Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HUKUM KEPAILITAN

OLEH KELOMPOK 3
 RONALD SABASTIAN SOKO 196602111
 AFIFAH 196602162
 MUSPIANDI 196602153
 IRAWATI PATODINGAN 196602125
 WAWAN SATRYAWAN 196602025

AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI 66 KENDARI
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “Hukum Kepailitan” Dan juga kami berterima kasih pada Bapak L.M.IMAN
ABDI A.UKE,SH,MH mata Kuliah Lingkungan bisnis dan Hukum komersial yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan dan pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, adanya
kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa ada saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat di pahami oleh siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah di susun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran membangun demi perbaikan di masa depan.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Sejarah hukum kepailitan........................................................................ 3
2.2 Pengertian KEPAILITAN........................................................................ 6
2.3 Dasar hokum KEPAILITAN…………………………………………………. 6
2.4 Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan KEPAIITAN.............................. 7
2.5 Pihak-pihak yang dapat dijatuhkan hokum KEPAILITAN......................... 8
2.6 Prose/langkah terjadinya kepailitan....................................................... 15

BAB III : PENUTUP


2.6 Kesimpulan.......................................................................................... .16
2.7 Saran.................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di dalam dunia bisnis kebutuhan akan dana merupakan kebutuhan
pokok yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha untuk mempertahankan dan
menunjang kelangsungan kegiatan usahanya, sehingga untuk mengatasi
persoalan kebutuhan dana tersebut pinjaman modal dalam bentuk utang
piutang merupakan solusi yang sering ditempuh oleh pelaku usaha.
Upaya dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat
melakukan kewajibannya membayar utang-utangnya kepada pihak lain sehingga
mengakibatkan terjadi penyitaan atas harta (aset) perusahaan untuk melunasi
utang tersebut setelah adanya gugatan oleh pihak yang berpiutang (kreditur) ke
pengadilan dalam hal ini sering disebut dengan terjadi pailit terhadap perusahaan
(debitur).
Perkembangan ekonomi yang semakin pesat dan perdagangan yang semakin
global sehingga muncul berbagai permasalahan utang piutang yang mengakibatkan
kepailitan yang timbul dalam masyarakat. Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia
diartikan sebagai keadaan yang merugi, bangkrut, sedangkan dalam kamus hukum
ekonomi menyebutkan bahwa, likuidasi adalah pembubaran perusahaan diikuti dengan
proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, serta
penyelesaian sisa harta atau utang antara pemegang saham.
Untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut
yang akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban- kewajiban
yang sudah jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahan- perubahan yang
cukup signifikan dalam peraturan perundung- undangan, salah satunya adalah
dengan merevisi Undang- Undang kepailitan Yang ada.
Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), “Kepailitan adalah
sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini. Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur
yang sudah dinyatakan tidak mampu membayar utang-utangnya lagi.
Di dalam dunia perniagaan! apabila debitur tidak mampu ataupun tidak
maumembayar utangnya kepada kreditur "disebabkan oleh situasi ekonomi yang sulit
atau keadaan terpaksa maka telah disiapkan suatu pintu darurat& untuk
menyelesaikan persoalan tersebut,yaitu dikenal dengan lembaga kepailitan&
penundaan pembayaran.
Proses kepailitan dimulai dengan adanya suatu permohonan pailit terhadap
debitur yang memenuhi syarat, sesuai Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban PembayaranUtang
(selanjutnya disebut UUK dan PKPU) yang menyatakan bahwa ”Debitur yang
mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu ataulebih
dari krediturnya.”
Terpenuhinya syarat yang ditentukan di atas, maka permohonan pailit atas
debitur tersebut, dapat diajukan oleh satu atau lebih krediturnya ke Pengadilan Niaga,
yang merupakan badan peradilan yang berwenang untuk memproses,
memeriksa dan mengadili perkara kepailitan. Apabila permohonan pailit tersebut
dikabulkan maka Pengadilan Niaga akan mengeluarkan putusan yang menyatakan
debitur tersebut dalam keadaan pailit.
Mengenai Hal-hal ringkas tentang kepailitan di atas maka sangat pentingbagi kita
untuk mengetahui secara mendalam tentang hukum kepailitan.

1.2 Rumusan Masalah

 Bagaimana Sejarah hukum kepailitan?


 Apa pengertian kepailitan secara umum ?
 Apa saja dasar hukum kepailitan?
 Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan kepailitan?
 Pihak yang dapat di jatuhkan hukum kepailitan?
 Prose/langkah terjadinya kepailitan?
BAB 2
PEMBAHASAN
A. SEJARAH HUKUM KEPAILITAN

Secara historis, permasalahan kepailitan di Indonesia telah diatur dalam beberapa


peraturan perundang-undangan. Dalam modul ini sejarah hukum kepailitan
dikategorikan dalam beberapa fase antara lain sebagai berikut:
1 Fase sebelum Tahun 1945;
a. Zaman penjajahan Belanda (tahun 1602-1942)
Pada awalnya, pengaturan kepailitan diatur dalam dua macam peraturan kepailitan
akibat dari pembedaan antara pedagang dengan bukan pedagang.
Utk pedagang Indonesia diatur dalam KUHD dalam Buku Ketiga, yang berjudul Van De
Voorzieningen In Geval Van Onvermorgen Van Kooplieden (Peraturan
Ketidakmampuan Pedagang);
Utk bukan pedagang diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering biasa disingkat
dengan Rv (Staatsblad Nomor 1847 Nomor 52 jo Staatsblad Nomor 1849 Nomor 63),
Buku Ketiga, Bab Ketujuh yang berjudul Van den staat van Kennelijk Onvermogen.
Kepailitan yang diatur dalam KUHD dan Rv menimbulkan banyak kesulitan dalam
penerapannya, sehingga diinginkan adanya peraturan kepailitan yang
sederhana.[1] Solusi problematika tersebut, kemudian diundangkan Faillisements
verordening (Staatsblad 1905 No. 217) atau lengkapnya disebut sebagai Verordening
op het Faillisements en de Surseance van Betaling voor Euro peanenin Nederlands
Indie (Peraturan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang untuk
orang-orang Eropa)[2] yang sejalan dengan dengan ketentuan Pasal 163 Indische
Staatsregeling (IS).[3] Dengan berlakunya FV maka mencabut seluruh ketentuan Buku
III WvK, Buku III, Bab VII Pasal 899-915.
b. Zaman penjajahan Jepang (tahun 1942-1945).
Pada masa ini tidak ada peraturan kepailitan yang dibuat oleh Jepang. Namun pada
1947, Pemerintah Hindia Belanda di Jakarta menerbitkan Peraturan Darurat Kepailitan
(Noodsregeling Faillissementen) Tahun 1947 S. Tahun 1947-214 yang mulai berlaku
19 Desember 1947, selanjutnya disebut 214 Peraturan Darurat Kepailitan yang
bertujuan untuk memberikan dasar hukum bagi penghapusan putusan pailit yang
terjadi sebelum berakhirnya masa penjajahan Jepang.[4] Peraturan Darurat Kepailitan
karena bersifat sementara, dan tugas-tugas yang diatur di dalamnya sudah selesai
dilaksanakan, maka tidak berlaku lagi. Selain itu, berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah
kolonial, termasuk Peraturan Darurat Kepailitan tidak berlaku lagi karena dibuat setelah
kemerdekaan.[5]

Fase Kemerdekaan;
Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “Segala badan
negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini.
Berdasarkan Aturan Peralihan tersebut, seluruh perangkat hukum yang berasal dari
zaman Hindia Belanda diteruskan berlakunya setelah proklamasi kemerdekaan,
kecuali jika setelah diuji ternyata bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di
dalam Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang
Dasar 1945.[6] Sehubungan dengan ketentuan aturan Peralihan tersebut, maka
setelah proklamasi kemerdekaan, untuk kepailitan berlaku Faillissementverordening S.
1905-217 jo S. 1906-348 yang dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai “Peraturan
Kepailitan”.[7]
a. Fase Reformasi (Tahun 1998-2004);
Untuk mengatasi gejolak moneter beserta akibatnya yang berat terhadap
perekonomian, salah satu persoalan yang sangat mendesak dan memerlukan
pemecahan adalah penyelesaian utang-piutang perusahaan, dan dengan demikian
adanya peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran yang dapat
digunakan oleh para Debitor dan Kreditor secara adil, cepat, terbuka dan efektif
menjadi sangat perlu untuk segera diwujudkan.[8] Selain untuk memenuhi kebutuhan
dalam rangka penyelesaian utang-piutang tersebut di atas, terwujudnya mekanisme
penyelesaian sengketa secara adil, cepat, terbuka dan efektif melalui suatu pengadilan
khusus di lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk dan bertugas menangani,
memeriksa dan memutuskan berbagai sengketa terntu di bidang kepailitan dan PKPU,
juga sangat diperlukan dalam penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan
perekonomian pada umumnya.[9]
Sehubungan dengan permasalahan tersebut diatas maka ditetapkanlah Perpu Nomor
1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan pada tanggal 22
April 1998 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998
tentang Undang-Undang Kepailitan (UUK) pada tanggal 9 September 1998.
b. Fase setelah tahun 2004.
Ternyata UU Nomor 4 Tahun 1998 (UUK) juga terdapat kelemahan, maka
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) pada tanggal 18 Oktober
2004.
Didasarkan pada Pasal 307 UUKPKPU tersebut maka UUK dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang tentang Kepailitan
(Faillissementsverordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) dan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3778), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”[10]

Beberapa Peraturan Perundang-undangan Tentang Kepailitan dan PKPU di negara


lain:[11]
1. Di Inggris sekarang berlaku Insolvensi Act of 1986;
2. Di Amerika Serikat sekarang berlaku Bankrupcty code 1978;
3. Di Nederland berlaku Faillissementwet 1893 yang sudah mengalami beberapa kali
perubahan, terakhir kalinya tahun 1992;
4. Di Australia dewasa ini berlaku Bankruptcy Act 1966 yang sudah beberapa kali
diamandemen di antaranya tahun 1987;
5. Di Malaysia berlaku Bankrupcty Act 1967 yang sudah mengalami beberapa kali
perubahan sampai dengan tahun 2002. Hal yang sama juga berlaku di
Singapore.[12]
silakan klik di materi selanjutnya untuk ulasan materi selanjutnya!

Footnote:
[1] Syamsudin M. Sinaga, Op. cit, hlm. 21
[2] Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) Teori dan Praktik Dilengkapi dengan Putusan-Putusan Pengadilan Niaga,
Alumni, Bandung, 2010, hlm. 62
[3] Pasal 163 IS yang mengatur penggolongan penduduk Hindia Belanda:
Apabila ketentuan-ketentuan undang-undang ini, peraturan-peraturan umum lainnya,
reglement-reglement, peraturan-peraturan kepolisian dan ketentuan-ketentuan
administratif membedakan antara orang-orang Eropa, orang-orang pribumi dan Timur
Asing, maka berlaku pelaksanaannya aturan-aturan sebagai berikut :
Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Eropa adalah :
1. Semua orang Belanda
2. Semua orang yang berasal dari Eropa
3. Semua orang Jepang
4. Semua orang berasal dari tempat lain yang dinegaranya tunduk kepada hukum
keluarga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum Belanda
5. Anak sah atau diakui menurut undang-undang dan anak yang dimaksud huruf b dan
c yang lahir di India.
Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang pribumi kecuali kedudukan bagi
orang-orang Kristen pribumi yang harus diatur dengan ordonantie, ialah semua orang
yang termasuk penduduk Hindia Belanada dan tidak pindah kedalam kelompok
penduduk lain dari pada kelompok pribumi, demikian pula mereka, demikian pula yang
pernah termasuk kelompok penduduk lain dari pada kelompok pribumi, namun telah
membaurkan dengan penduduk asli.
Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Timur asing, kecuali kedudukan
hukum yang harus diatur dengan ordonantie bagi orang-orang diantara mereka yang
yang menganut keyakinan Kristen, ialah semua orang yang tidak terkena syarat-syarat
yang disebuut dalam ayat 2 dan 3 pasal ini.
B. PENGERTIAN HUKUM KEPAILITAN SECARA UMUM
Kepailitan (dari bahasa Belanda: 'failliet') merupakan suatu proses di
mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar
utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini adalah pengadilan
niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya, Harta
debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.

Definisi
Definisi pailit atau bangkrut menurut Black’s Law Dictionary adalah
seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang
cenderung mengelabuhi pihak kreditornya. Sementara itu, dalam Pasal 1 butir
1, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan
hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang – undang ini. Pasal 1 butir
4, debitor pailit adalah debitor yang dinyatakan pailit dengan keputusan
pengadilan.

C. DASAR HUKUM KEPAILITAN

Adapun pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia dapat dilihat dalam


beberapa ketentuan antara lain:
 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran;
 UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
 UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
 UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia
 Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW) yaitu Pasal 1131-1134.
 Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai
BUMN (UU No.19 Tahun 2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun 1995),
Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) , Koperasi (UU No. 25 Tahun 1992)

D. PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN KEPAILITAN


Di dalam perturan perundang-undangan khususnya pasal 2 Undang-
Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang ada beberapa pihak yang dapat mengajukan pailit ke
pengadilan.

