Anda di halaman 1dari 12

I.

Morfologi Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2
μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif
anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum
37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada
perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus,
menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang
mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri.
Berbagai derajat hemolisis disebabkan oleh S. aureus dan kadang-kadang oleh spesies
staphylokokus lainnya. (Jawetz et al., 2008)

I.1 Klasifikasi
Dari Rosenbach (1884) klasifikasi Staphylococcus aureus yaitu:
Domain : Bacteria
Kerajaan : Eubacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : S. aureus
Nama binomial : Staphylococcus aureus
II. Patogenisitas

Staphylococcus aureus adalah patogen utama pada manusia. Hampir semua orang
pernah mengalami infeksi S. aureus selama hidupnya, dengan derajat keparahan yang
beragam, dari keracunan makanan atau infeksi kulit ringan hingga infeksi berat yang
mengancam jiwa. Sebagian bakteri Stafilokokus merupakan flora normal pada kulit, saluran
pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga ditemukan di
udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan
hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol.

Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses.
Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah bisul, jerawat, impetigo, dan
infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis,
infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab
utama infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Kusuma, 2009).

Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba dengan
gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan gagal jantung dan
ginjal pada kasus yang berat. SST sering terjadi dalam lima hari permulaan haid pada wanita
muda yang menggunakan tampon, atau pada anakanak dan pria dengan luka yang terinfeksi
stafilokokus. S. aureus dapat diisolasi dari vagina, tampon, luka atau infeksi lokal lainnya,
tetapi praktis tidak ditemukan dalam aliran darah (Jawetz et al, 2008).

II.1 Toksin yang dihasilkan

a) Katalase
Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses
fagositosis. Tes adanya aktivtias katalase menjadi pembeda genus Staphylococcus dari
Streptococcus.
b) Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena adanya
faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim tersebut. Esterase
yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan, sehingga terbentuk
deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat menghambat fagositosis.
c) Hemolisin
Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis di sekitar
koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari α-hemolisin, β-hemolisin, dan δ-
hemolisin. α-hemolisin adalah toksin yang bertanggung jawab terhadap pembentukan
zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat
menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan manusia. β-hemolisin adalah toksin yang
terutama dihasilkan Stafilokokus yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis
pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang
dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang
terhadap sel darah merah domba.
d) Leukosidin
Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi perannya
dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Stafilokokus patogen tidak dapat
mematikan selsel darah putih manusia dan dapat difagositosis.
e) Toksin eksfoliatif
Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks
mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepithelial pada
ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebab
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan melepuhnya kulit.
f) Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)
Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok toksik
menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin ini menyebabkan demam,
syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ dalam tubuh.
g) Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam
usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan makanan, terutama
pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein.

III. Metichilin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan salah satu agen


penyebab infeksi nosokomial yang utama. Bakteri MRSA berada di peringkat keempat
sebagai agens penyebab infeksi nosokomial setelah Escherichia coli, Pseudomonas
aeruginosa, dan Enterococcus (Howard et al, 1993).
Lebih dari 80% strain S. aureus menghasilkan penicilinase, dan penicillinase-stable
betalactam seperti Methicillin, cloxacillin, dan fluoxacillin yang telah digunakan sebagai
terapi utama dari infeksi S. aureus selama lebih dari 35 tahun. Strain yang resisten terhadap
kelompok penicillin dan beta-lactam ini muncul tidak lama setelah penggunaan agen ini untuk
pengobatan (Biantoro, 2008).

III.1 Epidemiologi

Bakteri MRSA merupakan galur Staphylococcus aureus yang resisten terhadap


antibiotika metisilin sebagai akibat dari penggunaan antibiotika yang tidak rasional. Bakteri
MRSA tersebar hampir di seluruh dunia, dengan insiden tertinggi terdapat di area yang
densitasnya padat dan kebersihan individunya rendah. Bakteri MRSA biasanya dikaitkan
dengan pasien di rumah sakit.

Di Inggris sampai dengan tahun 2004 didapatkan data prevalensi bahwa MRSA
menjadi masalah yang predominan pada usia lanjut 82% usia > 60 tahun, strain MRSA yang
ada 92% resisten terhadap fluoroquinolone dan 72% resisten terhadap makrolid, sebagian
besar isolat masih sensitif terhadap tetrasiklin, asat fusidat, rifampicin, dan gentamisin, dan
strain MRSA yang telah diuji 12% resisten terhadap mupirocin (Biantoro, 2008).

MRSA paling banyak ditemukan di tangan, hidung, dan perineum. Penelitian yang
dilakukan dengan subjek pasien di ruang perawatan intensif Bandung dan Semarang tahun
2001 menggambarkan bahwa sebanyak 35,9% pada nostril hidung dan 21,8% pada tangan
petugas kesehatan (Fitri, 2010).

