Anda di halaman 1dari 18

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kualitas Layanan

2.1.1 Kualitas

Menurut Goetsch dan Davis (1994) yang mendefinisikan kualitas sabagai

kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, sumberdaya manusia,

proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. (Fandy, dkk,

2011).

Menurut Garvin (1998), perspektif kualitas bisa diklasifikasi dalam lima

kelompok yaitu, (Fandy, dkk 2011) :

1. Transcendental Approach

Dalam ancangan ini, kualitas dipandang sebagai innate excellence, yaitu

sesuatu yang bisa dirasakan atau diketahui, namun sukar didefinisikan,

dirumuskan atau dioperasionalisasikan. Perspektif ini menegaskan bahwa

orang hanya bisa belajar memehami kualitas melalui pengalaman yang

didapatkan dari eksposur berulang kali (repeated exposure).

2. Product-Based Approach

Ancangan ini mengamsusikan bahwa kualitas merupakan karakteristik

atau artibut obyektif yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur.

Perbedaan dalam kualitas mencerminkan perbedaaan dalam jumlah

beberapa unsur atau artibut yang dimiliki produk.


3. User-Based Approach

Ancangan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada

orang yang menilainya sehingga produk yang paling memuaskan

preferensi seseorang merupakan produk yang berkualitas paling tinggi.

4. Manufacturing-Based Approach

Perspektif ini bersifat supply-based dan lebih berfokus pada praktik-pratik

perekayasaan dan pemanufacturan, serta mendefinisikan kualitas sebagai

kesesuaian atau kecocokan dengan persyaratan. Ancangan semacam ini

menekankan penyesuaian spesifikasi produksi dan operasi yang disusun

secara internal, yang seringkali dipicu oleh keinginan untuk meningkatkan

produktifitas dan menekan biaya.

5. Value-Based Approach

Ancangan ini memandang kualitas dari aspek nilai dan harga. Dengan

mempertimbangkan trade-off antara kinerja dan harga, kualitas

didefenisikan sebagai affordable excellence. Kualitas dalam perspektif ini

bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi

belum tentu produk yang paling bernilai, akan tetapi yang paling bernilai

adalah barang atau jasa yang paling tepat dibeli.

2.1.2 Kualitas dan Produktivitas

Pruduktivitas adalah poin penting dari eksitensi industri. Produktivitas juga

merupakan parameter organisasi dalam mengukur kinerja dari sumber daya nya,

baik sumber daya manusia maupun unit bisnis dari organisasi. Mengambil contoh

kasus sebuah perusahaan yang bergerak di bidang IT dan telah memiliki puluhan
cabang di berbagai negara, dan kemudian memutuskan untuk menutup beberapa

kantor cabang, pada kondisi ini, produktivitas adalah salah satu pertimbangan

bahkan menjadi kunci utama pertimbangan dalam pemeliharaan cabang manakah

yang harus ditutup.

Ada benang merah antara upaya meningkatan kualitas dan produktivitas.

Dengan adanya perbaikan kualitas, maka akan berdampak terhadap 2 hal, yakni

peningkatan penjualan dan pengurangan biaya. Peningkatan penjualan sudah

pasti, karena akan tercipta persepsi yang baik tentang kualitas produk dan layanan

jasa yang ditawarkan. Kualitas yang baik akan meminimumkan jumlah barang

yang rework (harus dikerjakan kembali) dan harus dibuang karena sudah tidak

bisa dibentuk. Hal ini berdampak kepada utilitas jam kerja tenaga kerja. Waktu

yang terbuang untuk rework dapat digunakan untuk menghasilkan produk baru,

sehingga terbentuk produktivitas dan tentunya mengurangi biaya (Hendy, 2015).

