% dari premenopause wanita dengan PGK. Peningkatan kadar hormone
seperti prolaktin, endorfin, dan leptin pada PGK telah terlibat dalam
downregulation sekresi GnRH hipotalamus pada wanita dengan PGK. 53,54
30
BAB 3
KESIMPULAN
Penyakit ginjal kronik pada anak merupakan masalah kesehatan pada anak
yang cukup serius dengan prevalensi dan mortalitas yang semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Penegakan diagnosis penyakit ginjal kronik pada anak diketahui
dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Anamnesis yang didapatkan
berupa keluhan bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai atau seluruh tubuh
dan dapat disertai urin yang lebih keruh dan pekat dari biasanya. Pemeriksaan
fisik yang paling sering ditemukan berupa gejala edem, hematuria, oliguria,
hipertensi. Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan antara lain proteinuria
dan atau hematuria, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dll.
31
DAFTAR PUSTAKA