Anda di halaman 1dari 47

BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN 31 OKTOBER 2019


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

ABORTUS INKOMPLIT

DISUSUN OLEH:
Angga Nugraha H, S.Ked
111 2017 2123

PEMBIMBING:
Kompol dr. Irwan Sp.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
RS BHAYANGKARA
2019
Halaman Pengesahan

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Angga Nugraha, S.Ked


Stambuk : 111 2017 2123
Judul Laporan Kasus : Abortus Inkompli

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Kepanitraan Klinik pada Bagian


Obstetri& Ginekologi Fakultas Kedokteran UMI

Makassar, 31 Oktober 2019

Mengetahui,

Pembimbing Dokter Muda

Kompol. dr. Irwan , Sp.OG Angga Nugraha Hamid, S.Ked

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ 1


HALAMAN PENGESAHAN ....................................... ....................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 2
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 2
1.2. Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
BAB II. LAPORAN KASUS ............................................................................. 4
2.1. Identitas Pasien.................................................................................4
2.2. Anamnesis ........................................................................................4
2.3. Pemeriksaan Fisik ............................................................................5
2.4. Status Ginekologi .............................................................................7
2.5. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................8
2.6. Resume .............................................................................................9
2.7. Diagnosis Kerja ............................................................................... 9
2.8. Penatalaksanaan .............................................................................. 9
2.9. Prognosis ....................................................................................... 10
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 11
BAB IV. PENUTUP .......................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil yang
dilaporkan dapat hidup di luar kandungan mempunyai berat badan 297 gram
waktu lahir. Akan tetapi karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat
badan dibawah 500 gram dapat bertahan hidup, maka abortus ditentukan sebagai
pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari
20 minggu. Abortus yang berlangsung tanpa tindakan mekanis atau medis disebut
sebagai abortus spontan. Abortus buatan adalah pengakhiran kehamilan sebelum
20 minggu akibat dilakukan suatu tindakan mekanis tertentu. Abortus terapeutik
ialah abortus buatan yang dilakukan atas indikasi medik.Berdasarkan aspek
klinisnya, abortus spontan dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu abortus
imminens (threatened abortion), abortus insipiens (inevitable abortion), abortus
inkomplit, abortus komplit, missed abortion, dan abortus habitualis (recurrent
abortion), abortus servikalis, abortus infeksiosus, dan abortus septik.1,2
Prevalensi abortus meningkat dengan bertambahnya usia, dimana pada
wanita berusia20 tahun adalah 12%, dan pada wanita yang berusia diatas 45 tahun
ialah 50%.4 Delapan puluh persen abortus terjadi pada 12 minggu pertama
kehamilan.2Penelitian-penelitian terdahulu menyebutkan bahwa angka kejadian
abortus sangat tinggi. Sebuah penelitian pada tahun 1993 memperkirakan total
kejadian abortus di Indonesia berkisar antara 750.000 dan dapat mencapai 1 juta
per tahun dengan rasio 18 abortus per 100 konsepsi. Angka tersebut mencakup
abortus spontan maupun buatan.
Abortus inkomplit merupakan salah satu bentuk dari abortus spontan
maupun sebagai komplikasi dari abortus provokatus kriminalis atau medisinalis,
dimana terjadi pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20
minggu. Insiden abortus inkomplit sendiri belum diketahui secara pasti namun
yang penting diketahui adalah sekitar 60 % dari wanita hamil yang mengalami

2
abortus inkomplit memerlukan perawatan rumah sakit akibat perdarahan yang
terjadi.2,3,4
Abortus inkomplit memiliki komplikasi yang dapat mengancam
keselamatan ibu karena adanya perdarahan masif yang bisa menimbulkan
kematian akibat adanya syok hipovolemik apabila keadaan ini tidak mendapatkan
penanganan yang cepat dan tepat. Seorang ibu hamil yang mengalami abortus
inkomplit dapat mengalami guncangan psikis. Komplikasi yang terjadi tidak
hanya pada ibu namun juga pada keluarganya, terutama pada keluarga yang
sangat menginginkan anak.
Oleh karenanya, mengenal lebih dekat tentang abortus inkomplit menjadi
penting bagi para pelayan kesehatan agar mampu menegakkan diagnosis
kemudian memberikan penatalaksanaan yang sesuai dan akurat, serta mencegah
komplikasi.

2.2. Tujuan Penulisan


a. Mengetahui prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan kasus abortus inkomplit.
b. Mengkaji ketepatan penegakan diagnosis dan penatalaksanaan abortus
inkomplit.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. H
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 35 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. A.Mappaodang
Masuk RS tanggal : 16 Oktober 2019

2.2. ANAMNESIS (SUBJEKTIF)


Keluhan Utama :
Perdarahan dari jalan lahir

Riwayat PenyakitSekarang :
Ny. H, 35 thn G3P2A0 MRS dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir disertai
nyeri perut bagian bawah, dialami sejak 1 SMRS. Darah yang keluar menggumpal dan
cukup banyak. Riwayat trauma (-) Riwayat keluhan yang sama (+) saat kehamilan
pertama. Riwayat ANC (-). Riwayat pengobatan sebelumnya (-) Riwayat HT (-), Riwayat
asma (-), Riwayat DM (-), Riwayat KB (-)

Riwayat Penyakit Dahulu :


1. Riwayat hipertensi tidak ada.
2. Riwayat diabetes melitus tidak ada.
3. Riwayat penyakit pada kandungan disangkal.

4
Riwayat Penyakit Keluarga :
1. Ibu pasien memiliki riwayat hipertensi.
2. Ayah pasien tidak memiliki riwayat penyakit.

Riwayat Menstruasi :
Menarche sejak usia 12 tahun, siklus haid teratur 28 hari, lama haid 4 -5
hari dengan ganti pembalut 2 kali dalam sehari. HPHT pada tanggal 27 Agustus
2019, TP pada tanggal 02 Juli 2020.

Riwayat Pernikahan :
Usia pertama kali menikah adalah 25 tahun, menikah sebanyak 1 kali, dan
sudah menikah selama kurang lebih 10 tahun.

Riwayat Kontrasepsi:
Pasien tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi.

Riwayat Obstetri :
1. 2014/ Laki-laki/aterm/RS/2900 gr
2. 2016/ laki-laki/aterm/rs/3000 gr
3. 2019/Kehamilan sekarang

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis :
 Keadaan umum : Sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Tanda-TandaVital :
 Tekanan darah : 120/70mmHg posisi berbaring pada lengan kanan.
 Frekuensi nadi : 78x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup.
 Pernafasan : 20 x/menit, regular.
 Suhu : 36,5 oC (per axiller).
Status Gizi :

5
 Berat badan : 51kg
 Tinggi badan : 157 cm
 BMI : 20,69 kg/m2 (normal)
Kepala dan Leher :
Mata :
 Kelopak : Edema (-/-)
 Konjungtiva : Anemis (-/-)
 Sklera : Ikterik (-/-)
 Pupil : Bulat, isokor 3mm/3mm, refleks cahaya(+/+)
Telinga :
Pendengaran dalam batas normal.
Hidung :
Pernafasan cuping hidung (-).
Mulut :
Sianosis (-), perdarahan pada gusi (-).
Leher :
Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), JVP dalam batas normal.
Thorax :
Paru :
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan dada simetris, retraksi ICS (-/-).
Palpasi : Fremitus raba (D=S), nyeri (-/-).
Perkusi : Suara ketok sonor (+/+), nyeri ketok (-/-).
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba.
Perkusi : Batas kanan parasternal line dextra.
Batas kiri ICS V 2 jari lateral MCL sinistra.
Auskultasi : S1 S2 tunggal regular, bising jantung (-).

Abdomen :

6
Inspeksi : Linea nigra (-), striae albicans (-), luka bekas operasi (-).
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-).
Perkusi : Timpani.
Auskultasi : BU (+) normal.
Ektremitas :
Ekstremitas Atas :
Akral dingin, edema (-/-).
Ekstremitas Bawah
Akral dingin, edema (-/-), varises (-/-), refleks patella (+/+) normal.

2.4. STATUS GINEKOLOGI


Pemeriksaan luar abdomen :
 Inspeksi : Linea nigra (-), striae albicans (-), luka bekas operasi (-).
 Palpasi : Fundus uteri tidak teraba, nyeri tekan (+).

Pemeriksaan Dalam Vagina :


 Vulva/vagina tidak ada kelainan.
 Portio : tebal lunak, OUE/OUI terbuka teraba jaringan.
 Pengeluaran : darah (+).

7
2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Nilai Normal
Leukosit 9,96 4.000-10.000/mm3
Hb 10,2 11.0 – 16.0 gr/dl
Trombosit 207.000 150.000 – 450.000/mm3
HbsAg (-)
Anti HIV Non Reaktif

 Pemeriksaan USG
Uterus tampak anteflexi masih tampak sisa jaringan
Kesan : Abortus Inkomplit

2.6. RESUME
Ny. H, 35 thn G2P0A1 MRS dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir
disertai nyeri perut bagian bawah, dialami sejak 1 hari SMTS. Darah yang keluar
menggumpal dan cukup banyak. Riwayat trauma (-) Riwayat keluhan yang sama
(+) saat kehamilan pertama. HPHT: 27 Agustus 2019, TP: 02 Juli 2019. UK: 7
minggu 1 hari.
Pemeriksaan fisik, keadaan umum sakit sedang,
composmentis.Tanda-tanda vital dalam batas normal. Status ginekologi:
Pemeriksaan luara bdomen: Linea nigra (-), striae albicans (-), luka bekas
operasi (-). Fundus uteri tidak teraba, nyeri tekan (+). Pemeriksaan Dalam
Vagina ;Vulva/vagina tidak ada kelainan. Portio : tebal lunak, OUE/OUI
terbuka teraba jaringan. Pengeluaran : darah (+).
Pemeriksaan penunjang, laboratorium darah rutin dalam batas
normal, UGS: Uterus tampak anteflexi masih tampak sisa jaringan, kesan :
Abortus Inkomplit

8
2.7. DIAGNOSIS KERJA
Abortus Inkomplit.
2.8. DIAGNOSIS BANDING
- KE/KET
- Molahidatidosa
- Abortus Lainnya
2.9. PENATALAKSANAAN
IVFD RL 20 tpm
Cefadroxil 500mg 2x1
Asam mefenamat 3x1
Metilergometrin 3x1
SF 1x1
Rencana kuretase
2.10. PROGNOSIS
- ad vitam : dubia ad bonam
- ad sanationam : dubia ad bonam
- ad functionam : dubia ad malam

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. ABORTUS
Definisi
Salah satu komplikasi terbanyak pada kehamilan ialah terjadinya
perdarahan. Perdarahan dapat terjadi pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan
muda sering dikaitkan dengan kejadian abortus, misscaniage, early pregnanq, loss.
Perdarahan yang terjadi pada umur kehamilan yang lebih rua terutama setelah
melewati trimester III disebut perdarahan antePartum. Perdarahan pada kehamilan
muda dikenal beberapa istilah sesuai dengan pertimbangan masing-masing, tetapi
setiap kali kita melihat terjadinya perdarahan pada kehamilan kita harus selalu
berfikir rentang akibat dari perdarahan ini yang menyebabkan kegagalan
kelangsungan kehamiian itu sendiri.
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup di luar kemampuan kandungan, dan sebagai batasan digunakan
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat badan anak kurang dari 500 gram1.
Abortus inkomplit adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan
sebelum 20 minggu dimana masih ada sebagian hasil konsepsi yang tertinggal di
dalam uterus.1

Epidemiologi
Insiden abortus inkomplit belum diketahui secara pasti, namun demikian
disebutkan sekitar 60% dari wanita hamil dirawat dirumah sakit dengan
perdarahan akibat mengalami abortus inkomplit. Insiden abortus spontan secara
umum disebutkan sebesar 10% dari seluruh kehamilan. Angka-angka tersebut
berasal dari data-data dengan sekurang-kurangnya ada dua hal yang selalu
berubah, kegagalan untuk menyertakan abortus dini yang tidak diketahui, dan

10
pengikutsertaan abortus yang ditimbulkan secara ilegal serta dinyatakan sebagai
abortus spontan5.
Lebih dari 80% abortus terjadi dalam 12 minggu pertama kehamilan dan
angka tersebut kemudian menurun secara cepat pada umur kehamilan selanjutnya.
Anomali kromosom menyebabkan sekurang-kurangnya separuh dari abortus pada
trimester pertama, kemudian menurun menjadi 20-30% pada trimester kedua dan
5-10 % pada trimester ketiga5.
Resiko abortus spontan semakin meningkat dengan bertambahnya paritas
di samping dengan semakin lanjutnya usia ibu serta ayah. Frekuensi abortus yang
dikenali secara klinis bertambah dari 12% pada wanita yang berusia kurang dari
20 tahun, menjadi 26% pada wanita yang berumur di atas 40 tahun. Untuk usia
paternal yang sama, kenaikannya adalah dari 12% menjadi 20%. Insiden abortus
meningkat apabila wanita yang bersangkutan hamil dalam 3 bulan setelah
melahirkan bayi aterm. 5

Etiologi
Mekanisme pasti yang bertanggungjawab atas peristiwa abortus tidak
selalu tampak jelas. Pada beberapa bulan pertama kehamilan, ekspulsi hasil
konsepsi yang terjadi secara spontan hampir selalu didahului oleh kematian
embrio atau janin, namun pada kehamilan beberapa bulan berikutnya,
seringkalisebelum ekspulsi janin masih hidup dalam uterus.
Kematian janin sering disebabkan oleh abnormalitas pada ovum atau zigot
atau oleh penyakit sistemik pada ibu, dan kadang-kadang mungkin juga
disebabkan oleh penyakit dari ayahnya5.

 Perkembangan Zigot yang Abnormal


Abnormalitas kromosom merupakan penyebab dari abortus spontan.
Sebuah penelitian meta-analisis menemukan kasus abnormalitas kromosom
sekitar 49% dari abortus spontan. Trisomi autosomal merupakan anomali yang
paling sering ditemukan (52%), kemudian diikuti oleh poliploidi (21%) dan
monosomi X (13%)7,8.

11
 Faktor Maternal
Biasanya penyakit maternal berkaitan dengan abortus euploidi. Peristiwa
abortus tersebut mencapai puncaknya pada kehamilan 13 minggu, dan karena saat
terjadinya abortus lebih belakangan, pada sebagian kasus dapat ditentukan etiologi
abortus yang dapat dikoreksi. Sejumlah penyakit, kondisi kejiwaan dan kelainan
perkembangan pernah terlibat dalam peristiwa abortus euploidi5.
a. Infeksi
Organisme seperti Treponema pallidum, Chlamydia trachomatis,
Neisseria gonorhoeae, Streptococcus agalactina,Virus herpes simpleks,
Cytomegalovirus, Listeria monocytogenes dicurigai berperan sebagai
penyebab abortus. Toxoplasma juga disebutkan dapat menyebabkan abortus.
Isolasi Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum dari traktus
genetalia sebagaian wanita yang mengalami abortus telah menghasilkan
hipotesis yang menyatakan bahwa infeksi mikoplasma yang menyangkut
traktus genetalia dapat menyebabkan abortus. Dari kedua organisme tersebut,
Ureaplasma Urealyticum merupakan penyebab utama5.
b. Penyakit-Penyakit Kronis yang Melemahkan
Pada awal kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan
keadaan ibu misalnya penyakit tuberkulosis atau karsinomatosis jarang
menyebabkan abortus5,9.
Hipertensi jarang disertai dengan abortus pada kehamilan sebelum 20
minggu, tetapi keadaan ini dapat menyebabkan kematian janin dan persalinan
prematur5,9. Diabetes maternal pernah ditemukan oleh sebagian peneliti
sebagai faktor predisposisi abortus spontan, tetapi kejadian ini tidak
ditemukan oleh peneliti lainnya5.
c. Nutrisi
Pada saat ini, hanya malnutrisi umum sangat berat yang paling besar
kemungkinanya menjadi predisposisi meningkatnya kemungkinan abortus.
Nausea serta vomitus yang lebih sering ditemukan selama awal kehamilan

12
dan setiap deplesi nutrien yang ditimbulkan, jarang diikuti dengan abortus
spontan. Sebagaian besar mikronutrien pernah dilaporkan sebagai unsur yang
penting untuk mengurangi abortus spontan.
d. Obat-Obatan dan Toksin Lingkungan
Berbagai macam zat dilaporkan berhubungan dengan kenaikan insiden
abortus. Namun ternyata tidak semua laporan ini mudah dikonfirmasikan.
e. Faktor-faktor Imunologis
Faktor imunologis yang telah terbukti signifikan dapat menyebabkan
abortus spontan yang berulang antara lain : antikoagulan lupus (LAC) dan
antibodi anti cardiolipin (ACA) yang mengakibatkan destruksi vaskuler,
trombosis, abortus serta destruksi plasenta.
f. Gamet yang Menua
Baik umur sperma maupun ovum dapat mempengaruhi angka insiden
abortus spontan. Insiden abortus meningkat terhadap kehamilan yang berhasil
bila inseminasi terjadi empat hari sebelum atau tiga hari sesudah peralihan
temperatur basal tubuh, karenaitu disimpulkan bahwa gamet yang bertambah
tua di dalam traktus genitalis wanita sebelum fertilisasi dapat menaikkan
kemungkinan terjadinya abortus. Beberapa percobaan binatang juga selaras
dengan hasil observasi tersebut5,7.
g. Resiko Pembedahan
Trauma akibat laparotomi atau pembedahan kadang-kadang dapat
mencetuskan terjadinya abortus. Pada umumnya, semakin dekat tempat
pembedahan tersebut dengan organ panggul, semakin besar kemungkinan
terjadinya abortus. Meskipun demikian, sering kali kista ovarii dan mioma
bertangkai dapat diangkat pada waktu kehamilan apabila mengganggu
gestasi. Peritonitis dapat menambah besar kemungkinan abortus.
h. Trauma Fisik dan Trauma Emosional
Kebanyakan abortus spontan terjadi beberapa saat setelah kematian
embrio atau kematian janin. Jika abortus disebabkan khususnya oleh trauma,
kemungkinan kecelakaan tersebut bukan peristiwa yang baru terjadi tetapi
lebih merupakan kejadian yang terjadi beberapa minggu sebelum abortus.

13
Abortus yang disebabkan oleh trauma emosional bersifat spekulatif, tidak ada
dasar yang mendukung konsep abortus dipengaruhi oleh rasa ketakutan
marah ataupun cemas5,7,9.
i. Kelainan Uterus
Kelainan uterus dapat dibagi menjadi kelainan akuisita dan kelainan
yang timbul dalam proses perkembangan janin,defek duktus mulleri yang
dapat terjadi secara spontan atau yang ditimbulkan oleh pemberian
dietilstilbestrol (DES)5,7. Cacat uterus akuisita yang berkaitan dengan abortus
adalah leiomioma dan perlekatan intrauteri. Leiomioma uterus yang besar
dan majemuk sekalipun tidak selalu disertai dengan abortus, bahkan lokasi
leiomioma tampaknya lebih penting daripada ukurannya.
Mioma submokosa, tapi bukan mioma intramural atau subserosa, lebih
besar kemungkinannya untuk menyebabkan abortus. Namun demikian,
leiomioma dapat dianggap sebagai faktor kausatif hanya bila hasil
pemeriksaan klinis lainnya ternyata negatif dan histerogram menunjukkan
adanya defek pengisian dalam kavum endometrium. Miomektomi sering
mengakibatkan jaringan parut uterus yang dapat mengalami ruptur pada
kehamilan berikutnya, sebelum atau selama persalinan.
Perlekatan intrauteri (sinekia atau sindrom Asherman) paling sering
terjadi akibat tindakan kuretase pada abortus yang terinfeksi atau pada missed
abortion atau mungkin pula akibat komplikasi postpartum. Keadaan tersebut
disebabkan oleh destruksi endometrium yang sangat luas. Selanjutnya
keadaan ini mengakibatkan amenore dan abortus habitualis yang diyakini
terjadi akibat endometrium yang kurang memadai untuk mendukung
implatansi hasil pembuahan.
j. Inkompetensi serviks
Kejadian abortus pada uterus dengan serviks yang inkompeten biasanya
terjadi pada trimester kedua. Ekspulsi jaringan konsepsi terjadi setelah
membran plasenta mengalami ruptur pada prolaps yang disertai dengan
balloning membran plasenta ke dalam vagina.

14
 Faktor Paternal
Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor paternal dalam proses
timbulnya abortus spontan. Yang pasti, translokasi kromosom sperma dapat
menimbulkan zigot yang mengandung bahan kromosom terlalu sedikit atau terlalu
banyak, sehingga terjadi abortus5,7.

 Faktor Fetal
Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menyebabkan kematian janin
atau cacat. Kelainan berat biasanya menyebabkan kematian janin pada hamil
muda. Faktor-faktor yang menyebabkan kelainan dalam pertumbuhan janin antara
lain kelainan kromosom, lingkungan kurang sempurna dan pengaruh dari luar.
Kelainan kromosom merupakan kelainan yang sering ditemukan pada abortus
spotan seperti trisomi, poliploidi dan kemungkinan pula kelainan kromosom seks.
Lingkungan yang kurang sempurna terjadi bila lingkungan endometrium di sekitar
tempat implantasi kurang sempurna sehingga pemberian zat-zat makanan pada
hasil konsepsi terganggu. Pengaruh dari luar seperti radiasi,virus, obat-obat yang
sifatnya teratogenik.

 Faktor Plasenta
Seperti endarteritis dapat terjadi dalam villi korialis dan menyebabkan
oksigenasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan
dan kematian janin. Keadaan ini bisa terjadi sejak kehamilan muda misalnya
karena hipertensi yang menahun.

Patofisiologi
Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis kemudian
diikuti oleh nekrosis jaringan sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil
konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya sehingga merupakan benda asing
dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan
isinya. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya

15
dikeluarkan seluruhnya karena vili koriales belum menembus desidua secara
mendalam. Pada kehamilan antara 8 sampai 14 minggu villi koriales menembus
desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang
dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu keatas
umumnya yang dikeluarkan setelah ketuban pecah ialah janin, disusul beberapa
waktu kemudian plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas
dengan lengkap. 2,6

Klasifikasi
Dikenal berbagai macam abortus sesuai dengan gejala, tanda, dan proses
patologi yang terjadi.
Klasifikasi abortus menurut tingkatannya:
a. Abortus Iminens
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya
abortus, ditandai dengan perdarahan pervaginam, ostium uteri masih
tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan.
Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan
perdarahan pervaginam pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu.
Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak ada keluhan sama sekali
kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih tertutup besarnya
uterus sesuai dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urin masih
positif. Untuk menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan
dengan melihat kadar hormone hCG pada urin dengan cara melakukan
tes urin kehamilan tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10. Bila hasil
tes urin keduanya masih positif maka prognosisnya adalah baik, bila
pengenceran 1/10 hasilnya negative maka prognosisnya dubia ad
malam.Pemeriksaan USG untuk mengetahui pertumbuhan janin dan
keadaan plasenta apakah sudah terlepas atau belum.Diperhatikan
ukuran biometri/ kantong gestasi apakah sesuai dengan umur
kehamilan berdasarkan HPHT, denyut jantung janin, dan gerakan

16
janin, ada tidaknya hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis
servikalis.
Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai
perdarahan berhenti.Bisa diberi spasmolitik agar uterus tidak
berkontraksi atau diberi tambahan hormone progesterone atau
derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus.Penderita boleh
dipulangkan setelah terjadi perdarahan dengan pesan tidak boleh
berhubungan seksual dulu sampai kurang lebih 2 minggu.2

b. Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks
telah mendatar dan ostium uteri telah membuka tetapi hasil konsepsi
masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.
Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan
kuat, perdarahannya bertambah sesuai dengan pembukaan serviks
uterus dan umur kehamilan. Besar uterus masih sesuai umur kehamilan
dan tes urin kehamilan masih positif. Pada pemeriksaan USG akan
didapati pembesaran masih normal sesuai dengan umur kehamilan,
gerak janin dan gerak jantung janin masih jelas walau mungkin sudah
mulai tidak normal, biasanya terlihat penipisan serviks uterus atau
pembukaannya. Perhatikan pula ada atau tidaknya pelepasan plasenta
dari dinding uterus.
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum
dan perubahan keadaan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan
tindakan evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi disusul dengan kuretase
bila perdarahan banyak. Pada umur kehamilan di atas 12 minggu,
uterus biasanya sudah melebihi telur angsa, tindakan evakuasi dan
kuretase harus hati-hati, kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara
digital yang kemudian disusul dengan kuretase sambil diberikan
uretonika untuk mencegah terjadinya perforasi dinding uterus.

17
Pascatindakan perlu perbaikan keadaan umum, pemberian uretonika,
dan antibiotika profilaksis.2

c. Abortus Kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram.
Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, ostium uteri telah
menutup, uterus sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit, besar
uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan.Pada pemeriksaan tes urin
biasanya masih positif sampai 7 – 10 hari setelah abortus.Pengelolaan
penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan,
biasanya diberi roboransia atau hematenik bila keadaan pasien
memerlukan.2

d. Abortus Inkompletus
Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih
ada yang tertinggal dengan umur kehamilan kurang dari 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram.Sebagian jaringan hasil konsepsi
masih tertinggal di dalam uterus di mana pada pemeriksaan vagina,
kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam kavum uteri
atau menonjol pada ostium uteri eksternum.Perdarahan biasanya masih
terjadi jumlahnya pun bisa banyak atau sedikit bergantung pada
jaringan yang tersisa, yang menyebabkan sebagian placental site masih
terbuka sehingga perdarahan berjalan terus.Pasien dapat jatuh dalam
keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi
dikeluarkan.Pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian
terhadap keadaan umum dan mengatasi gangguan hemodinamik yang
terjadi untuk kemudian disiapkan tindakan kuretase. Besar uterus
sudah lebih kecil dari umur kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit
dikenali, di kavum uteri tampak massa hiperekoik yang bentuknya
tidak beraturan.

18
Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan
pengeluaran sisa hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang
mengganjal terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi
uterus dapat berlangsung baik dan perdarahan bisa
berhenti.Selanjutnya dilakukan tindakan kuretase.Pascatindakan perlu
diberikan uretonika parenteral ataupun peroral dan antibiotika.2

e. Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal
dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi
seluruhnya masih tertahan dalam kandungan.
Penderita missed abortion biasanya tidak merasakan keluhan
apapun kecuali merasakan pertumbuhan kehamilannya tidak seperti
yang diharapkan. Bila kehamilan di atas 14 minggu sampai 20 minggu
penderita justru merasakan rahimnya semakin mengecil dengan tanda-
tanda kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang.
Kadangkala missed abortion juga diawali dengan abortus iminens
yang kemudian merasa sembuh tetapi pertumbuhan janin terhenti. Pada
pemeriksaan tes urin kehamilan biasanya negatif setelah satu minggu
dari terhentinya pertumbuhan kehamilan.Pada pemeriksaan USG akan
didapatkan uterus yang mengecil, kantong gestasi yang mengecil, dan
bentuknya tidak beraturan disertai gambaran fetus yang tidak ada
tanda-tanda kehidupan. Bila missed abortion berlangsung lebih dari 4
mingguharus diperhatikan kemungkinan terjadinya gangguan
penjendalan darah oleh karena hipofibrinogenemia sehingga perlu
diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase.
Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi
dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan
kuretase bila serviks uterus memungkinkan.Bila umur kehamilan di
atas 12 minggu atau kurang dari 20 minggu dengan keadaan serviks
uterus yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan induksi terlebih