Kualitas juga dapat mengurangi biaya. Crosby (1979) menyatakan bahwa

biaya untuk mewujudkan produk berkualitas jauh lebih kecil dibandingkan biaya

yang ditimbulkan apabila perusahaan gagal memenuhi standar kualitas (Fandy,

dkk, 2011). Adanya penekanan biaya dikarenakan kemampuan mewujudkan

proses dan produk berkualitas akan menghasilkan keunggulan kompetitif berupa

peningkatan profitabilitas dan pertumbuhan bisnis. Kedua faktor ini dapat

memberikan sarana dan dana bagi investasi lebih lanjut dalam hal penyempurnaan

kualitas, misalnya untuk keperluan riset dan pengembangan secara ringkas,

manfaat kualitas superior meliputi (Fandy, dkk, 2011) :

1. Loyalitas pelanggan lebih besar

2. Pangsa pasar lebih besar


3. Harga saham lebih tinggi

4. Harga jual produk/jasa lebih tinggi

5. Produktivitas lebih besar

Semua manfaat di atas pada giliran nya berkontribusi pada peningkatan

daya saing berkesinambungan bagi organisasi yang mengupayakan pemenuhan

kualitas yang bersifat customer-driven. Dalam jangka panjang perusahaan seperti

survive dan menghasilkan laba.

2.1.3 Konsep Kualitas Jasa

Lovelock (1994) mengidentifikasi delapan kategori unsur layanan

pelengkapan pada setiap penawaran produk yang disebutnya “The Flower of

Service” (Fandy, dkk, 2011) :

1. Informasi, misalnya jalan/arah menuju tempat produsen, jadwal atau

skedul penyampaian produk, harga, intruksi mengenai cara

menggunakan produk inti atau layanan pelengkap, peringatan,

persyaratan penjualan/layanan, pemberitahuan tentang adanya

perubahan, dokumentasi, konfirmasi reservasi, rekapitulasi rekening,

tanda terima, dan tiket.

2. Konsultasi, seperti pemberian saran, auditing, konseling pribadi, dan

konsultasi manajemen/teknis.

3. Order Taking, meliputi aplikasi, jasa berbasis kualifikasi, order entry,

dan reservasi.

4. Hospitality, di antaranya sambutan, food and beveragas, toilet dan

kamar kecil, perlengkapan kamar mandi, fasilitas menunggu,

transportasi, dan jasa keamanan.


5. Caretaking, terdiri dari perhatian dan perlindungan atas arang milik

pelanggan yang mereka bawa serta perhatian dan perlindungan atas

barang yang dibeli pelanggan.

6. Exception, meliputi permintaan khusus sebelum penyampaian produk,

menangani komplain/pujian/saran/, penyelesaian masalah (jaminan dan

garansi) atas kegagalan pemakain produk dan restitusi (pengambilan

uang, kopensasi atau ganti rugi dan sebagiannya).

7. Billing, meliputi laporan rekening periodik, faktur untuk transaksi

individual, laporan verbal mengenai jumlah rekening, mesing yang

memperlihatkan jumlah rekening, dan self-billing.

8. Pembayaran, dalam bentuk pembayaran swalayan oleh pelanggan dan

pengurangan otomatis atas rekening pelanggan.

Dengan demikian, kualitas jasa merupakan isu strategis bagi setiap

organisai pemasaran, terlepas dari bentuk produk yang dihasilkan.

2.1.4 Persepsi Terhadap Kualitas Jasa

Menurut Kotler ualitas jasa harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan

berakhir dengan kepuasan pelanggan serta persepsi positif terhadap kualitas jasa

(Fandy, dkk, 2011). Sebagai pihak yang membeli dan mengkosumsi jasa,

pelanggan (dan bukan penyedia jasa) yang menilai tingkat kulitas jasa sebuah

perusahaan. Hal ini menyebabkan pelanggan menggunakan isyarat/petunjuk

intristik dan isyarat ekstrinsik sebagai acuan/pedoman dalam mengevaluasi

kualitas jasa. Isyarat intrinsik berkaitan dengan output dan penyampaian sebuah

jasa. Pelanggan akan mengandalkan isytarat semacam ini apabila berada di tempat

pembilaan atau jika isyarat intrinsik bersangkutan merupakan search quality dan
memiliki nilai prediktik tinggi. Sedangkan yang dimaksud dengan isyarat

ekstrinsik adalah unsur-unsur yang merupakan perlengkap bagi sebuah jasa.

Isyarat ini dipergunaka dalam mengevaluasi jasa jika proses menilai isyarat

ekstrinsik membutuhkan banyak waktu dan usaha, dan apabila isyarat ekstrinsik

bersangkutan merupakan experience quality dan credence quality. Isyarat

ekstrinsik juga dipergunakan sebagai indikator kualitas jasa manakala tidak

tersedia informasi isyarat intrinsik yang memadai. Sementara itu, partisipasi dan

interaksi pelanggan dalam proses penyampaian jasa juga ikut menetukan

kompleksitas evaluasi kualitas jasa. Konsenkuensinya, jasa yang sama bisa dinilai

secara berlainan oleh konsumen yang berbeda.

2.1.5 Harapan/Ekspetaksi Pelanggan

Dalam konteks kualitas produk (barang dan jasa) dan kepuasan pelanggan,

telah dicapai konsensus bahwa harapan pelanggan (customer expectation)

memainkan peran penting sebagai standar perbandingan dalam mengevaluasi

kualitas maupu kepuasan. Menurut Olson dan Dover (dikutip dalam Zeithaml, et

al, 1993), harapan/ekspetaksi pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum

mencoba atau membeli suatu produk, yang dijadikan standar atau acuan dalam

menilai kinerja produk bersangkutan. Berdasarkan kajian dalam terhadap literatur

kualitas jasa dan kepuasan pelanggan, Santos dan Boote (2003)

mengidentifikasikan 56 definisi ekspektasi pelanggan. Mereka mengklasifikasi

definisi-definisi tersebut ke dalam sembilan kelompok yang disusun dalam sebuah

hirarki ekspektasi, dari yang tertinggi hingga terendah (Fandy, dkk, 2011):

1. Ideal Expectation, yaitu tingkat kinerja optimum atau terbaik yang

diharapkan dapat diterima konsumen.


2. Normative (should) Expectation (persuasion-based standard), yaitu

tingkat kinerja yang dirasakan konsumen seharusnya mereka dapatkan dari

produk yang dikonsumsi (Parasuraman, et al, 1985).

3. Desired Expectation, yaitu tingkat kinerja yang diinginkan pelanggan

dapat diberikan produk dan jasa tertentu (Swan dan Trawick, 1980).

4. Predicted (will) Expetation (experience-based norms), yaitu tingkat

kinerja yang diantisipasi atau diperkirakan konsumen akan diterimanya,

berdasarkan semua informasi yang diketahuinya.

5. Deserved (want) Expecatation (equitable expecation), yaitu evaluasi

subyektif konsumen terhadap investasi produknya (Miller, 1997).

6. Adequate Expectation, yaitu tingkat ekspektasi batas bawah (lower level)

dalam ambang batas kinerja produk atau jasa yang bisa diterima pelanggan

(Zeithaml, et al, 1993).

7. Minimum Tolerable Expectation, yaitu tingkat kinerja terendah yang bisa

diterima atau ditolerir konsumen (Miller, 1997).

8. Intolerable Exoectation, yakni serangkaian ekspetasi menyangkut tingkat

kinerja yang tidak bakal ditolerir atau diterima pelanggan (Buttle, 1998).

9. Worst Imaginable Expectation, yaitu skenario terburuk mengenai kinerja

produk yang diketahui dan atau terbentuk nya melalui kontak dengan

media seperti TV, radio, koran atau internet.

2.1.6 Dimensi Kualitas

Untuk dapat menghasilkan produk yang berkualitas sehingga mampu

memenuhi keinginan konsumen, maka perlu mengenali dimensi kualitas. Hal ini
dibutuhkan agar produk yang dihasilkan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh

konsumen. Dimensi kualitas terdiri dari (Hana, dkk, 2015):

1. Kinerja (Performance) merupakan spesifikasi utama yang berkaitan

dengan fungsi produk dan seringkali menjadi pertimbangan konsumen

dalam membuat keputusan membeli atau tidak produk tersebut.

2. Feature, merupakan karakteristik produk yang mampu memeberikan

keunggulan dari produk sejenis.

3. Keandalan (Reliability), merupakan aspek produk berkaitan dengan

profitbalitas untuk menjalankan fungsi sesuai dengan spesifikasinya

dalam periode waktu tertentu.

4. Kesesuaian dengan spesifikasi (Conformance To Specifications)

merupakan aspek produk yang memperlihatkan kesesuain antara

spesifikasi dengan kebutuhan konsumen.

5. Daya tahan (Durability), merupakan ukuran kuantitatif (umur) produk,

menunjukkan sampai kapan produk dapat digunakan konsumen.

6. Kemampuan pelayanan (servicebility), merupakan ciri produk berkaitan

dengan kecepatan, keramahan/kesopanan, kompetensi, kemudahan serta

akurasi dalam perbaikan.

7. Keindahan produk terkait dengan bagaimana bentuk fisik produk

tersebut. Keindahan produk merupakan daya tarik utama konsumen

untuk melakukan pembelian terhadap suatu produk.

8. Kualitas yang dirasakan (Perceived Quality), bersifat subyektif,

berkaitan dengan citra dan reputasi produk serta tanggumg jawab

perusahaan terhadapnya.
Melalui serangkain penelitian terhadap berbagai macam industri jasa

Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) berhasil mengidentifikasi sepuluh

dimensi pokok kulitas jasa (Fandy, dkk, 2011):

1. Reabilitas, meliputi dua aspek utama, yaitu konsistensi kinerja dan sifat

dapat dipercaya.

2. Responsivitas atau daya tangkap, yaitu kesedian dan kesiapan para

karyawan untuk membantu para pelanggan dan menyampaikan jasa

secara cepat.

3. Kompetensi, yaitu penguasaan keterampilan dan pengetahuan yang

dibutuhkan agar dapat menyampaikan jasa sesuai dengan kebutuhan

pelanggan.

4. Akses, meliputi kemudahan untuk dihubungi atau ditemui dan

kemudahan kontak.

5. Kesopanan, meliputi sikap santun, respek, atensi, dan keramahan para

karyawan kontak (seperti resepsionis, operator telepon, bell person,

teller bank, dan lain-lain).

6. Komunikasi, arinya menyampaikan informasi kepada para pelanggan

dalam bahasa yang mudah mereka pahami, serta selalu mendengarkan

saran dan keluhan pelanggan.

7. Kredibilitas, yaitu sifat jujut dan dapat dipercaya. Kredibilitas mencakup

nama perusahaan, reputasi perusahaan, karakter pribadi karyawan

kontak, dan interaksi dengan pelanggan (hard selling versus soft selling

approach).
8. Keamanan, yaitu bebas dari bahaya, resiko atau keraguan-keraguan.

Termasuk di dalamnya adalah keamanan secra fisik (physical safety),

keamanan finansial (financial security), privasi, dan kerahasiaan

(confidentially).

9. Kemampuan memahami pelanggan, yaitu berupaya memahami

pelanggan dan kebutuhan spesifik mereka, memberikan perhatian

individual dan mengenal pelanggan reguler.

10. Bukti Fisik (Tangibles), meliputi penampilan fasilitas fisik, peralatan,

personil, dan bahan-bahan komunikasi perusahaan (seperti kartu bisnis,

kop surat, dan lain-lain).

Dalam riset selanjutnya, Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1988)

menemukan adanya overlapping di antara beberapa dimensi diatas. Oleh sebab

itu, mereka menyederhanakan sepeuluh dimensi tersebut menjadi lima dimensi

pokok diantaranya (Fandy, dkk, 2011):

1. Reliabilitas (Reliability), berkaitan dengan kemampuan perusahaan

untuk memberikan layanan yang akurat sejak pertama kali tanpa

membuat kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan

waktu yang disepakati

2. Daya Tangkap (Responsiveness), berkenaan dengan kesedian dan

kemampuan para karyawan untuk membantu para pelanggan dan

merespon permintaan mereka, serta menginformasikan kapan jasa akan

diberikan dan kemudian memeberikan jasa secara cepat.


