Anda di halaman 1dari 18

PSIKOLOGI SASTRA

Oleh:
1. Dwi Novi Rahakjani (1701581002)
2. Ni Komang Sri Astuti (1701581006)
3. Ajeng Diana Wati (1701581017)
4. Wayan Galang Ading Ardika (1701581039)
5. Ni Kadek Rika Wijayanti (1701581067)

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat serta karunia-
Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Psikologi Sastra”. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Bungaku Nyuumon yang di ampu oleh Ida
Ayu Laksmita Sari, S.Hum.,M.Hum.

Makalah ini berisikan tentang pemahaman Psikologi Sastra. Di dalam makalah ini menjelaskan
mengenai definisi psikologi sastra, hubungan psikologi dan sastra, metode an langkah kerja serta
contoh penelitian. Semoga dengan dibuatnya makalah ini dapat menambah pengetahuan
pembaca.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan didalam makalan ini, oleh karena itu penulis
mengharapakan kritik dan saran dari pembaca.

Denpasar, 03 Mei 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………


BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………………………………..
1.1 LATAR BELAKANG……………………………………………………………………….
1.2 RUMUSAN MASALAH…………………………………………………………….………
1.3 TUJUAN PENULISAN………………………………………………………………………
1.4 MANFAAT PENULISAN…………………………………………………………………..
BAB II
PEMBAHASAN……………………………………………………………………………….
2.1 PENGERTIAN PSIKOLOGI SASTRA MENURUT PARA AHLI………………………..
2.2 HUBUNGAN PSIKOLOGI DENGAN SASTRA ………………………………………….
2.3 SASTRA SEBAGAI CERMINAN KEPRIBADIAN……………………………….………
2.4 TEORI DALAM PSIKOLOGI MENURUT FREUD……………………………………….
2.5 KRITERIA PENELITIAN SASTRA MENGGUNAKAN PENDEKATAN PSIKOLOGI
2.6 METODE TELAAH PERWATAKAN…………………………………………………….
2.7 METODE DAN LANGKAH KERJA………………………………………………………
2.8 CONTOH PENELITIAN………………………………………………………………….
BAB III
PENUTUP …………………………………………………………………………………….
3.1 KESIMPULAN ………………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra adalah alat mengekspresikan dan menyampaikan pesan ataupun perasaan manusia.
Manusia berinteraksi dan bersosialisasi ,banyak sekali cerita dan inspirasi yang harus diutarakan
karena sifat mendasar manusia sendiri sebagai makhluk sosial. Sehingga munculah karya sastra
baik cerpen, puisi dan lain-lain yang dijadikan alat mengekspresikan dan mengutarakan pesan
tersebut. Perkembangan sastra pesat sekali berkembang dan timbulah sastra sebagai cabang ilmu
untuk mengkritisi suatu karya sastra, yaitu kritik sastra. Sastra juga cabang ilmu pengetahuan
yang dewasa ini didalami dan dikaji oleh para pakar sastra. Studi sastra memiliki metode-metode
yang ilmiah, walau tidak selalu sama dengan metode ilmu-ilmu alam. Karya sastra pada dasarnya
bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi : individual dan umum. Studi
sastra adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus-menerus.
Dengan berkembangannya ilmu tentang sastra maka bukan hanya unsur-unsur yang
terdapat didalam sebuah karya sastra saja yang dapat dikaji atau analisis tetapi pada saat ini
sastra juga dapat dikaji berdasarkan faktor-faktor yang berasal dari luar sastra itu. Faktor-faktor
dari luar karya sastra yaitu sosiologi sastra, psikologi sastra serta antropologi sastra.
Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan peranan studi psikologis.
Artinya, psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan
bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun
pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis
konflik batin yang terkandung dalam karya sastra. Jadi, Secara umum dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang
disebut dengan “Psikologi Sastra”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian psikologi sastra menurut para ahli?
Apakah hubungan antara Psikologi dan sastra?
3. Bagaimana cerminan sastra sebagai kepribadian?
4. Bagaimana teori psikologi menurut freud?
5. Bagaimana kriteria penlitian sastra yang baik?
6. Apa saja metode telaah perwatakan?
7. Bagaimana Metode dan langkah kerja penelitian menggunakn psikologi sastra?
8. Apa contoh analisis yang menggunakan psikologi sastra?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian psikologi sastra menurut para ahli
Untuk mengetahui hubungan antara Psikologi dan sastra
3. Untuk mengetahui cerminan sastra sebagai kepribadian
4. Untuk mengetahui Teori Psikologi menurut Freud
5. Untuk mengetahui kriteria penelitian sastra yang baik
6. Untuk mengetahui metode telaah perwatakan
7. Untuk mengetahui metode dan langkah kerja
8. Untuk mengetahui contoh hasil penelitian psikologi sastra

1.4 Manfaat Penulisan


Dapat mengetahui Definisi dan hubungan psikologi dan sastra
Dapat mengetahui cerminan sastra sebagai kepribadian
Dapat mengetahui teori psikologi menurut Freud
4. Dapat mengetahui kriteria penilaian sastra yang baik
5. Dapat mengetahui metode telaah perwatakan dan langkah kerja penelitian
6. Dapat mengetahui contoh hasil penelitian psikologi sastra
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Psikologi Sastra Menurut para ahli

Wellek dan Austin (1989), Psikologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu tentang
jiwa. Sedangkan sastra adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis-menulis. Maka jika diartikan
secara keseluruhan, psikologi sastra merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra dari sudut
kejiwaannya. Ratna (2004:340)
Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah
studi psikologi pengarang . Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi psikologi
yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca
(psikologi pembaca). Namun didasarkan pada pendekatan psikologis lebih dekat dengan
pengarang dan karya sastra maka lebih berhubungan pada tiga gejala utama yaitu, pengarang,
karya sastra dan pembaca Ratna (2004:61) .Maka pendekatan psikologis sastra pada pengarang
lebih pada pada pendekatan ekspresif, yaitu kepengarangan. Pada karya sastra lebih pada
pendekatan objektif.
Menurut Ratna (2004:350), “Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan
mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis”. Artinya, psikologi turut berperan
penting dalam menganalisis sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra
tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya
perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam
karya sastra. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi
sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”.
Artinya, dengan meneliti sebuah karya sastra melalui pendekatan Psikologi Sastra, secara tidak
langsung kita telah membicarakan psikologi karena dunia sastra tidak dapat dipisahkan dengan
nilai kejiwaan yang mungkin tersirat dalam karya sastra tersebut.
Dari beberapa pendapat para ahli mengenai psikologi sastra, dapat disimpulkan
mengenai definisi psikologis sastra yaitu kajian teori konsep psikologi yang diterapkan pada
karya sastra pada pengarang dan penokohan. Namun dalam terapannya psikologis sastra lebih
memberikan pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksi yang terkandung dalam karya sastra.
Psikologis sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis seperti
kejiwaan manusia. Namun memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya
sastra. Meskipun demikian psikologi sastra tidak terlepas dalam kebutuhan masyarakat. Secara
tidak langsung karya sastra memberikan pemahaman dan inspirasi terhadap masyarakat.

2.2 Hubungan Psikologis dengan Sastra


Menurut Ratna (2004:343) Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami
hubungan antara psikologis dengan sastra. Pertama , memahami unsur kejiwaan pengarang
sebagai penulis, kedua memahami unsur kejiwaan tokoh fiksi sastra. Ketiga memahami kejiwaan
pembaca. Walaupun lebih menyoroti pada tokoh fiksi dalam penerapanya karena pengaruh
analisi struktualisme dimana terjadi penolakan terhadap objek manusia, unsur-unsur yang
berkaitan dengan pengarang dianggap sebagai kekeliruan biografis.
Dengan penjelasan tersebut jelas bahwa hubungan psikologi dan sastra sangat erat
didalam menganalisis karya sastra. Namun psikologi sastra lebih mengacu pada sastra bukan
pada psikologi praktis. Pada penerapanya sastra atau karya sastra-lah yang menetukan teori,
bukan teori yang menentukan sastra. Sehingga dalam penelitian dipilih dahulu objek karya sastra
barulah kemudian menentukan kajian teori psikologis praktis yang relevan untuk menganalisis.

2.3 Sastra Sebagai Cerminan Kepribadian


Fenomena sastra sebagai cermin pribadi telah lama berkembang , namun demikian istilah
“ cermin” merupakan cerminan pribadi pengarang karena tidak selamanya pribadi pengarang
selaku masuk kedalam kaya sastranya ( Endraswara, 2008:28)

Kepribadian sangat erat hubungannya dengan tingkah laku manusia. Sebagai “penghasil”
kepribadian, manusia hendaklah bercermin dengan tingkah lakunya sendiri. “Kebebasan” dalam
sastra ada dan terjadi sesuai dengan tingkah laku manusia sebagai pembentuknya, sehingga
menjadi “budaya manusia yang utuh”. Moral dan tingkah laku yang terbentuk itu bisa saja
mewakili suatu masyarakat atau golongan apabila hal tersebut sudah menjadi kebiasaan.

2.4 Teori dalam Psikologis menurut Freud


Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada
awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious
(taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Di antara tiga lapisan
itu, taksadar adalah bagian terbesar yang memengaruhi perilaku manusia.
Dalam buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan pembagian lapisan
kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih teknis. Tetapi basis konsepnya
tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih banyak digerakkan oleh
aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian
manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu
1. Id
Menurut Freud, id adalah sumber segala energi psikis, sehingga komponen utama adalah
kepribadian. Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari
semua keinginan, keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas langsung, hasilnya
adalah kecemasan atau ketegangan.
Namun,kebutuhan kepuasan ini tidak selalu realistis atau bahkan mungkin. Jika kita
diperintah seluruhnya oleh prinsip kesenangan, kita mungkin menemukan diri kita meraih hal-hal
yang kita inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginan kita sendiri. Perilaku
semacam ini akan baik mengganggu dan sosial tidak dapat diterima. Menurut Freud, id untuk
menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses utama, yang
melibatkan pembentukan citra mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan
kebutuhan.
2. Ego
Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani dengan cara
realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id dan memastikan bahwa dorongan dari id dapat
dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar,
prasadar, dan tidak sadar. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang berusaha untuk
memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai.
3. Superego
Komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian adalah superego. superego adalah aspek
kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh
dari kedua orang tua dan masyarakat. Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian.
Yang ideal, ego mencakup aturan dan standar untuk perilaku yang baik. Superego bertindak
untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk menekan semua
yang tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat tindakan ego atas
standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip realistis. Superego hadir dalam sadar, prasadar
dan tidak sadar.Maka dari itu timbullah interaksi dari ketiga unsur unsur diatas yaitu dengan
kekuatan bersaing begitu banyak, mudah untuk melihat bagaimana konflik mungkin timbul
antara ego, id dan superego. Freud menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada
kemampuan ego berfungsi meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego
yang baik dapat secara efektif mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan kekuatan ego
terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras hati atau terlalu mengganggu.
Banyak pendapat mengatakan bahwa teori Freud hanya berhasil untuk mengungkapkan
genesis karya sastra , jadi, sangat dekat dengan penelitian proses kreatif. Relevansi teori Freud
dianggap sangat terbatas dalam rangka memahami sebuah karya sastra.
Hubungan yang erat antara psikoanalisis khususnya teori-teori Freud dengan sastra juga
ditunjukkan melalui penelitiannya yang bertumpu pada karya sastra. Teori Freud dimanfaatkan
untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis dibalik gejala bahasa. Oleh karena itu,
keberhasilan penelitian tergantung dari kemampuan dalam mengungkapkan kekhasan bahasa
yang digunakan oleh pengarang. Bagi Freud, asas psikologi adalah alam bawah sadar, yang
didasari secara samar-samar oleh individu yang bersangkutan. Menurutnya, ketaksadaran justru
merupakan bagian yang paling besar dan paling aktif dalam diri setiap orang.
Dengan demikian maka jelas maka psikologi sastra bukanlah menganalisis kebenaran
psikologis namun lebih mempertimbangkan kerelevansian dan peran studi psikologi. Dengan
memusatkan perhatian pada tokoh maka dapat dianalisi konflik batin, yang mungkin saja
bertentangan dengan teori psikologis. Dalam hal tersebut tentulah tidak begitu saja terlihat
dengan kasat mata , namun dengan meneliti sastra dengan teori psikologis yang relevan.

2.5 Kriteria Penelitian Sastra dengan Menggunakan Pendekatan Psikologis

Adapun kriteria penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan psikologis antara lain:
(1) Karya sastra yang bermutu menurut pandangan psikologis adalah karya sastra yang mampu
menggambarkan kekuatan dan kekacauan batin manusia karena hakekat kehidupan manusia itu
adalah perjuangan menghadapi kekalutan batinnya sendiri. Prilaku yang tampak dalam
kehidupan sehari-hari bagi setiap orang belum sepenuhnya menggambarkan diri mereka masing-
masing. Apa yang diperlihatkan belum tentu sama dengan apa yang sesungguhnya terjadi di
dalam dirinya karena manusia seringkali berusaha menutupinya. Kejujuran, kecintaan,
kemunafikan, dan lain-lain, berada di dalam batin masing-masing orang yang kadang-kadang
terlihat gejalanya dari luar dan kadang-kadang tidak. Oleh sebab itu kajian tentang perwatakan
para tokoh harus menukik ke dalam segi kejiwaan.
(2) Kebebasan individu peneliti sangat dihargai, dan kebebasan mencipta juga mendapat tempat
yang istimewa. Dalam hal ini, sangat dihargai individu yang senantiasa berusaha mengenal
hakekat dirinya. Dalam upaya mengenal dirinya pula sastrawan mencipta untuk mengkonkretkan
apa yang bergolak di dalam dirinya.

2.6 Metode Telaah Perwatakan


Sebuah karya sastra merupakan kisahan yang senantiasa bergumul dengan para tokoh fiksional
yang diciptakan oleh si pengarang. Agar ceritera lebih menarik, si pengarang kerap kali
menampilkan perilaku para tokoh dengan kepribadian yang tidak lazim, aneh, atau abnormal,
sehingga menimbulkan berbagai perasaan bagi para pembaca. Tidak jarang para pembaca
bertanya-tanya, mengapa si tokoh berperilaku demikian, apa yang terjadi pada dirinya, apa
penyebabnya, dan apa akibat dari semua ini.
1. Metode Telling dan Showing

Metode telling mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar langsung
dari pengarang.melalui metode ini keikutsertaan atau turut campurnya pengarang dalam
menyajikan perwatakan tokoh sangat terasa, sehingga pembaca memahami dan menghayati
perwatakan tokoh berdasarkan paparan pengarang. Metode langsung atau Direct Method (telling)
mencakup : karakterisasi melalui penggunaan nama tokoh, karakterisasi melalui penampilan
tokoh, dan karakterisasi melalui tuturan pengarang ( Minderop, 2005:8)

Metode Showing (tidak Lamgsung) memperlihatkan pengarang menempatkan diri diluar kisahan
dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk menampilkan perwatakan mereka
melalaui dalog dan action. Metode Showing mencakup : dialog dan tingkah laku, karakterisasi
melalui dialog.

2. Teknik Sudut pandang (Point of View)

Sudut Pandang (SP) merupakan salah satu unsur fiksi yang dapat digolongkan sebagai sarana
cerita. pemilihan Sudut Pandang tidak saja akan mempengaruhi penyajian cerita, tetapi juga
mempangaruhi alur cerita.
Sudut Pandang sendiri memiliki pengertian sebagai cara pengarang menempatkan dirinya di
dalam cerita. Dengan demikian, Sudut Pandang pada hakikatnya merupakan teknik yang sengaja
dipilih penulis untuk menyampaikan gagasan dan ceritanya, melalui kaca mata tokoh atau tokoh-
tokoh dalam ceritanya.

3. Gaya Bahasa : Simile, Metafor , personifikasi dan simbol

a. Simile adalah perkataan perbandingan untuk subjek dan objek yaitu perkataan : macam, bak,
bagai, umpama, seperti, laksana.

Contoh

· Tinggi bagaikan gunung.

· Umpama mimpi dalam igauan.

b. Majas Metafora adalah majas perbandingan yang membandingkan secara langsung dan tepat
atas dasar sifat yang sama atau hampir sama

Contoh:

· Raja singa telah pergi keperaduannya


· Dewi malam telah keluar dari balik awan

c. Majas personifikasi adalah majas yang membandingkan sesuatu dari benda mati seolah-olah
menjadi benda hidup.

contoh:

· hatiku meloncat dari hatinya kepada hatimu

· angin berbisik menyampaikan salamku kepadanya

· penggaris menari di atas meja belajar

d. simbol dalam kesusastraan dapat berupa ungkapan tertulis, gambar, benda, latar, peristiwa,
dan perwatakan yang biasanya digunakan untuk memberi kesan dan memperkuat makna dengan
mengatur dan mempersatukan arti secara keseluruhan

terdapat simbol yang dikenal seperti : Winter ( musim salju) melambangkan usia senja, Spring
( musim semi) lambang kemudaan, summer (musim panas) simbol kedewasaan, dan autumn
(musim gugur) melambangkan keredupan. Kemudian lamb (domba muda) lambang keluguan /
kesucian, lion (singa) lambang keberanian, fire ( api) simbol kekuatan dan rock (karang)
lambang ketegaran.

2.7 Metode dan Langkah Kerja

Freud menggambarkan bahwa pengarang di dalam mencipta ‘diserang’ penyakit jiwa yang
dinamakan ‘neurosis’ bahkan kadang-kadang mencapai tahap ‘psikosis’ seperti sakit saraf dan
mental yang membuatnya berada dalam kondisi sangat tertekan (tidak diartikan dalam kondisi
gila), berkeluh kesah akibat ide dan gagasan yang menggelora yang menghendaki agar
disublimasikan atau disalurkan dalam bentuk penciptaan karya sastra. dan oleh karena karya
sastra tidak dapat dilepaskan dari masalah penciptaan yang diliputi oleh berbagai macam
masalah kejiwaaan, maka untuk menggunakan pendekatan psikologis ini mesti melalui dukungan
psikologi.
Pengetahuan psikologi yang minim bagi peneliti akan menyulitkan dalam pemakaian dan
pengoperasian pendekatan ini. Berikut akan digambarkan metode atau langkah kerja pendekatan
psikologis.

1. Pendekatan psikologis menekankan analisis terhadap keseluruhan karya sastra baik segi
intrinsik maupun segi ekstrinsiknya. Namun penekanannya pasa segi intrinsiknya, yaitu dari segi
penokohan dan perwatakannya (dalam fiksi).

2. Segi ekstrinsik yang dipentingkan untuk dibahasa adalah mengenai diri pengarang yang
menyangkut masalah kejiwaaan, cita-cita aspirasi, obsesi, keinginan, falsafah hidup, dan lain-lain.
Dalam hal ini perlu perlu dilacak riwayat hidup pengarang dari masa kecil karena adanya
anggapan bahwa peristiwa kejiwaan dan pengalaman masa kecil akan mempengaruhi kehidupan,
tindakan, dan cara berpikir yang bersangkutan pada masa dewasa. Dengan memahami segi
kejiwaan pengarang, akan ssangat membantu dalam memahami perilaku dan perwatakan tokoh-
tokoh cerita yang ditulisnya. Apa yang ditulis pengarang boleh jadi merupakan tumpukan
pengalaman kejiwaan. Dengan demikian, akan menjadi mudah pula menalarkan segi-segi lain
yang ada kaitannya dengan perilaku dan watak tokoh cerita.

3. Di samping menganlisis penokohan dan perwatakan, dilakukan pula analisis yang lebih tajam
tentang tema utama karya sastra, karena pada masalah perwatakan dan tema ini pula pendekatan
psikologis sangat tepat diterapkan, sedangkan aspek lain lebih cocok digunakan pendekatan lain.

4. Di dalam analisis perwatakan harus dicari nalar tentang perilaku tokoh. Apakah perilaku
tersebut dapat diterima ditinjau dari segi psikologi. Juga harus dijelaskan motif dan niat yang
mendukung tindakan tersebut. Kalau ada prilaku tokoh yang berubah tajam, misalnya
sebelumnya brutal kemudian menjadi kalem, maka peneliti mesti menalarkannya dengan
mencari data-data yang diperkirakan dapat mendukung tindakan tersebut. Dengan begitu, berarti
peneliti diminta secara jeli mengikuti tingkah laku tokoh dari satu peristiwa ke peristiwa lain.

5. Proses penciptaan adalah hal lain yang harus mendapat perhatian. Harus diketahui apa motif
penciptaan. Harus dilihat apakah penciptaan disebabkan oleh endapan pengalaman batin atau ada
pengalaman atau keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi dimana kekecewaan itu segera
tersalurkan lewat jalan menulis. Bisa jadi seorang penulis yang mempunyai fisik kecil dan lemah
akan melampiaskan kekurangan itu dengan mensublimasikannya dengan jalan menciptakan
tokoh yang kekar, keras, dan perkasa. Dengan demikian segala angan-angan atau obsesi yang
menggunung yang menyebabkan ia mencipta tetapi yang mendorongnya adalah kemampuan
imajinasi dan kebebasan berpikir dan berbicara.

6. Konflik serta kaitannya dengan perwatakan dan alur cerita harus pula mendapat kajian.
Bahkan perlu dijelaskan perwatakan yang dihinggapi gejala neurosi, psikosis, dan halusinasi.
Dalam menganalisis konflik harus dilihat apakah konflik itu terjadi dalam diri tokoh, atau konflik
dengan tokoh lain atau situasi yang berbeda di luar dirinya.

7. Analisis dapat diteruskan kepada analisis pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Pengaruh
yang mesti mendapat perhatian adalah pengaruh yang menimbulkan kesan mendalam yang
menghunjam sanubari yang pada akhirnya berdampak didaktis pada dirinya. Dalam hal ini sulit
sekali menganalisis kesan pembaca karena wujudnya sangat abstrak.

2.8 Contoh Penelitian

Berdasarakan teori psikoanalisis Sigmund Freud, didapatkan hasil penelitian berupa psikologi
kepribadian pada novel Dilan Dia adalah Dilanku Tahun 1990 karya Pidi Baiq. Unsur psikologi
yang diteliti adalah unsur id,ego, dan superego. Penelitian ini dipusatkan pada tokoh utama yaitu
Milea. Unsur-unsur psikologi tersebut dipaparkan sebagai berikut: IdTokoh Milea yang
merupakan tokoh utama dalam novel ini mempunyai dorongan keinginan dengan mencari tahu
sesuatu hal yang akan berujung pada pemenuhan rasa senang atau penolakan terhadap
ketidaknyaman yang ia rasakan. Tokoh Milea juga mempunyai dorongan untuk memenuhi
kebutuhan biologisnya.
Contoh :
Milea ingin mengetahui kejadian di depan pada saat upacara. Rasa ingin tahu Milea merupakan
ciri dari id yaitu mencari kesenangan. Hal ini terlihat dari kutipan teks berikut:
“Kupandang ke depan karena ingin tahu soal apa gerangan, tapi justru di saat itulah aku bisa
melihat dirinya.”(hlm. 31)

Ego Tokoh Milea berusaha mengendalikan id dengan mengambil keputusan atau dengan
memenuhi id.
Contoh: Perilaku yang ditunjukkan oleh Milea merupakan ciri dari ego yaitu membuat
keputusan untuk mempertahankan kehidupan dengan tetap waspada terhadap orang yang belum
dikenalnya. Hal ini terlihat dari kutipan teks berikut:
“Aku gak tahu apa yang dia inginkan. Aku hanya berpikir dia adalah salah satu dari anak nakal
di dunia, yang suka menggoda perempuan di jalan. Pikiranku mengembara. Meskipun saat itu
banyak orang yang pada mau pergi sekolah, aku merasa harus tetap waspada, khawatir
barangkali dia mau berbuat buruk kepadaku.” (hlm. 20)

Superego mengacu pada moralitas dalam kepribadian, penentuan baik atau buruk perilaku, kata
hati (menghukum perilaku yang salah), dan merintangi dorongan id.
Contoh : Perilaku Milea menunjukkan ciri dari superego yaitu kebenaran nilai-nilai budaya
dalam masyarakat dengan bersikap ramah kepada orang yang ditemui. Hal ini terlihat dari
kutipan teks berikut:
“Kamu Milea ya?” tanya dia kemudian berusaha membuat percakapan.
“Eh?” Aku tersentak. Kutoleh lagi dirinya, memastikan barangkali akukenal, nyatanya tidak. Dia
menatapku dan tersenyum.
“Iya”. Alasan utamaku menjawab adalah sekadar untuk bisa bersikap ramah.” (hlm. 20)
Perilaku Milea menunjukkan id,ego dan superego. Milea bekerja sama sehingga mampu
mengontrol keinginannya. Id Milea menginginkan Dilan ikut belajar bersamanya, namun ego
mengambil keputusan menahan keinginan tersebut, dan superego Milea mampu mengontrol
karena merasa tidak enak kepada teman-temannya. Hal ini terlihat dari kutipan teks berikut:
“Jangan ikut belajar di kelasku!” kataku sambil aku goyangkan jari telunjukku. Aslinya sih aku
suka ada Dilan dikelasku, tapi aku merasa gak enak ke temen-temen.” (hlm. 60)

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan demikian dapat definisi psikologis satra yaitu kajian teori konsep psikologi yang
diterapkan pada karya sastra pada pengarang dan penokohan. Namun dalam terapannya
psikologis sastra lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang
terkandung dalam karya sastra.
Psikologis sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis seperti
kejiwaan manusia. Namun memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya
sastra. Meskipun demikian psikologi sastra tidak terlepas dalam kebutuhan masyarakat. Secara
tidak langsung karya sastra memberikan pemahaman dan inspirasi terhadap masyarakat.

Menurut Ratna (2004:350), “Psikologi Sastra adalah analisis tqaeks dengan


mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis”. Artinya, psikologi turut berperan
penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya
sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya.
Penelitian psikologi sastra dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, melalui
pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua,
dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian
ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis.

Konsep menurut Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada
awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious
(taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Tetapi basis
konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih banyak
digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan
struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego.
Metode telaah perwatakan dapat dibagi menjadi 4 yaitu telling dan showing, sudut pandang,
gaya bahasa dan simbol

Pendekatan psikologis menekankan analisis terhadap keseluruhan karya sastra baik segi
intrinsik maupun segi ekstrinsiknya. Namun penekanannya pasa segi intrinsiknya, yaitu dari segi
penokohan dan perwatakannya (dalam fiksi).
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai