Anda di halaman 1dari 37

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Jembatan


Jembatan merupakan suatu konstruksi yang dibuat untuk memudahkan
akses transportasi yang melewati sungai, rel kereta api, ataupun jalan raya.
Jembatan dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis, yaitu :
1. Menurut penggunaan, yaitu: jembatan jalan raya, jembatan kereta api,
jembatan pipa, jembatan air, jembatan kanal dan militer. Menurut bahan
jembatan, yaitu: jembatan kayu, jembatan batu, jembatan beton, dan
jembatan baja.
2. Menurut posisi jalan, yaitu: jembatan dua lantai, jembatan langsung,
jembatan setengah langsung rangka kaku, jembatan gantung, dan jembatan
tahanan kabel.
3. Menurut bentuk dan ciri-cirinya, yaitu: jembatan balok, jembatan rangka,
dan jembatan lengkung.
4. Menurut kedudukan bidang datar, yaitu: jembatan miring, jembatan lurus,
dan jembatan lengkung.
5. Menurut lokasi jembatan, yaitu: jembatan yang melintas sungai, jembatan
yang melintas waduk, jembatan yang melintas jalan raya, dan jembatan
yang melintas jalan kereta api.
6. Menurut sistem strukturnya, yaitu: jembatan sistem sederhana dan
jembatan sistem menerus.
7. Menurut kelas jembatan, yaitu: kelas A, kelas B, dan kelas C.
2.2 Bagian-bagian Jembatan
Bagian-bagian jembatan yaitu susunan dari komponen-komponen
jembatan yang membentuk jembatan secara utuh, hal ini dibedakan menjadi dua.

2.2.1 Bangunan Atas


Bangunan atas terletak pada bagian atas konstruksi yang menopang beban-
beban akibat lalu lintas kendaraan, orang, barang ataupun berat sendiri dari
konstruksi. Bangunan atas jembatan terdiri dari :
1. Lantai kendaraan.
Merupakan bagian dari konstruksi jembatan yang memikul beban akibat
jalur lalu lintas secara langsung untuk kemudian disalurkan kepada
konstruksi di bawahnya. Lantai ini harus diberi saluran yang baik untuk
mengalirkan air hujan dengan cepat. Untuk keperluan ini maka permukaan
jalan diberi kemiringan sebesar 2% ke arah kiri dan kanan tepi jalan.
Lantai kendaraan untuk jembatan komposit di topang oleh gelagar
memanjang dan di perkuat oleh diafragma.
2. Trotoar.
Merupakan bagian dari konstruksi jembatan yang ada pada kedua samping
jalur lalu lintas. Trotoar ini berfungsi sebagai jalur pejalan kaki dan terbuat
dari beton tumbuk, yang menyatu dan homogen dengan plat lantai
kendaraan dan sekaligus berfungsi sebagai balok pengeras plat lantai
kendaraan.
3. Gelagar Diafragma.
Merupakan gelagar dengan arah melintang yang mempunyai fungsi untuk
mengikat atau perkakuan antara gelagar-gelagar memanjang. Gelagar
diafragma ini dipikul profil C.
4. Gelagar Memanjang.
Gelagar memanjang ini merupakan tumpuan plat lantai kendaraan dalam
arah memanjang. Gelagar ini dipakai profil IWF.
5. Perletakan (Andas)
Perletakan (andas) merupakan tumpuan perletakan atau landasan gelagar
pada Abutmen. Landasan ini terdiri dari landasan roll dan landasan sendi.
Landasan sendi dipakai untuk menahan dan menerima beban vertikal
maupun horizontal dari gelagar memanjang, sedangkan landasan roll
dipakai untuk menerima beban vertikal sekaligus beban getaran.

2.2.2 Bangunan Bawah


Bangunan bawah jembatan terdiri dari :
1. Abutmen.
Abutmen merupakan tempat perletakan bangunan bagian atas jembatan.
Abutmen disesuaikan dengan hasil penyelidikan tanah dan sedapat
mungkin harus diletakan diatas tanah keras supaya dapat tercapai tegang
tanah yang diizinkan. Dengan memperhitungkan resiko terjadinya erosi
maka paling tidak dasar abutmen harus berada 2 m dibawah muka tanah
asli, terutama untuk abutmen dengan pondasi langsung.
2. Pilar.
Pilar merupakan tumpuan gelagar yang terletak di antara ke dua abutmen,
dimana tujuannya untuk membagi kedua bentang jembatan agar
didapatkan bentang jembatan yang kecil atau tidak terlalu panjang untuk
menghindari adanya penurunan yang besar pada bangunan atas.
3. Pondasi.
Tipe pondasi ditentukan setelah mengetahui keadaan tanah dasarnya
melalui data-data hasil sondir atau boring yang dipakai. Konstruksi
pondasi harus cukup kokoh atau kuat untuk menerima beban diatasnya
atau melimpahkannya pada tanah keras dibawahnya. Selain ditentukan
oleh faktor teknis, sistem dan konstruksi pondasi juga dipilih yang
ekonomis dan biaya pembuatan serta pemeliharaannya mudah tanpa
mengurangi kekokohan konstruksi bangunan keseluruhan.
2.3 Pokok-pokok Perencanaan
Suatu jembatan yang baik adalah jembatan yang memiliki atau telah
memenuhi kriteria-kriteria desain yang menjadi dasar dari pembuatan sebuah
jembatan. Jembatan direncanakan untuk mudah dilaksanakan serta memberikan
manfaat bagi pengguna lalu lintas sesuai dengan pokok-pokok perencanaan
sebagai berikut :
1. Kekuatan dan Stabilitas Struktur
Unsur-unsur tersendiri harus mempunyai kekuatan memadai untuk
menahan beban ULS-keadaan batas ultimit, dan struktur sebagai kesatuan
keseluruhan harus berada stabil pada pembebanan tersebut. Beban ULS
didefinisikan sebagai beban-beban yang mempunyai 5% kemungkinan
terlampaui selama umur struktur rencana.
2. Kenyamanan dan Keamanan
Bangunan bawah dan pondasi jembatan harus berada tetap dalam keadaan
layan pada beban SLS-keadaan batas kelayanan. Hal ini berarti bahwa
struktur tidak boleh mengalami retakan, lendutan atau getaran sedemikian
sehingga masyarakat menjadi khawatir atau jembatan menjadi tidak layak
untuk penggunaan atau mempunyai pengurangan berarti dalam umur
kelayanan. Pengaruh-pengaruh tersebut tidak diperiksa untuk beban ULS,
tetapi untuk beban SLS yang lebih kecil dan lebih sering terjadi dan
didefinisikan sebagai beban-beban yang mempunyai 5% kemungkinan
terlampui dalam satu tahun.