19
dahulu untuk mengeluarkan janin atau mematangkan kanalis
servikalis. Beberapa cara dapat dilakukan antara lain dengan
pemberian infus intravena cairan oksitosin dimulai dari dosis 10 unit
dalam 500 cc dekstrose 5 % tetesan 20 tetes per menit dan dapat
diulangi sampai total oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan
untuk mencegah terjadinya retensi cairan tubuh. Jika tidak berhasil,
penderita diistirahatkan satu hari dan kemudian induksi diulangi
biasanya maksimal 3 kali.Setelah janin atau jaringan konsepsi berhasil
keluar dengan induksi ini dilanjutkan dengan tindakan kuretase
sebersih mungkin.
Kemungkinan penyulit pada tindakan missed abortion ini lebih
besar mengingat jaringan plasenta yang menempel pada dinding uterus
biasanya sudah lebih kuat. Apabila terdapat hipofibrinogenemia perlu
disiapkan transfuse darah segar atau fibrinogen.2

f. Abortus Habitualis
Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau
lebih berturut-turut. Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis
banyak yang mengaitkannya dengan reaksi imunologik yaitu
kegagalan reaksi terhadap antigen lymphocyte trophoblast cross
reactive. Bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada, maka
akan terjadi abortus. Kelainan ini dapat diobati dengan transfuse
leukosit atau heparinisasi.
Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkompetensia
serviks yaitu keadaan di mana serviks uterus tidak dapat menerima
beban untuk tetap bertahan menutup setelah kehamilan melewati
trimester pertama, di mana ostium serviks akan membuka
(inkompeten) tanpa disertai rasa mules/kontraksi rahim dan akhirnya
terjadi pengeluaran janin. Kelainan ini sering disebabkan oleh trauma
serviks pada kehamilan sebelumnya, misalnya pada tindakan usaha

20
pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang luas
sehingga diameter kanalis servikalis sudah melebar.
Infeksi virus dan bakteri mengeluarkan toksin yang berpengaruh
pada pada trofoblas, dengan virus dan bakteri tersebut memiliki
sedikit atau tidak ada patogenisitas, juga dianggap sebagai
kemungkinan penyebab keguguran, karena infeksi tersebut dapat
merusak trofoblas yang berfungsi pada implantasi dan plasentasi yang
abnormal. Misalnya, HCMV adalah keadaan bawaan yang paling
umum infeksi pada manusia. Infeksi primer dengan HCMV terjadi
pada 0,7% - 4,1% kehamilan. Van Lijnschoten et al. menekankan
kemungkinan Transfer transplasental adalah salah satu jalan terjadinya
patogenesis ini. Yakni ditemukan keberadaan protein HCMV dalam
sel trofoblas dengan kasus aborsi spontan. Nelayan et al. menunjukkan
bahwa HCMV menginfeksi trofoblas plasenta dan mengurangi fungsi
normal plasenta, yang dapat menyebabkan keguguran.
Dengan pemeriksaan dalam/inspekulo kita bisa menilai diameter
kanalis servikalis dan didapati selaput ketuban yang mulai menonjol
pada saat mulai memasuki trimester ke dua.2

g. Abortus Infeksiosus, Abortus Septik


Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada alat
genitalia.Abortus septik adalah abortus yang disertai penyebaran
infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritoneum (septicemia atau
peritonitis).
Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi tindakan aborotus
yang paling sering terjadi apalagi bila dilakukan kurang
memperhatikan asepsis dan antisepsis.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang
upaya tindakan abortus yang tidak menggunakan peralatan yang
asepsis dengan didapat gejala dan tanda panas tinggi, tampak sakit dan
lelah, takikardia, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang

21
membesar dan lembut, serta nyeri tekan.Pada laboratorium didapatkan
tanda infeksi dengan leukositosis. Bila sampai terjadi sepsis dan syok,
penderita akan tampak lelah, panas tinggi, menggigil, dan tekanan
darah turun.
Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan
cairan tubuh dan perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai
dengan hasil kultur dan sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan
cairan fluksus/fluor yang keluar pervaginam. Untuk tahap pertama
dapat diberikan Penisilin 4 x 1,2 juta unit atau Ampisilin 4 x 1 gram
ditambah Gentamisin 2 x 80 mg dan Metronidazol 2 x 1 gram.
Selanjutnya antibiotic disesuaikan dengan kultur.
Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah
membaik minimal 6 jam setelah antibiotika adekuat diberikan. Pada
saat tindakan, uterus dilindungi dengan uterotonika.
Antibiotika dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila
dalam waktu 2 hari pemberian tidak memberikan respons harus
diganti dengan antibiotic yang lebih sesuai.2

Patogenesis
Proses abortus inkomplit dapat berlangsung secara spontan maupun
sebagai komplikasi dari abortus provokatus kriminalis ataupun medisinalis. Proses
terjadinya berawal dari pendarahan pada desidua basalis yang menyebabkan
nekrosis jaringan diatasnya. Selanjutnya sebagian atau seluruh hasil konsepsi
terlepas dari dinding uterus. Hasil konsepsi yang terlepas menjadi benda asing
terhadap uterus sehingga akan dikeluarkan langsung atau bertahan beberapa
waktu. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi biasanya dikeluarkan
seluruhnya karena villi korialies belum menembus desidua secara mendalam.
Pada kehamilan antara 8 minggu sampai 14 minggu villi koriales menembus
desidua lebih dalam sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang
dapat menyebabkan banyak perdarahan.

22
Pada kehamilan lebih dari 14 minggu umumnya yang mula-mula
dikeluarkan setelah ketuban pecah adalah janin,disusulkemudian oleh plasenta
yang telah lengkap terbentuk. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera
terlepas dengan lengkap1,5,9.

Gambaran Klinis
Gejala umum yang merupakan keluhan utama berupa perdarahan
pervaginam derajat sedang sampai berat disertai dengan kram pada perut bagian
bawah, bahkan sampai ke punggung. Janin kemungkinan sudah keluar bersama-
sama plasenta pada abortus yang terjadi sebelum minggu ke-10, tetapi sesudah
usia kehamilan 10 minggu, pengeluaran janin dan plasenta akan terpisah. Bila
plasenta, seluruhnya atau sebagian tetap tertinggal dalam uterus, maka pendarahan
cepat atau lambat akan terjadi dan memberikan gejala utama abortus inkompletus.
Sedangkan pada abortus dalam usia kehamilan yang lebih lanjut, sering
pendarahan berlangsung amat banyak dan kadang-kadang masif sehingga terjadi
hipovolemik berat5'7.

Diagnosis
Diagnosis abortus inkomplit ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
melalui anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik, setelah menyingkirkan
kemungkinan diagnosis banding lain, serta dilengkapi dengan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan fisik mengenai status ginekologis meliputi pemeriksaan
abdomen, inspekulo dan vaginal toucher. Palpasi tinggi fundus uteri pada abortus
inkomplit dapat sesuai dengan umur kehamilan atau lebih rendah. Pemeriksaan
penunjang berupa USG akan menunjukkan adanya sisa jaringan.
Tidak ada nyeri tekan ataupun tanda cairan bebas seperti yang terlihat pada
kehamilan ektopik yang terganggu. Pemeriksaan dengan menggunakan spekulum
akan memperlihatkan adanya dilatasi serviks, mungkin disertai dengan keluarnya
jaringan konsepsi atau gumpalan-gumpalan darah. Bimanual palpasi untuk
menentukan besar dan bentuk uterus perlu dilakukan sebelum memulai tindakan

23
evakuasi sisa hasil konsepsi yang masih tertinggal. Menentukan ukuran sondase
uterus juga penting dilakukan untuk menentukan jenis tindakan yang sesuai4.

Diagnosis Banding
 Abortus imminens – Keguguran membakat dan akan terjadi. Dalam hal ini
keluarnya fetus masih dapat dipertahankan dengan memberikan obat-obat
hormonal dan antispasmodik serta istirahat.
Jika setelah beberapa minggu masih terjadi perdarahan, maka perlu ditentukan
apakah kehamilan masih baik atau tidak. Kalau reaksi kehamilan 2 berturut-
turut negatif, maka sebaiknya uterus dikosongkan (kuret).
 Kehamilan ektopik – Kehamilan ektopik adalah kehamilan ovum yang dibuahi
berimplantasi dan tumbuh di tempat yang tidak normal, termasuk kehamilan
servikal dan kehamilan kornual, kehamilan ovarium.
 Mola hidatidosa – Perdarahan pervaginam, yang muncul pada 20 minggu
kehamilan biasanya berulang dari bentuk spotting sampai dengan perdarahan
banyak. Pada kasus dengan perdarahan banyak sering disertai dengan
pengeluaran gelembung dan jaringan mola. Dan pada pemeriksaan fisik dan
USG tidak ditemukan ballotement dan detak jantung janin. 14

Penatalaksanaan
Terlebih dahulu dilakukan penilaian mengenai keadaan pasien dan
diperiksa apakah ada tanda-tanda syok. Penatalaksanaan abortus spontan dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik pembedahan maupun medis. Teknik
pembedahan dapat dilakukan dengan pengosongan isi uterus baik dengan cara
kuretase maupun aspirasi vakum. Induksi abortus dengan tindakan medis
menggunakan preparat antara lain : oksitosin intravenus, larutan hiperosmotik
intraamnion seperti larutan salin 20% atau urea 30%, prostaglandin E2, F2a dan
analog prostaglandin yang dapat berupa injeksi intraamnion, injeksi ekstraokuler,
insersi vagina, injeksi parenteral maupun per oral, antiprogesteron - RU 486
(mefepriston), atau berbagai kombinasi tindakan tersebut diatas.

24
Pada kasus-kasus abortus inkomplit, dilatasi serviks sebelum tindakan
kuretase sering tidak diperlukan. Pada banyak kasus, jaringan plasenta yang
tertinggal terletak secara longgar dalam kanalis servikalis dan dapat diangkat dari
ostium eksterna yang sudah terbuka dengan memakai forsep ovum atau forsep
cincin. Bila plasenta seluruhnya atau sebagian tetap tertinggal di dalam uterus,
induksi medis ataupun tindakan kuretase untuk mengevakuasi jaringan tersebut
diperlukan untuk mencegah terjadinya perdarahan lanjut.
Perdarahan pada abortus inkomplit kadang-kadang cukup berat, tetapi
jarang berakibat fatal.5
Evakuasi jaringan sisa dapat dilakukan secara lengkap dalam waktu 3-10
menit5'3. Sebelum melakukan tindakan kuretase, pasien, tempat dan alat kuretase
disiapkan terlebih dahulu. Pada pasien yang mengalami syok, atasi syok terlebih
dahulu. Kosongkan kandung kencing, selanjutnya dapat diberikan anestesi (jika
diperlukan). Lakukan pemeriksaan ginekologik ulang untuk menentukan besar
dan bentuk uterus, kemudian lakukan tindakan antisepsis pada ginitalia eksterna,
vagina dan serviks. Spekulum vagina dipasang dan selanjutnya serviks
dipresentasikan dengan tenakulum. Uterus disondase dengan hati-hati untuk
menentukan besar dan arah uterus. Masukkan kanula yang sesuai dengan dalam
kavum uteri melalui serviks yang telah berdilatasi (tersedia ukuran kanula dari 4
mm sampai 12 mm). Selanjutnya kanula dihubungkan dengan aspirator (60 Hg
pada aspirator listrik atau 0,6 atm pada syringe). Kanula digerakkan perlahan-
lahan dari atas kebawah dan sebaliknya, sambil diputar 360°. Bila kavum uteri
sudah bersih dari jaringan konsepsi, akan terasa dan terdengar gesekan kanula
dengan miometrium yang kasar, sedangkan dalam botol penampung jaringan akan
timbul gelembung udara. Pasca tindakan tanda-tanda vital diawasi selama 15-30
menit tanpa anestesi dan selama 1 - 2 jam bila dengan anestesi umum.
Pemeriksaan lanjut dapat dilakukan 1 - 2 minggu kemudian13.
Penatalaksanaaan abortus dengan teknik medis dibuktikan aman dan
efektif. Efikasi terapi mifepriston dengan misoprostol dilaporkan sebesar 98%
pada kehamilan trimester pertama awal. Namun demikian, pada abortus
inkomplit, metode ini tidak memberikan keuntungan yang signifikan. Untuk

25
mencapai ekspulsi spontan yang lengkap dengan terapi prostaglandin
(misoprostol) diperlukan waktu rata-rata selama 9 hari. Regimen mefepriston,
antiprogesteron digunakan secara luas, bekerja dengan cara mengikat reseptor
progesteron, sehingga terjadi inhibisi efek progesteron untuk menjaga kehamilan.
Dosis yang digunakan 200 mg. Kombinasi selanjutnya (36 - 48 jam) dengan
pemberian prostaglandin 800 μg insersi vagina mengakibatkan kontraksi uterus
lebih lanjut yang kemudian diikuti dengan ekspulsi jaringan konsepsi.
Efek yang terjadi pada terapi dengan obat-obatan ini berupa kram pada
perut yang disertai dengan perdarahan yang menyerupai menstruasi namun
dengan fase yang memanjang, selama 9 hari bahkan dapat terjadi selama 45 hari.
Kontraindikasi penggunaan obat-obat tersebut adalah pada keadaan dengan gagal
ginjal akut, kelainan fungsi hati, perdarahan abnormal, perokok berat dan alergi.3

Prognosis
Kecuali adanya inkompetensi serviks, angka kesembuhan yang terlihat
sesudah mengalami tiga kali abortus spontan akan berkisar antara 70 dan 85%
tanpa tergantung pada pengobatan yang dilakukan. Abortus inkomplit yang di
evakuasi lebih dini tanpa disertai infeksi memberikan prognosis yang baik
terhadap ibu.5,9

Komplikasi
Abortus inkomplit yang tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan
syok akibat perdarahan hebat dan terjadinya infeksi akibat retensi sisa hasil
konsepsi yang lama didalam uterus5. Sinekia intrauterin dan infertilitas juga
merupakan komplikasi dari abortus.
Berbagai kemungkinan komplikasi tindakan kuretase dapat terjadi, seperti
perforasi uterus, laserasi serviks, perdarahan, evakuasi jaringan sisa yang tidak
lengkap dan infeksi. Komplikasi ini meningkat pada umur kehamilan setelah
trimester pertama. Demam bukan merupakan kontraindikasi untuk kuretase
apabila pengobatan dengan antibiolik yang memadai segera dimulai.5Komplikasi
yang dapat terjadi akibat tindakan kuretase antara lain :

26
Komplikasi Jangka pendek
1. Dapat terjadi refleks vagal yang menimbulkan muntah-muntah, bradikardi dan
cardiac arrest.
2. Perforasi uterus yang dapat disebabkan oleh sonde atau dilatator. Bila
perforasi oleh kanula, segera diputuskan hubungan kanula dengan aspirator.
Selanjutnya kavum uteri dibersihkan sedapatnya. Pasien diberikan antibiotika
dosis tinggi. Biasanya pendarahan akan berhenti segera. Bila ada keraguan,
pasien dirawat.
3. Serviks robek yang biasanya disebabkan oleh tenakulum. Bila pendarahan
sedikit dan berhenti, tidak perlu dijahit.
4. Perdarahan yang biasanya disebabkan sisa jaringan konsepsi. Pengobatannya
adalah pembersihan sisa jaringan konsepsi.
5. Infeksi akut dapat terjadi sebagai salah satu komplikasi. Pengobatannya
berupa pemberian antibiotika yang sensitif terhadap kuman aerobik maupun
anaerobik. Bila ditemukan sisa jaringan konsepsi, dilakukan pembersihan
kavum uteri setelah pemberian antibiotika profilaksis minimal satu hari.
Komplikasi jangka panjang
Infeksi yang kronis atau asimtomatik pada awalnya ataupun karena infeksi
yang pengobatannya tidak tuntas dapat menyebabkan :
1. Infertilitas baik karena infeksi atau tehnik kuretase yang salah sehingga terjadi
perlengketan mukosa (sindrom Asherman).
2. Nyeri pelvis yang kronis.

B. KEHAMILAN EKTOPIK
Defenisi
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang
telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Lebih dari
95 % kehamilan ektopik berada di saluran telur (tuba Fallopii).
Kejadian kehamilan ektopik tidak sama di antara senter pelayanan
kesehatan. Hal ini bergantung pada kejadian salpingitis seseorang. Di Indonesia
kejadian sekitar 5 - 5 per seribu kehamilan. Parofisiologi terjadinya kehamilan

27
ektopik tersering karena sel telur yang sudah dibuahi dalam perjalanannya menuju
endometrium tersendat sehingga embrio sudah berkembang sebelum mencapai
kavum uteri dan akibatnya akan tumbuh di luar rongga rahim. Bila kemudian
tempat nidasi tersebur tidak dapat menyesuaikan diri dengan besarnya buah
kehamilan, akan terjadi ruptura dan menjadi kehamilan ektopik yang terganggu.
Berdasarkan lokasi terjadinya, kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi 5
berikut ini.
 Kehamilan tuba, meliputi > 95 % yang terdiri atas: Pars ampularis (55 %),
pars ismika (25%),pars fimbriae (17 %), dan pars interstisialis (2 %).
 Kehamilan ektopik lain (< 5%) antara lain terjadi di serviks uteri, ovarium,
atau abdominal. Untuk kehamilan abdominal lebih sering merupakan
kehamilan abdominal sekunder di mana semula merupakan kehamilan
tuba yang kemudian abortus dan meluncur ke abdomen dari ostium tuba
pars abdominalis (abortus tubaria) yang kemudian embrio/buah
kehamilannya mengalami reimplantasi di kavum abdomen, misalnya di
mesenterium/mesovarium atau di omentum.
 Kehamilan intraligamenter, jumlahnya sangat sedikit.
 Kehamilan heterotopik, merupakan kehamilan ganda di mana satu janin
berada di kavum uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik.
Kejadian sekitar satu per 15.000 - 40.000 kehamilan.
 Kehamilan ektopik bilateral. Kehamilan ini pernah dilaporkan walaupun
sangat jarang terjadi.

Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik sudah banyak disebutkan karena secara
patofisiologi mudah dimengerti sesuai dengan proses awal kehamilan sejak
pembuahan sampai nidasi. Bila nidasi terjadi di luar karum uteri atau di luar
endometrium, maka terjadiiah kehamilan ektopik. Dengan demikian, faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam nidasi embrio ke endometrium
menjadi penyebab kehamilan ektopik ini. Faktor-faktor yang disebutkan adalah
sebagai berikut:

28
 Faktor tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba
menyempit atau buntu. Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan
saluran tuba yang berkelok-kelok panjang dapat menyebabkan fungsi silia
tuba tidak berfungsi dengan baik. Juga pada keadaan pascaoperasi
rekanalisasi tuba dapat merupakan predisposisi terjadinya kehamilan
ektopik. Faktor tuba yang lain ialah adanya kelainan endometriosis tuba
atau divertikel saIuran tuba yang bersifat kongenital. Adanya tumor di
sekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau tumor ovarium yang
menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba, juga dapar menjadi
etiologi kehamilan ektopik.
 Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka
zigot akan tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian
terhenti dan tumbuh di saluran tuba.
 Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi orum dan ditangkap oleh tuba yang
kontralateral, dapat membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih
panjang sehingga kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.
 Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesreron dapat
mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
 Faktor lain
Termasuk di sini antara lain adalah pemakai IUD di mana proses
peradangan yang dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik. Faktor umur penderita yang
sudah menua dan faktor perokok juga sering dihubungkan dengan
terjadinya kehamilan ektopik.

Patologi

29
Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai
endometrium untuk proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan
kemudian akan mengalami beberapa proses seperti pada kehamilan pada
umumnya. Karena tuba bukan merupakan suatu media yang baik untuk
pertumbuhan embrio atau mudigah, maka pertumbuhan dapat mengalami
beberapa perubahan dalam bentuk berikut ini.
 Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi.
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam
keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat
untuk beberapa hari.
 Abortus ke dalam lumen tuba. (Abortus tubaria)
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah
oleh vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya,
bergantung pada derajat perdarahan yang timbul. Bila peiepasan
menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba
dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba pars abdominalis.
Frekuensi abortus dalam tuba bergantung pada implantasi telur yang
dibuahi. Abortus ke lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars
ampularis, sedangkan penembusan dinding tuba oleh vili korialis ke arah
peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars ismika. Perbedaan ini
disebabkan oleh lumen pars ampularis yang lebih luas sehingga dapat
mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi jika dibandingkan
dengan bagian ismus dengan lumen sempit. Pada pelepasan hasil konsepsi
yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan terus berlangsung,
dari sedikit-sedikit oleh darah, sehingga berubah menjadi mola kmenta.
Perdarahan yang berlangsung tems menyebabkan tuba membesar dan
kebirubiruan (hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke rongga
perut melalui ostium tuba. Darah ini akan berkumpul di kawm Douglasi

30
dan akan rnembentuk hematokel retrouterina.
 Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila or,um berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya, ruptur pada pars interstisialis
terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan
ruptur ialah penembusan vili korialis ke dalam lapisan muskularis tuba
terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena
trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan
terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit, kadang-
kadang banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian. Bila
pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen
tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba
abdominal. Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruptur
sekunder dapat terjadi. Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh
invasi trofoblas, pecah karena rekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang
ruptur terjadi di arah iigamentum itu. Jika janin hidup terus, terdapat
kehamilan intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat
keluar dari tuba, tetapi bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa
hasil konsepsi dikeiuarkan dari tuba. Perdarahan dapat berlangsung terus
sehingga penderita akan cepat jatuh dalam keadaan anemia atau syok oleh
karena hemoragia. Darah tertampung pada rongga perut akan mengalir ke
kavum Douglasi yang makin lama makin banyak dan akhirnya dapat
memenuhi rongga abdomen. Bila penderita tidak dioperasi dan tidak
meninggal karena perdarahan, nasib janin bergantung pada kerusakan yang
diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat
diresorbsi seluruhnya; bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion.
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong
amnion dan dengan plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus
dalam rongga perut, sehingga akan terjadi kehamilan abdominal sekunder.
Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan
meluaskan impiantasinya ke jaringan sekitarnya, misalnya ke sebagian

31
utems, ligamentum latum, dasar panggui, dan usus.

Gambaran Klinik
Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas, dan
penderita maupun dokternya biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam
kehamilan, sampai terjadinya abortus tuba atau mprur tuba. Pada umumnya
penderita menunjukkan gejala-gejala kehamilan muda, dan mungkin merasa nyeri
sedikit di perut bagian bawah yang tidak seberapa dihiraukan. Pada pemeriksaan
vaginal uterus membesar dan lembek walaupun mungkin tidak sebesar tuanya
kehamilan. Tuba yang mengandung hasil konsepsi karena lembeknya sukar diraba
pada pemeriksaan bimanual. Pada pemeriksaan USG sangat membantu
menegakkan diagnosis kehamilan ini apakah intrauterin atau kehamilan ektopik.
Untuk itu setiap ibu yang memeriksakan kehamilan mudanya sebaiknya dilakukan
pemeriksaan USG.
Apabila kehamilan ektopik mengalami penyulit atau terjadi ruptur pada
tuba tempat lokasi nidasi kehamilan ini akan memberikan gejala dan tanda yang
khas yaitu timbulnya sakit perut mendadak yang kemudian disusul dengan syok
atau pingsan. Ini adalah pertanda khas teriadinya kehamilan ektopik yang
terganggu.
Walau demikian, gejala dan tanda kehamilan tuba terganggu sangat
berbeda-beda; dari perdarahan yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai
terdapatnya gejala yang tidak jelas, sehingga sukar dibuat diagnosisnya. Gejala
dan tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau
ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi, dan keadaan
umum penderita sebelum hamil.
Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu. Pada
ruptur tuba nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya
disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan dan masuk ke
dalam syok. Biasanya pada abortus tuba nyeri tidak seberapa hebat dan tidak
terus-menerus. Rasa nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi, tetapi, setelah darah
masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke

32
seluruh perut bawah. Darah dalam rongga perut dapat merangsang diafragma,
sehingga menyebabkan nyeri bahu dan bila membentuk hematokel retrouterina,
menyebabkan defekasi nyeri.
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan
ektopik yang terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan berasal dari
kavum uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan yang berasal dari uterus
biasanya tidak banyak dan berwarna cokelat tua. Frekuensi perdarahan
dikemukakan dari 51 hingga 93 %. Perdarahan berarti gangguan pembentukan
human chorionic gonadotropin Jika plasenta mati, desidua dapat dikeluarkan
seluruhnya.
Amenorea merupakan juga tanda yang penting pada kehamilan ektopik
walaupun penderita sering menyebutkan tidak jelasnya ada amenorea, karena
gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu bisa langsung terjadi beberapa saat
setelah terjadinya nidasi pada saluran tuba yang kemudian disusul dengan ruptur
tuba karena tidak bisa menampung pertumbuhan mudigah selanjutnya. Lamanya
amenorea bergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian
penderita tidak mengalami amenorea karena kematian janin terjadi sebelum haid
berikutnya. Hal ini menyebabkan frekuensi amenorea yang dikemukakan berbagai
penulis berkisar dari 23 hingga 97 %.
Pada kehamilan ektopik terganggu ditemukan - pada pemeriksaan vaginal
- bahwa usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri, yang disebut
dengan nyeri goyang (+) atau slinger pijn (bahasa Belanda). Demikian pula kawm
Douglasi menonjol dan nyeri pada perabaan oleh karena terisi oleh darah. Pada
abortus tuba biasanya teraba dengan jelas suatu tumor di samping uterus dalam
berbagai ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel retrouterina dapat
diraba sebagai tumor di kalum Douglasi. Pada ruptur tuba dengan perdarahan
banyak tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat; perdarahan lebih
banyak lagi menimbulkan syok.
Kehamilan ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang klasik dengan
gejala perdarahan mendadak dalam rongga perut dan ditandai oleh abdomen akut
sampai gejala yang samar-samar, sehingga sukar membuat diagnosis.

33
Pemeriksaan USG dapat dilakukan secara perabdominal atau pervaginam.
Umumnya kita akan mendapatkan gambaran uterus yang tidak ada kantong
gestasinya dan mendapatkan gambaran kantong gestasi yang berisi mudigah di
luar uterus. Apabila sudah terganggu (ruptur) maka bangunan kantong gestasi
sudah tidak jelas, tetapi akan mendapatkan bangunan massa hiperekoik yang tidak
beraturan, tidak berbatas tegas, dan di sekitarnya didapati cairan bebas (gambaran
darah intraabdominal). Gambar USG kehamilan ektopik sangat bevariasi
bergantung pada usia kehamilan, ada tidaknya gangguan kehamilan (ruptur,
abortus) serta banyak dan lamanya perdarahan intraabdomen. Diagnosis pasti
kehamilan ektopik secara USG hanya bisa diregakkan bila terlihat kantong gestasi
berisi mudigah/janin hidup yang letaknya di luar kawm uteri. Narmun, gambaran
ini hanya dijumpai pada 5 - 10 % kasus.
Sebagian besar kehamilan ektopik tidak memberikan gambaran yang
spesifik. Uterus mungkin besarnya normal atau mengalami sedikit pembesaran
yang tidak sesuai dengan usia kehamilan. Endometrium menebal ekogenik
sebagai akibat reaksi desidua. Kawm uteri sering berisi cairan eksudat yang
diproduksi oleh sel-sel desidua, yang pada pemeriksaan terlihat sebagai stmktur
cincin anekoik yang disebut kantong gestasi palsu (pseudogestational sac).
Berbeda dengan kantong gestasi yang sebenarnya, kantong gestasi palsu letaknya
simetris di karum uteri dan tidak menunjukkan struktur cincin ganda.
Seringkali dijumpai massa tumor di daerah adneksa, yang gambarannya
sangar bervariasi. Mungkin terlihat kantong gestasi yang masih utuh dan berisi
mudigah, mungkin hanya berupa massa ekogenik dengan batas ireguler, araupun
massa kompieks yang terdiri atas sebagian ekogenik dan anekoik. Gambaran
massa yang tidak spesifik ini mungkin sulit dibedakan dari gambaran yang
disebabkan oleh peradangan adneksa, tumor ovarium, ataupun massa
endometrioma. Pada 15 - 20 % kasus kehamilan ektopik tidak dijumpai adanya
massa di adneksa. Perdarahan intraabdomen yang terjadi akibat kehamilan ektopik
terganggu juga tidak memberikan gambaran spesifik, bergantung pada banyak dan
lamanya proses perdarahan. Gambarannya dapat berupa massa anekoik di kawm
Douglasi yang mungkin meluas sampai ke bagian aras rongga abdomen. Bila

34
sudah terjadi bekuan darah, gambaran berupa massa ekogenik yang tidak
homogen. Gambaran perdarahan akibat kehamilan ektopik sulit dibedakan dari
perdarahan atau cairan bebas yang terladi oleh sebab lain, seperti endometriosis
pelvik, peradangan pelvik, asites, pus, kista pecah, dan perdarahan ovulasi.
Bila kita tidak mempunyai fasilitas USG diagnosis dapat dibantu
ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan pungsi karum Douglasi
(kuldosentesis) di mana jendalan darah yang melayang-layang di kavum Douglasi
terisap saat dilakukan pungsi.

Diagnosis
Kesukaran membuar diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik belum
terganggu demikian besarnya, sehingga sebagian besar penderita mengalami
abortus tuba atau ruptur tuba sebelum keadaan menjadi jelas. Bila diduga ada
kehamilan ektopik yang belum terganggu, penderita segera dirawat di rumah
sakit. Alat bantu diagnostik yang dapat digunakan ialah ultrasonografi,
laparoskopi, atau kuldoskopi.
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak
mengalami kesukaran, tetapi pada jenis menahun atau aripik bisa sulit sekaii.
Untuk mempertajam diagnosis, maka pada tiap perempuan dalam masa reproduksi
dengan keluhan nyeri perut bagian bawah atau keiainan haid, kemungkinan
kehamilan ektopik harus dipikirkan. Pada umumnya dengan anamnesis yang teliti
dan pemeriksaan yang cermar diagnosis dapat ditegakkan, walaupun biasanya alat
bantu diagnostik sepeni kuldosentesis, ultrasonografi, dan laparoskopi masih
diperlukan Anamnesis. Haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu dan
kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda. Nyeri perut bagian
bawah, nyeri bahu, tenesmus, dapar dinyatakan. Perdarahan pervaginam terjadi
setelah nyeri perur bagian bawah.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan
jumlah sel darah merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik
terganggu, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut.
Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit dapat dilakukan secara serial dengan

35
jarak satu jam selama 3 kali berturut-turut. Bila ada penurunan hemoglobin dan
hematokrit dapat mendukung diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Pada kasus
jenis tidak mendadak biasanya ditemukan anemia; tetapi, harus diingat bahwa
penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam.
Penghitungan leukosit secara berturut menunjukkan adanya perdarahan
bila leukositosis meningkat. Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi
pelvik, dapat diperhatikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang melebihi 20.000
biasanya menunjuk pada keadaan yang terakhir. Tes kehamilan berguna apabila
positif. Akan tetapi, tes negatif tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan
ektopik terganggu karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas
menyebabkan produksi human chorionic gonadotropin menurun dan
menyebabkan tes negatif.
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu sering keliru dengan abortus
insipiens atau abortus inkompletus yang kemudian dilakukan kuretase. Bila hasil
kuretase meragukan jumlah sisa hasil konsepsinya, maka kita perlu curiga
terjadinya kehamilan ektopik terganggu yang gejala dan tandanya tidak khas. Pada
umumnya dilatasi dan kerokan untuk menunjang diagnosis kehamilan ektopik
tidak dianjurkan. Berbagai aiasan dapat dikemukakan:
 Kemungkinan adanya kehamilan dalam uterus bersama kehamilan ektopik.
 Hanya 12 sampai 1.9 % kerokan pada kehamilan ektopik menunjukkan
reaksi desidua.
 Perubahan endometrium yang berupa reaksi Arias-Stella tidak khas untuk
kehamilan ektopik. Namun, jika jaringan yang dikeluarkan bersama
dengan perdarahan terdiri atas desidua tanpa vili korialis, hal itu dapat
memperkuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu.

Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam


kalum Douglasi ada darah. Cara ini sangat berguna dalam membantu membuat
diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Teknik kuldosentesis dapat dilaksanakan
dengan urutan berikut.
 Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.

36
 Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik.
 Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan cunam
serviks, dengan traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak.
 Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam karum Douglasi dan dengan
semprit 10 ml dilakukan pengisapan.
 Bila pada pengisapan ditemukan darah, maka isinya disemprotkan
pada kain kasa dan diperhatikan apakah darah yang dikeluarkan
merupakan:
- darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan
membeku; darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk
- darah tua berwarna cokelat sampai hitam yang tidak membeku, atau
yang berupa bekuan kecil-kecil; darah ini menunjukkan adanya
hematokel retrouterina.

Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk


kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain
meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, aiat kandungan bagian dalam dapat
diniiai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum Douglasi,
dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mungkin mempersulit
visualisasi alat kandungan, tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan
laparotomi.

Pengelolaan Kehamilan Ektopik


Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Dalam
tindakan demikian, beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu;
kondisi penderita saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, Iokasi
kehamiian ektopik, kondisi anatomik organ pelvis, kemampuan teknik bedah
mikro dokter operator, dan kemampuan teknologi fertilisasi invitro setempat.
Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada
kehamilan tuba, arau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya
dilakukan salpingostomi atau reanasromosis tuba. Apabila kondisi penderita

37
buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomi.
Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah
pemah dicoba ditangani dengan menggunakan kemoterapi untuk menghindari
tindakan pembedahan. Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini ialah: (1)
kehamilan di pars ampularis tuba belum pecah, (2) diameter kantong gestasi < 4
cm, (3) perdarahan dalam rongga perur < 100 ml, (4) tanda vital baik dan stabil.
Obat yang digunakan ialah metotreksat 1mg/kg I.V. dan faktor sitrovorum 0,1
mg/kg I.M. berselang-seling setiap hari selama 8 hari. Dari seluruh 6 kasus yang
diobati, satu kasus dilakukan salpingektomi pada hari ke-12 karena gejala
abdomen akut, sedangkan 5 kasus berhasil diobati dengan baik.

Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan
diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Hellman dan kawan-kawan
(1,971,) melaporkan 1 kematian di antara 826 kasus, dan Wilson dan kawan-
kawan (1,971) 1. anrara 591. Akan tetapi, bila pertolongan terlambat, angka
kematian dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka
kematian 2 dari 120 kasus, sedangkan Tarjiman dan kawan-kawan (1973) 4 dari
138 kehamilan ektopik.
Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat
bilateral. Sebagian perempuan menjadi steril setelah mengalami kehamilan
ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang
dilaporkan antara 0 % sampai 14,6 %. Untuk perempuan dengan anak sudah
cukup, sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomi bilateralis. Dengan
sendirinya hal ini perlu disetujui oleh suami-isteri sebelumnya.

C. KEHAMILAN MOLA
Defenisi
Yang dimaksud dengan mola hidatidosa adaiah suatu kehamilan yang
berkembang tidak waiar di mana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili
korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Secara makroskopik,

38
mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa geiembung-gelembung putih, tembus
pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa milimeter
sampai 1. atau 2 cm.
Gambaran histopatologik yang khas dari mola hidatidosa ialah edema stroma
vili, tidak ada pembuluh darah pada vili/degenerasi hidropik dan proliferasi sel-sel
trofoblas.

Gejala dan Tanda


Pada permulaanoya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan
kehamilan biasa, yairu mual, muntah, pusing dan lainlain, hanya saja derajat
keluhannya sering iebih hebat. selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga
pada umumnya besar uterus lebih besar dari umur kehamilan. Ada pula kasus-
kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besar walaupun jaringannya belum
dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan jaringan trofoblas tidak begitu aktif
sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya jenis dying mole.
Perdarahan merupakan gejaia utama mola. Biasanya keluhan perdarahan
inilah yang menyebabkan mereka datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini
biasanya terjadi antara bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12 - 14
minggu. Sifat perdarahan bisa intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak
sehingga menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan ini umumnya
pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia.
Seperti juga pada keharnilan biasa, mola hidatidosa bisa disertai dengan
preeklampsia (eklampsia), hanya perbedaannya ialah bahwa preeklampsia pada
mola rcrjadtnya lebih muda daripada kehamilan biasa. Peny.ulit lain yang akhir-
akhir ini banyak dipermasalahkan ialah tirotoksikosis. Maka, Martaadisoebrata
menganjurkan agar tiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis
secara aktif seperti kita selalu mencari tanda-tanda preeklampsia pada tiap
kehamilan biasa. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid.
Penyulit lain yang mungkin terjadi ialah emboli sel trofoblas ke paru-paru.
Sebetulnya pada tiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke paru-paru
ranpa memberikan gejala apa-apa. Akan tetapi, pada mola kadang-kadang jumlah

39
sel trofoblas ini sedemikian banyak sehingga dapat menimbulkan emboli paru-
panr akut yang bisa menyebabkan kematian.
Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein, baik unilateral maupun
bilateral. IJmumnya kista ini menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan, tetapi
ada juga kasuskasus di mana kista lutein baru ditemukan pada waktu/ollout up.
Dengan pemeriksaan klinis insidensi kista lutein lebih kurang lo,2 "/o, tetapi bila
menggunakan Usc angkanya meningkat sampai 50 %. Kasus mola dengan kista
lutein mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk mendapat degenerasi keganasan
di kemudian tiari daripada kasuskasus tanpa kista.

