Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Benigna Prostat Hyperplasi

Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,


disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi
jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra
pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada
pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 67).

BPH atau disebut tumor prostat jinak adalah pertumbuhan yang berlebihan dari sel-
sel prostat yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat
memperbanyak diri melebihi kondisi normal, biasanya dialami laki-laki berusia di atas
50 tahun.

2.2 Etiologi BPH

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen.
Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan Ada beberapa
factor kemungkinan penyebab antara lain :

2.2.1 Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2.2.2 Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
2.2.3 Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma
dan epitel.
2.2.4 Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma
dan epitel dari kelenjar prostat.
2.2.5 Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit ( Roger
Kirby, 1994 : 38 ).

2.3 Patofisiologi BPH

BPH terjadi pada umur yang semakin tua (>50 tahun) dimana fungsi testis sudah
menurun, akibat penurunan fungsi testis ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan
hormon testosteron dan dehidrotestosteron sehingga memacu pertumbuhan atau
pembesaran prostat. Maskrokospik dapat mencapai 60-100 gram dan kadang-kadang
mencapai 200 gram atau lebih.
Tonjolan biasanya terdapat pada lobus lateralis dan lobus medius, tetapi tidak
mengenai bagian posterior lobus medialis. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral
sehingga lumen uretra menyerupai celah atau menekan dari bagian tengah, kadang-
kadang penonjolan itu merupakan suatu polip yang sewaktu-waktu dapat menutup lumen
uretra.
Pada penampang, tonjolan dapat dibedakan dengan jelas antara jaringan prostat yang
masih baik. Warna tonjolan tergantung pada unsur yang bertambah, jika tonjolan tersebut
pada kelenjer maka warna tonjolannya kuning kemerahan dengan konsistensi lunak dan
berbatas tegas dengan jaringan prostat. Jika pembesaran atau penonjolan terjadi pada
jaringan prostat yang terdesak maka warnanya putih keabu-abuan dan konsistensinya
padat dan apabila tonjolan ditekan maka akan keluar cairan seperti susu.
Apabila unsur fibromuskular yang bertambah maka tonjolan berwarna abu-abu dan
padat serta tidak mengeluarkan cairan seperti jaringan prostat yang terdesak sehingga
batasnya tidak jelas. Gambaran mikroskopiknya juga bermacam-macam tergantung pada
unsur yang berpoliferasi, biasanya yang lebih banyak berpoliferasi adalah unsur kelenjer
sehingga terjadi penambahan kelenjer dan terbentuk kista-kista yang dilapisi epitel
koboid selapis dimana pada beberapa tempat membentuk papil-papil ke dalam lumen
membran basalis yang masih utuh dan terkadang terjadi penambahan kelenjer yang kecil-
kecil sehingga menyerupai karsinoma..

2.4 Derajat BPH

Menurut Sjamsuhidajat tahun 2005 benigna prostat hiperplasia dibagi menjadi


empat derajat yaitu:

2.4.1 Stadium I

Terjadi obstruksi namun bladder/vesika urinari masih mampu


mengeluarkan atau mensekresikan urin sampai habis.

2.4.2 Stadium II

Pada stadium ini terjadi retensi urin namun vesika urinari masih mampu
mengeluarkan urin walau tidak sampai habis, masih tersisa sekitar 60-150 cc dan
pada stadium ini terjadi disuria dan nocturia.

2.4.3 Stadium III

Pada stadium ini urin setiap berkemih urin tersisa dalam vesika urinari sekitar ≥
150 cc.

2.4.4 Stadium IV

Pada stadium ini terjadi retensi urin total, vesika urinari penuh sehingga pasien
terlihat kesakitan dan pada stadium ini urin menetes secara periodik ( over flow
inkontinen ).

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut


sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :

2.5.1 Gejala Obstruktif

a. Hesitancy yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai


dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-
buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Harus mengedan (training).
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di
uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil.

2.5.2 Gejala Iritatif

a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering miksi dari biasanya.
c. Nokturia yaitu terbangun pada malam hari untuk miksi.
a. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing

2.7 Komlikasi BPH

a. Urinary traktusinfection
b. Retensi urin akut
c. Obstruksi dengan dilatasi uretra, hydronefrosis dan gangguan fungsi ginjal.
Bila operasi bisa terjadi:
a. Impotensi (kerusakan nervus pudenden)
b. Hemoragic pasca bedah
c. Fistula
d. Striktur pasca bedah
e. Inkontinensi urin

2.8 Pemeriksaan Penunjang

2.8.1 Pemeriksaan Colok Dubur

Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter


anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat.
Pada perabaan melalui colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah
asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat
obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urine setelah miksi spontan.
Sisa miksi ditentukan engan mengukur urine yang masih dapat keluar dengan
kateterisasi. Sisa urine dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi
kandung kemih setelah miksi.

2.8.2 Pemeriksaan Laboratorium

a. Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin, elektrolit, kadar ureum


kreatinin.
b. Bila perlu lakukan pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA), untuk dasar
penentuan biopsi.

2.8.3 Pemeriksaan Radiologi

a. Foto polos abdomen


b. BNO-IVP
c. Systocopy
d. Systografi
e. USG

2.9 Penatalaksanaan BPH

2.9.1 Observasi (Watchful waiting)

Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan, pasien tidak


mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap di awasi oleh
dokter. Pasien disarankan menghindari hal-hal yang dapat memperburuk
keadaannya, adapun hal yang harus dihindari pasien antara lain:
a. Berolahraga secara teratur.
b. Pertahankan berat badan ideal.
c. Tidak mengkonsumsi minuman beralkohol.
d. Berhenti merokok.
e. Minum air putih minimal delapan gelas sehari.
f. Mengurangi konsumsi daging dan lemak hewan, karena kandungan lemaknya
dapat meningkatkan resiko berbagai penyakit.
g. Banyak mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan khususnya yang
mengandung antioksidan tinggi.
2.9.2 Medikamentosa/ Obat-obatan

Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan
berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi
(misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dan lain-lain), gelombang alfa
blocker dan golongan supresor androgen.

2.9.3 Pembedahan

a. Prostatektomi Suprapubis
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat
diangkat dari atas.
b. Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara
ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi
terbuka.
c. Prostatektomi Retropubik.
Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik
dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini
cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis.
d. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan
kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi
kontriksi uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil
( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini
dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih
rendah di banding cara lainnya.
e. TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop. TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi
serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi
ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram,
kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus
dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi,
penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra parsprostatika
(Anonim,FKUI,1995), karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH,
maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS BENIGNA PROSTAT HIPERPLASI
(BPH)

3.1 Pengkajian

3.1.1 Identitas klien

Meliputi nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status
perkawinan, pendidikan, tanggal masuk ke rumah sakit, nomor register dan
diagnosa keperawatan.

3.1.2 Keluhan utama

Bapak datang dengan mengeluh tidak bisa buang air keci, nyeri pada pinggang
dan pada saat BAK harus mengejan.

3.1.3 Riwayat kesehatan

a. Riwayat kesehatan dahulu


Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti infeksi saluran kemih,
vesicholithiasis atau sindrom nefrotik.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat sebelum dibawa ke RS sejak dua bulan terakhir BAK pasien
tidak lancar, urinnya berwarna kemerahan, ketika BAK harus mengedan dan
sejak 5 jam sebelum datang ke RS air kencingnya macet total, abdomen
bagian bawah semakin membesar dan menegang serta pasien merasa sangat
nyeri.
c. Riwayat kesehatan Keluarga
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti penyakit kelamin,
DM, hipertensi dan lain-lain yang mungkin penyakit tersebut diturunkan
kepada klien.

3.1.4 Pemeriksaan Fisik

a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi


dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut,
dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok -
septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra
simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa
adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan
untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.
c. Pemeriksaan penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose
meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.

3.2 Diagnosa Keperawatan

3.2.1 Pre Operasi

a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,


dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk
berkontraksi secara adekuat.
b. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi
kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
c. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca obstruksi
diuresis.
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
prosedur bedah.
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
3.2.2 Post Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
TUR-P.
b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
c. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
d. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten
akibat dari TUR-P.
e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

3.3 Intervensi Keperawatan


3.3.1 Pre Operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk
berkontraksi secara adekuat.
 Tujuan : Retensi urin berkurang
 Kriteria hasil:
 Berkemih dalam jumlah yang cukup/normal
 Tidak terapa distensi vesika urinari

NO INTERVENSI RASIONAL
1. Dorong klien untuk berkemih Untuk meminimalkan
tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba retensi urin distensi
dirasakan. berlebihan pada vesika
urinari.
2. Observasi aliran urin, perhatian Untuk mengevaluasi
jumlah urin dan kekuatan obstruksi dan pilihan
pancarannya. intervensi
3. Awasi dan catat waktu serta Retensi urine
jumlah setiap kali berkemih meningkatkan tekanan
dalam saluran perkemihan
yang dapat mempengaruhi
fungsi ginjal
4. Berikan cairan sampai 3000 ml Untuk meningkatkan
sehari dalam toleransi jantung. aliran cairan,
meningkatkan perfusi
ginjal serta membersihkan
ginjal, vesika urinari dari
pertumbuhan bakteri.
5. Berikan obat sesuai indikasi Untuk mengurangi spasme
(antispamodik) vesika urinari dan
mempercepat
penyembuhan

b. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi


kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
 Tujuan : Nyeri berkurang/hilang
 Kriteria Hasil :
 Menunjukkan nyeri berkurang/hilang
 Ekspresi wajah rileks

NO INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi dan Untuk menentukan intervensi
intensitas nyeri (1-10). selanjutnya
2. Berikan tindakan kenyamanan Untuk menurunkan tegangan
(sentuhan terapeutik, otot, memfokusksn kembali
pengubahan posisi, pijatan perhatian dan dapat
punggung ) dan aktivitas meningkatkan kemampuan
terapeutik. koping.
3. Pertahankan tirah baring jika Diperlukan selama fase awal
diindikasikan dan fase akut
4. Pertahankan patensi kateter dan Mempertahankan fungsi
sistem drainase. Pertahankan kateter dan drainase sistem,
selang bebas dari lekukan dan menurunkan resiko distensi /
bekuan spasme buli - buli.
5. Kolaborasi dalam pemberian Untuk Menghilangkan
antispasmodik spasme

c. Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh yang berhubungan dengan pasca


obstruksi diuresis.
 Tujuan : Keseimbangan cairan tubuh dapat dikontrol
 Kriteria hasil:
 TTV stabil
 Membran mukosa lembab
 Keluaran urin tepat

NO INTERVENSI RASIONAL
1. Pantau keluaran urin tiap jam Diuresisi yang cepat dapat
bila diindikasikan. Perhatikan mengurangkan volume
keluaran 100-200 ml/. total karena
ketidakcukupan jumlah
natrium diabsorbsi tubulus
ginjal
2. Pantau masukan dan kaluaran Indikator keseimangan
cairan. cairan dan kebutuhan
penggantian.
3. Awasi tanda-tanda vital, Deteksi dini terhadap
perhatikan peningkatan nadi hipovolemik sistemik.
dan pernapasan, penurunan
tekanan darah, diaforesis dan
pucat.
4. Tingkatkan tirah baring dengan Menurunkan kerja jantung
kepala lebih tinggi. memudahkan hemeostatis
sirkulasi.
5. Kolaborasi dalam memantau Berguna dalam evaluasi
pemeriksaan laboratorium kehilangan darah /
sesuai indikasi. kebutuhan penggantian.
contoh: Hb / Ht, jumlah sel Serta dapat
darah merah. Pemeriksaan mengindikasikan
koagulasi, jumlah trombosit. terjadinya komplikasi
misalnya penurunan
faktor pembekuan darah,

d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau


menghadapi prosedur bedah.
 Tujuan : Cemas berkurang/hilang
 Kriteria hasil:
 Klien tidak cemas lagi
 Klien sudah bisa menerima keadaannya sekarang
 Klien sudah memahami tujuan dari pembedahan

NO INTERVENSI RASIONAL
1. Dampingi klien dan bina Menunjukka perhatian dan
hubungan saling percaya. keinginan untuk
membantu.
2. Memberikan informasi tentang Membantu klien dalam
prosedur tindakan yang akan memahami tujuan dari
dilakukan. suatu tindakan.
3. Dorong klien atau orang terdekat Memberikan kesempatan
untuk menyatakan masalah atau pada klien dan konsep
perasaan. solusi pemecahan masalah.

e. Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan kurangnya informasi.
 Tujuan : Klien paham tentang proses penyakitnya dan prognosisnya.
 Kriteria hasil:
 Prilaku dan pola hidup berubah menjadi lebih baik.
 Berpartisipasi dalam pengobatan

NO INTERVENSI RASIONAL
1. Dorong klien menyatakan rasa Membantu klien
takut persaan dan perhatian. dalam mengalami
perasaan.
2. Kaji ulang proses penyakit, dan Memberikan dasar
pengalaman klien. pengetahuan dimana
klien dapat membuat
pilihan informasi
terapi.
3.3.2 Post Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
TUR-P.
 Tujuan : Nyeri berkurang/hilang
 Kriteria hasil:
 Klien mengatakan nyeri berkurang/hilang.
 Ekspresi wajah klien tenang.
 Klien menunjukkan ketrampilan relaksasi
NO INTERVENSI RASIONAL
1. Jelaskan pada klien tentang Kien dapat mendeteksi gajala
gejala dini spasmus kandung dini spasmus kandung
kemih. kemih.
2. Pemantauan klien pada Menentukan terdapatnya
interval yang teratur selama 48 spasmus sehingga obat –
jam, untuk mengenal gejala – obatan bisa diberikan.
gejala dini dari spasmus
kandung kemih.
3. Jelaskan pada klien bahwa Memberitahu klien bahwa
intensitas nyeri dan ketidaknyamanan hanya
frekuensinya akan berkurang temporer.
dalam 24 sampai 48 jam.
4. Beri penyuluhan pada klien Mengurang kemungkinan
agar tidak berkemih ke seputar spasmus.
kateter.
5. Ajarkan penggunaan teknik Menurunkan tegangan otot,
relaksasi, termasuk latihan memfokuskan kembali
nafas dalam dan imajinasi. perhatian dan dapat
meningkatkan kemampuan
koping.
6. Menjaga selang drainase urine Sumbatan pada selang
tetap aman dipaha untuk kateter oleh bekuan darah
mencegah peningkatan dapat menyebabkan distensi
tekanan pada kandung kemih. kandung kemih dengan
Irigasi kateter jika terlihat peningkatan spasme.
bekuan pada selang.
7. Anjurkan pada klien untuk Mengurangi tekanan pada
tidak duduk dalam waktu yang luka insisi.
lama sesudah tindakan TUR-P.
8. Kolaborasi dengan dokter Menghilangkan nyeri dan
untuk memberi obat – obatan mencegah spasmus kandung
(analgesik atau anti spasmodik kemih.
)

b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama


pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
 Tujuan : Klien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
 Kriteria hasil:
 Klien tidak mengalami infeksi
 TTV normal dan tidak menunjukkan tanda-tanda shock
 Waktu penyembuhan sesuai dengan yang direncanakan
NO INTERVENSI RASIONAL
1. Pertahankan sistem kateter Mencegah masuknya bakteri
steril, berikan perawatan dan virus yang menyebabkan
kateter dengan steril. infeksi.
2. Anjurkan intake cairan yang Meningkatkan output urine
cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga resiko terjadi ISK
sehingga dapat menurunkan dikurangi dan
potensial infeksi. mempertahankan fungsi ginjal.
3. Pertahankan posisi urin bag Menghindari refleks balik
dibawah. urine yang dapat memasukkan
bakteri ke kandung kemih.
4. Observasi tanda – tanda Mencegah sebelum terjadi
vital, laporkan tanda – tanda shock.
shock dan demam.
5. Observasi urine: warna, Mengidentifikasi adanya
jumlah, bau. infeksi.

6. Kolaborasi dengan dokter Untuk mencegah infeksi dan


untuk memberi obat membantu proses
antibiotik. penyembuhan.

c. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan .


 Tujuan : Tidak terjadi pendarahan.
 Kriteria hasil:
 Klien tidak menunjukkan tanda-tanda pendarahan.
 TTV dalam batas normal.
 Urin lancar lewat kateter

NO INTERVENSI RASIONAL
1. Jelaskan pada klien tentang Menurunkan kecemasan klien
sebab terjadi perdarahan dan mengetahui tanda – tanda
setelah pembedahan dan perdarahan
tanda – tanda perdarahan
2. Irigasi aliran kateter jika Gumpalan dapat menyumbat
terdeteksi gumpalan dalm kateter, menyebabkan
saluran kateter peregangan dan perdarahan
kandung kemih
3. Sediakan diet makanan Dengan peningkatan tekanan
tinggi serat dan memberi pada fosa prostatik yang akan
obat untuk memudahkan mengendapkan perdarahan .
defekasi .
4. Mencegah pemakaian Dapat menimbulkan
termometer rektal, perdarahan prostat .
pemeriksaan rektal atau
huknah, untuk sekurang –
kurangnya satu minggu .
5. Pantau traksi kateter: catat Traksi kateter menyebabkan
waktu traksi di pasang dan pengembangan balon ke sisi
kapan traksi dilepas . fosa prostatik, menurunkan
perdarahan. Umumnya dilepas
3 – 6 jam setelah pembedahan
.
6. Observasi: Tanda – tanda Deteksi awal terhadap
vital tiap 4 jam, pemasukan komplikasi, dengan intervensi
dan pengeluaran dan warna yang tepat mencegah
urin. kerusakan jaringan yang
permanen .

d. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten


akibat dari TUR-P.
 Tujuan : Fungsi seksual dapat dipertahankan.
 Kriteria hasil:
 Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
 Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
 Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah.
 Klien mengerti tentang pengaruh TUR -P pada seksual.

NO INTERVENSI RASIONAL
1. Beri kesempatan pada Untuk mengetahui masalah klien.
klien untuk
memperbincangkan
tentang pengaruh TUR
– P terhadap seksual.
2. Jelaskan tentang : Kurang pengetahuan dapat
kemungkinan kembali membangkitkan cemas dan
ketingkat tinggi seperti berdampak disfungsi seksual.
semula dan kejadian
ejakulasi retrograd (air
kemih seperti susu).
3. Mencegah hubungan Bisa terjadi perdarahan dan
seksual 3-4 minggu ketidaknyamanan.
setelah operasi .
4. Dorong klien untuk Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan
menanyakan kedokter memberikan akses kepada penjelasan
salama di rawat di yang spesifik.
rumah sakit dan
kunjungan lanjutan .

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan


 Tujuan : Kebutuhan beristirahat/tidur dapat terbenuhi.
 Kriteria hasil:
 Klien mampu beristirahat/tidur dalam waktu yang cukup.
 Klien mengungkapan sudah bisa tidur .
 Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .

NO INTERVENSI RASIONAL
1. Jelaskan pada klien dan meningkatkan pengetahuan klien
keluarga penyebab sehingga mau kooperatif dalam
gangguan tidur dan tindakan perawatan .
kemungkinan cara untuk
menghindari.

2. Ciptakan suasana yang Suasana tenang akan mendukung


mendukung, suasana istirahat
tenang dengan
mengurangi kebisingan .
4. Beri kesempatan klien Menentukan rencana mengatasi
untuk mengungkapkan gangguan
penyebab gangguan
tidur.
5. Kolaborasi dengan Mengurangi nyeri sehingga klien bisa
dokter untuk pemberian istirahat dengan cukup .
obat yang dapat
mengurangi nyeri (
analgesik ).
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan
: Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mansjoer. Dkk.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta, EGC : 2000

Sjamsuhidayat. R dan Wim De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta, EGC : 2002

Sylvia A. Price. dkk. 2006 “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit”


Edisi. 6 Volume. 2. Jakarta: EGC

Uliyah, Musrifatul dan Alimun, Aziz, 2008. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik.
Jakarta: Selemba Medika

Anda mungkin juga menyukai