2.4 Analisa Pembebanan Berdasarkan RSNI T-02-2005


Bagian ini, meliputi beban rencana permanen (tetap), lalu lintas, beban
akibat lingkungan, dan beban pengaruh aksi-aksi lainnya.
2.4.1 Aksi Beban Tetap
Aksi tetap atau beban tetap dari jembatan terdiri dari beberapa beban
antara lain.

2.4.1.1 Berat Sendiri


Berat sendiri dari bagian bangunan adalah berat dari bagian tersebut dan
elemen-elemen struktural lain yang dipikulnya. Termasuk dalam hal ini adalah
berat bahan dan bagian jembatan yang merupakan elemen struktural, ditambah
dengan elemen non struktural yang dianggap tetap. Faktor beban untuk berat
sendiri dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan berat isi untuk beban mati dapat di lihat
pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.1 Faktor beban untuk berat sendiri (RSNI T-02-2005)

JANGKA FAKTOR BEBAN


WAKTU K Biasa Terkurangi
Baja, aluminium 1,0 1,1 0,9
Beton pracetak 1,0 1,2 0,85
Tetap
Beton dicor ditempat 1,0 1,3 0,75
Kayu 1,0 1,4 0,7
Tabel 2.2 Berat isi untuk beban Mati [kN/m3] (RSNI T-02-2005)

Berat/Satuan Isi Kerapatan Masa


No. Bahan
(kN/m3) (kg/m3)
1 Campuran aluminium 26,7 2720
2 Lapisan permukaan beraspal 22,0 2240
3 Besi tuang 71,0 7200
4 Timbunan tanah dipadatkan 17,2 1760
5 Kerikil dipadatkan 18,8-22,7 1920-2320
6 Aspal beton 22,0 2240
7 Beton ringan 12,25-19,6 1250-2000
8 Beton 22,0-25,0 2240-2560
9 Beton prategang 25,0-26,0 2560-2640
10 Beton bertulang 23,5-25,5 2400-2600
11 Timbal 111 11 400
12 Lempung lepas 12,5 1280
13 Batu pasangan 23,5 2400
14 Neoprin 11,3 1150
15 Pasir kering 15,7-17,2 1600-1760
16 Pasir basah 18,0-18,8 1840-1920
17 Lumpur lunak 17,2 1760
18 Baja 77,0 7850

2.4.1.2 Beban mati tambahan/utilitas


Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu
beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan besarnya dapat
berubah selama umur jembatan. Dalam hal tertentu harga KMA yang telah
berkurang boleh digunakan dengan persetujuan Instansi yang berwenang. Hal ini
bisa dilakukan apabila instansi tersebut mengawasi beban mati tambahan sehingga
tidak dilampaui selama umur jembatan. Pasal ini tidak berlaku untuk tanah yang
bekerja pada jembatan. Faktor beban yang digunakan untuk tanah yang bekerja
pada jembatan ini diperhitungkan sebagai tekanan tanah pada arah vertikal. Faktor
beban untuk beban mati tambahan dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3 Faktor beban untuk beban mati tambahan (RSNI T-02-2005)

FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU K S;;MA; K u;;MA;
Biasa Terkurang
TETAP Keadaan umum 1,0 (1) 2,0 0,7
Keadaan khusus 1,0 1,4 0,8
Catatan
1). Faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas

2.4.2 Beban Lalu Lintas


Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban jalur “D”
dan beban truk “T”. Beban lajur “D” bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan
dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekivalen dengan suatu iring-
iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja
tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri.
Beban truk “T” adalah suatu kendaraan berat dengan 3 as yang
ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap as terdiri
dari 2 bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda
kendaraan berat. Hanya satu truk “T” yang terapkan perlajur lalu lintas rencana.
Secara umum beban “D” akan menjadi beban penentu dalam perhitungan
jembatan yang mempunyai bentang sedang sampai panjang, sedangkan beban “T”
digunakan untuk bentang pendek dan lantai kendaraan.
2.4.2.1 Lajur lalu lintas rencana
Lajur lalu lintas rencana harus mempunyai lebar 2,75 m. Jumlah
maksimum lajur lalu lintas yang digunakan untuk berbagai lebar jembatan bisa
dilihat dalam Tabel 2.4 Lajur lalu lintas rencana harus disusun sejajar dengan
sumbu memanjang jembatan.

2.4.2.2 Beban lajur “D”


Intensitas dari beban “D” adalah sebagai berikut :
1. Beban lajur “D” terdiri dari beban tersebar merata (BTR) yang digabung
dengan beban garis (BGT) seperti terlihat dalam Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 Beban lajur “D” (RSNI T-02-2005)


Tabel 2.4 Jumlah jalur lalu lintas (RSNI T-02-2005)

Jumlah jalur lalu lintas (m) Jumlah lajur lalu lintas


Tipe Jembatan (1)
(2) rencana (n1)
Satu jalur 4,0-5,0 1
Dua arah, tanpa 5,5-8,25 1 (3)
median 11,3-15,0 4
Banyak arah 8,25-11,25 3
11,3-15,0 4
15,1-18,75 5
18,8-22,5 6
Catatan
1) Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus ditentukan
oleh instansi yang berwenang.
2) Lebar lajur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau rintangan
untuk satu arah atau jarak antara kerb/rintangan/median dengan median
untuk banyak arah.
3) Lebar minimum untuk dua lajur kendaraan adalah 6,0 m. Lebar jembatan
antara 5,0 m sampai 6,0 m harus dihindari oleh karena hal ini akan
memberikan kesan kepada pengemudi seolah-olah memungkinkan untuk
menyiap.

2. Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q


tergantung pada panjang total yang dibebani L seperti berikut. Untuk L ≤
30 m : q = 9,0 kPa dan L > 30 m : q = 9,0 (0,5 + 15/L)kPa, dengan q
adalah intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang
jembatan dan L adalah panjang total jembatan yang dibebani.
3. Beban garis (BGT) dengan intensitas p kN/m harus ditempatkan tegak
lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan. Besarnya intensitas p adalah
49,0 kN/m. Dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut.
Gambar 2.2 Beban “D” : BTR vs panjang yang dibebani
(RSNI T-02-2005)

4. Penyebaran beban “D” pada arah melintang


Beban “D” harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga
menimbulkan momen maksimum. Penempatan beban ini dilakukan
dengan ketentuan pada Gambar 2.3 sebagai berikut.
Gambar 2.3 Penyebaran pembebanan pada arah melintang
(RSNI T-02-2005)

2.4.2.3 Pembeban truk “T”


Pembebanan truk “T” terdiri dari kendaraan truk semi-trailer yang
mempunyai susunan dan berat as seperti terlihat dalam Gambar 2.4. berat dari
masing-masing as disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang
merupakan bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 as
tersebut bisa diubah-ubah antara 4,0 m sampai 9,0 m untuk mendapatkan
pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan. Faktor beban akibat truk “T”
dapat dilihat pada Tabel 2.5 sebagai berikut.
Tabel 2.5 Faktor beban akibat pembebanan truk “T” (RSNI T-02-2005)

FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU
K S;;TT; K u;;TT;
Tetap 1,0 1,8

Gambar 2.4 Pembebanan Truk “T” (500 kN)

(RSNI T-02-2005)

2.4.2.4 Gaya Rem


Bekerja gaya-gaya diarah memanjang jembatan, akibat gaya rem dan
traksi, harus ditinjau untuk kedua jurusan lalu lintas. Pengaruh ini diperhitungkan
senilai dengan gaya rem sebesar 5% dari beban lajur D yang dianggap ada pada
semua jalur lalu lintas tanpa dikalikan dengan faktor beban dinamis dan dalam
satu jurusan. Gaya rem tersebut di anggap bekerja horizontal dalam arah sumbu
jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,8 m diatas permukaan lantai kendaraan.
Beban lajur D disini jangan direduksi bila panjang bentang melebihi 30 m,
digunakan rumus 1: 𝑞 = 9 𝑘𝑃𝑎.
Dalam memperkirakan pengaruh gaya memanjang terhadap perletakan dan
bangunan bawah jembatan, maka gesekan atau karakteristik perpindahan geser
dari perletakan ekspansi dan kekakuan bangunan bawah harus diperhitungkan.
Gaya rem tidak boleh digunakan tanpa memperhitungkan pengaruh beban
lalu lintas vertikal. Dalam hal ini dimana beban lalu lintas vertikal mengurangi
pengaruh dari gaya rem (seperti pada stabilitas guling dari pangkal jembatan),
maka Faktor Beban Ultimit terkurangi sebesar 40% boleh digunakan untuk
pengaruh beban lalu lintas vertikal. Pembebanan lalu lintas 70% dan faktor
pembesaran diatas 100% BGT dan BTR tidak berlaku untuk gaya rem. Faktor
beban akibat gaya rem dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut.

Tabel 2.6 Faktor beban akibat gaya rem (RSNI T-02-2005)

FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU
K S;;TB; K u;;TB;
Transien 1,0 1,8

Gambar 2.5 Gaya rem per lajur 2,75 m (KBU)

(RSNI T-02-2005)
2.4.2.5 Gaya sentrifugal
Jembatan yang berada pada tikungan harus memperhitungkan bekerjanya
suatu gaya horisontal radial yang dianggap bekerja pada tinggi 1,8 m di atas lantai
kendaraan. Gaya horisontal tersebut harus sebanding dengan beban lajur D yang
dianggap ada pada semua jalur lalu lintas (Tabel 2.4 dan Gambar 2.3), tanpa
dikalikan dengan faktor beban dinamis. Beban lajur D disini tidak boleh direduksi
bila panjang bentang melebihi 30 m. Terdapat pada persamaan 2-1; dimana q = 9
kPa berlaku.
Pembebanan lalu lintas 70% dan faktor pembesaran diatas 100% BGT dan
BTR berlaku untuk gaya sentrifugal. Gaya sentrifugal harus bekerja secara
bersamaan dengan pembebanan “D” atau “T” dengan pola yang sama sepanjang
jembatan. Gaya sentrifugal ditentukan dengan rumus berikut:

𝑉2
TTR = 0,79 𝑇𝑇 (2-1)
𝑟

Dengan pengertian:

TTR = Gaya sentrifugal yang bekerja pada bagian jembatan

𝑇𝑇 = Pembebanan lalu lintas total yang bekerja pada bagian yang sama

(TTR dan 𝑇𝑇 mempunyai satuan yang sama)

V = Kecepatan lalu lintas rencana (km/jam)

R = jari-jari lengkungan (m)

Tabel 2.7 Faktor beban akibat gaya sentrifugal (RSNI T-02-2005)

FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU
K S;;TR; K u;;TR;
Transien 1,0 1,8
2.4.2.6 Pembebanan untuk pejalan kaki
Semua elemen dari trotoar atau jembatan penyeberangan yang langsung
memikul pejalan kaki harus direncanakan untuk beban nominal 5 kPa. Apabila
trotoar memungkinkan digunakan untuk kendaraan ringan atau ternak, maka
trotoar harus direncanakan untuk bisa memikul beban hidup terpusat sebesar 20
kN. Faktor beban akibat pembebanan untuk pejalan kaki dapat dilihat pada Tabel
2.8 berikut.