Diagnosis
Adanya mola hidatidosa harus dicurigai bila ada perempuan dengan
amenorea, perdarahan pervaginam, uterus yang lebih besar dari tuanya kehamilan
dan tidak ditemukan tanda kehamilan pasti seperti balotemen dan detik jantung
anak. Untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan kadar Human
Chorionic Gonadotropin (hCG) dalam darah atau urin, baik secara bioasay,
immunoasay, maupun radioimmunoasay. Peninggian hCG, terutama dari hari ke-
100, sangat sugestif. Bila belum jelas dapat dilakukan pemeriksaan USG, di mana
kasus mola menunjukkan gambaran yang khas, yaitu berupa badai salju (snou
flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb).
Diagnosis yang paling tepat bila kita telah melihat keluarnya gelembung
mola. Namun, bila kita menunggu sampai gelembung mola keluar biasanya sudah
terlambat karena pengeluaran gelembung umumnya disertai perdarahan yang
banyak dan keadaan umum pasien menurun. Terbaik ialah bila dapat
mendiagnosis mola sebelum keluar.

Pada kehamilan trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik, sehingga


seringkali sulit dibedakan dari kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus
inkompletus, atau mioma uteri. Pada kehamilan trimester II gambaran mola
hidatidosa umumnya lebih spesifik. Kavum uteri berisi massa ekogenik
bercampur bagian-bagian anekoik vesikular berdiameter antara 5 - 10 mm.

40
Gambaran tersebut dapat dibayangkan seperti gambaran sarang lebah (honey
comb) atau badai salju (snow storrn). Pada 20 50 % kasus dijumpai adanya massa
kistik multilokuler di daerah adneksa. Massa tersebut berasal dari kista teka-
lutein.
Apabila jaringan mola memenuhi sebagian kavum uteri dan sebagian berisi
janin yang ukurannya relatif kecil dari umur kehamilannya disebut mola parsialis.
Umumnya janin mati pada bulan pertama, tapi ada jrtga yang hidup sampai cukup
besar atau bahkan aterm. Pada pemeriksaan histopatologik tampak di beberapa
tempat vili yang edema dengan sel trofoblas yang tidak begitu berproliferasi,
sedangkan di tempat lain masih tampak vili yang normal. Umumnya mola
parsialis mempunyai kariotipe triploid. Pada perkembangan selanjutnya jenis mola
ini .jarang menjadi ganas.

Pengelolaan Kehamilan Mola


Pengelolaan mola hidatidosa dapat terdiri atas 4 tahap berikut ini.
 Perbaikan Keadaan Umum
Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfusi darah untuk
memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi
penl'ulit seperti preeklampsia atau tirotoksikosis.
 Pengeluaran laringan Mola
Ada 2 cara yaitu:
- Vakum kuretase
Setelah keadaan umum diperbaiki dilakukan vakum kuretase tanpa
pembiusan. Untuk memperbaiki kontraksi diberikan pula
uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan dengan kuretase dengan
menggunakan sendok kuret biasa yang tumpul. Tindakan kuret
cukup dilakukan 1 kali saja, asal bersih. Kuret kedua hanya
dilakukan bila ada indikasi. Sebelum tindakan kuret sebaiknya
disediakan darah untuk menjaga bila terjadi perdarahan yang
banyak.

41
- Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada perempuan yang telah cukup umur
dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi
ialah karena umur tua dan paritas tinggi merupakan faktor
predisposisi untuk terjadinya keganasan. Batasan yang dipakai
adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa
pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan
histopatologik sudah tampak adanya tanda-tanda keganasan berupa
mola invasif/koriokarsinoma.

Pemeriksaan Tindak Lanjut


Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah
mola hidatidosa. Tes hCG harus mencapai nilai normal 8 minggu setelah
evakuasi. Lama pengawasan berkisar satu tahun. Untuk tidak mengacaukan
pemeriksaan selama periode ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu dengan
menggunakan kondom, diafragma, atau pantang berkala.

Prognosis
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan oleh perdarahan, infeksi, payah
jantung atau tirotoksikosis. Di negara maju kematian karena mola hampir tidak
ada lagi. Akan tetapi, di negara berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar
antara 2,2 % dan 5,7 %. Sebagian dari pasien mola akan segera sehat kembali
seteiah jaringannya dikeluarkan, tetapi ada sekelompok perempuan yang
kemudian menderita degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma. Persentase
keganasan yang dilaporkan oleh berbagai klinik sangat berbeda-beda, berkisar
antara 5,56 %. Bila terjadi keganasan, maka pengelolaan secara khusus pada divisi
Onkologi Ginekologi.

42
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Ny. MA, 24 thn G2P0A1 MRS dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir
disertai nyeri perut bagian bawah, dialami sejak 1 minggu yang lalu. Darah yang keluar
menggumpal dan cukup banyak. Riwayat trauma (-) Riwayat keluhan yang sama (+) saat
kehamilan pertama. Riwayat ANC (-). Riwayat pengobatan sebelumnya (-) Riwayat HT
(-), Riwayat asma (-), Riwayat DM (-), Riwayat KB (-). HPHT: 23 Mei 2019, TP: 27
Februari 2019. UK: 11 minggu 0 hari. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, serta merujuk kepada teori yang ada maka dapat
ditegakkan diagnosis pasien ini yaitu Abortus Inkomplit. Untuk Tatalaksana yang
dilakukan adalah kuretase.
Secara umum, penegakan diagnosis, alur penatalaksanaan sudah sesuai
dengan literatur yang ada. Prognosis pada pasien ini berdasarkan perjalanan
penyakit dan penatalaksanaan yang telah didapatkan adalah bonam.

Saran
Agar diagnosis pada pasien dapat ditegakkan secara tepat dan cepat,
dibutuhkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat pula serta pemeriksaan
penunjang ultasonorgrafi (USG), sehingga keputusan untuk penatalaksanaan yang
tepat kedepannya sesuai dengan diagnosis yang tepat pula. Sangat penting untuk
menggunakan penunjang USG untuk menilai sisa jaringan/konsepsi yang ada
dalam uterus.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Wibowo B. Wiknjosastro GH. Kelainan dalam Lamanya Kehamilan. Dalam


:Wiknjosastro GH, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kebidanan.
Edisi 4. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2002 : hal.
302 - 312.
2. Hadijanto, B. 2008.Perdarahan pada Kehamilan Muda. Dalam :Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawiroharjo. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, hal
467 – 473.
3. Ministry of Health Republic of Indonesia. Indonesia Reproductive Health
Profile 2003. 2003.Available at: http:/w3.whosea.org/LinkFiles/Reproduc-
tive_Health__Profile_RHP-Indonesia.pdf.
4. Abortion. In : Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Bilstrap
LC, Wenstrom KD, editors. William Obsetrics. 22nd ed. USA : The McGraw-
Hills Companies, Inc ; 2005 : p. 231-247.
5. Abortion. In: Leveno KJ, et all. Williams Manual of Obstetrics. USA:
McGraw-Hill Companies, 2003 : p. 45 – 55
6. Stovall TG. Early Pregnancy Loss and Ectopic Pregnancy. In : Berek JS, et all.
Novak's Gynaecology. 13th ed. Philadelphia; 2002 : p. 507 - 9.
7. Griebel CP, Vorsen JH, Golemon TB, Day AA. Management of Spontaneus
Abortion. AAFP Home Page>New & Publications>Joumals>American
Family Physician. October 012005;72;1.
8. Rand SE. Recurrent spontaneous abortion: evaluation and management. In:
AmericanFamilyPhysician.December1993.
9. Disorder of Early Pregnancy (ectopic, miscarriage, GTI) In : Campbell S,
Monga A, editors. Gynaecology. London : Arnold, 2000 ; p. 102-6.
10. Lindsey.J.L.Missed Abortion.from htpp :// www.emedicine.com/med/topic
11. Saifudin AB, Wiknjosastro GH, Affandi B, Waspodo D. Buku Panduan
Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002.

44
12.Valley.V.T.Abortion,Incomplete.In:Emedicine.http://www.emedicine.com/eme
rg/obs-tetrics_and_gynecology.htm
13. Wiknjosastro GH, Saifflidin AB, Rachimadhi T. Ilmu Bedah Kebidanan.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirorahardjo, 2000.

45

Anda mungkin juga menyukai