Anda di halaman 1dari 10

STRATEGI PENYELENGGARAAN INFRASTRUKTUR BIDANG PU

UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN

Latar Belakang

Pembangunan adalah usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan atau perubahan yang
berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah
menuju modernitas dalam rangka pembangunan bangsa (nation building) (SP Siagian,
1973). Dalam setiap aktivitas pembangunan akan selalu ada trade-off. Di satu sisi
pembangunan mewujudkan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain pembangunan
bisa menurunkan kualitas lingkungan. Hal ini tentunya menjadi catatan permasalahan
dalam pelaksanaan pembangunan. Kerusakan lingkungan yang terjadi dapat
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pencemaran air dan tanah, bertambahnya
konsentrasi gas rumah kaca (gas karbon dioksida, gas metan, dll), perubahan fungsi
lahan, pengalihan DAS, dan sebagainya. Kerusakan tersebut tidak selalu menimbulkan
dampak yang segera, namun akumulasinya bisa menyebabkan ketidakseimbangan
ekosistem, seperti terjadinya bencana alam dan perubahan iklim (climate change). Jika
hal ini dibiarkan terus-menerus, maka kualitas lingkungan yang ada akan mengalami
degradasi dan berdampak buruk bagi generasi selanjutnya.

Pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang dijalankan di Indonesia,


umumnya mengacu pada konsep pembangunan untuk pencapaian pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan kurang memperhatikan aspek lingkungan. Padahal
pembangunan ekonomi sangat tergantung pada keberlanjutan sumber daya alam dan
lingkungan hidup. Sebagai contoh dampak bencana banjir menyebabkan terhentinya
aktivitas perekonomian yang menyebabkan kerugian ekonomi yang besar.
Pertimbangan faktor lingkungan telah diatur sejak lama seperti dalam pasal 33 ayat 3
UUD 1945 maupun UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, serta juga ditindaklanjuti dalam RPJP 2005-2024, dimana
disebutkan bahwa salah satu misi pembangunan adalah mewujudkan Indonesia yang
asri dan lestari, dan pembangunan infrastruktur akan mengarah pada konsep
peningkatan pelayanan bagi peningkatan kualitas lingkungan di masa depan.

Infrastruktur Pekerjaan Umum (Sumber Daya Air, Bina Marga, Cipta Karya)
mempunyai peran strategis dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, memberi
kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi, serta bagi peningkatan kualitas lingkungan
hidup. Infrastruktur seperti prasarana air bersih, sanitasi dan drainase akan
meningkatkan kualitas lingkungan masyarakat. Demikian juga penyediaan
permukiman yang layak huni serta prasarana pengendalian banjir dan prasarana jalan
yang terpelihara baik akan meningkatkan kualitas lingkungan. Dalam proses
pembangunan infrastruktur hendaknya memperhatikan atau tidak rusaknya
lingkungan; misalnya pembangunan jalan yang mengubah fungsi lahan tanam/resapan
air menjadi beton dan pembangunan waduk/bendungan yang mengubah alur sungai
alami, tipe TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah yang open dumping dan dapat
mencemari air tanah dan lingkungan sekitar. Hal ini mesti diupayakan penanganan
dampaknya. Sementara itu, terkait dengan fenomena perubahan iklim, infrastruktur
juga berperan dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak yang ditimbulkan
oleh perubahan iklim (climate change) terhadap lingkungan seperti banjir, kekeringan,
longsor, dan lain-lain.

Secara rinci identifikasi masalah awal yang digunakan, terkait dengan pembangunan
infrastruktur bidang Pekerjaan Umum yang diperkirakan dapat menyebabkan
kerusakan pada lingkungan hidup, tersaji dalam diagram fishbone (tulang ikan)
dibawah ini.

Dampak positif dari pembangunan infrastruktur antara lain adalah akan meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan pendapatan daerah tersebut. Kebutuhan akan pembangunan
infrastruktur berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk/masyarakat suatu
kota atau wilayah, sehingga semakin bertambahnya penduduk pada kota/wilayah
tersebut maka kebutuhan akan ketersediaan infrastruktur juga akan meningkat.
Infrastruktur merupakan pendukung utama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Suatu infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur
dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan
untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan


untuk mendukung pembangunan ekonomi yang semata-mata ditujukan untuk
memperoleh keuntungan tanpa memperhatikan keberlangsungan alam dan lingkungan,
akan membawa dampak negatif tidak hanya bagi alam tetapi juga bagi masyarakat.
Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah berkurangnya sumberdaya alam,
pencemaran udara akibat polusi industri dan pembangunan infrastruktur yang identik
dengan perusakan alam. Namun, hal tersebut dapat dicegah dengan menerapkan
program pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan
Tujuan dari kegiatan ini adalah melakukan kajian kebijakan penyelenggaraan
infrastruktur Pekerjaan Umum dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan sehingga
dapat menjadi bahan rumusan kebijakan dan strategi penyelenggaraan infrastruktur
Pekerjaan Umum (yang mencakup bidang sumber daya air, jalan dan jembatan,
keciptakaryaan dan penataan ruang) dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan.

Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Konsep Pembangunan Berkelanjutan muncul pada Konferensi PBB tentang


Lingkungan Hidup Manusia (UN Conference on the Human Environment) pada tahun
1972 yang dikenal pula dengan nama The Stockholm Conference. Dan konsep ini
selanjutnya didukung oleh Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan
Pembangunan (UN Conference on Environment and Development) di Rio de Janeiro
pada tahun 1992 yang menyatukan para kepala negara dan pejabat pemerintah dari
seluruh dunia bersama dengan utusan badan-badan PBB, Organisasi Internasional dan
utusan lainnya dari berbagai organisasi non pemerintah. Konferensi yang dihadiri oleh
179 negara tersebut secara jelas menyatakan bahwa pembangunan nasional suatu
negara tidak lagi bisa memisahkan antara pengelolaan lingkungan dengan
pembangunan sosial ekonomi sebagai bidang-bidang yang terpisah.

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, maka integrasi pembangunan ekonomi,


sosial dan lingkungan merupakan syarat yang harus dianut oleh semua sektor
pembangunan terkait.

Kementerian PU selaku stakeholder menyadari bahwa pengembangan strategi dan


program tidak bisa dilakukan berdasarkan skenario business as usual yang kerap
menemui kesulitan dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan
konservasi lingkungan secara simultan. Namun sebaliknya, Kementerian PU
berkomitmen untuk menerapkan program-program pembangunan untuk menghindari
terjadinya bencana yang terkait dengan perubahan iklim melalui program mitigasi dan
adaptasi untuk masa depan Indonesia yang lebih sejahtera, aman, nyaman dan
berkelanjutan.

Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup


Filosofi dasar dari UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup diatas adalah:

Tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah mencapai


pembangunan berkelanjutan;

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjamin harmoni antara manusia


dengan lingkungan hidup, termasuk mahluk hidup didalamnya.

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sesuai dengan nomenklatur undang-


undang tersebut adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan dan penegakkan hukum.

Strategi Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Bidang Pekerjaan Umum

Untuk mendapatakan suatu kualitas lingkungan hidup yang lebih baik, terutama terkait
dengan pembangunan infrastruktur bidang ke-PU-an, , maka diperlukan
beberapa strategi kebijakan sehingga pelaksanaan pembangunan infrastruktur bidang
pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan.

1. Strategi Penataan Ruang Yang Lebih Berkualitas

Konsep penataan ruang yang berwawasan lingkungan bertujuan untuk menciptakan


ruang yang berkualitas dan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat maupun
sektoral. Konsep tersebut dapat diskemakan seperti pada gambar berikut,

Penataan ruang berwawasan lingkungan perlu memperhatikan 2 (dua) dimensi penting,


yaitu: 1) skala kewilayahan, dan 2) skala komunitas. Skala kewilayahan berkaitan
dengan pemanfaatan ruang menurut daya dukung dan daya tampung. Mengingat
bahwa, perkembangan jumlah penduduk akan membawa konsekuensi terhadap
peningkatan kebutuhan akan sumber daya alam dan energi untuk menopang
keberlanjutan kehidupan. Untuk itu, penataan ruang perlu memperhatikan kapasitas
daya dukung dan daya tampung lahan, apakah ruang yang direncanakan mampu untuk
mendukung keberlanjutan dari kehidupan manusia dan makhluk hidup yang lain dalam
jangka panjang. Kemampuan daya dukung lahan akan direpresentasikan dari sumber-
sumber daya alam yang akan dimanfaatkan untuk menopang kehidupan makhluk hidup
yang tinggal di atas lahan tersebut.

Di samping itu, dari sisi dimensi ruang, apakah ruang yang direncanakan tersebut
mampu untuk memberikan ruang gerak/mobilitas manusia (termasuk barang dan jasa)
yang hidup di atas lahan tersebut selama beberapa tahun perencanaan. Hal ini penting
untuk memastikan bahwa seluruh aktivitas yang membutuhkan mobilitas yang akan
berlangsung di atas lahan tersebut dalam jangka waktu lama, dapat terakomodir.

Terkait dengan dimensi kedua, yaitu skala komunitas, penataan ruang perlu
memperhatikan karakteristik sosial-budaya masyarakat yang akan menempati lahan
tersebut. Karakter masyarakat dapat mempengaruhi perkembangan guna lahan yang di
tempatinya. Misalnya, masyarakat agraris akan membutuhkan ruang untuk aktivitas
pertaniannya, sedangkan masyarakat modern akan membutuhkan ruang untuk
mendukung aktivitas yang lebih bersifat pada industri dan jasa-jasa. Oleh karena itu,
dalam penataan ruang perlu memperhatikan sifat komunitas yang akan ditempatkan
dalam lahan tersebut, yang secara umum dapat dibedakan atas komunitas urban
(perkotaan) dan komunitas rural (perdesaan).

Dengan memperhatikan dua dimensi penting di atas (skala kewilayahan dan skala
komunitas), penataan ruang diharapkan dapat mewujudkan tatanan kehidupan yang
seimbang dan harmonis, sehingga dengan demikian penataan ruang yang berwawasan
lingkungan diharapkan mampu mendukung terealisasinya goal pembangunan nasional,
yaitu pembangunan yang pro-poor, pro-growth, dan pro-environment.

2. Penguatan Kapasitas Instansi Di Daerah Dalam Penyelenggaraan Pembangunan


Infrastruktur Bidang PU

Strategi kedua adalah penguatan kapasitas instansi di daerah dalam penyelenggaraan


infrastruktur bidang PU. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap daerah di
Indonesia memiliki pemahaman/kompetensi yang memadai untuk mendukung
terciptanya pembangunan infrastruktur yang berorientasi pada peningkatan kualitas
lingkungan. Pemahaman atau kompetensi yang dibutuhkan tersebut sangat terkait
dengan kualitas sumber daya manusia sebagai aparat pemerintah yang memiliki tugas
dan kewenangan dalam menciptakan pembangunan infrastruktur PU yang berwawasan
lingkungan. Oleh karena itu penting kiranya memberikan pemahaman yang benar
mengenai proses pembangunan infrastruktur PU dari tahap perencanaan hingga
operasional.

Dengan dasar kualitas SDM yang memadai dalam penyelenggaraan infrastruktur di


bidang PU untuk meningkatkan kualitas lingkungan, maka diharapkan seluruh
stakeholders di daerah memahami upaya-upaya untuk mewujudkan hal tersebut, antara
lain adalah pemahaman di dalam mengimplementasikan mekanisme insentif dan
disinsentif dalam penyelenggaraan infrastruktur. Mekanisme ini memiliki kaitan erat
dengan proses perencanan penataan ruang, sebagaimana telah diamanatkan dalam UU
No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana dijelaskan bahwa dalam rangka
pelaksanaan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, maka
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan insentif dan/atau disinsentif.
Kebijakan insentif merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan atau
kompensasi terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang,
misalnya berupa:

1. keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang,


dan urun saham;
2. pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
3. kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
4. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah
daerah.

Sedangkan kebijakan disinsentif merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi


pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang,
misalnya berupa :

a. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang;
dan/atau

b. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.

Dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur di bidang PU, maka kebijakan


insentif dan disinsentif sebagaimana dijelaskan di atas ditujukan untuk menciptakan
lingkungan yang lebih berkualitas, atau memberikan kemanfaatan bagi masyarakat
secara luas. Di samping itu, kebijakan insentif dan disinsentif ini merupakan wujud
konkret penegakan fungsi good governance dalam penyelenggaraan infrastruktur
bidang PU yang berwawasan lingkungan.

Masalah pokok yang seringkali menjadi kendala bagi pemerintah daerah, yaitu
mekanisme pengawasan dan pengendalian terhadap proses pembangunan di segala
sektor. Masih lemahnya pengawasan di daerah menjadi salah satu penyebab terjadinya
pergeseran dalam peruntukkan ruang. Kasus-kasus berkembangnya pemanfaatan ruang
yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, merupakan bukti dari lemahnya mekanisme
pengawasan di daerah, terutama dalam hal pemberian ijin pembangunan fisik
infrastruktur. Untuk itu, mekanisme pengawasan perlu diperketat dan ditingkatkan.

Di samping itu, dalam rangka proses penyelesaian/legalisasi perencanaan tata ruang


wilayah (RTRW) baik di setiap provinsi maupun kabupaten/kota dalam bentuk
Peraturan Daerah (Perda) yang direncanakan dapat diwujudkan pada tahun 2011, maka
strategi yang kiranya dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah dukungan finansial untuk
menuju ke proses tersebut. Dukungan finansial tersebut dapat ditempuh melalui
intervensi fiskal berupa Dana Alokasi Khusus, mengingat hal ini dapat dipandang
sebagai salah satu program Pemerintah yang perlu mendapat prioritas. Dengan
demikian, proses penyelesaian legalisasi Perda Tata Ruang di tiap Wilayah Provinsi
atau kabupaten/kota dapat terwujud.

Pelibatan masyarakat juga menjadi bagian penting dalam mekanisme pengawasan.


Strategi ini dapat menjadi salah satu strategi yang efektif untuk mendukung upaya
mewujudkan lingkungan yang berkualitas. Masyarakat perlu diberikan ruang atau
saluran untuk menyampaikan aspirasi dan inisiatifnya guna mendukung langkah-
langkah pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang berkualitas.

3. Penguatan Kerjasama Antarsektor Yang Terkait

Kerjasama berbagai komponen/stakeholders pembangunan diperlukan untuk


mewujudkan sinergisme dalam implementasinya. Prinsip kerjasama yang dibangun
adalah kerjasama yang saling memberikan manfaat/keuntungan. Manfaat yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah terciptanya kualitas lingkungan hidup melalui
pembangunan infrastruktur di bidang PU. Untuk itu, kerjasama antara pihak-pihak
yang terkait dengan penyelenggaraan infrastruktur bidang PU (Kementerian PU) dan
pengelolaan lingkungan hidup (Kementerian Lingkungan Hidup), serta pemerintah
daerah (Kementerian Dalam Negeri), diharapkan dapat mendukung upaya untuk
mewujudkan pembangunan infrastruktur bidang PU di daerah yang mampu
menciptakan lingkungan hidup yang berkualitas.
Adapun tugas dari masing-masing stakeholders tersebut adalah:

a. Kementerian Pekerjaan Umum memiliki tugas perumusan, penetapan, dan


pelaksanaan kebijakan di bidang pekerjaan umum

b. Kementerian Lingkungan Hidup memiliki tugas merumuskan kebijakan dan


koordinasi di bidang lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan

c. Kementerian Dalam Negeri memiliki tugas menyelenggarakan sebagian tugas


pemerintahan di bidang urusan dalam negeri.

Bentuk kerjasama antarstakeholders tersebut bilamana perlu diperkuat melalui


kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB). SKB
ini hendaknya mampu mendorong pemerintah daerah melalui instansi yang terkait
dalam untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam
pembangunan infrastruktur bidang PU yang berwawasan lingkungan. Kebijakan
penyelenggaraan infrastruktur bidang PU di daerah harus memperhatikan: (1) konsep
pembangunan yang berwawasan lingkungan; (2) karakteristik dan perkembangan
wilayah/daerah; dan (3) kemampuan atau kapasitas daerah untuk menjalankan
kebijakan tersebut.

4. Penguatan Kapasitas Pendanaan Untuk Mendukung Upaya Peningkatan Kualitas


Lingkungan

Menurut UU no. 32 tahun 2009 dinyatakan secara tegas bahwa, evaluasi secara holistik
terhadap dampak yang diperkirakan akan terjadi, dimana hal tersebut telah dikaji
dalam dokumen AMDAL, belum dapat berjalan secara efektif. Kelemahannya adalah
dalam hal pengawasan. Di sisi lain, dokumen AMDAL mewajibkan adanya kegiatan
rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atau yang disebut RKL dan
RPL. Kegiatan ini belum sepenuhnya dapat dijalankan mengingat keterbatasan sumber
daya (SDM dan finansial). Kasus-kasus yang terjadi di daerah mencerminkan masih
minimnya dukungan sumber daya yang dimiliki untuk dapat menjalankan kegiatan
RKL dan RPL tersebut.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa di dalam UU 32 tahun 2009
dinyatakan bahwa setiap Pemegang izin lingkungan yang diwajibkan untuk memiliki
AMDAL maupun UKL/UPL, wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan
fungsi lingkungan hidup, bilamana pada suatu ketika terjadi adanya gangguan terhadap
fungsi-fungsi lingkungan, seperti pencemaran, polusi, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, hal ini menjadi cukup krusial bagi daerah-daerah yang tidak memiliki kapasitas
dalam hal pendanaan untuk menjamin upaya pemulihan fungsi lingkungan hidup bagi
proyek-proyek pembangunan fisik yang berskala besar yang jika tidak dilakukan
pengawasan secara ketat akan menimbulkan dampak negatif dan dapat mengganggu
fungsi-fungsi lingkungan hidup.

Dalam kaitan ini, diperlukan mekanisme pendanaan yang jelas, yang dapat diakomodir
oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia guna menjamin pemulihan fungsi
lingkungan hidup manakala terjadi hal-hal diluar perencanaan dan tidak terakomodasi
di dalam dokumen AMDAL.

Selain itu, rekomendasi dari dokumen lingkungan terutama dokumen AMDAL yang
mewajibkan pelaporan rutin setiap 6 bulan untuk kegiatan RKL/RPL (rencana kelola
lingkungan dan rencana pantau lingkungan) membutuhkan dana yang rutin. Dari hasil
survei, diketahui bahwa untuk pembangunan infrastruktur PU yang dibiayai dan
dikelola oleh pemerintah, tidak pernah melakukan kewajiban pelaporan PKL/RPL dari
kegiatan yang telah dioperasikan kepada Badan Lingkungan Hidup Daerah. Hal ini
menimbulkan pemikiran akan perlunya alokasi dana khusus untuk kegiatan RKL/PKL.
Sharing kegiatan tersebut dengan pemerintah daerah, disamping porses pembebasan
lahan perlu dipikirkan.

Penutup

Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur bidang PU, terutama kegiatan


yang dilaksanakan oleh Direktorat Teknis (Sumber Daya Air, Bina Marga, Cipta
Karya) perlu mendapatkan perhatian yang serius terkait dengan aspek lingkungan.
Perhatian terhadap lingkungan tersebut harus selalu ada didalam setiap proses kegiatan
baik perencanaan, pembangunan, operasional, monitoring dan evaluasi maupun
pengendalian. Berdasarkan pada hasil analisis dan rekomendasi kebijakan, maka di
susun suatu strategi implementasi terhadap upaya Pembangunan Infrastruktur Bidang
PU yang berwawasan lingkungan terutama yang tercermin dalam masing-masing
tahapan kegiatan Direktorat Teknis, sehingga hal tersebut dapat menjadi pegangan
didalam penyusunan program dan rencana kerja serta pelaksanaan kegiatan.
Daftar Pustaka

------------, 2009. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) PANTURA Teluk


Jakarta

------------, 2015. Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan


Rakyat 2015 – 2019

Brundtland Commission dalam http:// www.unngocsd.org/CSD_Definition

Fraser Basin Council (FBC), Vancouver Canada


dalam http://www.unngocsd.org/CSD_Definition

Harvey, J. 1996. “Urban Land Economics”. 4th ed. London: Macmillan Press Ltd.

Howitt, R. 2001. “Rethinking Resource Management: Justice, Sustainability and


Indigenous Peoples”. London: Routledge.

Keraf, A.S. 2002. “Etika Lingkungan”. Jakarta: Kompas.

Naveh, Z. and A.S. Liebermen. 1984. “Landscape Ecology: Theory and Application”.
New York: Springer-Verlag.

Nugroho. 2003. “Menguak kerusakan DAS di Indonesia”. Kompas, 24 Agustus.

Kodoatie,Robert J. 2005. “Pengantar Manajemen Infrastruktur”. Pustaka Pelajar,


Yogyakarta

Stern, N. 2007. The Economics of Climate Change: The Stern Review. Cambridge,
UK: Cambridge University Press.

The World Bank. 2005. “Third Urban Research Symposium on Land Development,
Urban Policy and Poverty Reduction”, Brazil

UNEP (United Nations Environment Programme) and WMO (World Meteorology


Organization). 1996. The Science of Climate Change: Contribution of Working Group
1 to Second Assessment Report of the Intergovermental Panel on Climate Change.
London: Cambridge University Press.

Yunus, Hadi S. 2001. “Dimensi Keruangan Kota: Dinamika Spasial Wilayah


Perkotaan”

Anda mungkin juga menyukai