Tabel 2.8 Faktor beban akibat pembebanan untuk pejalan kaki (RSNI T-02-2005)

FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU
K S;;TP; K u;;TP;
Transien 1,0 1,8

2.4.2.7 Beban tumbukan pada penyangga jembatan


Pilar yang mendukung jembatan yang melintas jalan raya, jalan kereta api
dan navigasi sungai harus direncanakan mampu menahan beban tumbukan. Kalau
tidak, pilar harus direncanakan untuk diberi pelindung.
Apabila pilar yang mendukung jembatan layang terletak dibelakang
penghalang, maka pilar tersebut harus direncanakan untuk bisa menahan beban
statis ekuivalen sebesar 1000 kN yang bekerja membentuk sudut 10° dengan
sumbu jalan yang terletak dibawah jembatan. Beban ini bekerja 1,8 m di atas
permukaan jalan. Beban rencana dan beban mati rencana pada bangunan harus
ditinjau sebagai batas daya layan. Faktor beban akibat beban tumbukan pada
penyangga jembatan dapat dilihat pada Tabel 2.9 berikut.
Tabel 2.9 Faktor beban akibat beban tumbukan pada penyangga jembatan (RSNI T-02-
2005)

FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU
K S;;TC; K u;;TC;
Transien 1,0 (1) 1,8 (1)
Catatan
1) Tumbukan harus dikaitkan kepada faktor beban ultimit ataupun daya layan

2.4.3 Aksi lingkungan


Aksi lingkungan yang dimaksud disini adalah sebagai berikut.

2.4.3.1 Penurunan
Jembatan harus direncanakan untuk bisa menahan terjadinya penurunan
yang diperkirakan, termasuk perbedaan penurunan, sebagai aksi daya layan.
Pengaruh penurunan mungkin bisa dikurangi dengan adanya rangkak dan interaksi
pada struktur tanah. Penurunan dapat diperkirakan dari pengujian yang dilakukan
terhadap bahan pondasi yang digunakan. Apabila perencana memutuskan untuk
tidak melakukan pengujian akan tetapi besarnya penurunan diambil sebagai suatu
anggapan, maka nilai anggapan tersebut merupakan batas atas dari penurunan
yang bakal terjadi.

Tabel 2.10 Faktor beban akibat penurunan (RSNI T-02-2005)

FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU
K S;;ES; K u;;ES;
Permanen 1,0 Tak bisa dipakai
Apabila nilai penurunan ini adalah besar, perencanaan bangunan bawah dan
bangunan atas jembatan harus memuat ketentuan khusus untuk mengatasi penurunan
tersebut. Faktor beban akibat penurunan dapat dilihat pada Tabel 2.10 diatas.

2.4.3.2 Pengaruh temperatur/suhu


Variasi temperatur suhu pada jembatan digunakan dalam menghitung
pergerakan pada temperatur dan sambungan pelat lantai dan untuk menghitung
beban akibat terjadinya pengekangan pada pergerakan tersebut. Faktor beban
akibat temperatur atau suhu dan variasi berbagai temperatur jembatan diberikan
pada Tabel 2.11. Besarnya harga koefisien perpanjangan dan modulus elastisitas
yang digunakan untuk menghitung besarnya pergerakan dan gaya yang terjadi
diberikan dalam Tabel 2.12.

Tabel 2.11 Faktor beban akibat pengaruh temperatur/suhu (RSNI T-02-2005)

Temperatur Jembatan Temperatur Jembatan


Tipe Bangunan Atas
Rata-rata Minimum (1) Rata-rata Maksimum
Lantai beton di atas gelagar
15°C 40°C
atau boks beton.
Lantai beton di atas gelagar
15°C 40°C
atau rangka baja.
Lantai pelat baja di atas
gelagar, boks atau rangka 15°C 40°C
baja.
Catatan
1) Temperatur jembatan rata-rata minimum bisa di kurangi 5°C untuk lokasi
yang terletak pada ketinggian lebih besar dari 500 m di atas permukaan laut
Tabel 2.12 Sifat bahan rata-rata akibat pengaruh temperatur (RSNI T-02-2005)

Koefisien Perpanjangan Temperatur Jembatan


Bahan
akibat suhu Rata-rata Maksimum
Baja 12 x 10-6 per °C 200.000
Beton :
Kuat tekan < 30 Mpa 10 x 10-6 per °C 25.000
Kuat tekan > 30 MPa 11 x 10-6 per °C 34.000
Aluminium 24 x 10-6 per °C 70.000

2.4.3.3 Aliran air, benda hanyutan dan tumbukan dengan batang kayu
Gaya seret nominal ultimit dan daya layan pada pilar akibat aliran air
tergantung pada kecepatan berikut :

TEF = 0,5 x CD x (Vs)2 x Ad [kN] (2-2)

Dimana :

Vs = Kcepatan rata-rata (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau

(kecepatan batas harus dikaitkan dengan periode ulang dalam


(Tabel 2.14)

CD = Keadaan seret

Ad = Luas proyeksi pilar tegak lurus arah aliran (m2) dengan tinggi

sama dengan kedalaman aliran.

Gaya akibat benda hanyutan dihitung dengan persamaan 2-2 dengan nilai
CD sebesar 1,04 dan Ad adalah luas proyeksi benda hanyutan tegak lurus arah
aliran (m2).
Tabel 2.13 Faktor beban akibat aliran benda-benda hanyutan dan tumbukan dengan
batang kayu (RSNI T-02-2005)

FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU
KS;;EF; KU;;EF;
Transien 1,0 Lihat Tabel 2.25

Tabel 2.14 Faktor ulang banjir untuk kecepatan air (RSNI T-02-2005)

Periode Ulang
Keadaan Batas Faktor Beban
Banjir
Daya layan untuk semua jembatan 20 tahun 40°C
Ultimit :
Jembatan besar dan penting (1) 100 tahun 2,0
Jembatan permanen 50 tahun 1,5
Gorong-gorong (2) 50 tahun 1,0
Jembatan sementara 20 tahun 1,5
Catatan
1) Jembatan besar dan penting harus ditentukan oleh instansi yang berwenang.
2) Gorong-gorong tidak mencakup bangunan drainase.

2.4.3.4 Beban angin


Pasal ini tidak berlaku untuk jembatan yang besar dan penting, seperti
yang ditentukan oleh Instansi yang berwenang. Jembatan-jembatan yang demikian
harus diselidiki secara khusus akibat pengaruh beban angin, termasuk respon
dinamis jembatan.
Gaya nominal ultimit dan daya layan jembatan akibat angin tergantung
kecepatan angin rencana sebagai berikut :

TEW = 0,0006 x CW x (VW)2 x Ab [kN] (2-3)


Dimana :

VW = Kecepatan angin rencana (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau

CW = Koefisien seret (lihat Tabel 2.17)

Ab = Luas ekuivalen bagian samping jembatan (m2)

sama dengan kedalaman aliran.

Kecepatan angin rencana harus diambil seperti yang diberikan dalam


Tabel 2.18. Luas ekuivalen bagian samping jembatan adalah luas total bagian
yang masih dalam arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Untuk jembatan
rangka luas ekuivalen ini dianggap 30% dari luas yang dibatasi oleh batang-
batang bagian terluar.

V angin harus dianggap bekerja secara merata pada seluruh bangunan atas.
Apabila suatu kendaraan sedang berada diatas jembatan, beban garis merata
tambahan arah horisontal harus diterapkan pada permukaan lantai seperti
diberikan dengan rumus :

TEW = 0,0012 x CW x (VW)2 x Ab [kN] (2-4)

Dimana :

CW = 1,2

Tabel 2.15 Faktor beban akibat beban angin (RSNI T-02-2005)

FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU
K S;;EW; K U;;EW;
Transien 1,0 1,2
Tabel 2.16 Koefisien seret CW (RSNI T-02-2005)

Tipe Jembatan CW
Bangunan atas masif : (1), (2)
b/d = 1,0 2,1 (3)
b/d = 2,0 1,5 (3)
b/d ≥ 6,0 1,25 (3)
Bangunan atas rangka 1,2
Catatan
1) b = lebar keseluruhan jembatan dihitung dari sisi luar andaran,
d = tinggi bangunan atas, termasuk tinggi bagian sandaran yang massif
2) Untuk harga dari b/d bisa diinterpolasi linier
3) Apabila bangunan atas mempunyai superelevasi, CW harus dinaikkan
sebesar 3% untuk setiap derajat superelevasi, dengan kenaikan maksimum
2,5%

Tabel 2.17 Kecepatan angin rencana VW (RSNI T-02-2005)

Lokasi
Keadaan Batas
Sampai 5 km dari pantai > 5 km dari pantai
Daya layan 30 m/s 25 m/s
Ultimit 35 m/s 30 m/s

2.4.3.5 Pengaruh gempa


Pasal ini menetapkan metoda untuk menghitung beban statis ekuivalen
untuk jembatan-jembatan dimana analisa statis ekuivalen adalah sesuai. Untuk
jembatan besar, rumit dan penting mungkin diperlukan analisa dinamis. Lihat
standar perencanaan beban gempa untuk jembatan (Pd.T.04.2004.B). Beban
rencana minimum diperoleh dari rumus berikut:

TEQ = Kh I WT (2-5)
Dimana :

Kh = CS (2-6)

Dengan pengertian :

TEQ = Gaya geser dasar total dalam arah yang ditinjau (kN)

Kh = Koefisien beban gempa horizontal

C = Koefisien geser dasar untuk daerah, waktu dan kondisi setempat

yang sesuai (Gambar 2.6)

I = Faktor kepentingan

S = Faktor tipe bangunan

WT = Berat total nominal bangunan yang mempengaruhi percepatan

gempa, diambil sebagai beban mati ditambah beban mati tambahan

(kN)

Koefisien geser dasar C diperoleh dari Gambar 2.6 dan sesuai dengan
daerah gempa, fleksibilitas tanah dibawah permukaan dan waktu getar bangunan.
Kondisi tanah dibawah permukaan dicantumkan berupa garis dan digunakan
untuk memperoleh koefisien geser dasar. Waktu dasar getaran jembatan yang
digunakan untuk menghitung geser dasar harus dihitung dari analisa yang
meninjau seluruh elemen bangunan yang memberikan kekakuan dan fleksibilitas
dari sistem pondasi.

Untuk bangunan yang mempunyai satu derajat kebebasan yang sederhana,


rumus berikut bisa digunakan:

𝑊
T = 2π √ 𝑔𝐾𝑇𝑃 (2-7)
𝑃

Dengan pengertian :

T = Waktu getar dalam detik untuk freebody pilar dengan derajat


kebebasan tunggal pada jembatan bentang sederhana

g = Percepatan gravitasi (m/det2)

WTP = Berat total nominal bangunan atas termasuk beban mati tambahan

ditambah setengah berat dari pilar (bila perlu dipertimbangkan)


(kN)

KP = Kekakuan gabungan sebagai gaya horizontal yang diperlukan

untuk menimbulkan satu satuan lendutan pada bagian atas pilar


(kN/m)

Perhatikan bahwa jembatan biasanya mempunyai waktu getar yang


berbeda pada arah memanjang dan melintang sehingga beban rencana statis
ekuivalen yang berbeda harus dihitung untuk masing-masing arah.

Faktor kepentingan I ditentukan dari Tabel 2.18. Faktor lebih besar


memberikan frekuensi lebih rendah dari kerusakan bangunan yang diharapkan
selama umur jembatan.
Gambar 2.6 Koefisien geser dasar (C) plastis untuk analisis statis

(RSNI T-02-2005)
Tabel 2.18 Faktor kepentingan (RSNI T-02-2005)

1 Jembatan memuat lebih dari 2000 kendaraan/hari, jembatan pada


jalan raya utama atau arteri dan jembatan dimana tidak ada rute 1,2
alternatif.
2 Seluruh jembatan permanen lainnya dimana rute alternatif
tersedia, tidak termasuk jembatan yang direncanakan untuk 1,0
pembebanan lalu lintas yang dikurangi.
3 Jembatan sementara (misal: Bailey) dan jembatan yang
0,8
direncanakan untuk pembebanan lalu lintas yang di kurangi.

Tabel 2.19 Kondisi tanah untuk koefisien geser dasar (RSNI T-02-2005)

Tanah Tanah
Jenis Tanah Tanah Sedang
Tenguh Lunak
Untuk seluruh jenis tanah ≤3m > 3 m sampai 25 m > 25 m
Untuk tanah kohesif dengan
kekuatan geser undrained rata-rata ≤6m > 6 m sampai 25 m > 25 m
tidak melebihi 50 kPa
Pada tempat dimana hamparan
tanah salah satunya mempunyai
sifat kohesif dengan kekuatan geser
≤9m > 9 m sampai 25 m > 25 m
undrained rata-rata lebih besar dari
100 kPa, atau tanah berbutir yang
sangat padat
Untuk tanah kohesif dengan
≤ 12 m > 12 m sampai 30 m > 30 m
kekuatan geser undrained
Tabel 2.19 Lanjutan

Tanah Tanah
Jenis Tanah Tanah Sedang
Tenguh Lunak
Untuk tanah berbutir dengan ikatan
≤ 20 m > 20 m sampai 40 m > 40 m
matrik padat
Catatan :
1) Ketentuan ini harus digunakan dengan mengabaikan apakah tiang pancang
diperpanjang sampai lapisan tanah keras yang lebih dalam

Tabel 2.20 Faktor beban akibat pengaruh gempa (RSNI T-02-2005)

Faktor Beban
Jangka Waktu
K S;;EQ; K U;;EQ;
Transien Tak dapat digunakan 1,0

2.5 Perencanaan Struktur Beton Untuk Jembatan (RSNI T-12-2004)


Hal-hal yang mesti diperhatikan dalam perencanaan struktur beton untuk
jembatan.

2.5.1 Syarat Umum Perencanaan Struktur Beton


Adapun syarat umum perencanaan struktur beton.

2.5.1.1 Umur Rencana Jembatan


Umur rencana jembatan pada umumnya disyaratkan 50 tahun. Namun
untuk jembatan penting dan/atau berbentang panjang, atau yang bersifat khusus,
disyaratkan umur rencana 100 tahun.
2.5.1.2 Prinsip Umum Perencanaan
Perencanaan harus berdasarkan pada suatu prosedur yang memberikan
jaminan keamanan pada tingkat yang wajar, berupa kemungkinan yang dapat
diterima untuk mencapai suatu keadaan batas selama umur rencana jembatan.
Perencanaan kekuatan balok, pelat, kolom beton bertulang sebagai
komponen struktur jembatan yang diperhitungkan terhadap lentur, geser, lentur
dan aksial, geser dan puntir, harus didasarkan pada cara Perencanaan berdasarkan
Beban dan Kekuatan Terfaktor (PBKT). Untuk perencanaan komponen struktur
jembatan yang mengutamakan suatu pembatasan tegangan kerja, seperti untuk
perencanaan terhadap lentur dari komponen struktur beton prategang penuh, atau
komponen struktur lain sesuai kebutuhan perilaku deformasinya, atau sebagai cara
perhitungan alternatif, dapat digunakan cara Perencanaan berdasarkan Batas
Layan (PBL).
Jembatan perlu dihitung sesuai dengan persyaratan yang berlaku didalam
standar ini. Walaupun kemungkinan jembatan tidak direncanakan untuk seluruh
kondisi pembebanan atau pengaruh yang mungkin terjadi dan dapat diramalkan
sebelumnya secara rasional, harus dipertimbangkan dalam perencanaan.
Perencanaan komponen struktur jembatan harus didasarkan terutama pada
cara perencanaan berdasarkan Beban dan Kekuatan Terfaktor (PBKT), yang harus
memenuhi kriteria keamanan untuk semua jenis gaya dalam didalam semua
komponen struktur jembatan sebagai:

Ø𝑅𝑛 ≥ 𝑑𝑎𝑚𝑝𝑎𝑘 𝑑𝑎𝑟𝑖 ∑𝛾1 𝑄1 (2-8)

Dimana pada sisi kiri mewakili kekuatan rencana dari penampang komponen
struktur jembatan, yang bisa dihitung dari 𝑅𝑛 (besaran ketahanan atau kekuatan
nominal dari penampang komponen struktur) dikalikan dengan suatu faktor
reduksi kekuatan φ, dan sisi kanan mewakili dampak atas ultimit atau yang paling
membahayakan dari beban-beban, yang bisa dihitung berdasarkan penjumlahan
terkombinasi dari jenis-jenis beban yang berada 𝑄𝑖 , yang masing-masing
diberikan suatu faktor beban 𝛾𝑖 .
2.5.1.3 Sifat dan Karakteristik Material
Adapun sifat dan karakteristik material yaitu :
A. Beton
Sifat dan karakteristik material yang mempengaruhi beton yaitu :
1. Kekuatan Nominal
Kuat tekan harus diartikan sebagai kuat tekan beton pada umur 28 hari,
𝑓𝑐′, beton dengan kuat tekan (benda uji silinder) yang kurang dari 20 Mpa
tidak dibenarkan untuk digunakan dalam pekerjaan struktur beton untuk
jembatan, kecuali untuk pembetonan yang tidak dituntut persyaratan
kekuatan. Dalam hal komponen struktur beton prategang, sehubungan
dengan pengaruh gaya prategang pada tegangan dan regangan beton, baik
dalam jangka waktu pendek maupun jangka panjang, maka kuat tekan
beton disyaratkan untuk tidak lebih rendah dari 30 Mpa.
Kuat tarik langsung dari beton, 𝑓𝑐𝑡 , bisa diambil dari ketentuan 0,33 √𝑓𝑐′
Mpa pada umur 28 hari, dengan perawatan standar, atau dihitung secara
probabilitas statistik dari hasil pengujian.
Kuat tarik lentur beton, 𝑓𝑐𝑓 , bisa diambil sebesar 0,6 √𝑓𝑐′ Mpa pada umur
28 hari, dengan perawatan standar, atau dihitung secara probabilitas
statistik dari hasil pengujian.
2. Tegangan Ijin
Tegangan tekan dalam penampang beton, akibat semua kombinasi beban
tetap pada kondisi batas layan lentur dan/atau aksial tekan, tidak boleh
melampaui nilai 0,45 𝑓𝑐′, dimana 𝑓𝑐′ adalah kuat tekan beton yang
direncanakan pada umur 28 hari, dinyatakan dalam satuan Mpa.
Untuk kondisi beban sementara, atau untuk komponen beton prategang
pada saat transfer gaya prategang, tegangan tekan dalam penampang beton
tidak boleh melampaui nilai 0,60 𝑓𝑐𝑡 ′, dimana 𝑓𝑐𝑡 ′ adalah kuat tekan beton
yang direncanakan pada umur saat dibebani atau dilakukan transfer gaya
prategang, dinyatakan dalam satuan Mpa.
Tegangan tarik yang diijinkan terjadi pada penampang beton, boleh
diambil untuk beton tanpa tulangan adalah 0,15 √𝑓𝑐′ dan beton prategang

penuh adalah 0,5 √𝑓𝑐′. Tegangan ijin tarik dinyatakan dalam satuan Mpa.
3. Massa Jenis
Massa jenis beton, Wc, ditentukan dari nilai, untuk beton dengan berat
normal, diambil tidak kurang dari 2400 kg/m3, atau ditentukan dari hasil
pengujian.
4. Modulus Elastisitas
Modulus Elastisitas, Ec, nilainya tergantung pada mutu beton, yang
terutama dipengaruhi oleh material dan proporsi campuran beton. Namun
untuk analisis perencanaan struktur beton yang menggunakan beton
normal dengan kuat tekan yang tidak melampaui 60 Mpa, atau beton
ringan dengan berat jenis yang tidak kurang dari 2000 kg/m3 dan kuat
tekan yang tidak melampaui 40 Mpa, dengan nilai 𝐸𝑐 =
𝑊𝑐 1,5 (0,043√𝑓𝑐 ′ ), dengan pertimbangan bahwa kenyataan harga ini bisa
bervariasi ± 20%. 𝑊𝑐 menyatakan berat jenis beton dalam satuan kg/m3,
𝑓𝑐 ′ menyatakan kuat tekan beton dalam satuan Mpa, dan 𝐸𝑐 dinyatakan
dalam satuan Mpa. Untuk beton normal dengan massa jenis sekitar 2400
kg/m3, 𝐸𝑐 boleh diambil sebesar 4700√𝑓𝑐′, dinyatakan dalam satuan MPa.
5. Angka Poisson
Angka Poisson untuk beton, v, bisa diambil sebesar 0,2 atau ditentukan
dari hasil pengujian.
6. Koefisien Muai Panas
Koefisien Muai panjang beton akibat panas, bisa diambil sebesar 10 x 10-6
per ℃, dengan pertimbangan bisa bervariasi ± 20%, atau ditentukan dari
hasil pengujian.

7. Susut Beton
Bila tidak dilakukan pengukuran atau pengujian secara khusus, nilai
regangan susut rencana beton pada umur t (hari). Nilai 𝜆𝑐𝑠 ditentukan oleh
kondisi campuran brton dan lingkungan pekerjaan:
𝜆𝑐𝑠 = 𝐾ℎ 𝑆 . 𝐾𝑑 𝑆 . 𝐾𝑠 𝑆 . 𝐾𝑓 𝑆 . 𝐾𝑏 𝑆 . 𝐾𝑎𝑐 𝑆 (2-9)
Dengan pengertian :
t = umur beton yang dirawat basah di lokasi pekerjaan,
terhitung sejak 7 hari setelah pengecoran [hari]
𝐾ℎ 𝑆 = faktor pengaruh kelembaban relatif udara setempat [H (%)]
𝐾𝑑 𝑆 = faktor pengaruh ketebalan komponen beton [d (cm)]
𝐾𝑠 𝑆 = faktor pengaruh konsistensi (slump) adukan beton [s (cm)]
𝐾𝑓 𝑆 = faktor pengaruh kadar agregat halus dalam beton [F (%)]
𝐾𝑏 𝑆 = faktor pengaruh jumlah semen dalam beton [C (kg/m3)]
𝐾𝑎𝑐 𝑆 = faktor pengaruh kadar udara dalam beton [AC (%)].
Besaran faktor-faktor 𝐾ℎ 𝑆 , 𝐾𝑑 𝑆 , 𝐾𝑠 𝑆 , 𝐾𝑓 𝑆 , 𝐾𝑏 𝑆 , 𝑑𝑎𝑛 𝐾𝑎𝑐 𝑆 dapat diambil dari
Gambar 2.7 berikut.
Gambar 2.7 Grafik penentuan faktor susut (RSNI T-12-2004)

Untuk komponen beton yang dirawat dengan cara penguapan (steam


cured), maka nilai 𝜀𝑐𝑠.𝑡 ditentukan oleh rumusan (2-10) dibawah ini:

𝜀𝑐𝑠.𝑡 = (𝑡 /(55 + 𝑡))𝜀𝑐𝑠.𝑢 (2-11)


Tabel 2.21 Koefisien standar susut beton sebagai tambahan regangan jangka
panjang (RSNI T-12-2004)

Kekuatan
karakteristik fc’ 20 25 30 35 40-60
(Mpa)
Koef. susut
0,000174 0,000170 0,000163 0,000161 0,000153
maksimum 𝜀𝑐𝑠.𝑡

B. Baja Tulangan Non-prategang


Sifat dan karakteristik material yang mempengaruhi baja tulangan pra-
tegang yaitu :
1. Kekuatan Nominal
Kuat tarik leleh fy untuk perencanaan tulangan tidak boleh melebihi 550
Mpa kecuali untuk beton prategang.
2. Tegangan Ijin
Tegangan ijin pada pembebanan tetap, tegangan ijin tarik pada tulangan
non-prategang boleh diambil menurut ketentuan tulangan dengan fy = 300
Mpa, tidak boleh diambil melebihi 140 Mpa, tulangan dengan fy = 400
Mpa atau lebih, dan anyaman kawat las (polos atau ulir), tidak boleh
diambil melebihi 170 Mpa. Untuk tulangan lentur pada pelat satu arah
yang bentang tidak lebih dari 4 m, tidak boleh diambil melebihi 0,50 x fy
namun tidak lebih dari 200 Mpa.
Tegangan ijin pada pembebanan sementara boleh ditingkatkan 30% dari
nilai tegangan ijin pada pembebanan tetap.
3. Modulus Elastisitas
Modulus elastisitas baja tulangan, Es, untuk semua harga tulangan yang
tidak lebih besar dari kuat leleh fy bisa diambil sebesar 200.000 Mpa.
4. Koefisien Muai Panas
Koefisien muai baja tulangan non-prategang akibat panas bisa diambil
sebesar 12 x 10-6 per ℃.

2.5.1.4 Faktor Beban dan Faktor Reduksi Kekuatan


Untuk besaran beban dan kombinasi pembebanan, diambil mengacu
kepada Standar Pembebanan untuk Jembatan Jalan Raya. Faktor reduksi kekuatan
diambil dari nilai-nilai berikut :
1. Lentur ................................................................................................... 0,80

2. Geser dan Torsi .................................................................................... 0,70

3. Aksial tekan

a. Dengan tulangan spiral ................................................................... 0,70

b. Dengan sengkang biasa .................................................................. 0,65

4. Tumpuan beton..................................................................................... 0,70

Perencanaan kekuatan pada penampang struktur beton terhadap semua

pembebanan dan gaya dalam, yaitu momen lentur, geser, aksial, dan torsi, harus

berdasarkan pada kekuatan rencana penampang, yang bisa dihitung dari kekuatan

nominal dikaitkan dengan faktor reduksi kekuatan.

2.5.2 Perencanaan Kekuatan Struktur Beton Bertulang


Dalam perencanaan kekuatan struktur beton bertulang, yang harus di
rencanakan yaitu :
2.5.2.1 Perencanaan Kekuatan Balok Terhadap Lentur
Kekuatan lentur dari balok beton bertulang sebagai komponen struktur
jembatan harus direncanakan dengan menggunakan cara ultimit atau cara
Perencanaan berdasarkan Beban dan Kekuatan Terfaktor (PBKT). Walaupun
demikian, untuk perencanaan komponen struktur jembatan yang mengutamakan
suatu pembatasan tegangan kerja, atau ada keterkaitan dengan aspek lain yang
sesuai batasan perilaku deformasinya, atau sebagai cara perhitungan alternatif,
bisa digunakan cara Perencanaan berdasarkan Batas Layan (PBL).
Perhitungan kekuatan dari suatu penampang yang terlentur harus
memperhitungkan keseimbangan dari tegangan dan kompatibilitas regangan, serta
konsisten dengan anggapan bidang rata yang tegak lurus sumbu tetap rata setelah
mengalami lentur, beton tidak diperhitungkan dalam memikul tegangan Tarik,
distribusi tegangan ditentukan dari hubungan tegangan-regangan beton, regangan
batas beton yang tertekan diambil sebesar 0,003
Hubungan antara distribusi tegangan tekan beton dan regangan dapat
berbentuk persegi, trapesium, parabola atau bentuk lainnya yang menghasilkan
perkiraan kekuatan yang cukup baik terhadap hasil pengujian yang lebih
menyeluruh.
Walaupun demekian, hubungan distribusi tegangan tekan beton dan
regangan dapat dianggap dipenuhi oleh distribusi tegangan beton persegi ekivalen,
yang diasumsikan bahwa tegangan beton = 0,85 fc’ terdistribusi merata pada
daerah tekan ekivalen yang dibatasi oleh tepi tertekan terluar dari penampang dan
suatu garis yang sejajar dengan sumbu netral sejarak 𝑎 = 𝛽1 𝑥 𝑐 dari tepi tertekan
terluar tersebut.
Jarak c dari tepi dengan regangan tekan maksimum ke sumbu netral harus
diatur dalam arah tegak lurus sumbu tersebut.
Gambar 2.8 Regangan dan Tegangan Penampang Beton Bertulang

(RSNI T-12-2004)

Faktor 𝛽1 harus diambil sebesar:

𝛽1 = 0,85 untuk fc’ ≤ 30 Mpa (2-12a)

𝛽1 = 0,85-0,008 ( fc’-30) untuk fc’ > 30 Mpa (2-12b)

Perencanaan kekuatan pada penampang terhadap momenlentur harus


berdasarkan kekuatan nominal yang dikalikan dengan suatu faktor reduksi
kekuatan ∅. Kekuatan nominal dalam lentur pada penampang kritis beton harus
diambil tidak lebih kecil dari 1,3 Mcr (momen retak).

2.5.2.2 Perencanaan Kekuatan Balok Terhadap Geser


2.6 Deskripsi Perencanaan Tiang Pancang
2.6.1 Kemampuan Tiang Pancang
2.6.2 Daya Dukung Tiang Pancang
2.6.3 Tiang Pancang Kelompok (Group Pile)
2.7 Perencanaan Abutmen
2.7.1 Kriteria Perencanaan Abutmen
Pada perencanaan abutmen jembatan akan diperhitungkan banyak gaya
dan beban yang bekerja pada abutmen tersebut. Gaya-gaya tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut :
2.7.2 Abutmen
Gaya-gaya yang bekerja pada abutmen :
1. Gaya akibat beban mati
2. Gaya Horizontal akibat gesekan tumbuan bergerak (Hg)
Koefisien gesekan = 0,25
𝑃𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
RDV =
2
3. Gaya akibat muatan hidup
𝑞
RqL = 𝑥𝑙
2,75
𝑝
RqL = 𝑥𝑘𝑥𝑙
2,75
2𝐷
Koefisien kejut = 1+
50+𝐿

4. Gaya gempa akibat bangunan atas


K = 0,07
G1 = K . Rvd
5. Gaya horizontal tanah

Ka = 𝑡𝑔2 (45° − )
2

Kp = 𝑡𝑔2 (45° − )
2

Pa1 = 𝐾𝑎. 𝑞. ℎ1. ℎ2


2
Pa2 = 1/2. 𝐾𝑎. 𝛾1. ℎ
1 2
Pp = . 𝐾𝑝 . 𝛾1. ℎ2 . 𝑏
2

2.7.3 Hitungan Daya Dukung Tanah Dasar Pondasi


Daya dukung tanah dasar pondasi berdasarkan rumus Tarzaghi untuk
pondasi persegi pada kondisi tanah.
Qult = 𝐶. 𝑁𝑐 + 𝐷. 𝛾1. 𝑁𝑞 + 0,5. 𝐵. 𝛾2. 𝑁𝑦
𝑄𝑢𝑙𝑡
Q =
𝑆𝐹
2.7.4 Perhitungan Stabilitas Abutmen
Syarat-syarat dalam perhitungan stabilitas abutmen yaitu :
1. Syarat aman terhadap geser
2
∑ 𝑉.𝑡𝑎𝑛 𝜙°+𝑐.𝐵
3
SF =
∑𝐻

2. Syarat aman terhadap guling


∑ 𝑀𝑋
SF =
∑𝑀𝑌

3. Syarat aman terhadap eksentrisitas


𝐵 ∑ 𝑀𝑋−∑𝑀𝑌 𝐵
e = − >
2 ∑𝑉 6

4. Kontrol terhadap tegangan


∑𝑉 6.𝑒 𝐵
σ = − (1 ± )>
𝐵.𝐿 𝐵 6
σmaks = Qall (OK)
σmin ≤ Qall (OK)

Anda mungkin juga menyukai