Anda di halaman 1dari 26

ABSTRAK

Tubuh manusia memilik ratusan jenis sel yang berbeda yang penting untuk kesehatan kita
setiap hari. Sel-sel ini bertanggung jawab untuk menjaga tubuh kita bekerja setiap harinya, seperti
membuat jantung kita berdetak, otak kita berpikir, ginjal membersihkan darah kita, mengganti kulit
yang terkelupas, dan seterusnya. Tugas khusus dari stem cell adalah untuk menciptakan berbagai
jenis sel tersebut. Stem cell adalah sumber untuk sel-sel baru. Pada saat stem cell membelah, mereka
dapat memperbanyak diri sendiri atau menjadi jenis sel yang lain. Namun, apabila stem sel yang
digunakan untuk terapi ternyata telah terkontaminasi maka dapat menimbulkan penyakit baru bagi
pasien tersebut. Maka perlu diperhatikan hal-hal yang dapat menyebabkan kontaminasi pada sel dan
cara mencegahnya. Melihat potensi stem sel yang luas untuk penyembuhan penyakit, maka terdapat
beberapa metode yang dapat dilakukan untuk menunjang keberhasilan kultur stem sel secara in
vitro.

Kata kunci : freezing, in vitro, kontaminasi, stem cell, terapi sel, thawing.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... 2

ABSTRAK ........................................................................................................................................ 3

BAB I : PENDAHULUAN .............................................................................................................. 6

Latar Belakang ................................................................................................................................... 6

Rumusan Masalah.............................................................................................................................. 7

Tujuan Pembahasan ........................................................................................................................... 7

BAB II : TEORI DASAR ................................................................................................................ 8

BAB III : SOAL DAN PEMBAHASAN ...................................................................................... 17

KESIMPULAN .............................................................................................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 27


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Flowchart Kultur Sel hES ............................................................................................ 10


Gambar 2. Flowchart Kultur Sel iPS ............................................................................................. 11
Gambar 3. Wave Bioreactors ......................................................................................................... 14
Gambar 4. Perbandingan produksi dengan dan tanpa Wave Bioreactors ...................................... 14
Gambar 5. Fluidized Bed Bioreactors ............................................................................................ 16
Gambar 6. Ilustrasi Mycoplasma ................................................................................................... 20
Gambar 7. Thawing Procedure ...................................................................................................... 22
Gambar 8. Laminar Flow Cabinet.................................................................................................. 24
Gambar 9. Cell Factory™ Incubators ............................................................................................ 25

DAFTAR TABEL

Tabel 1. OUR dari mikroba umum ................................................................................................. 14


Tabel 2. Pencegahan Kontaminasi .................................................................................................. 18
BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Pada saat ini, perkembangan terapi sel punca menjadi alternatif yang menjanjikan untuk
penyembuhan beberapa penyakit kronis. Penelitian terkait sel punca sangat meningkat dalam
beberapa waktu belakangan ini. Terapi ini dipercaya untuk dapat menyembuhkan beberapa penyakit
seperti diabetes, autoimun, dan kanker, Sel punca dapat menyembuhkan beberapa penyakit ini
karena didukung oleh beberapa sifat antara lain pluripotent, multipotent, dan totipotency.
Pada proses pengkulturan, salah satu kegagalan yang dapat terjadi adalah terjadinya
kontaminasi pada sel yang dikultur. Kontaminasi adalah suatu proses terjadinya pencemaran pada
sel. Kontaminasi dapat disebabkan oleh eksplan, mikroorganisme, serta teknik pengerjaan kultur
yang kurang aseptik. Kontaminasi ini sangat merugikan dan berdampak besar terhadap kualitas
kultur sel. Kontaminasi pada sel dapat menyebabkan kematian pada sel. Proses kontaminasi sel ini
akan memperceoat suatu sel untuk mencapai keadaan senescence bagi sel.
Pada saat ini, penyimpanan stem cell dilakukan dengan teknik cryopreservation. Teknik
Cryopreservation adalah teknik penyimpanan sel hewan, tumbuhan, manusia, atau materi genetika
lain dalam keadaaan beku. Penyimpanan ini dilakukan dengan suhu yang sangat rendah. Pada saat
ini, proses freezing dilakukan menggunakan cryoprotectant dan alat pengontrol suhu. (Jang, Tae
Hoon, et al. 2016) untuk mencegah terjadinya kerusakaan akibat freezing. Pemulihan sel dalam
keadaan beku dinamakan dengan proses thawing. Proses ini dilakukan untuk mengembalikan sel
pada keadaan suhu normal sebelum dilakukan proses kultur.
Pada pelaksanaan proses kultur, diperlukan fasilitas yang menunjang bagi keberhasilan
proses kultur stem cell. Pemilihan fasilitas ini dipilih berdasarkan karakteristik yang dimiliki oleh
sel yang di kultur. Beberapa proses yang dilalui untuk memperoleh hasil kultur yang maksimal yaitu
perlakuan pre-treatment, conditioning, pemilihan sistem, dan pengukuran.
Makalah ini disusun untuk membahas aplikasi sel pada beberapa penyakit, kontaminasi yang
terjadi pada sel, serta Teknik cryopreservation dan thawing dalam proses kultur.
Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan, didapatkan beberapa rumusan masalah, yaitu :
1. Apa yang dapat menyebabkan kontaminasi pada sel punca?
2. Bagaimana efek dari kontaminasi terhadap kultur sel yang dilakukan?
3. Bagaimana cara untuk menghindari kontaminasi kultur sel?
4. Apa penyebab terjadinya penyimpangan genetik dalam proses kultur?
5. Bagaimana cara mencegah teradinya penyimpangan genetik dalam proses kultur?
6. Apa yang dimaksud dengan Teknik cryopreservation dan thawing?
7. Bagaimana dilakukannya Teknik cryopreservation dan thawing?
8. Bagaimana sel punca dapat menyembuhkan beberapa penyakit?
9. Bagaimana cara mendesain fasilitas yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan
proses kultur stem cell?

Tujuan Pembahasan

Tujuan dari disusunya makalah untuk mata kuliah kultur sel ini diantaranya adalah :
1. Mempelajari hal-hal yang dapat mengkontaminasi proses kultur sel pada stem cell serta
efeknya.
2. Mempelajari pengaruh kontaminasi E. coli pada penerima stem cell serta cara mencegah dan
menanganinya.
3. Mempelajari teknik in vitro pada kultur sel yang dapat menyebabkan penyimpangan genetik.
4. Mengetahui istilah freezing (cryopreservation), dan thawing serta pengaruhnya terhadap sel.
5. Mempelajari cara dan bagaimana stem cell dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit
autoimun, kanker, diabetes, neuropathy, back pain, dll.
6. Mempelajari cara mendesain fasilitas yang diperlukan yntuk proses kultur sel secara in vitro.
BAB II

TEORI DASAR

Kontaminasi Kultur Sel


Faktor Kontaminasi atau Kegagalan pada Stem Cell
Kontaminasi pada kultur jaringan dapat berasal dari eksplan (baik eksternal maupun internal),
organisasi kecil yang masuk ke dalam media, botol kultur atau alat-alat tanam yang kurang steril,
lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor serta kecerobohan dalam pelaksanaan (Gunawan,
1992). Mikroorganisme penyebab kontaminasi dapat berupa bakteri, fungi, protozoa, serangga,
virus dan lain-lain. Kontaminasi oleh fungi ditandai dengan munculnya benang-benang halus
yang berwarna putih, yang merupakan miselium fungi. fungi dapat menginfeksi jaringan secara
sistemik sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan jaringan eksplan akan mati. Selain itu,
kontaminasi oleh bakteri ditandai munculnya bercak-bercak berlendir pada media atau eksplan.
Bercak tersebut biasanya berwarna putih yang merupakan koloni bakteri. Bakteri lebih sulit
untuk dideteksi dibandingkan dengan fungi karena dapat masuk ke dalam ruang antar sel.
a. Faktor Penyebab Internal
Kontaminasi internal adalah kontaminasi yang berasal dari eksplan yang di kultur.
Kontaminasi internal biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari
eksplan yang tumbuh dan berkembang secara bertahap dalam kondisi in vitro.
Pertumbuhan dan perkambangan mikroorganisme internal biasanya muncul beberapa
minggu hingga beberapa bulan setelah di kultur.
b. Faktor Penyebab Eksternal
Kontaminasi eksternal atau kontaminasi permukaan biasanya disebabkan oleh
mikroorganisme yang berasal dari luar eksplan. Respon kontaminasi eksternal ini sangat
cepat karena mikroorganismenya berada permukaan eksplan. Kontaminasi ini dapat
berasal dari alat yang digunakan seperti botol kultur yang tidak di sterilisasi terlebih
dahulu sehingga mengganggu pertumbuhan dari kultur.
Teknik Kultur Stem Cell
Teknik Kultur Human Embryonic Stem Cell
Menurut National Institute of Health (NIH), Human Embryonic Stem Cell adalah stem cell
yang diturunkan dari embrio yang berkembang dari sel telur yang dikultur secara in vitro. Proses
menumbuhkan suatu sel dalam laboratorium dinamakan dengan kultur. Kultur Embryonic Stem
Cell dilakukan dengan memindahkan embrio dalam tahap pre-implementation ke dalam suatu
culture disk yang berisi nutrisi.
Teknik kultur pada embryonic stem cell dilakukan menggunakan feeder layer. Feeder layer
yang digunakan adalah embrio sel kulit tikus. Culture disk yang digunakan untuk kultur dilapisi
oleh feeder layer sehingga sel memiliki tempat untuk menempel. Selain itu, feeder cell juga dapat
memberikan nutrisi ke dalam medium. Feeder layer harus dipastikan terbebas dari kontaminasi
agar tidak dapat menginfeksi virus.
Alat
Beberapa alat yang digunakan dalam proses kultur Human Embryonic Stem Cell adalah sebagai
berikut (Sohyun dan Renee, 2008) :
1. Tabung Sentrifugasi 15 mL
2. Alat Penyaring (0,2 -μm)
3. Dishes / Plates
4. Inkubator (humidified, 37°C, 5% CO2)
5. Tabung Penyimpanan Nitrogen Cair
6. Mikroskop
7. Pipet
Media
Berdasarkan data pada jurnal Fertility and Sterility (Li,Yang. et al, 2010), media yang dapat
digunakan dalam proses kultur ini adalah sebagai berikut :
1. DMEM
2. 10% FBS mM Sodium Piruvat
3. 100 µM Asam Amino Non Essensial
4. 2mM L-Glutamin
Metode
Metode kultur untuk human embryonic stem cell dapat dilakukan melalui cara seperti di bawah ini

Melakukan
Meletakan MEF Mensuspensi kembali
Melakukan thawing penyimpanan sel yang
sebagai feeder pada sel dengan media Melakukan passaging
terhadap sel yang beku tumbuh dalam suhu
culture dish kultur
rendah (freezing)

Gambar 1. Flowchart Kultur Sel hES

(Backe, 2008)
Teknik Kultur Induced Pluripotent Stem Cells
Alat
Pada pelaksanaan kultur Induced Pluripotent Stem Cells, beberapa alat yang digunakan adalah
sebagai berikut (Catherjee, et al. 2016) :
1. Alat Sentrifugasi
2. Alat Penyaring (0,2 -μm)
3. Dishes / Plates
4. Inkubator (humidified, 37°C, 5% CO2)
5. Tabung Penyimpanan Nitrogen Cair
6. Mikroskop
7. Pipet
8. Flow Cytometer
9. Water Bath 37°C
10. Container Beku
Media
Media yang digunakan dalam proses kultur Induced Pluripotent Stem Cell adalah sebagai berikut
(Catherjee, et al. 2016) :
1. DMEM
2. 1.0 mM Sodium Piruvat
3. 100 µM Asam Amino Non Essensial
4. 2.5mM Glutamax
5. Penicilin (10.0 µg/ml)
6. Streptomycin (5.0 µg/ml)
7. 0.1 mM β-mercaptoethanol
8. 1000 U/ml recombinant Leukemia Inhibitory Factor (LIF)
Metode
Pada pengerjaan kultur sel iPS, hal yang paling penting untuk dilakukan adalah memastikan tidak
adanya kontaminasi mycoplasma dalam sel yang akan dikultur. Proses pengerjaan kultur harus
dilakukan dengan teknik aseptik. Hal ini dikarenakan kebersihan lingkungan dapat mengurangi
potensi terjadinya kontaminasi. Pencegahan akan hal ini dapat dilakukan dengan membersihkan
lingkungan kerja dengan alkohol 70%.
Kondisi lingkungan kultur juga menjadi faktor penentu keberhasilan. Pada kondisi optimal, sel
iPS membutuhkan waktu sekitar 18-20 jam untuk berkembang biak menjadi dua kali lipat.
(Chatterjee, et al. 2016).

Menambahkan faktor
Memanaskan media pada
tambatan selama 5 menit Meletakan sel iPS dalam
Menyiapkan media kultur water bath dengan suhu
kemudia dikeluarkan media kultur
37°C selama 30-60 menit
dengan disedot

Memindahkan isi cryovial


Melakukan thawing pada Sentrifugasi pada 1000
ke dalam tabung Mengambil cell pellet
cryovial yang berisi sel iPS rpm
sentifugasi

Memindahkan ke dalam
culture dish untuk
dimasukan pada
inkubator

Gambar 2. Flowchart Kultur Sel iPS

Pada proses kultur ini, diperlukan sub-kultur untuk memperoleh hasil kultur yang maksimal.
Passage ini dapat dilakukan setelah 3-4 hari. Hal ini dilakukan untuk mengeluarkan sel mati dan
memberikan media baru kepada sel. Selain passage, freezing juga penting untuk dilakukan untuk
menjaga kualitas sel yang tersimpan. Proses ini dilakukan dalam nitrogen cair. Menurut Chatterjee,
sebaiknya dilakukan penggantian media 3-4 jam sebelum dilakukan freezing.

Penyimpangan Genetik
Penyimpangan genetik adalah perubahan frekuensi varian gen (alel) dalam suatu populasi
karena random sampling/ sampling acak yang menggeser susunan gen secara perlahan dari keadaan
setimbangnya dan semakin membesar seiring berjalannya waktu. Alel pada keturunannya adalah
sampel dari alel orang tua nya, dan peluang berperan dalam menentukan apakah suatu individu akan
survive dan bereproduksi. Frekuensi alel sebuah populasi adalah sebagian kecil dari salinan satu
gen yang memiliki bentuk khusus dan sama. Penyimpangan genetika dapat menyebabkan varian
gen untuk hilang sepenuhnya dan dengan demikian akan mengurangi variasi genetik.

Frekuensi gen pada suatu populasi dapat berubah apabila terdapat evolutionary forces, yaitu
faktor-faktor yang berperan dalam mengubah frekuensi alel dan genotip, antara lain mutasi, migrasi,
perkawinan tidak acak, genetic drift dan seleksi alam (Arisuryanti & Daryono, 2007).
Penyimpangan genetik memiliki dampak yang lebih besar pada populasi kecil. Perubahan frekuensi
alel dan genotip suatu populasi merupakan indikasi adanya mikroevolusi, yaitu evolusi yang terjadi
pada tingkat kecil (gen). (Campbell et al., 2003) menyatakan bahwa apabila frekuensi alel atau
genotip menyimpang dari nilai yang diharapkan dari kesetimbangan Hardy- Weinberg, maka
populasi itu dikatakan sedang berevolusi.

Bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel cenderung lebih rentan terhadap
penyimpangan/mutasi genetik. Bila mutasi terjadi pada sel somatic, maka perubahan hanya terjadi
pada bagian itu dan dapat dilihat pada perkembangan sel dan jaringan ini. Sedangkan bila terjadi
pada sel generative, maka akan terjadi perubahan menyeluruh pada tanaman keturunannya yang
dapat berakibat pada perubahan fisiologis dan biokemis. Variasi genetik dapat terjadi karena
perbuatan manusia melalui persilangan, rekayasa genetik, dan penggunaan mutagen (Mattjik,
2005).

Sel Punca (Stem Cell) untuk Penyembuhan Penyakit

Sel punca merupakan sel yang akan membentuk berbagai sel tubuh manusia. Sel punca
adalah sel yang bersifat embrionik. Sel punca memiliki kemampuan berdifirensiasi menjadi sel
tubuh yang berbeda jenisnya. Kemampuan berdiferensiasi itu berbeda-beda pada tiap jenis sel. Ada
tiga macam kemampuan sel untuk berdiferensiasi. Ketiga kemampuan itu adalah totipotensi,
pluripotensi, dan multipotensi. Kemampuan berdiferensiasi pada jenis totipotensi ini adalah yang
paling luas.

Ada dua jenis sel punca dari asal mulanya yaitu :


a. Embryonic stem cell (ESC)
ESC berasal dari jaringan sel embrio pada tahap blastosis. Pada manusia, tikus, dan primata,
embrio pada tahap ini merupakan bola yang terdiri atas 100 sel (Alam, Ishfaq, & Kanam,
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 277 2016). Sel punca
jenis ini memiliki sifat pluripoten dan kemampuan regenerasi yang luas (Bajada, 2008). Sel
punca embrio dapat dikultur hingga beberapa generasi.
b. Non embryonic stem cell (non-ESC)
Non-ESC atau adult stem cell adalah sel yang belum mengalami diferensiasi dalam tubuh
dewasa. Bila terjadi kerusakan atau kematian sel, maka sel stem akan mengganti sel di
sekitarnya itu. Sel punca jenis non ESC memiliki sifat multipoten (Bajada, 2008). Ada beberapa
asal sel punca non embrio. Sumber tersebut adalah dari cairan amnion, sumsum tulang,
pembuluh darah, dan otot rangka. Sel punca tersebut umumnya bersifat dorman. Apabila terjadi
luka atau kerusakan jaringan, barulah sel punca tersebut menjadi aktif dan mengganti sel yang
rusak di sekitarnya. (Alam, Ishfaq, & Kanam, 2016).

Fasilitas Pada Proses Kultur Sel

1. Conditioning
Kondisi pada scaling up didasarkan pada kondisi tahapan sebelumnya(lab, pilot, lalu
industrial scale). Kondisi nutirsi dan keadaan medium pada scale up relatif sama pada tahapan
sebelum dan sesudahnya. Pperbedaan volume sistem kultur, membuat perlunya adanya
perubahan aspek mekanik(pengadukan) dan aspek fisis(suhu). Walaupun terjadi perbedaan
volume, aspek-aspek geometris pada scaling up seperti bentuk dasar dan perbandingan tinggi
dan diameter, dijaga untuk sama.

1.1 Mekanik
Pada bioreaktor skala besar diperlukan pengadukan dengan mesin jika dibandingkan
dengan tabung reaksi yang diaduk dengan magnetic stirrer. Hal tersebut perlu diperhatikan
dikarenakan gaya pengadukan yang terlalu besar dapat menyebabkan bakteri mati
dikarenakan sheer stress dari fluida pada sistem. Serta butuh pengaturan ukuran sparger
dan kecepatan minimum terfluidisasi, jika menggunakan fluidized bed bioreactor(FBB).
Perhitungan scale up pada aspek mekanik sangatlah bergantung pada konsep-konsep dan
perhitungan dari perpindahan momentum. Salah satu parameter yang sering diperhatikan
adalah waktu pencampuran(tm) yang dipengaruhi oleh volume sistem(V) dan volumetric
flow rate(Q).

Salah satu teknologi baru pada skala lab/pilot adalah wave bioreactors. Wave
bioreactors menggunakan pengadukan tanpa kontak langsung dengan bakteri dan fluida
dalam skala yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan culture flask bertahap
dengan pengadukan oleh magnetic stirrer atau orbital shaker. Keunggulan lain wave
bioreactor adalah tidak perlunya pemindahan berkali-kali(sub kultur), sehingga waktu
yang diperlukan untuk menghasilkan jumlah sel yang sama relatif lebih cepat.
Gambar 3. Wave Bioreactors
(sumber : www.researchgate.net)

Gambar 4. Perbandingan produksi dengan dan tanpa Wave Bioreactors


(sumber : bioprocess.intl.com)
1.2 Fisis
Salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah kinematika-kinematika
O2(aerobik), N2, CO2, dll. Hal tersebut sangat mempengaruhi dan perubahan skala wadah
tidaklah linear. Salah satu kinematika atau laju difusivitas yang terpenting adalah O2, jika
oxygen utilization rate(OUR) tidak mencukupi pertumbuhan maka mikroorganisme tidak
akan mengalami fase log.
Tabel 1. OUR dari mikroba umum
Mikroba OUR(mmol O2/g cells/ h)
Fungi berfilamen 3
Yeast 4-8
Bakteri 12
Sumber : Clarke, 2013
Untuk memenuhi OUR perlu dihitung/estimasi nilai oxygen transfer rate(OTR)
yang dapat dihitung dengan pendekatan two film theory(TFT) dan menggunakan hukum
Fick.

Keterangan
J = flux O2
D = Difusivitas
Csat = solubilitas O2
C = konsentrasi O2 bulk
a = luas permukaan
δ = ketebalan

2. Controlling
2.1 PDL
Population doubling level dijadikan standar utuk kultur sel(batas sel sehat) serta
dalam pengujian-pengujian dalam skala lab biasa dicantumkan sel hasil eksperimen nomor
PDL. Hal tersebut dikarenakan PDL berbanding lurus dengan mutase dan berbanding
terbalik dengan ekspresi gen. Sehingga untuk menghasilkan hasil yang konsisten perlunya
pengukuran PDL. PDL dapat dilakukan dengan rumus berupa berikut
𝑁
𝑁𝑢𝑚𝑏𝑒𝑟 𝑜𝑓 𝑃𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝐷𝑜𝑢𝑏𝑙𝑖𝑛𝑔 = 3.322 (𝑙𝑜𝑔 )
𝑁𝑜
Untuk menghitung jumlah sel dapat dilakukan berbagai macam teknik seperti
hemacytometer atau mengukur densitas sel. Dalam mikroorganisme yang dijual secara
komersil sudah menjadi standar untuk dicantumkan batas PDLnya.

2.2 Cell Density


Cell density bertujuan untuk mengetahui massa dan jumlah sel pada larutan,
pendekatan ini dapat dilakukan dengan hemacytometer atau dengan spektroskopi. Dengan
menggunakan perhitungan sel manual dibutuhkan waktu yang lama dan factor dilusi yang
besar. Dengan menggunakan kurva kalibrasi(perhitungan manual) yang telah dibuat untuk
sejenis bakteri dapat dibuat fungsi linear(Hukum Lambert Beer) lalu dapat diketahui
kolerasi antara kepadatan sel dan absorbansi. Biasanya pada mikroorganisme tidak
berwarna pengukuran dilakukan pada panhang gelombang 600nm.
2.3 Cell Viability
Untuk mengetahui jumlah sel hidup, sel yang mati, dan mengetahui laju metabolik
sel(sehat atau tidak) dapat dilakukan beberapa metode. Metode paling sederhana dapat
menggunakan staining, dimana sel yang membrannya pecah akan bereaksi dan
menghasilkan warna. Namun pada metode ini tidak dapat menghitung sel yang dalam fase
apoptosis. Sehingga terdapat metode dengan flow cytometry dengan target
phosphatidylserine(pada membrane sel yang mengalami apoptosis). Serta mengecek
kemampuan totipotensi sel dengan PDL atau densitas sel

3. Bioreaktor
Terdapat berbagai jenis bioreaktor seperti dengan pengadukan mekanik atau fluidzed beds,
namun pengklasifikasian yang paling penting adalah batch, semi-batch, atau continuous.
Berikut beberapa contoh dari bioreactor yang umum digunakan.
• Fluidized Bed Bioreactors(FBB)
• Packed Bed Bioreactors
• Airlift Bioreactors
• Rotary Drum Bioreactors
• Wave Bioreactors
• Dll

Gambar 5. Fluidized Bed Bioreactors


(sumber : en.wikipedia.org)
BAB III

SOAL DAN PEMBAHASAN

1. Apa saja hal-hal yang dapat mengkontaminasi kultur sel? Dapatkah kalian menjelaskan
efek dari kontaminasi terhadap kultur sel yang dilakukan?
Jawaban :
• Kontaminasi pada kultur jaringan dapat berasal dari eksplan (baik eksternal maupun
internal), organisasi kecil yang masuk ke dalam media, botol kultur atau alat-alat tanam yang
kurang steril, lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor serta kecerobohan dalam
pelaksanaan (Gunawan, 1992). Kontaminasi yang disebabkan oleh makhluk hidup disebut
dengan kontaminasi biologis, sementara kontaminasi yang disebabkan oleh makhluk tak
hidup adalah kontaminasi kimia. Mikroorganisme adalah kontaminan biologis. Kontaminasi
ini dapat disebabkan oleh bakteri, fungi, protozoa, serangga, virus dan lain-lain.
Kontaminasi oleh fungi ditandai dengan munculnya benang-benang halus yang berwarna
putih, yang merupakan miselium fungi. fungi dapat menginfeksi jaringan secara sistemik
sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan jaringan eksplan akan mati. Selain itu,
kontaminasi oleh bakteri ditandai munculnya bercak-bercak berlendir pada media atau
eksplan. Bercak tersebut biasanya berwarna putih yang merupakan koloni bakteri. Bakteri
lebih sulit untuk dideteksi dibandingkan dengan fungi karena dapat masuk ke dalam ruang
antar sel. Beberapa indicator lain seperti perubahan pH dan kekekurahan pada kultur sel juga
merupakan pertanda terjadinya suatu kontaminasi yang disebabkan oleh kontaminan
biologis. Sementara untuk kotaminasi kimia, beberapa fator penyebabnya adalah air, media,
dan sera yang tercemar oleh logam berat dan endotoxin dapat menyebabkan kontaminasi
pada kultur sel, detergen atau desinfektan yang tersisa pada wadah kultur,
plasticizer yaitu bahan pelarut digunakan untuk membuat sifat elastisitas pada plastic yang
digunakan pada wadah kultur juga sumber kontaminan, radikal bebas yang terakumulasi
pada media kultur akibat photo activation dari tryptophan, riboflavin, atau HEPES yang
terekspos oleh cahaya fluorescents serta penggunaan gas yang kotor pada incubator.

Kontaminasi tidak dapat dipisahkan dalam setiap kegiatan kultur sel. Kontaminasi sangat
merugikan dan mempengaruhi kualitas penelitian, kontaminasi dibedakan menjadi 3 jenis yang
masing-masing berbeda efeknya. Konsekuensi kontaminasi diantaranya kehilangan waktu,
uang, daya guna, kekeliruan hasil, ketidak akuratan, hilangnya potensi produk dan kegagalan
peneliti. Kontaminasi tidak sepenuhnya dapat dihilangkan, namun dapat dikelola dengan
mengurangi frekuensi kejadian dan bersungguh-sungguh untuk mengurangi kontaminasi.
Akibat yang paling fatal dari adanya kontaminasi adalah senescence cell atau kematian pada sel.
Peran kontaminan adalah dengan mempercepat suatu sel untuk mencapai fase senescence-nya.

2. Apa pengaruh dari kontaminasi E. Coli pada pasien yang menerima terapi stem cell
tersebut? Mengapa stem cell yang diberikan sebagai terapi pada 12 pasien tersebut bisa
terkontaminasi E. Coli? Jelaskan yang bisa kalian rekomendasikan untuk menghindari
kontaminasi tersebut bahkan kontaminasi lainnya?
Jawaban :
Pasien yang menerima terapi stem cell yang telah terkontaminasi tersebut mengalami
infeksi diantara lain infeksi aliran darah, sendi, dan abses epidural.
Kontaminasi pada kultur sel dapat terjadi karena beberapa hal yang dapat dibagi 2
menjadi faktor internal atau kontaminasi yang disebabkan oleh eksplan sel yang digunakan atau
faktor eksternal atau kontaminasi yang disebabkan karena lingkungan luar. Terdapat beberapa
cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi sel, diantaranya adalah
dengan menjaga kebersihan ruang kerja, menggunakan alat-alat untuk sel tertentu sehingga
tidak bercampur serta memastikannya dalam kondisi bersih saat digunakan, mengosongkan
wadah limbah secara teratur dan gunakan desinfektan yang efektif melawan mikroba dan kultur
sel.
Pencegahan terjadinya kontaminasi dalam proses kultur sel ini dapat dicegah melalui
cara-cara berikut yang dirangkum pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Pencegahan Kontaminasi


Source of Contaminant (Microbial, and Method of its Removal/Precautions
also Chemical)
Reagent and water used for preparing media Micro filtration (0.22µ), autoclave
Endotoxins from sera, water, media and Ultra filtration and ion exchange,
some culture additives Litmus Amebocyte Lysate Assay
Impurities in gases used in CO2 incubator Use of correct gas cylinders, 0.22µ filters
between the CO2 incubator and cylinders
Free radicals generated in media by the Do not leave feeding culture on lab benches
photo-activation of tryptophan, riboflavin, for long and do not store media in cold
HEPES exposed to fluorescent light facilities with light
Deposits in glassware, pipettes, instruments Washings with ether-chloroform.
etc left by disinfection or detergent
Bacteria , yeasts, fungi Use antibiotics and antimycotics, discard the
contaminated culture, clean and disinfect all
surfaces followed by reviving a fresh culture
Virus and Mycoplasma Discard contaminated culture. Test the stock
for sterility before reviving
Sumber : thermofisher.com

3. Dalam perkembangannya, teknik in vitro pada kultur sel sangat memungkinkan


terjadinya penyimpangan genetik. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana cara
mencegahnya?
Teknik in vitro dalam kultur sel dilakukan dengan memasukkan sel atau jaringan yang
ingin dikultur ke dalam alat-alat yang terbuat dari kaca, seperti cawan petri, labu erlenmeyer,
botol kaca, dll. Selama kultur jaringan dengan teknik in vitro berlangsung, sel atau jaringan
berkembang biak secara vegetatif atau secara tidak acak. Dalam kasus ini penyimpangan/mutasi
genetik yang terjadi adalah mutasi somatik. Kejadian ini banyak dipengaruhi oleh keadaan sel
itu sendiri maupun kontaminan selama teknik dilakukan. Sel yang melakukan mutasi akan
membelah, kemudian membentuk kumpulan sel yang berbeda dengan induknya, membentuk
klon baru yang berbeda dengan induknya. Individu baru ini bukan hasil rekombinan atau
segregesi seperti hasil persilangan.

Penyebab terjadinya variasi somaklonal (mutasi/penyimpangan somatic) pada teknik


in vitro dikutip dari berbagai sumber meliputi :
• Kontaminasi oleh HeLa cell line
Proses sequencing oleh HeLa menunjukkan ketidakstabilan genetik dan perubahan yang
tidak biasa dibandingkan dengan genom normal (Landry et al., 2013). Garis sel
ditemukan sangat tahan lama dan produktif, seperti yang diilustrasikan oleh
kemampuannya untuk mencemari banyak garis sel lainnya. Sangat mungkin bahwa saat
ini 10-20% dari cell line yang dihasilkan dari kultur sel sebenarnya merupakan sel HeLa
(Hughes et al., 2007)
• Kontaminasi oleh mikroba
Mikroba mycoplasma dapat menyebabkan penyimpangan genetik pada kultur sel in
vitro. Mycoplasma merupakan salah satu genus bakteri yang tidak memiliki dinding sel
sehingga tidak terpengaruh oleh antibiotic. Mycoplasma dapat menjadi pathogen bagi
manusia.

Gambar 6. Ilustrasi Mycoplasma


(sumber : std-gov.org)
Kontaminasi mikoplasma dalam sistem kultur sel pertama kali diidentifikasi oleh
Robinson dan Wichelhausen pada tahun 1956 (Robinson dan Wichelhausen, 1956) .
Dampak serius dari infeksi tersebut pada kultur sel in vitro, termasuk ketidakstabilan
genetik, transformasi, perubahan fungsi fisiologis dan kerentanan virus. Organisme ini
cenderung resisten terhadap antibiotik tertentu dan dapat melewati beberapa filter
mikrobiologis serta dapat tumbuh subur tanpa terlihat jelas (mis., tidak berefek pada
pertumbuhan sel, tidak ada kekeruhan atau perubahan pH yang jelas di media
pertumbuhan) sehingga dapat menyebabkan infeksi yang serius.
• Reagen kultur sel yang tidak steril
Reagen kultur sel yang tidak steril dapat menyebabkan terbawanya spesies-spesies
mycoplasma ke dalam kultur sel in vitro. Penting untuk dipahami bahwa Mycoplasma
resisten terhadap penisilin (Bruchmuller et al., 2006), dan bisa melewati filter sterilitas
dengan pori pori sekecil 0,2 μm, terutama pada tingkat tekanan yang lebih tinggi (Hay
et al., 1989), oleh karena itu jika sudah terkontaminasi oleh mycoplasma maka sangat
sulit untuk diberantas.
4. Untuk melakukan kultur sel, terdapat istilah freezing (Cryoperservation) dan thawing.
Bagaimana hal tersebut dapat dilakukan? Bagaimana pengaruhnya pada sel?
Jawaban :
Teknik Cryopreservation
Teknik Cryopreservation adalah teknik penyimpanan sel hewan, tumbuhan, manusia, atau
materi genetika lain dalam keadaaan beku. Penyimpanan ini dilakukan dengan suhu yang sangat
rendah. Hal ini dilakukan untuk menghentikan terjadinya reaksi kimia maupun biologi pada sel
hidup sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama.
Pada saat ini, proses freezing dilakukan menggunakan cryoprotectant dan alat pengontrol
suhu. (Jang, Tae Hoon, et al. 2016). Cryoprotectant adalah suatu bahan kimia yang berfungsi
untuk mencegah kerusakan akibat proses freezing.
Teknik cryopreservation dapat dilakukan dengan metode slow freezing dan vitrifikasi. Pada
metode slow freezing, hal yang pertama dilakukan adalah menggantikan air pada sitoplasma
dengan cryoprotectant untuk mengurangi kerusakan sel. Kemudian dilakukan penyesuaian laju
pendinginan dengan permeabilitas membrane sel. Metode ini cukup sederhana untuk dilakukan
dan beresiko rendah terhadap terjadinya kontaminasi sel. Namun, metode ini memungkinkan
terbentuknya es di luar sel yang dapat menyebabkan freezing injury.
Metode lain yang dapat dilakukan untuk mencegah hal ini adalah vitrifikasi. Metode ini lebih
kompleks dibandingkan dengan slow freezing karena membutuhkan modifikasi. Proses
vitrifikasi dilakukan dengan mengubah fasa suspensi sel dari larutan menjadi keadaan kristal
setelah dipaparkan langsung dalam nitrogen cair. Vitrifikasi bergantung oleh beberapa faktor
yaitu viskositas sampel, laju pendinginan dan pemanasan, dan volume sampel.(Jang, Tae Hoon,
et al. 2016). Metode ini efektif untuk mengurangi potensi terjadinya freezing injury, namun
dalam metode ini sel rentan untuk terkena kontaminasi.
Thawing
Berbeda dengan freezing, proses thawing dilakukan secara cepat yaitu tidak lebih dari satu
menit. Proses cepat dilakukan untuk memperoleh hasil pemulihan yang baik. Thawing adalah
proses pencairan untuk sel yang telah dibekukan.
Proses ini dilakukan dengan merendam cryovial yang berisi sel dalam water bath dengan suhu
37°C. Pada proses perendaman, mulut vial tidak boleh sampai terendam hal ini dapat
menyebabkan terjadinya kontaminasi pada sel. (Kent. 2009).
Pada saat es sudah mulai membeku, seluruh cryovial direndam dalam alkohol 70% untuk
membersihkan kontaminan, sehingga sel yang diperoleh benar-benar bersih. Setelah selesai, sel
ini dipindahakn ke vial lain kemudian diberikan medium yang menunjang kebutuhan hidup
human embryonic stem cell ataupun induced pluripotent stem cell sebagaimana telah dijelaskan
pada materi diatas. Vial ini kemudian dikocok agar semua media tercampurkan dan kemudian
disentrifugasi. Sentrifugasi bertujuan untuk memisahkan fasa dari suatu campuran. Pada kasus
ini, sentrifugasi dilakukan untuk mendapatkan cell pellet yang terbebas dari sisa DMSO sebagai
media freezing. Cell pellet ini yang akan diletakan pada culture dish yang berisi feeder cell. Cell
pellet ini kembali disuspensi dengan media dan kemudian diletakan pada inkubator dengan
kondisi lingkungan yang optimal bagi human embryonic stem cell ataupun induced pluripotent
stem cell.

Gambar 7. Thawing Procedure


(sumber : researchgate.net

5. Dijelaskan bahwa stem cells sebagai promising new treatments for autoimmune diseases,
cancer, diabetes, neuropathy, back pain and other illnesses. Jelaskan mengapa stem cells
dapat digunakan untuk penyembuhan penyakit diatas? Bagaimana hal tersebut
dilakukan?
Jawaban :
Jenis penyakit yang berbeda membutuhkan tahapan dan sumber sel punca yang berbeda pula
tetapi secara umum tahapan terapi sel punca secara umum.
1) Pemeriksaan kondisi pasien secara menyeluruh.
2) Pengambilan darah untuk pemurnian stem cell.
3) Pengembangbiakan sel punca di laboratorium dengan memperhatikan kesterilan
teknik dan lingkungan kerja hingga jumlah tertentu. Peneliti perlu memperhatikan
kebutuhan nutrisi serta melakukan penggantian media kultur secara berkala.
4) Penyuntikan sel punca ke dalam tubuh pasien atau dapat pula menggunakan infus.
Salah satu penyakit yang dapat menggunakan sel punca sebagai alternatif pengobatannya
adalah penyakit penyakit neuropathy. Apabila terjadi kerusakan pada sistem saraf perifer,
hanya sedikit akson yang mampu memperbaiki diri karena astrosit membentuk anyaman
jaringan yang dapat mencegah akson tumbuh melewati area yang rusak. Oleh karena itu perlu
adanya alternatif penyembuhan yang dapat membantu pengobatan pasien penyakit degeneratif
sel saraf, misalnya kultur jaringan. Penggunaan MSC (Mesenchymal Stem Cells )melalui
kultur jaringan dapat menjadi alternatif untuk menangani penyakit degeneratif sel saraf. MSC
mampu berdiferensiasi menjadi sel saraf atau stem sel hematopoietik yang berdiferensiasi
menjadi sel jantung. MSC juga dapat berdiferensiasi menjadi osteoblas, kondroblas, dan
adiposit ketika MSCs diberi stimulus baik secara in vivo maupun in vitro.

6. Bagaimana anda mendesain fasilitas yang diperlukan untuk menunjang keberhasilahn


proses kultur stem cell secara in vitro?
Jawaban :
Langkah awal adalah untuk menentukan karakteristik-karakteristik dari stem
cell(eksplan) yang akan dikulturkan. Hal-hal tersebut mencangkup beberapa hal berikut:
• Anchorage dependency(adherent/ non-adherent)
• Makronutrsi
• Mikronutrisi
• pH
• Suhu optimal
• Gaya mekanik
• Kinematika input dan output terhadap kultur(O2, CO2, dan zat-zat metabolit)
• Batas PDL

Beberapa hal tersebut dapat diperhitungkan menggunakan prinsip-prinsip dasar neraca


masa dan energi dan peristiwa perpindahan. Untuk menghitung gaya mekanik(pengadukan
atau fluidisasi) optimal dapat menggunakan rumus newton mengenai tegangan
permukaan(perpindahan momentum), dikarenakan jika gaya yang diberikan terlalu besar dapat
mengakibatkan sel-sel mengalami lisis, dikarenakan tegangan fluida yang berlebih.
Pengadukan optimal juga berguna untuk menghindari terbentuknya air bubble yang dapat
menurunkan yield dari suatu proses(terutama anaerob). Perpindahan kalor berguna untuk laju
pemanasan optimal untuk membunuh bakteri lain selain eksplan serta untuk proses sterilisasi
wadah kultur. Perpindahan masa berguna untuk mengatur difusifitas gas terhadap fluida serta
kinematika laju molekul pada sistem.
a. Pre-treatment
Sterilisasi eksplan awal merupakan langkah awal krusial yang harus dilakukan.
Segala peralatan lab harus disterilisasi dengan UV oven atau autoclave. Dapat juga
dilakukan medium selektif untuk menyingkirkan mikroorgansime selain eksplan yang
ingin dikultur.
Dikarenakan business model insutri stem cell sekarang merupakan bank stem cell,
teknik yang digunakan adalah freezing dan thawing. Dikarenakan stem cell(EC) berasal
dari umbilical cord atau plasenta sehingga perlu diawetkan dengan freezing(liquid N2)
untuk pemakaian kedepannya. Lalu thawing dilakukan jika EC ingin digunakan. Freezing
dan thawing juga berguna untuk mengawetkan eksplan-eksplan untuk penilitian dan
pengembangan.
b. Conditioning
Kondisi pada sistem sangatlah bergantung pada jenis sel, dikarenakan kondisi
optimal untuk setiap sel beragam. Perlu adanya pengujian dalam skala lab untuk
mengetahui kondisi-kondisi tersebut. Namun untuk proses scale up, kondisi dan konstrasi
nutrisi tidaklah linear pada tiap tahapannya. Sehingga tidak dapat langsung dihitung dan
membutuhkan eksperimen dalam tiap tahapan scale up.
Kondisi fasilitas sendiri haruslah steril dan terkendali(suhu, intensitas cahaya,
humiditas, dll). Salah satu contoh paling umum adalah untuk melakukan proses kultur
didalam laminar flow cabinet, hal ini bertujuan untuk menyingkirkan(secara horizontal)
segala jenis pengotor air-borne.

Gambar 8. Laminar Flow Cabinet


(sumber : senovatec.com)
c. Sistem
Sistem pertama harus ditentukan prinsip laju alir massanya yaitu batch, semi-batch,
atau continuous. Lalu pemilihan wadah untuk jenis sel adherent atau non-adherent. Pada
sel manusia ditemukan bahwa hamper setiap sel manusia kecuali sel darah adalah sel yang
bersifat adherent. Sehingga teknologi yang umum digunakan sekarang adalah cell factory,
merupakan plat bertikngkat dengan katup diatas untuk melepaskan gas-gas buangan. Cell
factory diletakan dalam inkubator untuk mengatur suhu selama proses kultur. Wadah
dibuat transparan agar dapat melihat proses pertumbuhan secara langsung dan melihat
perubahan warna larutan jika terjadi perubahan pH pada sistem.

Gambar 9. Cell Factory™ Incubators


(sumber : thermoficher.com)
d. Pengukuran
Pengukuran pertama yang dilakukan adalah mencari densitas sel dengan
menggunakan spektroskopi. Setelah itu didapatkan kurva kalibrasi lambert beer, kurva ini
dapat digunakan berulang-ulang untuk jenis sel yang sama. Dengan mengetahui densitas
dapat dikatahui jumlah sel dan PDL pada tiap passage. Stem cell yang baik memiliki batas
PDL yang cukup rendah, <20. Sehingga pengukuran PDL sangatlah penting untuk kualitas
stem cell yang diproduksi.
KESIMPULAN

Untuk menghasilkan sel hasil kultur yang baik diperlukan metode yang sesuai dan tingkat
kontaminasi yang kecil. Terutama pada kultur sel hewan yang memiliki totipotensi rendah,
dibandingkan polutan-polutan mikroorganisme lain. Untuk sekrang metode paling umum untuk
sterilisasi merupakan autoclave/UV oven untuk peralatan, freezing dan thawing untuk pengawetan
dan sterilisasi sel, dan laminar flow cabinet untuk menghilangkan air-borne pollutants. Serta
dalam pengembangan industri stem cell, scale up juga memiliki tantangan sendiri akan tingkat
kontaminasi. Dikarenakan dalam jumlah yang lebih besar berbanding lurus dengan tingkat
kontaminasi. Sehingga untuk memantau perlunya pengukuran-pengukuran seperti densitas sel,
grafik logaritmik pertumbuhan sel, dan PDL. Yang dapat memantau yield sel dan indikasi jika
adanya polutan yang menghambat pertumbuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Arisuryanti T, Handayani NSN. dan Daryono, BS. 2007. Genetika. Yogyakarta: Fakultas Biologi
UGM.
Backe, Alvird Wallgrens. 2008. Cellartis Protocol “Culturing of hES Cells”. Göteborg, : Cellartis
AB [online] available at wicell.org accessed on April 6th , 2019 pk. 20.30
Campbell R dan Mitchell. 2003. Biologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Clarke, Kim Gael. (2013). Bioprocess Engineering An introductory engineering and life science
approach.Cambridge ; Woodland Publishing
Doran, Pauline M. Bioprocess Engineering Principles / Pauline M. Doran. London ; San Diego
:Academic Press, 1995.
Jang, Tae Hoon, et al. 2017. Cryopreservation and its Clinical Applications. Integrative Medicine
Research. Vol.6, No.1 : 12-18 [online] available at sciencedirect.com. accessed on April
6th , 2019 pk. 20.30
Kent, Lia. 2009. Freezing and Thawing Human Embryonic Stem Cells. Journal of Visualize
Experiments 2009; (34): 1555. [online] available at ncbi.nlm.nih.gov accessed on April 6th
, 2019 pk. 20.00
Li, Yang. 2010. Comparison of Three Methods for Cryopreservation of Human Embryonic Stem
Cells. Fertility and Sterility, Vol.93, No.3 [online] available at ferstret.org accessed on
April 6th , 2019 pk. 20.30
Mc Elroy, Sohyun dan Renee A. 2008. Culturing Human Embryonic Stem Cells in Feeder-Free
Conditions. [online] available at cshprotocols.cshlp.org accessed on April 6th , 2019 pk.
20.30
Pamies, D., Bal-Price, A., Simeonov, A., Tagle, D., Allen, D., Gerhold, D., Yin, D., Pistollato, F.,
Inutsuka, T., Sullivan, K., Stacey, G., Salem, H., Leist, M., Daneshian, M., Vemuri, M.,
McFarland, R., Coecke, S., Fitzpatrick, S., Lakshmipathy, U., Mack, A., Wang, W.,
Yamazaki, D., Sekino, Y., Kanda, Y., Smirnova, L. and Hartung, T. (2017) “Good Cell
Culture Practice for stem cells and stem-cell-derived models”, ALTEX - Alternatives to
animal experimentation, 34(1), pp. 95-132. doi: 10.14573/altex.1607121.
Reece, J. B., & Campbell, N. A. (2011). Campbell biology. Boston, Benjamin Cummings /
Pearson.
Thermofisher.com. (2019). Introduction to Cell Culture | Thermo Fisher Scientific - UK. [online]
Available at: https://www.thermofisher.com/id/en/home/references/gibco-cell-culture-
basics/introduction-to-cell-culture.html [Accessed 6 April. 2019].
Zainuri, Masagus dan Lutfah Rifa’ti. 2014. Kajian Induced Pluripotent Stem Cell (iPS), Buletin
Penelitian Kesehatan, Vol. 42, No. 1 [online] available at medianeliti.com accessed on
March 24th , 2019 at 16.10

Anda mungkin juga menyukai