Anda di halaman 1dari 20

Praktik Dokter dalam Pemberian ……..

(Miralda Septri Dewi, Zahroh S, Antono S)

Praktik Dokter Dalam Pemberian Pelayanan Kesehatan Pada Pasien HIV dan AIDS di
Rumah Sakit Rujukan di Kota Semarang

Miralda Septri Dewi*), Zahroh Shaluhiyah**), Antono Suryoputro**)


*) Alumni Magister Promosi Kesehatan Universitas Diponegoro Semarang
**)
Magister Promosi Kesehatan Universitas Diponegoro Semarang

ABSTRAK
Kota Semarang merupakan kota dengan angka kasus HIV dan AIDS tertinggi di Jawa Tengah.
Dalam upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi orang dengan HIV dan AIDS
(ODHA), terdapat tiga rumah sakit yang aktif memberikan layanan Perawatan, Dukungan
dan Pengobatan (PDP) yang ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan bagi ODHA di Kota
Semarang. Salah satu hambatan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang membuat
ODHA enggan untuk berobat atau mengakses layanan kesehatan dan dukungan sosial yang
semestinya dapat mereka peroleh adalah mereka takut akan mendapatkan stigma dan
diskriminasi di fasilitas pelayanan kesehatan. Menurut beberapa hasil penelitian yang pernah
ada menunjukkan bahwa masih ada stigma dan diskriminasi yang dilakukan oleh petugas
kesehatan termasuk dokter. Penelitian ini bertujuan mengetahui praktik dokter dalam
pemberian pelayanan kesehatan pada pasien HIV dan AIDS di Rumah Sakit Rujukan di Kota
Semarang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data menggunakan
wawancara mendalam pada 13 dokter sebagai informan primer dan triangulasi kepada ketua
tim HIV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik sebagian besar dokter baik, yaitu tidak
melakukan pembedaan perlakuan atau tidak mendiskriminasi saat memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien HIV dan AIDS. Namun, masih ada sebagian kecil dokter yang
berpraktik kurang baik yaitu diskriminatif ketika memberikan pelayanan kesehatan kepada
pasien HIV dan AIDS yaitu dengan penggunaan APD yang dilebihkan daripada saat
menangani pasien bukan ODHA, seperti penggunaan sarung tangan double. Sebagian besar
dokter memiliki pengetahuan yang baik dan sikap positif terhadap pasien HIV dan AIDS.
Namun, masih ada sebagian kecil dokter yang memiliki pemahaman HIV dan AIDS yang
kurang baik.
Kata kunci : Praktik dokter, pasien HIV dan AIDS, rumah sakit

ABSTRACT
Doctors Practice in Providing Health Care for HIV And AIDS Patients In Semarang
Referral Hospital
Semarang City had a highest cases of HIV and AIDS in Central Java. In order to provide
health care service for People with HIV and AIDS (PLWHA), three from the five designated
hospitals were actively providing Care, Support and Treatment (CST) as a referral hospital for
PLWHA in Semarang City. HIV-related discrimination is one of the barrier in the response to
HIV and AIDS that influenced PLWHA to seek HIV treatment and lost of HIV treatment
because they were afraid of getting stigma and discrimination in health care facilities. Some
research have indicated that there were stigma and discrimination by health workers,
including doctors. This study aims to find out doctors practices in providing health care to
patients with HIV and AIDS in a referral hospital in Semarang City. This study used
qualitative methods. The data collecting used indepth interview. The data was collected from

209
Jurnal Promosi Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 12 / No.2 Agustus 2017

13 doctors as a primary informants and triangulation with 3 HIV team leader. The results
showed that the majority of doctors practice was good, they did not discriminate when
providing care or treatment to patients with HIV and AIDS. However, there were still a some
doctors who discriminate when providing care for patients with HIV and AIDS such as the use
of Personal Protective Equipment (PPE) was more strictly when dealing with patients of
PLWHA like using double gloves. Most doctors have a good knowledge and positive attitudes
towards HIV and AIDS. However, there were some doctors who has less understanding of HIV
and AIDS.
Keywords : doctor practice, HIV and AIDS patients, hospitals

dengan jumlah kematian 7 jiwa (DKK


PENDAHULUAN Semarang, 2014).
Berdasarkan laporan perkembangan HIV Kebutuhan pelayanan kesehatan bagi
dan AIDS di Indonesia triwulan II tahun Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA)
2013, Jawa Tengah merupakan Provinsi
nomor 7 dengan jumlah kumulatif kasus HIV semakin meningkat seiring dengan
tertinggi yaitu 5.406 kasus, dan merupakan bertambah besarnya jumlah orang yang
Provinsi nomor 6 dengan jumlah kumulatif terinfeksi HIV. Namun, beberapa hasil
kasus AIDS terbanyak yaitu 2.990 kasus penelitian sebelumnya di beberapa tempat
(Kemenkes RI, 2013). Kota Semarang menunjukkan bahwa masih ada penyedia
merupakan kota dengan angka kasus HIV atau pemberi pelayanan kesehatan yang
dan AIDS tertinggi di Jawa Tengah bertindak diskriminatif pada ODHA. Seperti
(Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan data hasil penelitian di Kota Bandung yang
kasus kumulatif HIV tahun 1995 sampai menunjukkan bahwa di institusi kesehatan
dengan Agustus 2013, jumlah kasus HIV pun masih banyak terjadi tindakan
mencapai 2.555 orang dan jumlah kasus diskriminatif walaupun kebanyakan tenaga
kumulatif AIDS tahun 1998 sampai dengan kesehatan telah memiliki pengetahuan yang
Agustus 2013 mencapai 387 orang (DKK cukup memadai mengenai HIV dan AIDS.
Semarang, 2014). Sedangkan pada tahun Tindakan diskriminatif ini antara lain adalah
2013 di Kota Semarang telah terjadi 430 tes diagnostik HIV tanpa informed consent
kasus HIV baru, angka AIDS mencapai 75 kepada pasien yang akan dilakukan tindakan
operatif, tenaga kesehatan tidak mau

210
Praktik Dokter dalam Pemberian …….. (Miralda Septri Dewi, Zahroh S, Antono S)

melakukan kontak fisik seperti jabat tangan diskriminasi dari dokter sebanyak 7%
dan pemeriksaan fisik dasar dengan ODHA (Mardiati, 2011).
(Nurhayati, 2013). Penelitian di Banda Aceh Menurut hasil penelitian partisipatif
juga menunjukkan bahwa diskriminasi ODHA oleh KPA terkait dengan akses
tenaga kesehatan terhadap ODHA masih pelayanan kesehatan dasar, hampir semua
tinggi, dimana pengetahuan tentang ODHA yang menjadi partisipan penelitian
penularan dan pencegahan HIV merupakan dan yang pernah mengakses layanan baik
faktor prediktor munculnya diskriminasi untuk tes, konseling, terapi, maupun
pada tenaga kesehatan terhadap ODHA perawatan pernah merasakan diskriminasi
(Harapan, 2013). dari petugas kesehatan di berbagai tempat
Hasil survei terhadap ODHA pada tahun layanan kesehatan. Contohnya adalah
2004 di 20 provinsi, termasuk Jawa Tengah pelanggaran terhadap universal precautions
didalamnya, juga menunjukkan bahwa (UP) dan pelanggaran terhadap Standart
hampir 30% ODHA pernah mengalami Operational Procedure (SOP). Dalam FGD
diskriminasi di bidang layanan kesehatan di Sukabumi, seorang partisipan menyatakan
(oleh rumah sakit atau petugas kesehatan) sikap dokter dalam menangani ODHA
karena status HIV-nya. Bentuk diskriminasi dijadikan second prioritas yaitu ODHA
yang sering dialami yaitu petugas kesehatan ditangani sebagai pasien terakhir meskipun
menolak menangani karena status HIV-nya datang pertama, selain itu kerahasiaan belum
positif, dan diperlambat dalam pengobatan terjaga oleh petugas laboratorium saat test
atau layanan kesehatan (Yayasan Spiritia, HIV (KPAN, 2006).
2005). Berdasarkan penelitian Yayasan Menurut hasil penelitian yang dilakukan
Spiritia tahun 2011 di 10 Provinsi, oleh Merati dan kawan-kawan, bentuk
menunjukkan bahwa kurang dari 15% ODHA diskriminasi terhadap ODHA dalam
yang menjadi responden penelitian pelayanan kesehatan berupa penolakan
mengalami stigma (berkisar antara 3,3- pemberian layanan kesehatan pada ODHA,
12,5%). Dari mereka yang mengalami stigma perlakuan yang berbeda pada ODHA,
tersebut, paling banyak mendapatkan stigma mengekspos status HIV pasien pada pihak
dari dokter yaitu 13%. Selain itu, ditemukan lain, dan mengisolasikan pasien ODHA.
bahwa ODHA yang mendapatkan Keterbatasan fasilitas untuk pelayanan

211
Jurnal Promosi Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 12 / No.2 Agustus 2017

kesehatan HIV dan AIDS seringkali mereka yang hidup dengan HIV terlambat
dijadikan strategi untuk menutupi atau tidak mau mengakses layanan
diskriminasi petugas kesehatan terhadap Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan
ODHA. Dengan alasan tersebut, petugas (PDP) yang mereka butuhkan karena takut
kesehatan seringkali menyarankan ODHA membuka status mereka kepada yang lain
untuk mencari tempat layanan kesehatan lain (Kemenkes RI, 2012). Oleh karena itu,
supaya mereka terhindar dari tugasnya. Hal tenaga kesehatan sebagai pemberi layanan
ini merupakan bentuk respon petugas kesehatan perlu untuk lebih siap menghadapi
kesehatan terhadap ketidaksiapannya pasien ODHA. Karena setiap orang berhak
menghadapi pasien HIV dan AIDS (Merati, mendapatkan perawatan dan pengobatan
2005). Tindakan diskriminatif yang terjadi di yang sebaik-baiknya tanpa dibedakan
pelayanan kesehatan merupakan masalah (Murni, 2003).
yang dihadapi dalam pemberian layanan Pencegahan HIV merupakan prioritas
kesehatan. Keterbatasan informasi dan global dan sikap petugas kesehatan
pengetahuan tentang HIV dan AIDS merupakan dimensi kunci untuk kesuksesan
menyebabkan rasa takut tertular virus HIV upaya pencegahan HIV (Webber, 2007).
yang berlebihan pada petugas kesehatan dan Sikap menstigma dan diskriminasi yang
seringkali menyebabkan diskriminasi dan dilakukan oleh pekerja sektor kesehatan
tidak rasional terhadap ODHA (Robinson, terhadap pasien HIV dan AIDS merupakan
1998). masalah dalam lingkungan pelayanan
Akses ke perawatan sangat penting untuk kesehatan yang akan menurunkan
menjaga kesehatan, kesejahteraan, dan penyediaan perawatan dan program-program
kualitas hidup ODHA (Kinsler, 2007). pencegahan. Bentuknya berbagai macam dan
Sedangkan sikap menstigma dan diskriminasi dapat menyebabkan pengobatan yang
terhadap ODHA yang tergambar dalam sikap terlambat, tidak tepat atau terganggu,
sinis, perasaan ketakutan yang berlebihan merusak kerahasiaan, perilaku yang tidak
dan persepsi negatif tentang ODHA, dapat pantas atau tidak etis, dan penggunaan
mempengaruhi dan menurunkan kualitas kewaspadaan yang berlebihan (ILO, 2005).
hidup ODHA. Karena ketakutan terhadap Hal ini merupakan kendala dalam
stigma dan diskriminasi mengakibatkan mewujudkan akses kesehatan universal bagi

212
Praktik Dokter dalam Pemberian …….. (Miralda Septri Dewi, Zahroh S, Antono S)

ODHA, dan kendala kualitas pemberian semestinya dapat mereka peroleh adalah
pelayanan kesehatan kepada ODHA sehingga karena mereka takut akan mendapatkan
dapat menjadi penghalang bagi ODHA untuk stigma dan diskriminasi di fasilitas pelayanan
menjangkau ketersediaan pelayanan kesehatan (Rostini, 2010). Rumah sakit
kesehatan yang pada akhirnya dapat merupakan instansi kesehatan yang berperan
menurunkan derajat kesehatan ODHA penting melawan penyebaran HIV dan AIDS
(Paryati, 2013). (Purwaningtyas, 2007). ODHA yang enggan
Dalam upaya penyelenggaraan datang lagi ke pelayanan kesehatan kerena
pelayanan kesehatan bagi orang dengan HIV merasakan ketidaknyamanan dalam
dan AIDS (ODHA), pemerintah telah pelayanan dapat mempengaruhi ODHA
menyediakan layanan kesehatan dengan dalam melakukan ART sehingga dapat
menunjuk beberapa rumah sakit menjadi menyebabkan drop out pengobatan. Hal ini
rumah sakit rujukan bagi ODHA. menjadi penting karena sekali saja mereka
Berdasarkan Kepmen Kesehatan RI No putus obat, maka virus akan kebal atau
451/Menkes/SK/XII/2012, ada lima rumah terjadi resistensi terhadap ARV sehingga
sakit yang ditunjuk sebagai rumah sakit harus diganti dengan rejimen yang lebih
rujukan bagi orang dengan HIV dan AIDS di sensitif. Seseorang yang menderita HIV dan
Kota Semarang (Kemenkes RI, 2012). tidak mendapatkan ART dapat memasuki
Namun, berdasarkan laporan Kemenkes fase AIDS dan mengalami berbagai infeksi
2013, Rumah Sakit yang aktif memberikan oportunistik. Selain itu, keengganan
layanan Perawatan, Dukungan dan seseorang untuk melakukan test HIV di
Pengobatan (PDP) di Kota Semarang hanya layanan kesehatan dapat menyebarkan
tiga dari lima rumah sakit yang ditunjuk penularan HIV kepada orang lain karena
sebagai rumah sakit rujukan bagi orang tidak mengetahui status HIV pada dirinya.
dengan HIV dan AIDS (Kemenkes RI, 2013). Sehingga hal ini dapat berpengaruh terhadap
Salah satu hambatan dalam upaya peningkatan angka HIV dan AIDS.
penanggulangan HIV dan AIDS yang Penderita HIV dan AIDS sangat rentan
membuat ODHA enggan untuk berobat atau terhadap infeksi dan memilki risiko terkena
mengakses layanan kesehatan yang penyakit lebih besar sehingga seumur
diperlukan dan dukungan sosial yang hidupnya bergantung pada dukungan medis.

213
Jurnal Promosi Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 12 / No.2 Agustus 2017

Program pengendalian HIV sejak beberapa yang menunjukkan bahwa dokter


tahun belakangan ini telah mengalami menunjukkan stigmatisasi lebih besar
banyak kemajuan dan berbagai layanan daripada perawat (Andrewin, 2008). Padahal
terkait HIV telah dikembangkan dan ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi
dimanfaatkan oleh masyarakat yang mengakibatkan mereka yang hidup dengan
membutuhkannya. Namun, teridentifikasi HIV terlambat atau tidak mau mengakses
bahwa perkembangan dari efektifitas maupun layanan Perawatan, Dukungan, dan
kualitas intervensi dan layanannya masih Pengobatan (PDP) yang mereka butuhkan
belum maksimal. Situasi ini dapat dilihat dari karena takut membuka status mereka kepada
rendahnya cakupan, adanya kesenjangan yang lain (Kemenkes RI, 2012). Dari uraian
koordinasi antara layanan dengan pelaksana tersebut peneliti melakukan penelitian
program yang lain. Akibatnya, upaya tentang praktik dokter dalam pemberian
penanggulangan HIV maupun peningkatan pelayanan kesehatan pada pasien HIV dan
kualitas hidup ODHA mengalami hambatan AIDS di rumah sakit rujukan di Kota
(Kemenkes RI, 2012). Dokter merupakan Semarang.
tenaga kesehatan yang berperan secara
langsung maupun tidak langsung dalam METODE
penanganan pasien HIV dan AIDS. Jenis penelitian ini adalah penelitian
Sedangkan menurut penelitian Yayasan kualitatif. Penelitian dilaksanakan tahun 2014
Spiritia tahun 2011 menunjukkan bahwa pada 13 dokter di poliklinik rawat jalan di
ODHA yang menjadi responden penelitian tiga rumah sakit rujukan HIV dan AIDS di
paling banyak mendapatkan stigma dari Kota Semarang dan triangulasi kepada ketua
dokter dan ditemukan juga ODHA masih tim HIV di masing-masing rumah sakit
mendapatkan diskriminasi dari dokter tersebut. Prosedur sampling dilakukan
(Mardiati, 2011). Selain itu, menurut hasil dengan cara purposive sampling. Variabel
penelitian Mahendra, et al menunjukkan dalam penelitian ini adalah pengetahuan,
bahwa stigma lebih banyak dimiliki oleh persepsi tingkat resiko penularan HIV, sikap,
dokter dibandingkan dengan perawat dan staf nilai terhadap ODHA (Stigma), dukungan
bangsal di rumah sakit (Mahendra, 2007). institusi, dan sikap/perilaku rekan kerja
Begitu juga dengan hasil penelitian Andrewin terhadap pasien ODHA untuk melihat

214
Praktik Dokter dalam Pemberian …….. (Miralda Septri Dewi, Zahroh S, Antono S)

pengaruhnya terhadap praktik dokter dalam Namun, masih ada sebagian kecil dokter
pemberian pelayanan kesehatan pada pasien yang memliki praktik yang kurang baik,
HIV dan AIDS. Pengumpulan data dilakukan seperti memberikan perlakuan yang berbeda
dengan cara wawancara secara mendalam atau diskriminatif ketika memberikan
(indepth interview) dengan menggunakan pelayanan kesehatan kepada pasien HIV dan
panduan wawancara. Hasil penelitian AIDS, yaitu dengan penggunaan APD yang
dianalisis secara induktif, dan hasil penelitian berlebihan seperti penggunaan sarung tangan
kualitatif lebih menekankan makna daripada double dan penggunaan APD lengkap hanya
generalisasi. saat tindakan pada pasien ODHA, masih ada
penanganan pasien ODHA yang dilakukan
setelah pasien lain di poli sudah habis, dan
masih ada yang tidak mau menangani
persalinan dengan alasan takut terhadap
image pasien lain jika diketahui menangani
HASIL DAN PEMBAHASAN pasien ODHA.
Praktik Dokter dalam Pemberian Ada informan yang mengatakan pada
Pelayanan Kesehatan Pasien HIV dan praktiknya penanganan pasien ODHA akan
AIDS dilakukan ketika pasien lainnya sudah habis,
Berdasarkan hasil penelitian, praktik sehingga pasien ODHA akan menunggu
sebagian besar dokter sudah baik, yaitu tidak dibangsal hingga mendapat panggilan. Hal
melakukan pembedaan perlakuan atau tidak ini sejalan dengan penelitian partisipatif
mendiskriminasi saat memberikan pelayanan mengenai akses pelayanan kesehatan dasar
kesehatan kepada pasien HIV dan AIDS oleh KPA yang menunjukkan bahwa masih
seperti tidak ada penolakan pelayanan, tidak ada diskriminasi bahwa sikap dokter dalam
ada perbedaan dalam penerapan menangani ODHA dijadikan second prioritas
kewaspadaan standar, tidak memberikan yaitu ODHA ditangani sebagai pasien
tanda khusus atau label di depan catatan terakhir meskipun datang pertama (KPAN,
medis, tidak ada pemisahan ruangan, dan 2006). Selain itu, masih ada yang
tidak ada penundaan pelayanan. menghindari bersentuhan ketika menangani
pasien ODHA. Hal ini sejalan dengan

215
Jurnal Promosi Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 12 / No.2 Agustus 2017

pendapat Deacon dan hasil penelitian tersebut melakukan test HIV di luar rumah
Nurhayati di Kota Bandung yang sakit itu maka harus membawa bukti hasil
menunjukkan bahwa di institusi kesehatan laboratorium atau melakukan test HIV lagi di
pun masih terjadi tindakan diskriminatif rumah sakit tersebut, hal ini untuk keperluan
diantaranya yaitu tenaga kesehatan tidak mau tindakan pasca pajanan jika terjadi
melakukan kontak fisik dengan ODHA kecelakaan kerja. Sedangkan salah satu
(Nurhayati, 2013). informan triangulasi rumah sakit mengatakan
Ada yang menangani pasien ODHA bahwa di poli gigi alat-alat untuk cabut gigi
dengan menekankan untuk lebih berhati-hati. untuk pasien HIV sudah disediakan khusus.
Pada praktiknya sebagian kecil informan Petugas kesehatan kadang takut menangani
membutuhkan persiapan alat-alat terkait pasien dengan HIV dan sikapnya terlalu
dengan kewaspadaan standar sebelum berhati-hati terhadap pasien tersebut,
melakukan tindakan pada pasien ODHA sementara pada pasien yang lain biasa saja.
sehingga penanganan pasien harus Berdasarkan hasil penelitian
dijadwalkan terlebih dahulu. Dan sebagian menunjukkan bahwa mereka hanya merasa
kecil dari informan mengatakan bahwa takut, meskipun merasa satu handscoon juga
penanganan untuk pasien ODHA ada alat-alat tidak tembus, namun mereka tidak mau
dan sterilisasi khusus. Hal ini sesuai dengan merisikokan diri mereka sendiri sehingga
jawaban informan triangulasi yang menggunakan double handscoon. Dan juga
mengatakan bahwa peralatan yang digunakan adanya anggapan bahwa penyakit HIV
oleh pasien ODHA biasanya disendirikan adalah penyakit yang mematikan. Selain itu
dengan alasan diperlukan sterilisasi tersendiri sebagian kecil dari mereka beranggapan
yaitu harus direndam dengan larutan klorin bahwa mereka sebagai tenaga medis
0,5% selama 10 menit sebelum masuk ke memiliki tingkat resiko tertular yang cukup
strerilisasi secara umum. Sterilisasi yang besar. Berdasarkan hasil triangulasi pada
khusus juga berlaku untuk peralatan di salah satu rumah sakit didapatkan bahwa
kedokteran gigi, dan pasien HIV yang akan terkadang dokter pun masih perlu diingatkan
melakukan tindakan gigi harus menyertakan dalam penerapan kewaspadaan standar.
hasil laboratorium yang menyatakan bahwa Sedangkan informan triangulasi di dua rumah
pasien tersebut benar positif HIV, jika pasien sakit lainnya mengatakan penerapan

216
Praktik Dokter dalam Pemberian …….. (Miralda Septri Dewi, Zahroh S, Antono S)

kewaspadan standar akan lebih ekstra atau kesehatan seringkali menyarankan ODHA
proteksi yang dilakukan oleh tenaga medis untuk mencari tempat layanan kesehatan lain
akan lebih hati-hati ketika menangani pasien supaya mereka terhindar dari tugasnya. Hal
HIV dan AIDS. Seharusnya semua petugas ini merupakan bentuk respon petugas
harus selalu menerapkan kewaspadaan kesehatan terhadap ketidaksiapannya
universal tanpa memandang status pasien. menghadapi pasien HIV dan AIDS (Merati,
Praktik ini diskriminatif dan tidak tepat 2005). Alasan salah satu dari dua rumah
karena siapa saja dapat tertular dan sakit tersebut belum bisa menangani
menularkan karena ODHA tidak memiliki persalinan pada pasien ODHA adalah karena
ciri-ciri yang khas. Ada kemungkinan bahwa pertimbangan non medis terkait dengan
pasien itu sendiri belum menyadari jika image pasien lain terhadap HIV dan AIDS,
dirinya HIV-positif, atau walaupun hasil ditakutkan jika pasien lain tahu dampaknya
tesnya negatif, ia sedang dalam masa jendela akan mengubah image pasien terhadap
(Murni, 2003). Diskriminasi yang bertujuan pelayanan di tempat tersebut. Hal ini sejalan
untuk mencegah infeksi kadang-kadang tidak dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
didasarkan pada risiko infeksi HIV yang Merati dan kawan-kawan yang menunjukkan
sebenarnya tetapi pada pengetahuan ilmiah bentuk diskriminasi terhadap ODHA dalam
yang salah atau anggapan risiko potensial pelayanan kesehatan diantaranya berupa
yang terlalu tinggi (overestimation potential penolakan pemberian layanan kesehatan pada
risk) (Deacon, 2005). ODHA dan perlakuan yang berbeda pada
Dari tiga rumah sakit, dua rumah sakit ODHA (Merati, 2005). Oleh karena itu,
belum bisa menangani persalinan caesar tenaga kesehatan sebagai pemberi layanan
untuk pasien ODHA, hal tersebut kesehatan perlu untuk lebih siap menghadapi
dikarenakan Instalasi Bedah Sentral yang pasien ODHA. Karena setiap orang berhak
belum siap sehingga harus dirujuk. Menurut mendapatkan perawatan dan pengobatan
Merati, keterbatasan fasilitas untuk yang sebaik-baiknya tanpa dibedaka (Murni,
pelayanan kesehatan HIV dan AIDS 2003).
seringkali dijadikan strategi untuk menutupi
diskriminasi petugas kesehatan terhadap Pengetahuan
ODHA. Dengan alasan tersebut, petugas

217
Jurnal Promosi Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 12 / No.2 Agustus 2017

Sebagian besar informan memiliki dirinya tertular HIV dari pasien adalah
pengetahuan yang baik tentang HIV dan rendah asalkan dapat menjaga kesehatan
AIDS. Sebagian kecil informan telah daya tubuhnya. Selain itu masih ada
mendapatkan pelatihan, sebagian kecil informan yang menganggap bahwa cara
lainnya telah mendapatkan sosialisasi. Semua memperkecil resiko penularan HIV dari
informan mengatakan pernah mendapatkan pasien HIV dan AIDS ke pasien lainnya
informasi tentang HIV dan AIDS, baik itu adalah dengan melakukan isolasi. Dan ada
dari seminar, workshop, briefing, kuliah yang mengatakan bahwa pencegahan
maupun dari buku dan literatur. Semua penularan HIV dari ibu ke anak adalah
informan memiliki tingkat pengetahuan yang ODHA tidak boleh hamil. Mereka yang
baik tentang kewaspadaan standar seperti memiliki pemahaman yang kurang ini
pengertian, tujuan atau manfaat dari memang belum mendapatkan pelatihan HIV
penerapan kewaspadaan standar. Namun satu dan AIDS meskipun mendapatkan informasi
informan mengakui bahwa sudah lupa melalui seminar dan literatur. Hal ini
dengan alur prosedur yang sesuai dengan menunjukkan bahwa pelatihan memberikan
SPO nya. Untuk itu kewaspadaan standar pemahaman yang lebih baik tentang HIV dan
harus terus diingatkan yaitu dengan cara AIDS.
sosialisasi secara rutin, bisa dengan Selain itu mereka memiliki karakteristik
memanfaatkan conference atau forum-forum umur >40 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
yang ada. dokter senior memiliki potensi pemahaman
Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang kurang karena materi HIV dan AIDS
masih ditemukan adanya kesalahpahaman baru masuk ke dalam kurikulum ilmu
pengetahuan tentang HIV dan AIDS, yaitu kedokteran umum sekitar tahun 2005. Hal ini
sebagian kecil memiliki pemahaman yang sesuai dengan informasi dari informan
salah, yaitu ada yang menganggap HIV dan triangulasi bahwa belum semua dokter
AIDS tergolong penyakit autoimun, mendapatkan sosialisasi atau pelatihan
anggapan bahwa HIV dapat ditularkan tentang HIV dan AIDS, dan dokter-dokter
melalui sentuhan dan pencegahan penularan angkatan senior banyak yang belum
HIV dilakukan dengan cara menjaga mendapatkan pemahaman tentang penyakit
kesehatan daya tahan tubuh sehingga resiko HIV dan AIDS. Namun pemberian informasi

218
Praktik Dokter dalam Pemberian …….. (Miralda Septri Dewi, Zahroh S, Antono S)

tentang HIV dan AIDS dapat dilakukan Sehingga, pemahaman pengetahuan yang
dengan memanfaatkan pertemuan-pertemuan baik tentang HIV dan AIDS dapat
rutin atau briefing-briefing secara rutin, membentuk perilaku yang baik pula dalam
sehingga informasi tentang HIV dan AIDS pemberian pelayanan kesehatan kepada
yang disampaikan bisa lebih mendalam untuk pasien HIV dan AIDS. Hasil penelitian ini
dipahami. Kurangnya pemahaman mengenai sesuai dengan pendapat Notoatmodjo bahwa
HIV dan AIDS ini dapat menyebabkan pengetahuan merupakan komponen
terjadinya diskriminasi terhadap ODHA. pendukung perilaku yang utama
Keterbatasan informasi dan pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Pendapat yang sama
tentang HIV dan AIDS menyebabkan rasa juga dikemukakan oleh teori Lawrence Green
takut tertular virus HIV yang berlebihan pada bahwa pengetahuan merupakan antesenden
petugas kesehatan dan seringkali perilaku yang menyediakan alasan utama
menyebabkan diskriminasi dan tidak rasional atau motivasi melakukan suatu tindakan
terhadap ODHA (Robinson, 1998). Chase (Glanz, 2002).
dan Aggleton et al, menyatakan bahwa
rendahnya pengetahuan tentang penyakit Persepsi tingkat resiko penularan HIV
AIDS, kesalahpahaman atau misinformasi Sebagian besar informan memiliki
tentang bagaimana HIV persepsi tingkat resiko penularan HIV di
ditularkan/ditransmisikan dan rendahnya tempat layanan kesehatan yang rendah atau
pengetahuan tentang pencegahan penyakit kecil jika kewaspadaan standar dan
merupakan pemicu munculnya stigma dan penggunaan APD diterapkan. Sebagian besar
diskriminasi terhadap ODHA (Chase & informan mengatakan bahwa jika harus
Aggleton, 2001). menangani pasien ODHA mereka tidak
Pengetahuan tentang HIV dan AIDS merasa takut atau khawatir tertular dan hanya
sangat mempengaruhi bagaimana individu akan lebih berhati-hati saja. Sebagian kecil
tersebut akan bersikap terhadap penderita dari informan ini mengatakan lebih merasa
HIV dan AIDS (Bradley, 2009). Pengetahuan takut tertular penyakit TBC dan hepatitis dari
pada umumnya merupakan domain yang pasien ODHA tersebut.
sangat penting untuk terbentuknya perilaku Persepsi tingkat resiko penularan yang
dan mempengaruhi tindakan sehari-hari. merupakan keyakinan adalah suatu bagian

219
Jurnal Promosi Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 12 / No.2 Agustus 2017

dari faktor predisposisi atau sering disebut Namun demikian, ada anggapan yang
sebagai faktor yang berkaitan dengan masih salah, yaitu sebagian kecil informan
motivasi seseorang atau kelompok untuk menganggap tingkat resiko penularan HIV
melakukan segala tindakan. Teori Green juga baginya kecil karena tidak perlu menyentuh
mendasarkan diri pada model kepercayaan pasien HIV dan asalkan dirinya menjaga
kesehatan atau health belief model yang daya tahan tubuhnya tetap baik. Satu
mengatakan bahwa perilaku merupakan hasil informan menganggap resiko penularan HIV
dari sekumpulan kepercayaan kesehatan yang dari pasien ke pasien lainnya bisa dianggap
antara lain salah satunya adalah persepsi besar jika pasien itu digabung dengan pasien
terhadap kerentanan (perceived lainnya dan semestinya pasien dengan HIV
susceptibility) (Graeff, 1996). dipisahkan dengan pasien lainnya di ruang
Kewaspadaan standar diciptakan untuk isolasi supaya tidak menularkan ke pasien
melindungi terhadap kecelakaan yang dapat lainnya. Selain itu, masih ada sebagian kecil
terjadi. Kecelakaan yang paling umum dari informan yang merasakan kekhawatiran
adalah tertusuk jarum suntik, yaitu jarum akan tertular HIV ketika menangani pasien
suntik yang dipakai pada pasien menusuk ODHA. Sebagian kecil informan mengatakan
kulit seorang petugas layanan kesehatan. bahwa resiko penularan HIV di tempat
Penelitian menunjukkan bahwa risiko layanan kesehatan cukup besar yang
penularan rata-rata dalam kasus pasien yang menunjukkan masih ada sebagian kecil
bersangkutan terinfeksi HIV adalah kurang informan yang memiliki persepsi kerentanan
lebih 0,3%, dibandingkan dengan 3% untuk (perceived susceptibility) yang tinggi karena
hepatitis C dan lebih dari 30% untuk hepatitis menurut informan mereka memiliki resiko
B. Jika darah dari pasien yang terinfeksi tertular HIV dan AIDS yang besar.
mengenai selaput mukosa (misalnya masuk Diskriminasi yang bertujuan untuk mencegah
mata) petugas layanan kesehatan, risiko infeksi kadang-kadang tidak didasarkan pada
penularan HIV adalah kurang lebih 0,1%. risiko infeksi HIV yang sebenarnya tetapi
Walaupun belum ada data tentang kejadian pada pengetahuan ilmiah yang salah atau
serupa dengan darah yang tercemar hepatitis anggapan risiko potensial yang terlalu tinggi
B, risiko jelas jauh lebih tinggi (Yayasan (overestimation potential risk) (Deacon,
Spiritia, 2013). 2005). Informan yang memiliki persepsi

220
Praktik Dokter dalam Pemberian …….. (Miralda Septri Dewi, Zahroh S, Antono S)

bahwa tingkat resiko penularan HIV di dari informan mengatakan akan mengirimkan
tempat layanan kesehatan tinggi maupun pasien yang dicurigai sebagai penderita HIV
yang memiliki persepsi kurang tepat ini dan AIDS ke klinik VCT terlebih dahulu
belum mendapatkan pelatihan HIVAIDS untuk mengetahui status HIVnya sebelum
meskipun mendapatkan informasi melalui mau menangani pasien tersebut. Menurut
seminar dan literatur. Hal ini menunjukkan informan triangulasi hal tersebut dilakukan
bahwa pelatihan memberikan pemahaman sebagai langkah jika terjadi kecelakaan kerja
yang lebih baik tentang HIV dan AIDS. untuk dapat melaksanakan prosedur
profilaksis pasca pajanan. Karena untuk
Sikap melakukan prosedur profilaksis pasca
Sebagian besar informan memiliki sikap pajanan harus mengetahui status pasien
positif yaitu jika menemui pasien dengan tersebut benar-benar HIV positif. Mereka
HIV dan AIDS ataupun yang masih dicurigai yang memiliki sikap lebih waspada dan lebih
sebagai penderita HIV dan AIDS akan tetap hati-hati jika harus menangani pasien ODHA
melayani dan menangani (memeriksa dan ini belum mendapatkan pelatihan HIV dan
mengobati) pasien sesuai dengan keluhan AIDS meskipun mendapatkan informasi
yang membuat pasien tersebut datang. melalui seminar dan literatur. Hal ini
Sebagian besar informan akan menawarkan menunjukkan bahwa pelatihan memberikan
untuk merujuk ke klinik VCT ketika pemahaman yang lebih baik tentang HIV dan
menemui pasien yang memiliki indikasi AIDS.
gejala HIV dan AIDS. Menurut Green, sikap adalah reaksi atau
Sebagian kecil informan akan melayani respon yang masih tertutup dari seseorang
dan menangani dengan menekankan terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut
penerapan kewaspadaan universal yang Azwar, sikap seseorang terhadap suatu objek
sempurna. Satu informan mengatakan bahwa adalah perasaan mendukung atau memihak
meskpiun ia mencurigai seorang pasien (favorable) maupun perasaan tidak
sebagai penderita HIV dan AIDS ia tidak mendukung atau tidak memihak
merasa perlu untuk merujuk ke klinik VCT, (unfavorable) pada objek tertentu. Sedangkan
namun akan tetap menangani pasien dengan menurut Newcomb bahwa sikap merupakan
lebih hati-hati dan waspada. Sebagian kecil kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan

221
Jurnal Promosi Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 12 / No.2 Agustus 2017

bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Menurut hasil penelitian, sebagian besar
Sejalan dengan teori L. Green maka sikap informan menganggap bahwa penyakit HIV
merupakan salah satu faktor pendahulu dan AIDS sebagai penyakit infeksi menular
(antesenden) terjadinya suatu perilaku yang tidak bisa disembuhkan tetapi ada obat
(Green, 2000). untuk mempertahankan hidup secara normal.
Namun, sebagian kecil informan masih
Stigma menganggap bahwa penyakit HIV dan AIDS
Semua informan sudah tidak memiliki adalah penyakit yang mematikan, penyakit
stigma terhadap pasien ODHA, mereka yang membahayakan, dan menyeramkan
mengatakan bahwa mereka sudah biasa saja karena belum ada obat yang bisa
dan tidak kaget dengan ODHA. Sebagian menyembuhkan.
besar informan beranggapan bahwa pasien Persepsi terhadap pengidap HIV atau
HIV tidak perlu ditakuti, tidak perlu dijauhi, penderita AIDS akan sangat mempengaruhi
dan harus ditolong dan diobati. Sebagian bagaimana orang tersebut akan bersikap dan
besar informan menganggap bahwa penyakit berperilaku terhadap ODHA (Cock, 2002).
HIV dan AIDS sebagai penyakit infeksi Herek et al, menyatakan bahwa stigma dan
menular yang tidak bisa disembuhkan tetapi diskriminasi terhadap ODHA muncul
ada obat untuk mempertahankan hidup secara berkaitan dengan ketidaktahuan tentang
normal. mekanisme penularan HIV, perkiraan resiko
Sebagian kecil informan masih tertular yang berlebihan melalui kontak biasa
menganggap bahwa penyakit HIV dan AIDS dan sikap negatif terhadap kelompok sosial
adalah penyakit yang mematikan, penyakit yang tidak proporsional yang dipengaruhi
yang membahayakan, dan menyeramkan oleh epidemik HIV dan AIDS ini (Herek,
karena belum ada obat yang bisa 2002).
menyembuhkan. Masih ada satu dokter yaitu Hasil penelitian menunjukkan meskipun
dokter umum yang merasa simpati hanya pada awalnya sebagian kecil informan
pada pasien HIV yang dia anggap sebagai memiliki stigma yaitu berpikiran jelek dan
korban dan merasa gemas pada ODHA yang merendahkan terhadap pasien HIV dan AIDS
merupakan pelaku. (karena konotasi penyakit HIV dan AIDS
yang disebabkan oleh perilaku yang dianggap

222
Praktik Dokter dalam Pemberian …….. (Miralda Septri Dewi, Zahroh S, Antono S)

tidak benar di masyarakat) namun setelah mencukupi kebutuhan untuk penanganan


menemui sendiri bahwa HIV dan AIDS bisa pasien. Masing-masing rumah sakit telah
terjadi pada siapa saja termasuk pada orang memiliki kebijakan dalam bentuk standar
yang tidak melakukan perilaku beresiko, cara operasional prosedur mengenai kewaspadaan
pandang informan telah berubah. Hal itu standar meliputi standar operasional prosedur
menunjukkan bahwa pengalaman menangani cuci tangan, dan standar operasional prosedur
ODHA mempengaruhi pandangan atau pemakaian alat pelindung diri serta telah
stigma pada pasien ODHA. mensosialisasikannya. Menurut informan
Dalam penelitian tentang sikap petugas triangulasi, sosialisasi tersebut merupakan
kesehatan terhadap pasien ODHA di program dari tim pengendalian infeksi atau
Australia, McCann menemukan adanya INOS dan sosialisasi juga dapat dilakukan
hubungan yang signifikan antara kontak pada saat in house training.
sosial dan pengalaman kerja dengan ODHA Masing-masing rumah sakit telah
dengan sikap petugas kesehatan terhadap memiliki kebijakan untuk pelayanan HIV dan
ODHA (McCan, 1997). Hal yang sama juga AIDS dan telah dituangkan dalam bentuk
ditemukan R. Alexander dan J. Fitzpatrick Standar Prosedur Operasional (SPO). SPO
dalam penelitiannya dimana petugas yang ada diantaranya adalah SPO tentang
kesehatan yang pernah menolong >15 orang Penanganan Pasien HIV dan AIDS dan
pasien ODHA memiliki sikap positif Pemberian ARV, SPO untuk konseling pra
dibandingkan mereka yang berpengalaman dan post test, SPO tentang Penatalaksanaan
menolong 12-14 orang pasien ODHA Paparan Cairan Tubuh Pasien Terinfeksi HIV
(Alexander, 1991). pada Pegawai Rumah Sakit, SPO tentang
Pedoman Tatalaksana Pengobatan HIV dan
Dukungan Institusi AIDS pada Anak, dan ada juga Prosedur
Ada dukungan yang baik dari pihak Tetap (Protap) tentang Pemulasaran Jenazah
rumah sakit dalam hal ketersediaan alat HIV dan AIDS.
pelindung diri, yaitu sarana untuk penerapan Semua informan mengatakan ada
kewaspadaan universal seperti handscoon, sosialisasi tentang penerapan kewaspadaan
masker, pelindung mata, celemek, dan standar. Menurut informan triangulasi pada
penutup kepala selalu tersedia dan masing-masing rumah sakit telah

223
Jurnal Promosi Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 12 / No.2 Agustus 2017

mengadakan in house training untuk petugas alat perlindungan diri dalam penanganan
kesehatan yang mana didalamnya ada materi pasien HIV dan AIDS (Li, 2007). Menurut
tentang HIV dan AIDS dan universal Lawrence Green, kebijakan adalah
precautions. Menurut informan triangulasi, seperangkat peraturan yang digunakan
masih banyak petugas kesehatan yang belum sebagai petunjuk untuk melaksanakan
mendapatkan kesempatan mengikuti in house kegiatan (Green, 2000).
training. Salah satu rumah sakit hanya
mengadakan pelatihan ini untuk perawat. Sikap dan Perilaku Rekan Kerja
Sedangkan di rumah sakit lainnya juga Rata-rata informan mengatakan bahwa
mengundang dokter, namun hanya dokter rekan kerja atau tenaga kesehatan yang lain
yang berkaitan erat dengan pelayanan HIV, bersikap biasa saja dan mau menangani
sedangkan rumah sakit yang lain hanya pasien ODHA. Sebagian kecil dari informan
mengundang dokter yang merupakan mengatakan bahwa tenaga kesehatan yang
karyawan tetap rumah sakit tersebut. lain masih ada yang takut atau tidak berani
Menurut informan triangulasi di dua untuk menangani pasien dengan HIV dan
rumah sakit menyatakan bahwa tidak ada AIDS. Sebagian kecil lainnya dari informan
teguran ketika tenaga kesehatan tidak mengatakan bahwa pada tenaga kesehatan
menerapkan kewaspadaan standar, yang ada yang lain masih ada stigma terhadap penyakit
hanya berupa peringatan bisa secara langsung HIV dan AIDS. Ada informan yang
oleh kepala ruang, atau sekedar peringatan mengatakan bahwa terkadang sikap dari
dari sesama rekan kerja. Sedangkan satu tenaga kesehatan lain berlebihan dalam
rumah sakit mengatakan bahwa biasanya penggunaan APD sebagai perlindungan
akan ada teguran dari atasan ketika diketahui dirinya. Menurut informan, masih ada rekan
tidak menerapkan kewaspadaan standar. dokter yang takut dan berlebihan seperti
Faktor dukungan institusi pelayanan selalu menggunakan masker dan sarung
kesehatan mempengaruhi praktik pelayanan tangan saat menangani ODHA. Hal ini
kesehatan terhadap ODHA, antara lain hal- sejalan dengan penelitian Harapan, et al yang
hal yang terkait penetapan kebijakan, SOP menyatakan bahwa masih ada tenaga
(Standart Operational Procedure), kesehatan yang bersikap mendiskriminasi
penyediaan sarana, fasilitas, bahan dan alat- pasien ODHA yaitu dengan menggunakan

224
Praktik Dokter dalam Pemberian …….. (Miralda Septri Dewi, Zahroh S, Antono S)

sarung tangan selama semua interaksi perlakuan yang berbeda atau cenderung
(Harapan, 2013). diskriminatif ketika memberikan pelayanan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesehatan kepada pasien HIV dan AIDS.
masih ada rasa takut dan stigma pada tenaga Sebagian kecil informan memiliki
kesehatan di rumah sakit rujukan HIV dan pengetahuan yang kurang tentang HIV dan
AIDS. Menurut Lawrence Green, sikap dan AIDS, memiliki persepsi bahwa tingkat
perilaku rekan kerja merupakan dukungan resiko penularan HIV di tempat layanan
atau dorongan yang berasal dari lingkungan kesehatan tergolong tinggi sehingga sebagian
sosial dan orang lain yang berpengaruh akan kecil informan masih merasakan
memberikan stimulus yang mempunyai efek kekhawatiran akan tertular HIV ketika
berkelanjutan terhadap suatu perilaku (Green, menangani pasien ODHA. Sikap sebagian
2000). kecil informan akan melayani dan menangani
dengan menekankan penerapan kewaspadaan
SIMPULAN universal yang sempurna. Sebagian kecil
Sebagian besar informan berpraktik baik informan mengatakan bahwa sikap dan
dalam pemberian pelayanan kesehatan pada perilaku rekan kerja atau tenaga kesehatan
pasien HIV dan AIDS. Mereka tidak yang lain kurang baik yaitu masih ada yang
melakukan pembedaan perlakuan atau tidak takut atau tidak berani untuk menangani
mendiskriminasi saat memberikan pelayanan pasien dengan HIV dan AIDS dan masih ada
kesehatan kepada pasien HIV dan AIDS stigma terhadap penyakit HIV dan AIDS.
seperti tidak ada penolakan pelayanan, tidak
ada perbedaan dalam penerapan ACKNOWLEDGEMENT
kewaspadaan standar, tidak memberikan Dalam hal ini penulis mengucapkan
tanda khusus atau label di depan catatan terima kasih kepada Menteri Pendidikan
medis, tidak ada pemisahan ruangan, dan Nasional yang telah memberikan dukungan
tidak ada penundaan pelayanan. pembiayaan melalui Program Beasiswa
Namun, masih ada sebagian kecil Unggulan jalur Fast Track berdasarkan DIPA
informan yang berpraktik kurang baik dalam Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan
pemberian pelayanan kesehatan pada pasien Nasional Tahun Anggaran 2012 sampai
HIV dan AIDS. Mereka memberikan dengan Tahun 2014.

225
Jurnal Promosi Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 12 / No.2 Agustus 2017

KEPUSTAKAAN
Alexander R and Fitzpatrick J. Variable
Influencing Nurses’ Attitudes
Towards AIDS and AIDS Patients.
AIDS Care. 1991;5(6):315-20.
Andrewin A, Chien LY. Stigmatization of
Patients with HIV/AIDS among
Doctors and Nurses in Belize. AIDS
Patient Care and STDs.
2008;22(11):897-906.
Bradley J, et al. Changes in HIV Knowledge,
and Socio-Cultural and Sexual
Attitudes in South India from 2003-
2009. BMC Public Health.
2009;11(Suppl.6):S12.
Chase E and Aggleton P. Stigma, HIV/AIDS
and Prevention of Mother To Child
Transmission : A Pilot Study in
Zambia, India, Ukraine, and Burkina
Faso. UNICEF. London. 2001.
Cock KMD, Mbori-Ngacha D and Marum E.
Shadow on the continent : Public
Health and HIV/AIDS in Africa in the
21st century. The Lancet.
2002;360(9326):67-72.
Deacon H, Stephney I, and Prosalendis S.
Understanding HIV/AIDS Stigma: A
Theoritical and Methodological
Analysis. HSRC Press. Cape Town-
South Africa. 2005.
Dinas Kesehatan Kota Semarang. Laporan
Situasi HIV AIDS di Kota Semarang
2013. Dinas Kesehatan Kota.
Semarang. 2014.
Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil
Kesehatan Kota Semarang 2013.
Dinas Kesehatan Kota. Semarang.
2014.
Graeff JA, Elder JP, and Booth EM.
Komunikasi untuk Kesehatan dan
Perubahan Perilaku. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 1996.
Glanz K, Rimer BK, and Lewis FM. Health
Behavior and Health Education:

226
Praktik Dokter dalam Pemberian …….. (Miralda Septri Dewi, Zahroh S, Antono S)

Theory, Research, and Practice. Kementerian Kesehatan RI. Laporan Situasi


Jossey-Bass, San Fransisco, 2002. Perkembangan HIV & AIDS di
Green LW, Kreuter, and Marshal W. Health Indonesia Tahun 2013. Kemenkes RI.
Promotion Planning An Educational Jakarta. 2013. Diakses
and Environmental Approach 2nd melalui:URL:http://www.aidsindonesi
Edition. Mayfield Publishing a.or.id/ck_uploads/files/Laporan%20
Company. Mountain View-Toronto- HIV%20AIDS%20TW%202%20201
London. 2000. 3%20FINAL.pdf diakses pada Maret,
Harapan H, Feramuhawan S, Kurniawan H, 2014.
Anwar S, Andalas M, and Hossain Kementerian Kesehatan RI. Pedoman
MB. HIV-related Stigma and Penghapusan Sigma dan
Discrimination: A Study of Health Diskriminasi Bagi Pengelola
Care Workers in Banda Aceh, Program, Petugas Layanan
Indonesia. Med J Indones. Kesehatan dan Kader. Kemenkes RI.
2013;22(1):22-29. Jakarta. 2012.
Harapan H, et al. Discriminatory Attitudes Kinsler JJ, Wong MD, Sayles JN, Davis C,
Toward People Living With HIV and Cunningham WE. The Effect of
Among Health Care Workers in Aceh, Perceived Stigma from a Health Care
Indonesia: A Vista From A Very Low Provider on Access to Care Among a
HIV Caseload Region. Clinical Low-Income HIV-Positive
Epidemiology and Global Health. Population. Journal AIDS Patient
2013;08(001):1-8. Care and STDs. 2007;21(8).
Herek GM, Capitanio JP and Widaman KF. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
HIV-Related Stigma and Knowledge ODHA dan Akses Pelayanan
in the United States: Prevalence and Kesehatan Dasar: Penelitian
Trends, 1991–1999. American Partisipatif. KPAN. Jakarta. 2006.
Journal of Public Health. 2002;92(3). Diakses melalui:URL:
International Labour Organization & World http://www.spiritia.or.id/Dok/odhaaks
Health Organization. Pedoman es.pdf diakses pada Oktober, 2013.
Bersama ILO/WHO Tentang Li L, Wu Z, Wu S, Zhaoc Y, Jia M and Yan
Pelayanan Kesehatan dan HIV/AIDS. Z. HIV-Related Stigma in Health
Direktorat Pengawasan Kesehatan Care Settings: A Survey of Service
Kerja. Jakarta. 2005. Providers in China. AIDS Patient
Kementerian Kesehatan RI. Statistik Kasus Care STDS. 2007;21(10):753–62.
HIV/AIDS di Indonesia: dilapor Mahendra V, et al. Understanding and
sampai dengan Juni 2013. Diakses Measuring AIDS-Related Stigma in
melalui:URL: Health Care Settings: A Developing
spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf Country Perspective. Journal of
diakses pada Maret, 2014. Social Aspects of HIV/AIDS.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2007;4(2):616-25.
2012. Keputusan Menteri Kesehatan Mardiati R, Handayani S. Ringkasan
Republik Indonesia Nomor 451/ Eksekutif: Penelitian Peran
Menkes/ SK/ XII/ 2012 tentang Dukungan Sebaya Terhadap
Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang Peningkatan Mutu Hidup ODHA di
Dengan HIV dan AIDS. Indonesia Tahun 2011. Yayasan

227
Jurnal Promosi Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 12 / No.2 Agustus 2017

Spiritia. Jakarta. 2011. Diakses 2010. Tesis (Universitas Indonesia).


melalui:URL:http://spiritia.or.id/Dok/ Depok. 2010.
Ringkasan_Penelitian_Peran_Dukung Webber GC. Chinese Health Care Providers'
an_Sebaya.pdf diakses pada Attitude About HIV: A Review. AIDS
Desember, 2013. Care. 2007;19(5):685-91.
McCann TV. Willingness to Provide Care Yayasan Spiritia. Lembaran Informasi
and Treatment for Patient with tentang HIV/AIDS untuk Orang Yang
HIV/AIDS. Journal of Advanced Hidup Dengan HIV/AIDS (ODHA) –
Nursing. 1997;25(5):1033-9. Kewaspadaan Standar. Yayasan
Merati TP and Supriyadi FY. The Disjunction Spiritia. Jakarta. 2013.
Between Policy and Practice: HIV Yayasan Spiritia. Dokumentasi tentang
Discrimination in Health Care and Masalah Diskriminasi terhadap
Employment in Indonesia. AIDS Orang dengan HIV/AIDS di
Care. 2005;17 (Suppl.2):175-9. Indonesia: Tahap Kedua. Yayasan
Murni S, Green CW, Okta S, and Setyowati Spiritia. Jakarta. 2005. Diakses
H. Pasien Berdaya. Yayasan Spiritia. melalui:URL:
Yogyakarta. 2003. http://www.spiritia.or.id/Dok/HR-
Notoatmodjo S. Pengantar Pendidikan Dok2.pdf diakses pada Oktober,
Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka 2013.
Cipta. Jakarta. 2007.
Nurhayati E. Stigma dan Diskriminasi
Terhadap ODHA di Kota Bandung
Tahun 2012. Pustaka Universitas
Padjadjaran. Bandung. 2013.
Paryati T, Raksanagara AS, Afriandi I.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Stigma dan Diskriminasi kepada
ODHA(Orang dengan HIV/AIDS)
oleh Petugas Kesehatan : Kajian
Literatur. Pustaka Universitas
Padjadjaran. Bandung. 2013.
Purwaningtyas A, Subronto YW, and
Hasanbasri M. Pelayanan HIV/AIDS
di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Universitas Gadjah Mada Press.
Yogyakarta. 2007.
Robinson N. People with HIV/AIDS: Who
Cares?. Journal of Advanced Nursing.
1998;28(4):771-8.
Rostini. Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Sikap Petugas Puskesmas
Terhadap Orang Dengan HIVAIDS
(ODHA) dalam Pelayanan Kesehatan
HIV-AIDS di Kota Bandung Tahun

228

Anda mungkin juga menyukai