Dari penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Ahmed di beberapa bagian rumah
sakit yang berbeda di Libya didapatkan 128 (22%) positif MRSA berdasarkan hasil
laboratorium dan 109 (19%) dikonfirmasi sebagai MRSA dengan PCR dari 569 subjek
penelitian. Hidung dan bagian nares anterior adalah bagian yang paling penting dari koloni
stafilokokus dan berpotensi sebagai sumber MRSA. Penelitian ini cenderung dianggap remeh
karena hanya menggunakan nasal swab dan tidak menguji tempat lain, seperti swab pada
tenggorokan (Ahmed et al, 2012).
IV. Cara penularan

Stafilokokus yang umum terdapat pada lipatan kulit, seperti perineum dan aksila serta berada
di nares anterior. Stafilokokus juga dapat membentuk koloni pada luka yang kronis, seperti
eksim, varises, dan ulkus decubitus. MRSA memiliki cara penyebaran yang sama dengan
strain Stafilokokus lain yang sensitif, yaitu (Royal College of Nursing, 2005):

a. Penyebaran Endogen

Hal ini terjadi ketika bakteri dari satu bagian tubuh seseorang menyebar ke tempat yang lain.
Mengajarkan pasien untuk mencuci tangan mereka dan mencegah mereka dari menyentuh
luka, kulit yang rusak atau menyentuh perangkat invasif, akan meminimalkan risiko
penyebaran organisme secara endogen.

b. Penyebaran Eksogen

Hal ini terjadi ketika organisme ditransmisikan dari orang ke orang yang terjadi melalui
kontak langsung dengan kulit, melalui lingkungan atau peralatan yang terkontaminasi.

V. Identifikasi MRSA

a. Metode dilusi (dilution methods)

Dilusi agar (agar dilution). Uji ini menggunakan media Mueller-Hinton (MH) atau
agar Columbia dengan 2% NaCl dan inokulum 104 cfu/mL akan terlihat jelas perbedaan
resistensi diantara strain-strain Staphylococcus aureus (Brown et al, 2005). Menurut British
Society for Antimicrobial Chemotherapy(BSAC), kedua media ini dapatdigunakan kemudian
dilakukan inkubasi pada 30ºC selama 24 jam. Pada metode BSAC ini, minimum inhibitory
concentration (MIC) methicillin ≤ 4 mg/L mengindikasikan bahwa strain S.aureus ini masih
rentan/sensitif terhadap methicillin, sedangkan MIC > 4 menunjukkan resisten (Brownet al.,
2005).Sedangkan menurut National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS),
yang sekarang dikenal sebagai Clinical Laboratory Standards Institute (CLSI), metode ini
hanyamenggunakan MH sebagai medianya, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu
33-35ºC.Hasil MIC methicillin ≤ 2 mg/L mengindikasikan bahwa strain S. aureus ini masih
rentan/sensitif terhadap methicillin, sedangkan MIC > 2 menunjukkan resisten (Brown et al,
2005).
Mikrodilusi kaldu (broth microdilution). Metode NCCLS ini menggunakan kaldu MH
dengan 2% NaCl sebagai media, sebuahinoculums 5 x 105 cfu/mL dan diinkubasi pada suhu
33-35ºC selama 24 jam. Metode ini banyak digunakan secara luas (Brown et al, 2005).

b. Metode penapisan agar (Agar screening method)

Metode ini direkomendasikan oleh NCCLS untuk penapisan isolasi koloni pada
mediarutin dan untuk konfirmasi akan kecurigaan adanya resistensi pada uji difusi piringan
(discdiffusion tests). Pada metode ini densitas S. aureus dipertahankan pada 0,5 standar
McFarland,menggunakan media MH yang mengandung 4% NaCl dan 6 mg/L oxacillin.
Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35ºC atau kurang. Adanya pertumbuhan
mengindikasikan resistensi (Brown et al, 2005).

c. Piringan difusi (disc diffusion)

Sekarang ini uji piringan difusi sefoksitin lebih banyak direkomendasikan


dibandingkan dengan oksasilin. Hal ini dikarenakan pada sefoksitin tidak diperlukan media
dan temperatur inkubasi khusus, serta tidak terpengaruh adanya hiper-produksi dari
penisilinase sehingga tidak terjadi positif palsu MRSA (Brown et al, 2005).

d. Aglutinasi lateks (latex agglutination)

Metode ini mengekstraksi PBP2a (penicillin binding protein) dari suspensi koloni
dandeteksinya oleh aglutinasi dengan partikel lateks yang dilapisi oleh antibodi terhadap
PBP2a.Isolat yang memproduksi sedikit PBP2a akan menimbulkan reaksi aglutinasi yang
lemah ataulambat. Uji ini sangat sensitif dan spesifik terhadap S.aureus, namun tidak cocok
pada pertumbuhan koloni yang mengandung NaCl. Disamping itu pula metode sangat cepat
(hanya±10 menit untuk 1 uji) dan tidak memerlukan alat khusus (Brown et al, 2005).