 Pihak kreditor
Pihak kreditor secara sendiri atau bersama-sama dengan kreditor yang lain dapat
mengajukan permohonan pailit pihak debitor ke pengadilan. Tentunya setelah
syarat-syarat pengajuan pailit terpenuhi sebagaimana ketentuan undang-undang.

Ilustrasinya sebagai berikut:


Misalnya PT Aneka Tambang mempunyai utang yang telah jatuh tempo kepada
Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank BCA. Maka pihak yang dapat
memohonkan pailit PT Aneka Tambang bukan hanya misalnya bank BCA atau
Danamon saja, tetapi juga ketiga bank tersebut mengajukan bersama-sama.

 Kejaksaaan
Kejaksaan juga dapat mengajukan pailit. Menurut undang-undang hal ini dilakukan
jika badan usaha yang ingin dimohonkan pailit ke pengadilan—berdasarkan
analisis Kejaksaan—adalah demi kepentingan umum. Artinya menyangkut
kepentingan orang banyak.

Kasus yang pernah terjadi:


Di dalam catatan kasus yang penulis himpun dari hukumonline kejaksaan
pernah mengajukan permohonan kepailitan ke pengadilan atas PT. Qurnia
Subur Alam Raya. Hal itu karena kejaksaan mengalami kesulitan untuk
mengeksekusi putusan Mahkamah Agung No. 308K/Pid/2004 yang telah
menghukum para pengurus perusahaan tersebut. Kemudian kejaksaan
mengalami kesulitan untuk membagi aset perusahaan dengan jumlah
investornya yang sangat banyak yaitu 6.480 dengan kedudukan hukum yang
berbeda juga maka kejaksaan berinisiatif untuk mengajukan permohonan pailit.
 Bank Indonesia
Dalam hal badan usaha yang ingin dipailitkan adalah bank maka pihak yang
berwenang adalah bank Indonesia tidak ada yang lain.

Hal itu karena bank turut andil dalam kegiatan ekonomi nasional, sehingga jika
bukan bank Indonesia yang mengajukan pailit maka akan terjadi guncangan
ekonomi. Terlebih jika yang dimohonkan pailit adalah bank bank yang berdampak
sistemik.

Bank Indonesia tentunya tidak sembarangan untuk memailitkan bank, selain


melakukan analisa terlebih dahulu tentang dampak yang akan ditimbulkan.

 Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)


Bapepam menjadi pihak yang paling berwenang untuk mengajukan kepailitan pada
pengadilan jika debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring
dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.

Namun karena sekarang Bapepam sudah digantikan oleh Otoritas Jasa Keungan
maka memohonkan pailit terhadap lembaga-lembaga tersebut di atas maka
kewenangan sepenuhnya dilimpahkan kepada OJK. Hal tersebut dapat dilihat pada
Pasal 55 ayat (1) undang-undang OJK.

 Menteri Keuangan
Perlu dipahami juga bahwa dengan lahirnya OJK maka tugas yang menjadi
kewenangan menteri keuangan dalam hal kepailitan dilimpahkan juga ke OJK
sebagaimana tugas Bapepam-LK.

Dalam hal kewenangan menteri keuangan dalam memohon kepailitan adalah


berkaitan dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,
atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik

Salah satu kasusnya:


Pada tahun 2015 Mahkamah Agung mengeluarkan putusan pailit putusan
Nomor 408 K/Pdt.Sus- Pailit/2015 yang diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan
atas PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ).

E. PIHAK-PIHAK YANG DAPAT DIJATUHKAN HUKUM KEPAILITAN


1. Debitor;
Pasal 1 angka 3 UU Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa Debitor
adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang
yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
Debitor ini dapat bersifat perseorangan maupun badan hukum seperti
Perseroan Terbatas/Yayasan/Asosiasi maupun Perkongsian/Partner.[1]
Kemudian apabila pihak yang mengajukan pailit adalah Debitor dan kemudian
oleh Hakim Pengadilan Niaga permohonan tersebut dikabulkan, pemohon pailit
tersebut berubah menjadi Debitor Pailit.[2]
2. Kreditor
Pasal 1 angka 2 UU Nomor 37 Tahun 2004 menentukan Kreditor adalah
orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang
dapat ditagih di muka pengadilan.
Kreditor dalam perkara Kepailitan dan PKPU terbagi menjadi 3 tingkatan yaitu:
I. Kreditor Konkuren;
Kreditor konkuren atau kreditor bersaing adalah kreditor yang tidak mempunyai
keistimewaan sehingga kedudukannya satu sama lain sama.[3]
II. Kreditor Separatis;
Kreditor yang dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Termasuk kreditor seperti misalnya pemegang gadai, pemegang jaminan
fidusia, hak tanggungan, hipotik, agunan kebendaan lainnya.[4]
III. Kreditor Preferent;
Kreditor Preferent atau kreditor dengan hak istimewa adalah kreditor seperti
yang diatur dalam Pasal 1139 KUHPerdata dan Pasal 1149 KUHPerdata.`
Pasal 1139 KUHPerdata mengatur jenis-jenis Kreditor yang diistimewakan
terhadap benda-benda tertentu yaitu:
1. Biaya perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang bergerak atau
barang tak bergerak sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai
pemilikan atau penguasaan. Biaya ini dibayar dengan hasil penjualan barang
tersebut, lebih dahulu daripada segala utang lain yang mempunyai hak
didahulukan, bahkan lebih dahulu daripada gadai hipotek;
2. Uang sewa barang tetap, biaya perbaikan yang menjadi kewajiban penyewa
serta segala sesuatu yang berhubungan dengan pemenuhan perjanjian sewa
penyewa itu;
3. Harga pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar;
4. Biaya untuk menyelamatkan suatu barang;
5. Biaya pengerjaan suatu barang yang masih harus dibayar kepada pekerjanya;
6. Apa yang diserahkan kepada seorang tamu rumah penginapan oleh pengusaha
rumah penginapan sebagai pengusaha rumah penginapan;
7. Upah pengangkutan dan biaya tambahan lain;
8. Apa yang masih harus dibayar kepada seorang tukang batu, tukang kayu dan
tukang lain karena pembangunan, penambahan dan perbaikan barang-barang
tak bergerak, asalkan piutang itu tidak lebih lama dari tiga tahun, dan hak milik
atas persil yang bersangkutan masih tetap ada pada si debitur;

9. Penggantian dan pembayaran yang dipikul oleh pegawai yang memangku


jabatan umum karena kelalaian, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan yang
dilakukan dalam melaksanakan tugasnya.
Pasal 1149 KUHPerdata mengatur hak-hak istimewa atas semua benda
bergerak dan benda tak bergerak pada umumnya, yaitu:
1. Biaya perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang sebagai
pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan
penyelamatan harta benda; ini didahulukan daripada gadai dan hipotek;
2. Biaya penguburan, tanpa mengurangi wewenang Hakim untuk menguranginya,
bila biaya itu berlebihan;

3. Segala biaya pengobatan terakhir;


4. Upah para buruh dari tahun yang lampau dan apa yang masih harus dibayar
untuk tahun berjalan, serta jumlah kenaikan upah menurut Pasal 160 q; jumlah
pengeluaran buruh yang dikeluarkan/dilakukan untuk majikan; jumlah yang
masih harus dibayar oleh majikan kepada buruh berdasarkan Pasal 1602 v
alinea keempat Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini atau Pasal 7 ayat (3)
“Peraturan Perburuhan Di Perusahaan Perkebunan”; jumlah yang masih harus
dibayar oleh majikan pada akhir hubungan kerja berdasarkan Pasal 1603 s bis
kepada buruh; jumlah yang masih harus dibayar majikan kepada keluarga
seorang buruh karena kematian buruh tersebut berdasarkan Pasal 13 ayat (4)
“Peraturan Perburuhan Di Perusahaan Perkebunan”; apa yang berdasarkan
“Peraturan Kecelakaan 1939” atau “Peraturan Kecelakaan Anak Buah Kapal
1940” masih harus dibayar kepada buruh atau anak buah kapal itu atau ahli
waris mereka beserta tagihan utang berdasarkan “Peraturan tentang
Pemulangan Buruh yang diterima atau dikerahkan di Luar Negeri”;

5. Piutang karena penyerahan bahan-bahan makanan, yang dilakukan kepada


debitur dan keluarganya selama enam bulan terakhir;
6. Piutang para pengusaha sekolah berasrama untuk tahun terakhir;
7. Piutang anak-anak yang masih di bawah umur atau dalam pengampuan wali
atau pengampuan mereka berkenaan dengan pengurusan mereka, sejauh hal
itu tidak dapat ditagih dari hipotek-hipotek atau jaminan lain yang harus
diadakan menurut Bab 15 Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Perdata
ini, demikian pula tunjangan untuk pemeliharaan dan pendidikan yang masih
harus dibayar oleh para orangtua untuk anak-anak sah mereka yang masih di
bawah umur.

1. Ketiga jenis Kreditor berdasarkan tingkatannya atau dapat disebut


tingkatan para Kreditor kepailitan tersebut berbeda dengan jenis-jenis atau
macam Kreditor dalam inventarisasi Kurator terhadap piutang Kreditor yang
akan dibahas dalam rapat pencocokan utang.[5] Jenis-jenis Kreditor dimaksud
adalah:[6]
1. Kreditor yang diakui yang kemudian akan dimasukkan kedalam Daftar
Piutang yang Diakui;
2. Kreditor yang diakui sementara yang kemudian akan dimasukkan
kedalam Daftar Piutang yang Diakui Sementara;
3. Kreditor yang dibantah yang kemudian akan dimasukkan kedalam
Daftar Piutang Yang Dibantah.
Hal-hal sehubungan dengan pelaksanaan hak Kreditor berkaitan dengan
kepailitan Debitor diatur dalam Pasal 55 sampai dengan Pasal 61 UU nomor 37
Tahun 2004 Tetang Kepailitan dan PKPU.
3. Kurator;
Dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat kurator dan seorang hakim
pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan.[7] Maka timbulah pertanyaan:
Siapakah yang dimaksud dengan Kurator?
Kurator adalah pihak yang bertugas untuk melakukan pengurusan dan/atau
pemberesan harta pailit.[8]
Kemudian siapakah yang menjadi Kurator?
Pasal 70 ayat (1) UU K-PKPU mengaturnya yaitu:
1. Balai Harta Peninggalan;
Balai Harta Peninggalan (BHP) adalah instansi pemerintah yang berada di bawah
Kementerian Hukum dan HAM yang melakukan pelayanan jasa hukum di bidang
kepailitan dan PKPU serta bidang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.[9] BHP dapat diangkat oleh pengadilan niaga dengan putusan untuk
melakukan pelayanan jasa hukum di bidang kepailitan dan PKPU. BHP yang diangkat
pengadilan niaga bertindak sebagai Kurator dan/atau Pengurus.

Apabila BHP menangani perkara kepailitan disebut Kurator, sedangkan apabila


mengurusi harta Debitor bersama-sama dengan Debitor PKPU disebut Pengurus.[10]
2. Kurator lainnya, dengan kriteria:[11]
 Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia;[12]
 Memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau
membereskan harta pailit;
 Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang hukum dan peraturan perundang-undangan (Departement Hukum dan
HAM).
Dalam melaksanakan tugasnya kurator (baik BHP maupun orang perseorangan)
harus:[13]
 Kurator yang diangkat harus independen[14];
 Tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor;
 Tidak sedang menangani perkara kepailitan dan PKPU lebih dari 3 (tiga)
perkara.
Siapakah yang menunjuk dan mengangkat Kurator?
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU K-PKPU, dapat diketahui bahwa
pengangkatan kurator adalah kewenangan pengadilan niaga tetapi masing-masing
pihak dapat mengusulkan Kurator. Pengadilan Niaga dapat menetapkan BHP
sebagai Kurator apabila Debitor atau Kreditor tidak dapat bersepakat untuk menunjuk
salah satu Kurator dari beberapa Kurator yang diusulkan oleh masing-masing mereka.
Apakah Pengadilan Niaga boleh mengangkat pihak lain sebagai Kurator yang berasal
bukan dari calon-calon Kurator yang diusulkan? Hal tersebut tidak diatur dalam UU
Nomor 37 Tahun 2004.
Kapankah Kurator melaksanakan berwenang tugasnya?
Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta
pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut
diajukan Kasasi atau PK.[15]
Berapakah jumlah Kurator dalam perkara Kepailitan dan PKPU?
Pada umumnya satu orang
Apakah dimungkinkan adanya lebih dari satu Kurator?
Berdasarkan Pasal 71 UU K-PKPU, ada kemungkinan lebih dari satu Kurator
(tambahan) atas:
 Permohonan Kurator sendiri;
 Permohonan Kurator lainnya;
 Usul hakim pengawas;
 Permintaan Debitor Pailit.
Apakah ada kemungkinan penggantian Kurator dalam tugasnya?
Berdasarkan Pasal 71 maka dimungkinkan untuk penggantian Kurator atas:
 Permohonan Kurator sendiri;
 Permohonan Kurator lainnya;
 Usul hakim pengawas;
 Permintaan Debitor Pailit.
Selain penggantian Kurator, berdasarkan Pasal 71 ayat (2), Pengadilan Niaga juga
berwenang untuk memberhentikan atau mengangkat Kurator atas permohonan atau
atas usul Kreditor Konkuren berdasarkan putusan rapat kreditor yang diselenggarakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) juncto Pasal 90 UU K-PKPU.
Hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi dan tugas serta kewajiban Kurator diatur
dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 78 UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan PKPU.

4. Hakim Pengawas;
Perkara Kepailitan dan PKPU diadili oleh Majelis Hakim baik pada yudex
facti (Pengadilan Niaga) maupun pada yudex yuris (Mahkamah Agung) untuk perkara
Kasasi dan Peninjauan Kembali. Majelis Hakim tersebut terdiri atas hakim-hakim pada
Pengadilan Niaga, yakni hakim-hakim Pengadilan. Tugas Hakim Pengawas
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 65 UU K-PKPU adalah mengawasi pengurusan
dan pemberesan harta pailit.
Keberadaan Hakim Pengawas ini mutlak dalam penyelesaian kepailitan , karena
seperti diatur dalam Pasal 56 UU K-PKPU yang sama dengan ketentuan Pasal 64
Faillisementverordening (yang tidak dicabut atau diubah UU Nomor 4 tahunj 1998
Tentang Kepailitan dan PKPU), Pengadilan wajib mendengar pendapat Hakim
Pengawas, sebelum mengambil suatu keputusan mengenai pengurusan atau
pemberesan harta pailit. Dengan disebutkan “wajib” berarti menunjukkan pentingnya
eksistensi Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Pengadilan untuk mengemban tugas

tersebut.[16]

5. Advokat atau Pengacara;


Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS. Poerwadarminta terbitan PN
Balai Pustaka 1976 menyebutkan bahwa Advokat adalah Pengacara atau ahli hukum
yang berwenang bertindak sebagai penasehat atau pembela perkara dalam
pengadilan. Dalam pengajuan permohonan perkara kepailitan diharuskan
menggunakan jasa advokat atau pengacara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7
UU K-PKPU:
“Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207,
dan Pasal 212 harus diajukan oleh seorang advokat.”
Namun adapun pengecualian dari pemberlakukan Pasal 7 yang mengharuskan
pengajuan permohonan perkara kepailitan dengan Advokat tersebut yaitu:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal permohonan
diajukan oleh kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri
Keuangan”.
Persyaratan yang harus dilalui untuk menjadi advokat adalah mengikuti magang
selama 2 (dua) tahun terus menerus di kantor advokat. Calon Advokat yang hendak
menjalani magang wajib mengajukan permohonan magang kepada Kantor Advokat
yang memenuhi persyaratan tersebut dalam Pasal 1 di atas dengan syarat-syarat
sebagai berikut: a. Warga negara Indonesia; b. Bertempat tinggal di Indonesia;
c. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; d. Lulusan
pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1)
UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”); e.
Telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang diselenggarakan
oleh PERADI dan telah lulus Ujian Advokat. (Pasal 5 Peraturan Perhimpunan
Advokat Indonesia Nomor 1 tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Magang untuk
Calon Advokat).

6. Panitera
Pengertian panitera adalah seorang pejabat yang memimpin kepaniteraan yang dalam
melaksanakan tugasnya panitera dibantu oleh seorang wakil panitera, beberapa
panitera muda, beberapa panitera pengganti, dan beberapa juru sita. Panitera, wakil
panitera, beberapa panitera muda, beberapa panitera pengganti pengadilan diangkat
dan diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah Agung.[17]
Sedangkan menurut kamus hukum, “panitera” mempunyai arti pejabat pengadilan ayng
bertugas membantu hakim dalam persidangan dan membuat berita acara sidang.[18]
Menurut etimologi (bahasa) Belanda, “panitera” adalah Griffer sedangkan etimologi
bahasa Inggris clerk of the court.[19]
Panitera bertugas menyelenggarakan administrasi perkara; membantu Hakim
Pengawas dengan mengikuti dan mencatat jalannya persidangan; membuat daftar
perkara perkara kepailitan yang diterima di kepaniteraan; dan membuat salinan
putusan menurut ketentuan undang-undang yang berlaku.

F. PROSES/LANGKAH TERJADINYA KEPAILITAN


 Permohonan pailit, syarat permohonan pailit telah diatur dalam UU No. 4 Tahun
1998, seperti apa yang telah ditulis di atas.
 Keputusan pailit berkekuatan tetap, jangka waktu permohonan pailit sampai
keputusan pailit berkekuatan tetap adalah 90 hari.
 Rapat verifikasi, adalah rapat pendaftaran utang – piutang, pada langkah ini
dilakukan pendataan berupa jumlah utang dan piutang yang dimiliki oleh
debitur. Verifikasi utang merupakan tahap yang paling penting dalam kepailitan
karena akan ditentukan urutan pertimbangan hak dari masing – masing
kreditur.
 Perdamaian, jika perdamaian diterima maka proses kepailitan berakhir, jika
tidak maka akan dilanjutkan ke proses selanjutnya. Proses perdamaian selalu
diupayakan dan diagendakan.
 Homologasi akur, yaitu permintaan pengesahan oleh Pengadilan Niaga, jika
proses perdamaian diterima.
 Insolvensi, yaitu suatu keadaan di mana debitur dinyatakan benar – benar tidak
mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitur lebih sedikit jumlah
dengan hutangnya.
 Pemberesan / likuidasi, yaitu penjualan harta kekayaan debitur pailit, yang
dibagikan kepada kreditur konkruen, setelah dikurangi biaya – biaya.
 Rehabilitasi, yaitu suatu usaha pemulihan nama baik kreditur, akan tetapi
dengan catatan jika proses perdamaian diterima, karena jika perdamaian
ditolak maka rehabilitasi tidak ada.
 Kepailitan berakhir.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
 Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
Kedudukan hukum kurator sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Kepailitan No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang
perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan dan membantu pengadilan untuk
mengurus dan membereskan harta Debitur Pailit di bawah pengawasan Hakim.
 Perlindungan hukum terhadap Kurator dalam UU kepailitan dijelaskan bahwa
sesungguhnya tidak ada perlindungan hukum khusus kepada Kurator, karena
Jika seorang Kurator melakukan kesalahan atau kelalaian dialam pelaksanaan
tugasnya dalam rangka pengurusan dan pemberesan harta debitur Pailit, maka
dapat saja terhadap dirinya dituntut baik secara perdata maupun pidana dan
harus bertanggung jawab apabila memang terbukti bersalah di pengadilan.
 Perlindungan bagi kreditor pemegang jaminan fidusia terhadap harta
kekayaandebitur yang telah dinyatakan pailit berdasarkan undang-undang
no.37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
hutang

2. Saran
Makalah ini dibuat tidak terlepas dari kekurangan, namun dengan adanya
makalah ini diharapkan pembaca dapat mengetahui lebih dalam tentang Hukum
Pailit, dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, sehingga dapat terhindaratau
mencegah terjadinya kepailitan.
Daftar pustaka

 http://kumpulanmakalahkuliahkuliah.blogspot.com/2017/11/hukum-
kepailitan-makalah-aspek-hukum.html?m=1
 https://www.google.com/search?q=pendahuluan+tentang+kepailitan&oq
=pendahuluan+tentang+kepailitan&aqs=chrome..69i57.18432j0j7&client
=ms-android-vivo&sourceid=chrome-mobile&ie=UTF-
8#sbfbu=1&pi=pendahuluan%20tentang%20kepailitan
 https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://eprints.u
ms.ac.id/27089/2/3.BAB_I.pdf&ved=2ahUKEwjYteSxiuXlAhUBOisKHbr9
CFIQFjADegQIBhAC&usg=AOvVaw1dt-8AVzYhSlxUWf9fwhNe
 http://www.gresnews.com/mobile/berita/tips/81855-dasar-hukum-
kepailitan-di-indonesia/
 http://kumpulanmakalahkuliahkuliah.blogspot.com/2017/11/hukum-
kepailitan-makalah-aspek-hukum.html?m=1
 https://www.google.com/amp/s/ninyasminelisasih.com/2018/02/18/1218/
amp/
 https://hukumbisnisonline.blogspot.com/2016/09/pihak-pihak-yang-
dapat-mengajukan.html?m=1
 https://konsultanhukum.web.id/syarat-dinyatakan-pailit/
 https://lawofficeindonesia.com/2018/05/18/dasar-dasar-hukum-
kepailitan/
https://www.academia.edu/15216605/MAKALAH_HUKUM_KEPAILITAN

Anda mungkin juga menyukai