3. Jaminan (Assurance), yakni prilaku para karyawan mampuh

menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan da

perusahaan bisa menciptakan rasa aman bagi para pelanggannya.

4. Empati (Empathy), berarti perusahaan memahami masalah para

pelanggannya dan bertindak demi kepentingan pelanggan, serta

memeberikan perhatian personal kepada para pelanggan dan memiliki

jam operasi yang nyaman.

5. Bukti Fisik (Tangibles), berkenaan dengan daya tarik fasilitas fisik,

perlengkapan, dan material yang digunakan perusahaan, serta

penampilan karyawan.

2.2 Kepuasan Pelanggan / Konsumen

2.2.1 Kepuasan Pelanggan / Konsumen

Berdasarkan kajian literatur, data wawancara kelompok, dan wawancara

personal, Giese dan Cote (2000) mengajukan rerangka definisional untuk

menyusun definisi untuk konteks tertentu. Rerangka tersebut bukanlah definisi

generik untuk istilah kepuasan. Menurut mereka, definisi kepuasan tidak bisa

lepas dari chameleon effects, artinya interpretasi terhadap sebuah definisi sangat

bervariasi antar individu dan antar situasi. Berdasarkan rerangka tersebut,

kepuasan pelanggan adalah (Fandy, dkk, 2011):

1. Rangkuman berbagai intensitas respon afektif. Tipe respon afektif dan

tingkat intensitas yang mungkin dialami pelanggan harus didefenisikan

secara eksplisit oleh peneliti, tergantung pada konteks penelitiannya.


2. Dalam waktu penentuan spesifik dan durasi terbatas. Peneliti harus

menentukan waktu penentuan yang paling relevan dengan masalah

penelitiannya dan mengidentifikasi kemungkinan durasi respon tersebut.

3. Yang ditujukan bagi aspek penting dalam pemerolehan dan atau

konsumsi produk. Penelitian harus mengidentifikasi fokus riset

berdasarkan pertanyaan riset atau masalah manajerial yang dihadapi.

Rerangka definisional yang dikemukakan Giese dan Cote (2000) ini sangat

bermanfaat sebagai pedoman atau panduan bagi para peneliti yang ingin

melakukan studi kepuasan pelanggan.

2.2.2 Model Kepuasan Pelanggan

Secara garis besar, riset-riset kepuasan pelanggan didasarkan pada tiga

kategori utama yaitu (Fandy, dkk, 2011):

1. Contrast theory berarsumsi bahwa konsumen akan membandingkan

kinerja produk aktual dengan ekspektasi pra-pembelian.

2. Assimilation theory menyatakan bahwa evaluasi purnabeli merupan

fungsi positif dan ekspektasi konsumen pra-pembeli

3. Assimilation-contrast theory, berpegangan bahwa terjadinya efek

asimilasi (assimilation-effect) atau efek kontras (contrast effect)

merupakan fungsi dari tingkat kesenjangan antara kinerja yang

diharapkan dan kinerja aktual.

Sementara itu, Stauss dan Neuhaus (1997) mempertanyakan asumsi

mayoritas operasionalitas dan pengukuran kepuasan pelanggan yang beranggapan

bahwa para pelanggan yang mengungkapan tingkat kepuasan yang sma bakal
memiliki pengalaman yang secara kualitifitas identik dan mempunyai minat

berperilaku yang sama (misalnya, loyalitas pembelian ulang).

Berdasarkan model kepuasan kualitatif yang mereka kembangkan, Stauss

dan Neuhauss (1997) membedakan tiga tipe kepuasan dan dua tipe ketidakpuasan

berdasarkan kombinasi antara emosi-emosi spesifik terhadap penyedia jasa,

ekspetasi menyangkut kapabilitas kinerja masa depan pemasok jasa, dan minat

berprilaku untuk memilih lagi penyedia jasa bersangkutan. Tipe-tipe kepuasan dan

ketidakpuasan tersebut adalah (Fandy, dkk, 2011):

1. Demanding Customer Satisfaction, tipe ini merupakan tipe kepuasan

yang aktif. Relasi dengan penyedia jasa diwarnai emosi positif, terutama

optimisme dan kepercayaan

2. Stable Customer Satisfacation, pelanggan dalam tipe ini memiliki

tingkat aspirasi pasif dan prilaku yang demanding. Emosi positifnya

terhadap penyedia jasa bercirikan steadiness dan trust dalam relasi yang

terbina saat ini.

3. Resigned Customer Satisfaction, pelanggan dalam tipe ini juga merasa

puas. Namun kepuasannya bukan disebabkan oleh pemenuhan ekspetasi,

namun lebih didasarkan pada kesan bahwa tidak realistis untuk berharap

lebih.

4. Stable Customer Dissatisfacation, pelanggan dalam tipe ini tidak puas

terhadap kinerja penyedia jasa, namun mereka cenderung tidak

melakukan apa-apa.
5. Demanding Customer Dissatisfaction, tipe ini bercirikan tingkat aspirasi

aktif dan prilaku demanding. Pada tingkat emosi, ketidakpuasannya

menimbulkan protes dan oposisi.

2.2.3 Pengukuran Kepuasan Pelanggan

Ada pengukuran beberapa metode yang bisa di pergunakan setiap

perusahaan untuk mengukur dan menentukan kepuasan pelanggannya den

pesaing. Kotler, et al. (2004) mengidentifikasi empat metode untuk mengukur

kepuasan pelanggan sistem keluhan dan saran, ghost shopping, lost customer

analysis, dan survei kepuasan pelanggan (Fandy, dkk, 2011):

1. Sistem Keluhan Dan Saran

Setiap organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer-oriented)

perlu menyediakan kesempatan dan akses yang mudah dan nyaman bagi

para pelanggannya guna menyampaikan saran, kritik, pendapat, dan

keluhan meraka. Media yang digunakan bisa berupa kotak saran, kartu

komentar, saluran telepon khusus bebas pulsa, websites, dan lain-lain.

2. Ghost Shopping (Mystery Shopping)

Pada metoda ini dilakukan dengan memeperkerjakan beberapa orang

ghost shoppers untuk berperan atau berpura-pura sebagi pelanggan

potensial produk perusahaan dan pesaing.

3. Lost Customer Analysis

Perusahaan menghubungi para pelanggan yang telah berhenti memebeli

atau yang telah pindah pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu

terjadi dan supaya dapat mengambil kebijakan perbaikan/penyempurnaan

selanjutnya.
4. Survei Kepuasan Pelanggan

Sebagian besar riset kepuasan pelanggan dilakukan dengan menggunakan

metode survei. Menurut survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan

dan balikan secara langsung dari pelanggan dan juga memberikan kesan

positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para

pelanggannya. Pengukuran kepuasan pelanggan melalui metode ini dapat

dilakukan dengan berbagai cara di antaranya (Fandy, dkk, 2011):

a. Directly Reported Satisfaction

Pengukuran dilakukan menggunakan item-item spesifik yang

menanyakan langsung tingkat kepuasan yang dirasakan pelanggan.

b. Derived Satisfacation

Setidaknya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menyangkut dua

hal utama, yaitu tingkat harapan atau ekspetasi pelanggan terhadap

kinerja produk atau perusahaan pada artibut-artibut relevan, dan

persepsi pelanggan terhadap pelanggan terhadap kinerja aktual

produk atau perusahaan bersangkutan (perceveid performance).

c. Problem Analysis

Dalam teknik ini, responden diminta mengungkapkan masalah-

masalah yang mereka hadapai berkaitan dengan produkatau jasa

perusahaan saran-saran perbaikan.

d. Importance-Performance Analysis

Dalam teknik ini, responden diminta untuk menilai tingkat

kepentingan berbagai artibut relevan dan tingkat kinerja perusahaan

(perceived performance) pada masing-masing artibut tersebut.


2.3 Servqual

2.3.1 Model Servqual

Model kualitas jasa yang paling populer dan hingga kini banyak dijadikan

acuan dalam riset manajemen dan pemasaran jasa adalah model servqual

(singkatan dari service quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml,

dan Berry (Fandy, dkk, 2011) dalam serangkaian penelitian mereka terhadap

enam sektor jasa : reparasi peralatan rumah tangga, kartu kredit, asuransi,

sambungan telepon interlokal, perbankan ritel, dan pialang seruritas. Ancangan ini

menegaskan bahwa bila kinerja pada suatu atribut (attribute performance)

meningkatkan lebih besar dari pada harapan (expectations) atas atribut

bersangkutan, maka persepsi terhadap kualitas jasa akan positif dan sebalik nya.

Metode servqual telah banyak digunakan dalam berbagai bidang antaranya

layanan kesehatan, layanan pendidikan, dan layanan perbankan. Hal tersebut

disebabkan adanya beberapa kelebihan yang terdapat dalam metode servqual yaitu

telah terbukti berlaku (valid) untuk semua situasi pelayanan, dapat diandalkan,

instrumennya terdiri dari berbgai dimensi sehingga memudahkan pelanggan dan

manajemen dalam melakukan pengisian, memiliki prosedur analisis standar yang

sehingga memudahkan dalam interpretasi.

Dalam paper tersebut secara rinci lima gap kualitas jasa yang berpotensial

menjadi sumber masalah kualitas jasa. Model yang dinamakan servqual (service

quality) ini dikembangkan dengan maksud untuk membantu para menejer dalam

menganalisa sumber masalah kualitas dan memahami cara-cara memperbaiki

kuliatas jasa. Dalam metode servqual, menurut Parasuraman et al dalm Sangeetha


(2011) terdapat lima jenis gap yang menjadi penyebab ketidaksesuaian kualitas

jasa sebagai mana dalam model berikut ini (Hana, dkk, 2015):

Word of mouth Personal needs


Past experience
communication

Expected service
consumer

GAP 5
Perceived service

marketer GAP 4
Service delivery External comunications
(including pre and post to the consumer
contast)

GAP 3
Translation of
GAP 1 pereceptions into service
quality specification

GAP 2
Management perceptions
of the consumer
expectations

Gambar 2.1 Model SERVQUAL

(Sumber: Parasurman dalam Sangeetha, 2011)

Lima gap utama yang terangkum dalam gambar 2.1 meliputi (Hana, dkk,2015):

1. Gap 1, perbedaan antara persepsi manajemen dengan harapan konsumen.

2. Gap 2, perbedaan antara persepsi manajemen dengan spesifikasi kualitas

jasa yang tersedia.


3. Gap 3, perbedaan antara spesifikasi kualitas jasa dengan pelayanan yang

diterima.

4. Gap 4, perbedaan antara pelayanan yang diterima dengan komunikasi

eksternal

5. Gap 5, perbedaan antara pelayanan yang diterima dengan yang

diharapkan

2.3.2 Pengukuran Servqual

Pengukuran kulitas jasa dalam model SERVQUAL didasarkan pada skala

multi-item yang dirancang untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan, serta

gap di antara keduanya pada lima dimensi utma kulitas jasa (reliabilitas, daya

tanggap, jaminan, empati, dan bukti fisik. Evaluasi kulitas jasa menggunakan

model SERVQUAL mencakup perhitungan perbedaan di antara nilai yang

diberikan para pelanggan untuk setiap pasang pernyataan berkaitan dengan

harapan dan persepsi. Skor SERVQUAL setiap pasang pernyataan, bagi masing-

masing pelanggan dapat dihitung berdasarkan rumus berikut (Zeithaml, et al

1990).

Skor SERVQUAL = Skor Persepsi - Skor Harapan

Anda mungkin juga menyukai