e. Metode molekuler (molecular methods)

Identifikasi MRSA langsung dari kultur darah. Sebagian besar laboratorium


mikrobiologi klinik, identifikasi kultur darah yang positif mengandung kokus gram positif
(Gram-positive cocci in cluster [GPCC]) menggunakan sistemotomatis di bawah mikroskop,
dilanjutkan dengan kultur secara konvensional untuk mendeteksiadanya MRSA. Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk menilai penggunaan metodemolekuler secara langsung
mendeteksi MRSA dengan mikroskop pada GPCC yang positif.Metode ini merupakan
diagnosis cepat untuk MRSA dan dapat menentukan terapi yang tepat.Beberapa metode ini
menggunakan dasar gel dan real-time PCR, penyelidikan DNA, serta penyelidikan asam
nukleat peptida peptide nucleic acid ). Kelemahan metode ini adalahmemerlukan alat-alat
khusus dan seorang yang sudah ahli. Salah satu alat yang menggunakanmetode ini adalah
“EVIGENE kit” (Staten Serum Institut, Kopenhagen, Denmark). Alat ini berdasarkan pada
colorimetric gene probe hybridization assay untuk spesifik stafilokokus 16SrRNA, mecA dan
nuc gen dalam bentuk strip. Alat ini dapat mengidentifikasi MRSA pada kultur darah positif
dalam 7 jam, tanpa memerlukan kultur konvensional atau kemungkinan adanyakontaminasi
silang seperti pada PCR (Brownet et al, 2005)

V.1 Deteksi MRSA dalam Sampel Screening

1. Pendekatan Konvensional

a. Padat media agar.

Agar kromogenik baru-baru dikembangkan untuk mengidentifikasi S. aureus telah


digunakan untuk mendeteksi MRSA. Agars kromogenik dengan berbagai agen selektif
memiliki sensitivitas variabel dan spesifisitas untuk skrining MRSA bila dibandingkan
dengan beberapa media yang lebih tradisional, tapi kinerja baik ketika cefoxitin digunakan
sebagai agen selektif. Ada beberapa media kromogenik baru-baru dipasarkan mengandung
cefoxitin (mis MRSA Pilih, Bio-Rad; CHROMagar MRSA, BioConnections; MRSA ID,
BIOMERIEUX) dan produsen mengklaim kinerja yang baik dengan proporsi yang tinggi dari
positif terdeteksi setelah inkubasi selama 24 jam. (Brown et al, 2005)

b. Pengayaan.

Kaldu pengayaan telah sering digunakan untuk meningkatkan sensitivitas skrining dengan
memungkinkan kecil jumlah MRSA tumbuh selama inkubasi semalam sebelum subkultur
pada media screening agar. Kaldu pengayaan juga telah banyak digunakan sebagai
'multibroths'. (Brown et al, 2005)

2. Metode Molekuler

Sejumlah metode molekul yang berbeda untuk deteksi cepat MRSA dalam sampel
skrining telah dijelaskan dalam lalu 10 tahun. Mayoritas ini telah mengandalkan multiplexing
PCR primer untuk mendeteksi gen yang mengidentifikasi strain S. aureus (nuc dan
femseringdigunakan) dan mecA. Dalam rangka untuk meningkatkan kecepatan diagnosis,
real-time PCR baru-baru ini diterapkan untuk deteksi MRSA. Namun, jika langsung
digunakan pada spesimen bukan pada bakteri berbudaya, pengujian ini mampu membedakan
antara kultur campuran dari MSSA dan MRCoNS. (Brown et al, 2005).

VI. Pengobatan untuk MRSA pada Dewasa dan Anak

Menurut The Infectious Disease Society of America (IDSA) terdapat beberapa panduan
pengobatan untuk infeksi MRSA pada dewasa dan anak, yaitu :

a. Kultur

1. Kultur dari abses dan SSTIs purulen lain ketika:

a. terapi antibiotik yang digunakan


b. pasien datang dengan infeksi lokal yang parah atau tanda-tanda dan
c. gejala penyakit sistemik
d. cluster atau pecahnya SSTIs diduga abses kulit
e. Insisi dan drainase adalah pengobatan utama.

2. Untuk abses sederhana atau bisul

a) Insisi dan drainase adalah pengobatan utama, tetapi data tambahan diperlukan untuk
memperjelas peran antibiotik untuk jenis infeksi.
b) Terapi antibiotik direkomendasikan untuk abses berhubungan dengan berat atau
penyakit yang luas, perkembangan yang cepat terkait selulitis, tanda-tanda dan gejala
penyakit sistemik, terkait co-morbiditas atau imunosupresi, lansia, abses di daerah
yang sulit untuk mengalirkan (wajah misalnya, tangan, alat kelamin), terkait septik
flebitis dan kurangnya respon terhadap insisi dan drainase.

3. Untuk pasien rawat jalan dengan purulen selulitis (drainase purulen atau eksudat dalam
sebuah abses)

a) Terapi empiris untuk CA MRSA dianjurkan hasil kultur yang tertunda.


b) Terapi empiris untuk infeksi yang disebabkan oleh streptokokus βhemolitik mungkin
tidak diperlukan
c) 5-10 hari terapi dianjurkan tetapi harus didasarkan pada respon klinis pasien plating

4. Untuk pasien rawat jalan dengan selulitis bernanah (selulitis tanpa purulen drainase atau
eksudat dan tidak ada terkait abses)
a) Terapi empiris untuk infeksi yang disebabkan oleh streptokokus βhemolitik
dianjurkan.
b) Terapi empiris untuk CA MRSA dianjurkan pada pasien yang tidak berespon terhadap
terapi beta-laktam dan dapat dianggap sebagai toksisitas sistemik.
c) 5-10 hari terapi dianjurkan tetapi harus berdasarkan respon klinis pasien.

5. Terapi antibiotik empiris pada pasien rawat jalan dengan SSTIs

1. Pilihan antibiotik oral termasuk:

a) Klindamisin
b) Trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMX)
c) Tetrasiklin sebuah (doxycycline atau minocycline)
d) Linezolid

2. Jika cakupan untuk kedua streptokokus β-hemolitik dan CA MRSA yang


diinginkan, pilihan antibiotik termasuk:

a) Klindamisin saja
b) Baik TMP-SMX atau tetrasiklin dalam kombinasi dengan β laktam seperti
amoksisilin
c) Linezolid saja

3. Penggunaan rifampin sebagai agen tunggal atau sebagai tambahan untuk


pengobatan SSTIs tidak direkomendasikan.

6. Pengobatan pasien dirawat di rumah sakit dengan komplikasi SSTIs (infeksi jaringan lunak
lebih dalam, infeksi luka bedah / trauma, abses besar, selulitis, ulkus terinfeksi dan luka
bakar)

1. Selain debridement dan penggunaan antibiotik spektrum luas, terapi empiris untuk
MRSA harus dipertimbangkan hasil kultur tertunda.

2. Pilihan antibiotik empiris meliputi:

a) vankomisin IV
b) lisan atau IV linezolid 600 mg dua kali sehari
c) daptomycin 4mg / kg / dosis IV sekali sehari
d) telavancin 10 mg / kg / dosis IV sekali sehari
e) Ceftaroline 600mg IV setiap 12 jam
f) klindamisin 600 mg IV atau lisan tiga kali sehari
g) β-laktam seperti cefazolin dapat dipertimbangkan pada pasien rawat inap
dengan selulitis bernanah, dengan modifikasi untuk terapi MRSA-aktif jika
tidak ada respons klinis

3. 7-14 hari terapi dianjurkan tetapi harus berdasarkan pada respon klinis pasien.

7. Sebuah. pertimbangan Pediatric

1. Untuk anak-anak dengan infeksi kulit ringan seperti impetigo atau lesi kulit infeksi
sekunder (mis eksim, bisul, luka), mupirocin 2% salep topikal dapat digunakan.

2. Tetrasiklin tidak boleh digunakan pada anak usia <8 tahun.

3. Untuk anak-anak dirawat di rumah sakit dengan komplikasi SSTIs:

a) vankomisin dianjurkan
b) jika pasien stabil tanpa bakteremia berlangsung atau infeksi intravaskular,
terapi empiris dengan klindamisin 10-13 mg / kg / dosis IV setiap 6-8 jam
(untuk mengelola 40 mg / kg / hari) merupakan pilihan jika tingkat resistensi
clindamycin lokal rendah (misalnya kurang dari 10%) dengan transisi ke terapi
oral jika strain rentan.
c) linezolid 600 mg IV atau lisan dua kali sehari untuk anak usia ≥12 tahun dan
10 mg / kg / dosis IV atau lisan setiap 8 jam untuk anak usia <12 tahun adalah
pengobatan alternatif.

VII. Pencegahan penyebaran

secara eksogen dapat dilakukan melalui:

a) Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan setiap pasien atau peralatan yang
berpotensi terkontaminasi.
b) Mencuci tangan setelah melepas sarung tangan.
c) Menjaga lingkungan selalu bersih dan kering.
d) Melakukan pembersihan secara menyeluruh dan mengeringkan semua peralatan yang
telah digunakan.
e) Menerapkan pengobatan topikal untuk mengurangi penyakit kulit jika secara klinis
diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai