Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya
sehingga makalah ini dapat kami selesaikan. Makalah berjudul Keterampilan Berkomunikasi Pada
Klien Dewasa untuk memenuhi tugas pembuatan makalah Mata Kuliah Keperawatan Dewasa III
di semester ganjil tahun 2018

Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh anggota kelompok yang telah berkontribusi secara
optimal sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Terima kasih pula kami ucapkan kepada para dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini. Ucapan
terima kasih tak lupa kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu proses pembuatan
makalah ini baik secara moril maupun materil.

Besar harapan kami makalah ini dapat memberi kontribusi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dalam keperawatan yang bisa bermanfaat bagi masyarakat luas nantinya. Sebagai
penyusun kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan. Terima kasih.

KOTAMOBAGU,9 OKTOBER 2018

PENYUSUN
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

2. RUMUSAN MASLAH

3. TUJUAN

BAB II PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN SPIRITUAL

2. AJARAN SPIRITUAL:SUMBER DAN CORAK

3. KONSEP KESEHATAN SPIRITUAL

4. MASALAH SPIRITUAL

BAB III PENUTUP

1. KESIMPULAN

2. SARAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah mahluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan makhluk tuhan yang lainnya.
Mengapa demikian?,tentu jawabannya karena manusia telah diberkahi dengan akal dan fikiran yang bisa
membuat manusia tampil sebagai khalifah dimuka bumi ini. Akal dan fikiran ini lah yang membuat
manusia bisa berubah dari waktu ke waktu.Dalam kehidupan manusia sulit sekali dipredeksi sifat dan
kelakuannya bisa berubah sewaktu-waktu. Kadang dia baik,dan tidak bisa bisa dipungkiri juga banyak
manusia yang jahat dan dengki pada sesame manusia dan makhluk tuhan lainnya.

Setiap manusia kepercayaan akan sesuatu yang dia anggap angung atau maha.kepercyaan inilah
yang disebut sebagai spriritual. Spiritual ini sebagai kontrol manusia dalam bertindak, jadi spiritual juga
bisa disebut sebagai norma yang mengatur manusia dalam berperilaku dan bertindak.

Dalam ilmu keperawatan spiritual juga sangat diperhatikan.Berdasarkan konsep keperawatan,


makna spiritual dapat dihubungkan dengan kata-kata : makna, harapan, kerukunan, dan sistem
kepercayaan (Dyson, Cobb, Forman, 1997). Dyson mengamati bahwa perawat menemukan aspek
spiritual tersebut dalam hubungan seseorang dengan dirinya sendiri, orang lain, dan dengan Tuhan.
Menurut Reed (1992) spiritual mencakup hubungan intra-, inter-, dan transpersonal. Spiritual juga
diartikan sebagai inti dari manusia yang memasuki dan mempengaruhi kehidupannya dan
dimanifestasikan dalam pemikiran dan prilaku serta dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain,
alam, dan Tuhan (Dossey & Guzzetta, 2000).

B. Tujuan

1. Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah…

2. Diaharapkan dengan adanya makalah ini maka pembaca akan memahami apa itu spiritual,apa
bentuknya dan sumber spiritual itu sendiri.

3. Mahasiswa bisa mengerti bagaimana konsep spiritual dalam keperawatan(kesehatan)

C. Rumusan masalah

1. Seberapa penting spiritual dalam kehidupan manusia?

2. Apa yang menjadi sumber spiritual manusia itu sendiri?

3. Bagaimana penerapan spiritual dalam ilmu kesehatan khususnya dalam makalah ini keperawatan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Spiritual

Definisi spiritual lebih sulit dibandingkan mendifinisikan agama/religion,dibanding dengan kata


religion, para psikolog membuat beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spitual mempunyai beberapa
arti, diluar dari konsep agama, kita berbicara masalah orang dengan spirit atau menunjukan spirit
tingkah laku . kebanyakan spirit selalu dihubungkan sebagai factor kepribadian. Secara pokok spirit
merupakan energy baik secara fisik dan psikologi,Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari
kata benda bahasa latin ‘Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti
bernafas.

Secara etimologi kata “sprit” berasal dari kata Latin “spiritus”, yang diantaranya berarti “roh,
jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, nyawa hidup.” Dalam perkembangannya,
selanjutnya kata spirit diartikan secara lebih luas lagi. Para filosuf, mengonotasian “spirit” dengan (1)
kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada cosmos, (2) kesadaran yang berkaitan dengan
kemampuan, keinginan, dan intelegensi, (3) makhluk immaterial, (4) wujud ideal akal pikiran
(intelektualitas, rasionalitas, moralitas, kesucian atau keilahian).

Dilihat dari bentuknya, spirit menurut Hegel, paling tidak ada tiga tipe : subyektif, obyektif dan
obsolut. Spirit subyektif berkaitan dengan kesadaran, pikiran, memori, dan kehendak individu sebagai
akibat pengabstraksian diri dalam relasi sosialnya. Spirit obyektif berkaitan dengan konsep fundamental
kebenaran (right, recht), baik dalam pengertian legal maupun moral. Sementara spirit obsolut yang
dipandang Hegel sebagai tingkat tertinggi spirit-adalah sebagai bagian dari nilai seni, agama, dan filsafat.

Secara psikologik, spirit diartikan sebagai “soul” (ruh), suatu makhluk yang bersifat nir-bendawi
(immaterial being). Spirit juga berarti makhluk adikodrati yang nir-bendawi. Karena itu dari perspektif
psikologik, spiritualitas juga dikaitkan dengan berbagai realitas alam pikiran dan perasaan yang bersifat
adikodrati, nir-bendawi, dan cenderung “timeless & spaceless”. Termasuk jenis spiritualitas adalah
Tuhan, jin, setan, hantu, roh-halus, nilai-moral, nilai-estetik dan sebagainya. Spiritualitas agama (religious
spirituality, religious spiritualness) berkenaan dengan kualitas mental (kesadaran), perasaan, moralitas,
dan nilai-nilai luhur lainnya yang bersumber dari ajaran agama. Spiritualitas agama bersifat Ilahiah,
bukan bersifat humanistik lantaran berasal dari Tuhan.

Spiritual dalam pengertian luas merupakan hal yang berhubungan dengan spirit ,sesuatu yang
spiritual memiliki kebenaran yang abadi yang berhubungan dengna tujuan hidup manusia, sering
dibandingkan dengan Sesuatu yang bersifat duniawi, dan sementara, Didalamnya mungkin terdapat
kepercayaan terhadap kekuatan supernatural seperti dalam agama , tetapi memiliki penekanan terhadap
pengalaman pribadi. Spiritual dapat merupakan eksperesi dari kehidupan yang dipersepsikan lebih
tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi dalam pandangan hidup seseorang,dan lebih dari pada hal
yang bersifat indrawi. Salah satu aspek dari menjadi spiritual adalah memiliki arah tujuan, yang secara
terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak dari seseorang, mencapai
hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam semesta dan menghilangkan ilusi dari gagasan
salah yang berasal dari alat indra , perasaan, dan pikiran. Pihak lain mengatakan bahwa aspek spiritual
memiliki dua proses, pertama proses keatas yang merupakan tumbuhnya kekuatan internal yang
mengubah hubungan seseorang dengan Tuhan , kedua proses kebawah yang ditandai dengan
peningkatan realitas fisik seseorang akibat perubahan internal. Konotasi lain perubahan akan timbul
pada diri seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri, dimana nilai-nilai ketuhanan didalam akan
termanifestasi keluar melalui pengalaman dan kemajuan diri,

Apakah ada perbedaan antara spiritual dan religious?

Spiritualitas ádalah kesadaran diri dan kesadaran individu tentang asal , tujuan dan nasib.
Agama ádalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik diatas dunia. Agama
merupakan praktek prilaku tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh
institusi tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang
dianut oleh anggota-anggotanya. Agama memiliki kesaksian iman ,komunitas dan kode etik, dengan kata
lain spiritual memberikan jawaban siapa dan apa

seseorang itu (keberadaan dan kesadaran) , sedangkan agama memberikan jawaban apa yang harus
dikerjakan seseorang (prilaku atau tindakan). Seseorang bisa saja mengikuti agama tertentu ,
namun memiliki spiritualitas . Orang – orang dapat menganut agama yang sama, namun belum
tentu mereka memiliki jalan atau tingkat spiritualitas yang sama

Spiritualitas adalah hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha pencipta, tergantung dengan
kepercayaan yang dianut oleh individu.

Menurut Burkhardt (1993) spiritualitas meliputi aspek-aspek :

1. Berhubungan dengan sesuatau yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan,

2. Menemukan arti dan tujuan hidup,

3. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri,

4. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan yang maha tinggi.

Mempunyai kepercayaan atau keyakinan berarti mempercayai atau mempunyai komitmen terhadap
sesuatu atau seseorang. Konsep kepercayaan mempunyai dua pengertian. Pertama kepercayaan
didefinisikan sebagai kultur atau budaya dan lembaga keagamaan seperti Islam, Kristen, Budha, dan lain-
lain. Kedua, kepercayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan Ketuhanan, Kekuatan
tertinggi, orang yang mempunyai wewenang atau kuasa, sesuatu perasaan yang memberikan alasan
tentang keyakinan (belief) dan keyakinan sepenuhnya (action), harapan (hope), harapan merupakan
suatu konsep multidimensi, suatu kelanjutan yang sifatnya berupa kebaikan, dan perkembangan, dan
bisa mengurangi sesuatu yang kurang menyenangkan. Harapan juga merupakan energi yang bisa
memberikan motivasi kepada individu untuk mencapai suatu prestasi dan berorientasi kedepan. Agama
adalah sebagai sistem organisasi kepercayaan dan peribadatan dimana seseorang bisa mengungkapkan
dengan jelas secara lahiriah mengenai spiritualitasnya. Agama adalah suatu sistem ibadah yang
terorganisir atu teratur.

Definisi spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup,
kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga memberikan suatu perasaan yang
berhubungan dengan intrapersonal (hubungan antara diri sendiri), interpersonal (hubungan antara orang
lain dengan lingkungan) dan transpersonal (hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan
dengan ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi). Adapun unsur-unsur spiritualitas meliputi
kesehatan spiritual, kebutuhan spiritual, dan kesadaran spiritual. Dimensi spiritual merupakan suatu
penggabungan yang menjadi satu kesatuan antara unsur psikologikal, fisiologikal, atau fisik, sosiologikal
dan spiritual.

B. Ajaran Spiritual : Sumber dan Coraknya

Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, tercatat bahwa tradisi keagamaan merupakan sumber
ajaran spiritual yang mengakar kuat dan mempengaruhi pola kehidupan pemeluknya. Untuk memahami
fenomena spiritualitas, agaknya perlu memahami ajaran agama itu sendiri. Masing-masing agama
memiliki ajaran spiritual berbeda walau hakekatnya berkecenderungan tidak jauh berbeda. Secara garis
besar, dilihat dari sumber dan proses terjadinya spiritual atau nilai-nilai spiritual yang diyakini dan
diamalkan, paling tidak terdapat beberapa tipe. The Encyclopedia of Religion menyebutkan tiga tipe
ajaran spiritual (spiritual discipline) yaitu :

1. Pertama, spiritual heteronomy. Dalam corak spiritual ini, pencari atau pengamal spiritual
cenderung menerima, memahami, meyakini atau mengamalkan acuan spiritual (nilai-nilai
spiritual) yang bersumber dari otoritas luar (external authority). Pengamal ajaran spiritual
heteronomik bersikap mentaati dan menerima makna dan keabsahannya dalam wujud tindakan
yang submisif dalam arti tinggal menerima, meyakini dan mengamalkan saja, tanpa harus
merefleksikan atau merasionalisasi makna ajarannya.

2. Kedua, spiritual otonom, yakni bentuk spiritualitas yang bersumber dari hasil refleksi diri sendiri.
Corak spiritual ini bersifat “self-contained and independent of external authority”, yakni
dihasilkan dari dalam diri sendiri dan terbebas dari otoritas luar. Spiritual otonom sesungguhnya
merupakan nilai spiritual yang dihasilkan oleh proses refleksi terhadap kemahabesaran Tuhan
dan ciptaannya.

3. Ketiga, spiritual interaktif, yakni nilai spiritual atau spiritual yang terbentuk melalui proses
interaktif antara dirinya sendiri dengan lingkungannya. Dengan demikian, corak spiritual ini
bukan mutlak karena faktor internal maupun eksternal. Namun, lebih merupakan hasil dari
proses dialektik antara potensi ruhaniah (mental, perasaan, dan moral) di satu pihak dengan
otoritas luar dalam bentuk tradisi, folkways, dan tatanan dunia yang mengitarinya.
Bentuk-bentuk spiritual yang berkembang juga cenderung bervariasi. William K. Mahony,
mengkategorikan dua bentuk ajaan spiritual. Pertama, ajaran spiritual esktatik, ajaran ini
menganggap bahwa spiritual atau nilai-nilai spiritual dapat diperoleh melalui pengalaman
esktatik. Yakni praktik memperoleh kegembiraan luar biasa (esktasi) dengan cara merampas
(menjauhkan) diri dari bentuk kesenangan jasmani agar terbebas dari kungkungan tubuh
jasmaniahnya (physical body). Kedua, ajaran spiritual konstraktif yang memandang bahwa untuk
memperoleh nilai dan tingkat spiritualitas (maqam) tidak harus mengekslusi atau
mengesampingkan realitas kesenangan hidup keseharian yang sesunguhnya. Thomas a Kempis,
seorang biarawan pada abad 15 pernah mengajarkan pada muridnya tentang bagaimana cara
memilki spirtualitas relijius yang tinggi. Ajaran sederhananya, misalnya “Be simple, like the
simple children of God, without deception, without envy, without murmuring, and without
suspicion”.

1. Menumbuhkan Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quatient)

Menurut Jalaluddin Rahmat (2001), dalam kata pengantar pada buku SQ edisi Indonesia
mengatakan, Sejak 1969, ketika Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya,
psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian dilakukan untuk
memahami gelaja-gejala ruhaniah, seperti peak experience, pengalaman mistik, ekstasi, kesadaran
ruhaniah, kesadaran kosmis, aktualisasi transpersonal, pengalaman spiritual, dan akhirnya kecerdasan
spiritual. Dalam kerangka inilah, Zohar mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai “kecerdasan yang
bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego, atau jiwa sadar.
Inilah kecerdasan yang kita perlukan bukan hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, melainkan juga
untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru”.

Zohar juga mengatakan, SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna
yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ
dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita. Akan tetapi seperti kata
Jalaluddin Rahmat, Danah Zohar masih terikat dalam pemikiran psikologi dari angkatan-angkatan
sebelum psikologi transpersonal.Sedangkan menurut Khalil Khavari (Khavari, 2000, h. 23)., “kecerdasan
spiritual adalah fakultas dari dimensi nonmaterial kita-ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang
kita semua milikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya hingga berkilap
dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua
bentuk kecerdasan lainnya, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan juga diturunkan. Akan tetapi,
kemampuan untuk ditingkatkan tampaknya tidak terbatas”.

Danah Zohar menawarkan enam jalan untuk menumbuhkan kecerdasan kecerdasan spiritual antara
lain . Jalan I : Jalan Tugas; Jalan II : Jalan Pengasuhan; Jalan III : Jalan Pengetahuan; Jalan IV : Jalan
Perubahan Pribadi; Jalan V : Jalan Persaudaraan; Jalan VI : Jalan Kepemimpinan yang Penuh
Pengabdian.Yang pada akhirnya semua jalan menuju dan berasal dari pusat yaitu kembali kedunia.
Menurut Jalaluddin Rahmat ada berbagai teknik untuk mengungkapkan makna; tetapi ada lima
situasi ketika makna membersit ke luar dan mengubah hidup kita-menyusun hidup kita yang porak-
poranda. Pertama, makna kita temukan ketika kita menemukan diri kita (self discovery); kedua, makna
muncul ketika kita menentukan pilihan; ketiga, makna ditemukan ketika kita merasa istimewa, unik, dan
tak tergantikan oleh orang lain;keempat, makna membersit dalam tanggung jawab; kelima, makna
mencuat dalam situasi transendensi, gabungan dari keempat hal diatas.

Dalam menumbuhkan spiritual dapat juga dengan memakai ESQ yang diperkenalkan oleh AG
Agustian, dengan ESQ seseorang mampu mengendalikan emosinya karena di dalam dirinya mulai
tumbuh “hot spot” (fitrah). Semakin baik ESQ seseorang tentu kemampuan mengendalikan diri akan
semakin baik pula.

Selain ESQ ada juga yang namanya Transenden Intelligency (TI) yang berarti kecedasan ruhaniah.
Menurut Toto Tasmara (2001) salah satu indicator kecerdasan ruhaniah itu adalah taqwa. Orang yang
bertaqwa menurut Tasmara adalah orang yang bertanggung jawab, memegang amanah dan penuh rasa
cinta. Selain itu pada diri orang yang bertaqwa juga terdapat ciri : memiliki visi dan misi, merasakan
kehadiran Allah Swt, berzikir dan berdoa, sabar, cenderung kepada kebaikan, memiliki empati, berjiwa
besar, dan bersifat melayani.

2. Menumbuhkan Sifat Melayani

Pada masa pergerakan para pemimpin kita tidak mau bekerja pada pemerintahan kolonial.
Mereka para pemimpin pergerakan memilih usaha sendiri meskipun dengan ruang yang sempit pada
waktu itu. Faham kepemimpinan pergerakan disikapi dan diamalkan sebagai kesempatan untuk
melayani, bukan untuk dilayani. Akan tetapi faham ini tidak berlanjut pada masa sesudahnya, para
birokrat ternyata bagaikan raja yang setiap saat harus siap untuk dilayani. Masyarakat yang sudah susah
dan miskin terpaksa harus melayani mental para pemimpin yang rakus dan culas. Pelayanan kepada
masyarakat yang seharusnya mudah dipersulit dengan birokrasi yang dibuat sesukanya. Mengutip
catatan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mengenai fenomena birokrasi di
Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat
ditangani birokrasi.

Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai
pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani
masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau
beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.Fenomena itu
terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat
dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada
pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi. Pada rezim Orde Baru, birokrasi menjadi alat
mempertahankan kekuasaan.

Dengan perubahan paradigma yang akhir-akhir ini sering terdengar bahwa kualitas pelayanan
pada masyarakat merupakan salah satu masalah yang mendapat perhatian serius oleh aparatur
pemerintah. Hal ini dibuktikan dalam keputusan MenPAN Nomer 81 Tahun 1993 kemudian dipertegas
dengan inpres I/95, kemudian disusul dengan Surat Edaran Menko-Wasbang/PAN No.
56/MK.WASPAN/6/98.Dalam manajemen pelayanan dikenal kepemimpinan-pelayan yaitu pemimpin
yang lebih dulu melayani. Disyaratkan kemampuan menganalisis dan mengembangkan kemampuan
logika dan analitis termasuk mengenali ciri khas pemimpin-pelayan yang bisa ditiru. Spears (1999)
mengetengahkan ciri khas pemimpin-pelayan sebagai berikut :

1. Pemimpin-pelayan menyatakan tanggungjawab yang tidak terbatas untuk orang lain, dengan
jalan kita menerima orang lain apa adanya, kita harus belajar memberikan empati;

2. Pemimpin-pelayan mengenal dirinya sendiri dengan baik, ciri khas ini adalah sebuah komitmen
seumur hidup, tetapi merupakan landasan untuk menjadi pemimpin-pelayan;

3. Pemimpin-pelayan adalah pemegang wawasan yang membebaskan, ciri khas ini adalah kunci
dari kegiatan pelayanan yang mendahulukan kepuasaan pelanggan karena mereka merasakan
suatu nilai lebih apabila bergabung dengan kita;

4. Pemimpin-pelayan adalah pemakai bujukan, ciri khas ini pemimpin-pelayan berusaha untuk
tidak mengendalikan orang lain, pendekatan yang digunakan adalah berusaha mengembangkan
pengertian;

5. Pemimpin-pelayan adalah pembangun masyarakat;

6. Pemimpin-pelayan menggunakan kekuasaan secara etis.

Dalam manajemen pelayanan juga dikenal layanan sepenuh hati. Layanan sepenuh hati menurut
Patricia patton dalam karyanya dalam edisi Indonesia (1998) berjudul EQ-Pelayanan Sepenuh
Hati, mengatakan bahwa layanan sepenuh hati berasal dari dalam diri kita sendiri, bahwa
sanubari merupakan tempat bersemanyamnya emosi-emosi, watak, keyakinan-keyakinan, nilai-
niai, sudut pandang, dan perasaan-perasaan. Dan bahwa dalam melakukan pelayanan sepenuh
hati, ada tiga paradigma pengikat yang sejogianya dipahami oleh aparatur pelayan. Paradigma
tersebut 1) bagaimana memandang diri sendiri, 2) bagaimana memandang orang lain, dan 3)
bagaimana memandang pekerjaan.

3. Agama Sebagai Sumber Spiritualitas

Ada adagium yang mengatakan bahwa “agama boleh saja ditinggalkan orang, tapi spiritual akan
selalu hidup dan bersemanyam di hati setiap orang sampai kapan pun”. Disini berarti terdapat
pembedaan antara agama atau keagamaan dengan spiritualitas. Agama berbicara tentang seperangkat
nilai dan aturan perilaku yang telah melalui proses kodifikasi. Sementara spiritual bermakna jiwa yang
paling dalam, hakiki, substance, masih suci dan belum terkotak-kotak, bebas merambah kemana saja,
dan didalamnya bersemayam sifat-sifat Ilahi (ketuhanan) yang lembut dan mencintai.

Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan, “SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Karena
menurutnya sebagian orang, SQ mungkin menemukan cara pengungkapan melalui agama formal tetapi
beragama tidak menjamin SQ tinggi. Banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi;
sebaliknya, banyak orang yang aktif beragama memiliki SQ sangat rendah. SQ adalah kesadaran yang
dengannya kita tidak hanya mengakui nilai-nilai yang ada, tetapi kita juga secara kreatif menemukan
nilai-nilai baru”.

Sedangkan Jalaluddin berpendapat, sepanjang zaman manusia bertanya, “siapakah aku ?” Tradisi
keagamaan menjawabnya dengan menukik jauh kedalam, “wujud spiritual, ruh.” Praktek-praktek
keagamaan mengajarkan kita untuk menyambungkan diri kita dengan bagian diri kita yang terdalam.
Psikologi modern menjawab dengan menengok ke dalam (tidak terlalu dalam), self, ego, eksistensi
psikologis” dan psikoterapi adalah perjalanan psikologis untuk menemukan diri ini. Psikologi
transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini. Ia mengambil pelajaran dari semua angkatan psikologi
dan kearifan perennial agama.

Selanjutnya Jalaluddin menambahkan, agama-agama berbicara tentang kesadaran spiritual yang


luas dan multidimensi. Diri, eksistensi pikologis, hanyalah penampakan luar dari esensi spiritual kita.
Penjelasan psikologis yang hanya berkutat pada penampakan luar jelas tidak memadai. Menyembuhkan
ganguan mental dengan menggarap diri lahiriah kita sama saja dengan mendorong mobil mogok tanpa
memperbaiki mesinnya.

Marsha Sinetar (2000, hal. 17) mendefinisikan “kecerdasan spiritual adalah pikiran yang
mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, the is-ness atau penghayatan ketuhanan
yang didalamnya kita semua menjadi bagian”.

Menurut William James (1985) dalam Jalaluddin terdapat hubungan antara tingkah laku
seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya. Artinya orang yang memiliki pengalaman
keagamaan yang baik akan cenderung untuk berbuat baik karena agama pada prinsipnya adalah
tuntunan bagi seseorang untuk mengerjakan hal-hal yang baik dalam urusan dunia maupun urusan
akhirat (Jalaluddin, 2000 : 109). Selain itu, dengan pengalaman keagamaan juga orang terhindar dari
perbuatan-perbuatan jahat, sikap dan prilaku amoral yang tidak dikehendaki.Agama mempunyai fungsi
pengawasan sosial terhadap tingkah laku masyarakat. Agama merasa ikut bertanggung jawab atas
adanya norma-norma yang baik yang diberlakukan untuk masyarakat. Dengan beragama maka setiap
tingkah laku sesorang akan terkontrol, apapun agamanya dan siapapun pemeluknya, yang jelas tidak
satupun agama mengarahkan pemeluknya kedalam perbuatan maksiat.Pengalaman keagamaan yang
dimiliki Eistein bahwa, benda-benda angkasa yang jumlahnya sulit dibayangkan itu bergerak karena ada
yang menggerakkan, membuat hatinya bergetar dan mengakui bahwa, “Tuhan itu ada”. Demikian halnya
dengan pentolan Komunis Joseph Stalin yang banyak membunuh kaum agamawan, ternyata diakhir
hayatnya minta didampingi oleh seorang pendeta dan berucap, “pastor ajarkan saya berdoa”.Dari kisah
nyata diatas, jelaslah bahwa manusia tidak bisa melepaskan diri dari agama karena agama adalah
kebutuhan manusia yang fitri. Ketika datang wahyu Allah yang menyeru manusia pada agama, maka
seruan itu sejalan dengan kebutuhan yang fitri itu (Abuddin Nata, 2004: 16-17). Seruan untuk memeluk
agama sebagai fitrah manusia dapat kita ketahui dalam firman Allah yang berbunyi :
…maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama; (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) iu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (itulah)
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. 30 : 30).

4. Membangun Spiritualitas Religius

Terlepas dari realitas spiritualitas yang penuh dengan paradoks, adalah merupakan kewajiban
bagi umat beragama untuk mengembangkan, menguatkan, atau menghidupkan kembali peran
spiritualiatas religius. Spiritual religius, yang pada dasarnya merupakan bentuk spiritualitas yang
bersumber dari ajaran Tuhan, diyakini memiliki kekuatan spiritual yang lebih kuat, murni, suci, terarah,
dan abadi dibanding spiritual sekuler dengan berbagai coraknya. Pengembangan spiritualitas religius
dengan demikian merupakan hal niscaya untuk diwujudkan ditengah kehidupan masyarakat. Terdapat
beberapa pendekatan untuk mengembangkan spiritualitas relijius :

1. Pertama, melalui pendekatan teologik, yang dilakukan dengan cara melakukan elaborasi ajaran
agama secara proporsional sehingga memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Dalam konteks ini,
merupakan tugas ilmuwan, ulama, cendekiawan agama bekerjasama dengan para ahli untuk
menyusun dan merancang pengembangan model-sistem ajaran yang selari dengan kebutuhan
aktual dan konkret masyarakat itu sendiri.

2. Kedua, melalui pendekatan psiko-politik yang dilakukan dengan cara membangun keteladanan
nasional. Pengembangan spiritualitas religius, seperti nilai : kebersihan, kejujuran, keadilan,
kesederhanaan, kepedulian, keikhlasan, cinta-kasih, dan lain-lain yang bersumber dari ajaran
agama yang juga merupakan prinsip-prinsip dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
dengan diwujudkan melalui program keteladanan nasional cenderung lebih efektif ketimbang
bentuk retorika apa pun.

3. Ketiga, melalui pendekatan sosio-kultural, dengan cara membangun masyarakat religius yang
sebenarnya. Dalam rangka ini, pendidikan agama perlu diwujudkan dalam bentuk pelatihan-
pelatihan praktis yang menekankan pada pengembangan moralitas dan akhlaqul karimah.

C. Konsep Kesehatan Spiritual

Kesehatan spiritual atau kesejahteraan adalah “rasa keharmonisan saling kedekatan antara diri
dengan orang lain, alam dan dengan kehidupan tertinggi” (Hungemannet al, 1985). Rasa keharmonisan
ini dicapai ketika seseorang menemukan keseimbangan antara nilai, tujuan, dan system keyakinan
mereka dengan hubungan mereka di dalam diri mereka sendiri dan orang lain. Pada saat terjadi stress,
penyakit, penyembuhan, atau kehilangan, sesorang mungkin akan berbalik kecara-cara lama dalam
merespon atau menyesuaikan dengan situasi. Seringkali gaya koping ini terdapat dalam keyakinan atau
nilai dasar orang tersebut. Keyakinan ini sering berakar dalam spiritualitas orang tersebut. Sepanjang
hidup seorang individu mungkin tumbuh lebih spiritual, menjadi lebih menyadari tentang makna, tujuan
dan nilai hidup.
Spiritual dimulai ketika anak-anak belajar tentang diri mereka dan hubungan mereka dengan orang lain.
Banyak orang dewasa mengalami pertumbuhan spiritual ketika memasuki hubungan yang langgeng.
Kemampuan untuk mengasihi orang lain dan diri mereka sendiri secara bermakna adalah bukti dari
kesehatan spiritual.

Menetapkan hubungan dengan yang Maha Agung, kehidupan atau nilai adalah salah satu cara
mengembangkan spiritualitas. Anak-anak sering mulai dengan konsep tentang ketuhanan atau nilai
seperti yang disuguhkan kepada mereka oleh lingkungan rumah mereka atau komunitas religius mereka.
Remaja sering mempertimbangkan kembali konsep masa kanak-kanak mereka tentang kekuatan
spiritual, dan dalam pencarian identitas, mungkin mempertanyakan tentang praktik atau nilai atau
menemukan kekuatan spiritual sebagai motivasi untuk mencari makna hidup yang lebih jelas.

Sejalan dengan makin dewasanya seseorang, mereka sering instrospeksi diri untuk memperkaya
nilai dan konsep ketuhanan yang telah lama dianut dan bermakna. Kesehatan spiritualitas yang sehat
pada lansia adalah sesuatu yang memberikan kedamaian dan penerimaan tentang diri dan hal tersebut
sering didasarkan pada hubungan yang langgeng dengan yang Maha Agung. Penyakit mengancam
kesehatan spiritual.

D. Masalah Spiritual

Ketika penyakit, kehilangan, atau nyeri menyerang seseorang, kekuatan spiritual dapat
membantu seseorang kearah penyembuhan atau pada perkembangan kebutuhan dan perhatian
spiritual.selama penyakit atau kehilangan, misalnya saja, individu sering menjadi kurang mampu
untuk merawat diri mereka sendiri dan lebih bergantung pada orang lain untuk perawatan dan
dukungan. Distres spiritual dapat berkembang sejalan dengan seseorang mencari makna tentang
apa yang sedang terjadi, yang mungkin dapat mengakibatkan seseorang merasa sendiri dan
terisolasi dari orang lain. Individu mungkin mempertanyakan nilai spiritual mereka, mengajukan
pertanyaan tentang jalan hidup seluruhnya, tujuan hidup, dan sumber dari makna hidup.

1. Penyakit Akut

Penyakit yang mendadak, tidak diperkirakan, yang menghadapkan baik ancaman langsung atau
jangka panjang terhadap kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan klien dapat menimbulkan
distress spiritual bermakna.

Penyakit atau cedera dapat dipandang sebagai hukuman, sehingga klien menyalahkan diri
mereka sendiri karena mempunyai kebiasaan kesehatan yang buruk, gagal untuk mematuhi
tindakan kewaspadaan keselamatan atau menghindari pemeriksaan kesehatan secara rutin.
Konflik dapat berkembang sekitar keyakinan individu dan makna hidup. Individu mungkin
mempunyai kesulitan memandang masa depan dan dapat terpuruk tidak berdaya oleh
kedukaan.

Kemarahan bukan hal yang tidak wajar, dan klien mungkin mengekspresikannya terhadap Tuhan,
keluarga, dan/atau diri mereka sendiri. Kekuatan spiritualitas klien mempengaruhi bagaimana
mereka menghadapi penyakit mendadak dan bagaimana mereka dengan cepat beralih kearah
penyembuhan.
2. Penyakit Kronis

Seseorang dengan penyakit kronis sering menderita gejala yang melumpuhkan dan mengganggu
kemampuan untuk melanjutkan gaya hidup normal mereka. Kemandirian dapat sangat
terancam, yang mengakibatkan ketakutan, ansietas, kesedihan yang menyeluruh.
Ketergantungan pada orang lain untuk mendapat perawatan rutin dapat menimbulkan perasaan
tidak berdaya dan persepsi tentang penurunan kekuatan batiniah. Seseorang mungkin merasa
kehilangan tujuan dalam hidup yang mempengaruhi kekuatan dari dalam yang diperlukan untuk
mengahdapi perubahan fungsi yang dialami. Kekuatan tentang spiritualitas seseorang dapat
mejadi factor penting dalam cara seseorang menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh
penyakit kronis. Keberhasilan dalam mengatasi perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis
dapat menguatkan seseorang secara spiritual. Reevaluasi tentang hidup mungkin terjadi. Mereka
yang kuat secara spiritual akan membentuk kembali identitas diri dan hidup dalam potensi
mereka.

3. Penyakit Terminal

Penyakit terminal umumnya menyebabkan ketakutan terhadap nyeri fisik, ketidaktahuan,


kematian, dan ancaman terhadap integritas (Turner et al, 1995). Klien mungkin mempunyai
ketidak pastian tentang makna kematian dan dengan demikian mereka menjadi sangat rentan
terhadap distress spiritual. Tedapat juga klien yang mempunyai rasa spiritual tentang ketenangan
yang memampukan mereka untuk menghadapi kematian tanpa rasa takut.

Individu yang mengalami penyakit terminal sering menemukan diri meraka menelaah kembali
kehidupan mereka dan mempertanyakan maknanya. Pertanyaan-petanyaan umum yang
diajukan dapat mencakup, “ mengapa hal ini terjadi pada saya’’ atau “apa yang telah saya
lakukan sehingga hal ini terjadi pada saya” keluarga dan teman-teman dapat terpengaruhi sama
halnya yang klien alami.

Fryback (1992) melakukan penelitian untuk, mengetahui bagaimana individu dengan penykit
terminal menggambarkan tentang kematian. Klien yang termasuk dalam penelitian
mengidentifikasikan tiga domain kesehatan sebagai berikut: mental-emosi, spiritual dan fisik.
Domain spiritual dipandang sebagai hal penting dalam hal kesehatan dan mencakup mempunyai
hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, menghargai moralitas seseorang dan
menumbuhkan aktualisasi diri. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa penelitian
tersebut menunjukkan klien yang mempunyai penyakit terminalmempunyai persepsi dalam
Keadaan tidak sehat,persepsi tersebut bukan karena penyakitnya tetapi karena sedang tidak
mampu menjalani hidup mereka dengan sempurna dan tidak mampu melakukan hal-hal yang
mereka inginkan.
4. Individuasi

Ketika seseorang menjalani hidup mereka, sering mengajukan pertanyaan untuk


menemukan dan memahami diri (mereka) sebagai hal yang berbeda tetapi juga dalam hubungan
dengan orang lain. Psikolog Carl Jung (Storr, 1983) menggambarkan proses ini sebagai individuasi
seseorang. Juga digambarkan sebagai krisis pertengahan hidup, individuasi umumnya pada
individu usia baya. Individuasi mungkin didahului oleh rasa kekosongan dalam hidup atau kurang
mampu untuk memotivasi diri. Individuasi adalah pengalaman manusia yang umum yang
ditandai oleh kebingungan, konflik, keputusasaan, dan perasaan hampa. Spiritualitas seseorang
harus dipertahanka, karena individuasi tampaknya mendorong seseorang untuk
mempertahankan aspek positif, life-asserting dari kepribadian. Kejadian seperti stress,
keberhasilan atau kekurang berhasilan dalam pekerjaan, konflik perkawinan, atau penurunan
kesehatan dapat menyebabkan seseorang mencari pemahaman diri yang lebih besar.

5. Pengalaman Mendekati Kematian

Perawat mungkin menghadapi klien yang telah mempunyai pengalaman mendekati


kematian (NDE/near death experience). NDE telah diidentifkasikan sebagai fenomena psikologis
tentang idividu yang baik telah sangat dekat dengan kematian secara klinis atau yag telah pulih
setelah dinyatakan mati. NDE tidak berkaitan dengan kelaianan mental (Basford, 1990). Orang
yang mengalami NDE setelah henti jantung-paru, misalnya sering mengatakan cerita yang sama
tentang perasaan diri mereka terbang di atas tubuh mereka dan melihat para pemberi
perawatan kesehatan melakukan tindakan penyelamatan hidup. Sebagian besar individu
menggambarkan bahwa mereka melewati terowongan kearah cahaya yang terang, dan
merasakan suatu ketenangan yang dalam dan damai. Tidak bergerak kearah cahaya tersebut,
sering mereka mengetahui bahwa belum waktunya untuk mati bagi mereka dan mereka kembali
hidup.

Klien yang telah mengalami NDE sering enggan untuk mendiskusikan hal ini, mereka
berpikir bahwa keluarga atau pemberi perawatan kesehatan tidak dapat memahami. Isolasi dan
depresi dapat terjadi sebagai akibat tidak menceritakanpengalamannya atau menerima
penghakiman dari orang lain ketika mereka menceritakannya. Namun demikian, imdividu yang
mengalami NDE, dan mereka yang dapat mendiskusikannya dengan keluarga atau pemberi
perawatan kesehatan, menemukan keterbukaan pada kekuatan pemgalaman mereka seperti
yang dilaporkan. Mereka secara konsisten melaporkaaftereffect yang positif, termasuk sikap
positif, perubahan nilai, dan perkembangan spiritual (Turner, 1995). Bila klien dapat hidup
setelah henti jantung-paru, penting artinya bagi perawat untuk tetap terbuka dan memberi
kesempatan kepada klien untuk menggali apa yang sudah terjadi.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penting bagi manusia untuk mempunyai keyakinan atau kepercayaan agar manusia mempunyai
kontrol dalam kehidupannya.Spiritual atau kepercayaan bisa menumbuhkan kekuatan dari
dalam diri manusia agar bisa bertahan dalam segala keadaan apapun.spiritual juga bisa
menumbuhkan kecerdasan emosional (EQ)

Keyakinan spiritual sangat penting bagi perawat karena dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan
perilaku self care klien. Keyakinan spiritual yang perlu dipahami ,menuntun kebiasaan hidup
sehari-hari gaya hidup atau perilaku tertentu pada umumnya yang berhubungan dengan
pelayanan kesehatan mungkin mempunyai makna keagamaan bagi klien seperti tentang
permintaan menu diet.

Sumber dukungan, spiritual sering menjadi sumber dukungan bagi seseorang untuk menghadapi
situasi stress. Dukungan ini sering menjadi sarana bagi seseorang untuk menerima keadaan
hidup yang harus dihadapi termasuk penyakit yang dirasakan.

Sumber kekuatan dan penyembuhan,individu bisa memahami distres fisik yang berat karena
mempunyai keyakinan yang kuat. Pemenuhan spiritual dapat menjadi sumber kekuatan dan
pembangkit semangat pasien yang dapat turut mempercepat proses kesembuhan.

Sumber konflik pada situasi tertentu dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pasien, bisa terjadi
konflik antara keyakinan agama dengan praktik kesehatan seperti tentang pandangan penyakit
ataupun tindakan terapi. Pada situasi ini, perawat diharapkan mampu memberikan alternatif
terapi yang dapat diterima sesuai keyakinan pasien.

B. Saran

perlu banyak pembelajaran tentang spiritualitas karena spiritual sangat penting bagi manusia dalam
berbagai hal. dalam ilmu kesehatan juga perlu ditingkatkan agar seorang tenaga kesehatan tidak
salah mengambil sikap atau tindakan dalam menghadapi klien dengan gangguan spiritualitas.
perhatian spiritualitas dapat menjadi dorongan yang kuat bagi klien kearah penyembuhan atau
pada perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritualitas. untuk itu seorang perawat tidak
boleh mangesampingkan masalah spiritualitas klien.
DAFTAR PUSTAKA

http://zohrysmart.blogspot.com/2012/10/makalah-spiritual.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai