Anda di halaman 1dari 11

TUGAS KELOMPOK

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI MARITIM DAN TRANSPOR (AMNI)


SEMARANG

OLEH ANGGOTA KELOMPOK 1


1. Difa Ariesna Bahariaji Hidayahtullah NRP : 195730048
2. Dimas Aidiell NRP : 195730049

DOSEN PENGANTAR : HARUN ABDUL RASYID MAg


KELAS : NAUTIKA C
A. MANUSIA SEUTUHNYA

Mendengar istilah manusia, kita akan membicarakan tentang sebuah tatanan


hidup dan tatanan sosial yang ada di muka bumi ini, satu-satunya tempat yang
layak dihuni oleh salah satu makhluk Tuhan yang bernama manusia. Dan
manusialah yang hanya diberikan oleh Tuhan sebuah privilege (keistimewaan)
dan kelebihan khusus dibanding para makhluk-Nya yang lain. Serta menjadi
”juru kunci” dan penentu utama keberlangsungan makhluk hidup yang ada di
bumi tercinta ini.

Allah subhanahu wa ta’ala ketika menciptakan manusia pasti mempunyai


sebuah tujuan tertentu. Salah satu tujuan tersebut adalah untuk saling mengenal
satu sama lain (QS. al-Hujurat : 13). Dari ayat tersebut, tersirat sebuah pesan
bahwa Allah menciptakan manusia bukan untuk saling bermusuhan, saling
bertikai, saling membunuh, saling membenci dan saling perang antara satu
dengan yang lainnya. Melainkan Allah menciptakan manusia ini untuk saling
mengenal satu sama lain, saling menghormati satu sama lain, dan saling
menghargai satu sama lain.

Sudah cukup pertumpahan darah yang menewaskan jutaan manusia di dunia


ini hanya karena ingin mendominasi satu sama lainnya. Sudah cukup
peperangan yang terjadi selama ini hanya karena keegoisan para pemeluk
agama yang mengaku-ngaku paling benar dan mengklaim hanya
kelompoknyalah yang pantas masuk surga. Sudah cukup pembantaian manusia
yang dilakukan oleh para pemeluk agama hanya karena ingin menyeragamkan
semuanya jadi satu. Sudah cukup agama ini tercoreng dan ternodai oleh para
pemeluk agamanya, sudah cukup agama ini tercitrakan negatif di mata dunia
hanya karena selalu menyulut pertikaian dan perselisihan.

Agama ini dibawa oleh manusia yang paling baik akhlaknya, manusia yang
paling baik budi pekertinya, manusia yang paling baik perangainya, manusia
yang selalu mendahulukan cinta dan kasih sayang daripada permusuhan,
manusia yang tak pernah henti-hentinya menebarkan kebaikan ke semua
makhluk-makhluk-Nya. Apakah kita tidak mau menjadi salah satu ummatnya
yang benar-benar ittiba kepada akhlak dan perangainya, bukan hanya ittiba
sebatas bentuk fisik dan aksesoris pakaiannya.
Agama ini selalu menganjurkan bahkan mewajibkan kepada para
pemeluknya untuk selalu menebarkan keselamatan melalui perkataan
“assalamualaikum” yang berarti semoga keselamatan atas kamu sekalian, tapi
justru perkataan itu hanya sampai di kerongkongan saja, tidak sampai ke hati
dan jiwa orang yang mengucapkannya.

Agama ini yang katanya agama rahmatan lil alamin, tapi ketika melihat
orang lain yang berbeda kelompok, berbeda golongan, berbeda pemikiran,
berbeda agama, berbeda aliran kepercayaan dan lain sebagainya, selalu
memandang dengan tatapan permusuhan dan kebencian, bahwa mereka semua
adalah musuh kami, bahwa mereka semua adalah musuh agama ini, dan
sederetan alasan lain yang berusaha untuk melegitimasi permusuhan, kebencian
dan pertikaian. Sehingga seolah-olah manusia hanyalah menjadi robot
kelompok dan golongan tertentu yang bertujuan untuk membasmi seluruh
musuh yang ada di depannya, tidak peduli apapun yang ada di sekelilingnya,
yang penting ambisinya adalah musuh mereka harus lenyap dari muka bumi ini,
dengan menghalalkan segala cara.

Apakah orang semacam ini banyak? Penulis katakan bukan hanya banyak,
tapi justru sekarang sedang menjamur-menjamurnya dan lagi on fire, apalagi di
negeri bumi pertiwi ini dengan tingkat kemajemukan yang sangat kompleks.
Harusnya kita lebih sensitif dan lebih tanggap daripada orang-orang diluar
negeri bumi pertiwi yang tingkat kemajemukannya tidak sekompleks Indonesia.

Penulis tidak bisa membayangkan bagaimana jika mereka hidup di tengah-


tengah masyarakat yang dari segi apapun berbeda dengan mereka, baik
agamanya, pemikirannya, kelompoknya, golongannya dan perbedaan-perbedaan
lain. Apakah mereka bisa hidup damai dengan masyarakat tersebut? Apakah
mereka bisa merasakan kenyamanan dalam hidup? Atau justru mereka
mengucilkan diri di tengah-tengah masyarakat, sehingga menjadi eksklusif dan
tidak mau bergaul serta berinteraksi dengan tetangga sekitar dan masyarakat
tersebut. Jika ini yang terjadi, maka mereka sama sekali tidak memahami
hakekat hidup, dan mereka tidak memahami sabda-sabda Rasul yang mereka
baca dan hafalkan bahwa Rasul memerintahkan untuk memuliakan tetangganya
jika mereka benar-benar beriman dengan Allah dan Hari Akhir (HR. al-Bukhari
dan Muslim).
Sebelum anda beragama, jadilah manusia seutuhnya terlebih dahulu. Karena
agama ini diturunkan tujuannnya untuk memanusiakan manusia, dan demi
tercapainya maqashid syariah, yang salah satunya adalah menjaga jiwa. Dalam
sebuah kesempatan, Cak Nun pernah berpesan kepada hadirin yang hadir dalam
majlisnya “Daripada anda belajar Islam tapi jadi manusia saja belum, mending
belajar jadi manusia dulu. Orang yang belum jadi manusia susah jadi muslim”.

Maka jangan heran jika kita melihat orang Ateis yang rata-rata mereka lebih
sopan dan lebih santun terhadap sesama manusia daripada orang-orang yang
mengaku beragama dan paling sok berada di jalan yang benar serta mengklaim
bahwa merekalah yang paling benar, tapi pergaulan dan muamalah terhadap
sesama manusia mereka tertinggal dan kalah jauh dari orang Ateis. Walaupun
orang-orang Ateis itu tidak mempercayai adanya Tuhan dan Hari Kebangkitan,
dan mereka menganggap bahwa Surga dan Neraka hanyalah dongeng di siang
bolong semata. Mereka hanya meyakini bahwa nanti setelah mati tidak ada lagi
kehidupan lain, yang ada hanyalah kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu
mereka memaksimalkan potensi kebaikan ke sesama manusia dengan selalu
menebarkan nilai-nilai positif dan bersikap lemah lembut serta santun kepada
sesama manusia. Karena orientasi hidup mereka hanyalah untuk memanusiakan
manusia, tidak lebih.

Pertanyaannya kemudian, apakah kita tidak malu sama mereka yang tidak
mempunyai agama dan tidak pula percaya dengan Hari Penghisaban, tapi justru
merekalah orang yang paling terdepan dalam berkhidmat dan memuliakan
sesama manusia. Mereka tidak terjebak pada sekat-sekat kelompok, golongan,
agama, aliran kepercayaan dan lain sebagainya. Justru kita yang selalu dicekoki
oleh doktrin-doktrin agama, tapi sering abai untuk selalu memanusiakan
manusia. Dalam sebuah ceramahnya, Habib Luthfi bin Yahya pernah
mengatakan “Jika sulit mencari alasan untuk menghormati pemeluk agama lain,
maka alasan bahwa dia adalah manusia ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala saja
sudah cukup”.
Cukuplah alasan kita untuk memuliakan dan memanusiakan manusia
bahwa kita sama-sama manusia, sama-sama makhluk ciptaan Allah, sama-sama
menghirup udara, sama-sama hidup di bumi, dan persamaan-persamaan lain
yang menurut penulis sudah cukup bagi kita untuk bisa menebarkan kebaikan
dan nilai-nilai positif ke sesama manusia tanpa harus ada embel-embel
golongan, kelompok, agama dan lain sebagainya. Karena menurut hemat
penulis, diatas ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim) dan ukhuwah
wathoniyah (persaudaraan sesama penduduk negeri) masih ada ukhuwah
insaniyah (persaudaraan sesama manusia).

Kita belum bisa menjadi manusia seutuhnya jika kita masih berpikiran
sempit, dalam artian hanya menebarkan kebaikan dan nilai-nilai positif ke
sesama kelompoknya saja, sesama golongannya saja, sesama agamanya saja.
Atau misalnya bahwa ketika ada orang yang sedang membutuhkan pertolongan
kita, seperti orang yang hampir tenggelam di laut atau sungai, orang yang
terkena musibah, orang yang kecelakaan, orang kelaparan, dan lain sebagainya,
sedangkan kita masih melihat apa agama dia, apa suku dia, apa golongan dia
dan dari kelompok mana dia. Penulis selalu ingat petuah Almarhum Gus Dur
dalam sebuah kesempatan bahwa “jika kamu berbuat baik, orang tidak akan
tanya apa agamamu”.

Pada suatu hari, saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditemani


banyak sahabat lewat rombongan pengantar jenazah menuju pemakaman.
Beliau berdiri seakan memberikan penghormatan. Sahabat berkata, “jenazah
tersebut adalah seorang Yahudi, tak pantas mendapatkan penghormatan. Beliau
menjawab, bukankah ia juga seorang manusia?” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Cerita singkat diatas setidaknya memberikan kita suatu gambaran bahwa betapa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai toleransi yang sangat tinggi
terhadap umat beragama lain. Lalu, ada apa dengan segolongan kelompok yang
sangat keras dan tidak bisa menghormati umat beragama lain saat sedang
melakukan ritual ibadahnya? Mereka juga manusia seperti kita, dan mereka juga
mempunyai hak-hak sebagai manusia pada umumnya. Wallahul Musta’an
Dengan demikian manusia adalah bagian semata-mata dari keseluruan
jaga raya. Karena dengan kedudukan memerintah yang dimilikinya manusia
merupakan pusatnya yang dapat memerintah.Namun dalam kenyataan sering
terjadi bahwa manusia tidak selalu berhasil mempertahankan kedudukanya
yang sentaral itu.

Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya


mencapai perjumpaan kembali dengan Penciptanya. Kembalinya manusia sesuai
dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta
maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan dalam
bentuk imateri maka kembali kepada penciptanya sedangkan unsur materi yang
berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang membentuk jasad
manusia.

Tak asing lagi bila setiap manusia mempunyai harapan yang sangat tinggi
selama didunia. Karena manusia bila sudah waktunya habis dalam dunia maka
manusia itu akan mengalami keberhentian dalam semua usahanya. Baik itu
dalam harapan untuk selalu hidup yang mulia dalam kehidupanya dan bekerja
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ,selain mewujudkan cita-cita hidup yang
ia impikan .
B. PERLUNYA MANUSIA MEMELIHARA DIRINYA

Secara umum bisa dikatakan bahwa agama hanya terdiri dari dua hal;
melakukan perintah dan menjauhi larangan. Yang pertama sering juga disebut
sebagai perilaku taat pada Allah, sedangkan yang kedua bisa disebut sebagai
menjauhi maksiat pada Allah. Jika direnungkan, alat yang dilakukan oleh
seorang manusia untuk melakukan dua hal tersebut adalah sama yaitu anggota
tubuh. Semula Allah menciptakan tubuh manusia sebagai nikmat untuk mereka
nikmati dan amanah untuk mereka jaga. Jika dihubungkan dengan firman Allah
Q.S Adz-Dzaariyaat ayat 56, “Dan Aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk
beribadah kepadaku", maka Allah ciptakan anggota tubuh untuk manusia
sebagai alat mereka beribadah pada Allah. Jika manusia melakukan sebaliknya,
tidak beribadah pada Allah atau malah bermaksiat menentang Allah, maka
mereka bisa dikatakan tidak tahu diri, mengkhianati amanah Allah. Seorang
ulama bahkan mengatakan bahwa itu adalah kekufuran terbesar terhadap nikmat
Allah.

Tentang ini, menarik ungkapan Imam Al Ghazali, “Al-muhajir man hajar al-
su’ wal mujahid man jahad hawah” yang bermakna seorang dikatakan
melakukan hijrah ketika dia beranjak menjauh dari sebuah hal buruk, dan ia
dikatakan sebagai seorang yang jihad ketika memerangi hawa nafsunya. Dengan
kata lain, orang yang melakukan ketaatan pada Allah sudah layak disebut
sebagai seorang yang jihad, dan orang yang menjauhi maksiat sesungguhnya
telah berhijrah.

Ungkapan beliau ini menjadi lebih penting jika didudukkan pada konteks
sekarang ini ketika hijrah sudah diredefinisi oleh kalangan radikalis menjadi
jihad fisik menuju penampilan, baik pakaian dan tubuh, ala Arab yang mereka
pahami sebagai ala Islam. Masih berkaitan dengan tubuh, dijelaskan dalam kitab
Bidayah al Hidayah bahwa tujuh anggota tubuh berikut adalah titik paling
rawan untuk bergeser dari ketaatan menjadi kemaksiatan yaitu mata, telinga,
lisan, perut, farji, tangan, dan kaki. Sebuah ungkapan teologis terkait ini pernah
disampaikan, bahwa jahanam memiliki tujuh pintu, yang akan dimasuki oleh
orang-orang yang bermaksiat dengan tujuh anggota tubuh tersebut.
Mata membantu kita untuk melihat bahkan dalam gelap, memudahkan kita
memenuhi kebutuhan, dan menyaksikan keajaiban-keajaiban alam yang
menunjukkan kuasa Allah. Adalah sangat mungkin manusia diciptakan
memiliki mata untuk setidaknya tujuan-tujuan tersebut. Namun banyak juga
manusia yang melihat sesuatu yang membangkitkan syahwat mereka, yang
kemudian membuat mereka lupa dan lalai beribadah pada Allah.

Mereka juga seringkali melihat aib orang lain, bahkan memperlihatkannya


pada publik. Ulama bahkan mencatat sebuah peringatan agar kita tidak melihat
makhluk Allah, terutama manusia terlebih lagi sesama Muslim, dengan
pandangan yang merendahkan. Jika kita melakukan yang demikian, kita sama
saja sedang menaikkan diri kita, sehingga bisa memandang rendah pada yang
lain sehingga kita telah termasuk golongan orang yang sombong. Padahal,
sebagaimana yang sering dikatakan dalam diskusi tasawuf, yang berhak untuk
sombong hanyalah Allah.

Ini tentu berbeda dalam nilai dengan praktik-praktik keberagamaan yang


berkembang akhir-akhir ini. Umat beragama bukan hanya merendahkan umat
beragama lain, namun juga menyalahkan dan menzalimi mereka. Andai saja
catatan peringatan ulama ini mereka dengar dan amalkan, mungkin kerusakan
dan kekerasan yang tidak perlu itu tidak akan ada. Celakanya, mereka juga
menamakan diri sebagai ulama. Jika seseorang bisa memilih, akal sehatnya akan
menuntunnya memilih ulama yang menuntun pada kedamaian, bukannya
kekerasan dan perilaku yang meresahkan.

Telinga bisa kita gunakan untuk mendengarkan gunjingan, perkataan buruk,


atau gosip-gosip yang berisi keburukan orang lain. Telinga juga bisa kita
gunakan untuk mendengarkan kalam Allah, hadits nabi, hikmah dan
kebijaksanaan hidup dari para wali, atau ilmu yang bermanfaat dari para ulama.
Sebelum dijelaskan lebih jauh, penting kiranya untuk disoroti kriteria ilmu
bermanfaat yang patut untuk didengarkan. Ilmu yang bermanfaat bisa dimaknai
sebagai ilmu yang menambah kesadaran diri akan posisi dan status kita terhadap
Allah, dan di waktu yang sama mengurangi ketergantungan kita pada dunia.
Keputusan untuk memilih merugi dengan melakukan hal-hal buruk tadi, atau
beruntung dengan melakukan hal-hal ibadah, ada di tangan manusia. Yang perlu
digarisbawahi agar tidak disalahpahami adalah bahwa dalam terjadinya sebuah
hal buruk, pergunjingan misalnya, sang penutur dan pendengar mendapatkan
dosa yang sama. Ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi “Inna al-mustami’
syarik al-qa’il, wa huwa ahad al-mughtabayn”, yang artinya si pendengar adalah
partner bagi si penutur, jadi keduanya disebut sebagai pelaku pergunjingan.

Lisan sering disebut sebagai alat yang paling mudah menyebabkan


tergelincirnya seseorang ke jurang neraka. Lisan yang sebenarnya diciptakan
agar manusia bisa melantunkan kalam Allah, memperbanyak dzikir pada Allah,
saling mengingatkan tentang kebaikan dengan siapapun, atau hanya sekedar
mengungkapkan kebutuhan terkait kehidupan, sangat mungkin mengeluarkan
satu kalimat yang nantinya menjadi tiket utama dijatuhkannya manusia ke
neraka dalam lapisannya yang terbawah. Sebuah hadis menegaskan “Inna al-
rajul layatakallam bi al-kalima fa yahwi biha fi jahannam sab’in kharif” yang
artinya sungguh seseorang bisa mengatakan satu kalimat saja yang bisa menjadi
sebab tergelincirnya ia ke neraka jahanam. Seorang sahabat pernah
menyaksikan sahabat lain meninggal dalam sebuah peperangan, lalu berkata “ia
akan dirindukan oleh surga”. Mendengar ungkapan ini, Nabi kemudian
memberikan respon “kalian hanya tidak tahu, selama hidup ia mengatakan
sesuatu yang tidak berguna bagi dirinya, dan pelit, enggan memberikan sesuatu
yang sebenarnya juga tidak akan membuatnya kaya”.

Sebegitu pentingnya lisan, ulama menjelaskan ada delapan hal yang bisa
menjadikan lisan senjata yang membunuh manusia yaitu berbohong, bersumpah
palsu, menggunjing, memojokkan dengan mencecar, menyucikan
(membanggakan) diri, melaknat, berdoa buruk pada makhluk, dan bercanda.
Kita seringkali berbohong baik ketika bercanda atau tidak. Ulama memberikan
peringatan untuk tidak membiasakan berbohong walaupun ketika bercanda,
karena itu akan merembet pada perkataan-perkataan di luar candaan. Ini tentu
tidak baik, dan memiliki implikasi buruk yang besar. Dalam ilmu hadits, orang
yang menggunakan kebohongan walaupun ketika bercanda, tidak layak diberi
status tsiqah (konsisten).
Sumpah palsu bisa digolongkan sebagai salah satu tanda kemunafikan. Ini
bisa dimaknai di luar makna leksikalnya sebagai sumpah yang tidak ditunaikan.
Kita bisa memahaminya sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan ucapan.
Jika harus memilih, bukankah lebih baik berperilaku taat tanpa berucap
tentangnya, daripada berucap tanpa berbuat? Menggunjing perlu dimaknai
dengan lebih hati-hati. Jika seseorang mengungkapkan sesuatu terkait orang
lain, dan orang lain tersebut merasa tidak nyaman karenanya, maka itu termasuk
menggunjing dan menzalimi. Bahkan jika sesuatu itu tidak sesuai dengan
kenyataan, orang itu bukan lagi menggunjing, namun melakukan fitnah.

Allah telah memberikan perumpamaan terhadap hal ini dengan salah satu
perumpamaan yang paling buruk, yaitu memakan daging kawan sendiri. Dalam
sebuah hadis juga dijelaskan siapapun yang berusaha menjaga agar aib
saudaranya tidak terlihat oleh orang lain, Allah akan melakukan hal yang sama
padanya. Jika ia melakukan sebaliknya, Allah akan membalas baik di dunia
maupun di akhirat.

Ulama telah memberikan narasi yang baik tentang ini. Jika kita mengetahui
orang lain melakuan kesalahan, lalu kita berkata “Saya merasa tidak nyaman
dengan itu, semoga Allah menjadikannya sadar,” kita telah melakukan dua
kekeliruan sekaligus; menggunjing dengan mengatakan hal buruk orang lain,
dalam hal ini kesalahan, dan menyucikan diri dengan menganggap diri lebih
baik karena tidak melakukan kesalahan tersebut.

Dalam kasus ini, ulama telah memberikan wejangan agar melafalkan doa
tersebut dalam hati (sirri), karena jika memang kita bersimpati pada orang itu,
kita tidak akan mengungkapkan keburukan orang itu pada orang lain.
Seharusnya kita disibukkan dengan introspeksi diri. Jika kita melihat diri kita
kemudian tidak menemukan aib baik yang terkait dengan agama ataupun dunia,
maka kita sedang mengalami kebodohan yang paling merugikan.
Bagi setiap Muslim, apa yang dia lakukan di dunia apakah berupa perbuatan
baik ataupun buruk. Maka, dia pula yang akan mendapatkan balasannya dari
Allah ta’ala. Perbuatan seseorang tidak dibebankan kepada orang lain,
maksudnya adalah setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya. Orang
lain tidak mendapatkan pahala atau dosa karena perbuatan orang lain, kecuali
apa yang sudah disebutkan dalam hadits shahih seperti doa anak shalih, amal
jariyah dan ilmu yang bermanfaat.

Dalam hal ini, Allah ta’ala berfirman dalam banyak ayat di Al-Quran
diantaranya:

َ ‫َاهَ ِيلَع َّْلِ ٍَ ِس‬


َ‫ف َُّلُ َُ ِب ْسكَ ََل‬

“………… Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain………:” (QS. Al-An’am: 164)

َ ‫س اْ َمع ٍَ ِس‬
ُ‫ف َُّل‬ ِ َ‫ٌَ ْةييَهَ َُّ َسب‬

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”(QS. Al-
Muddatstsir: 38)

Oleh karena itu, bentuk penjagaan pada diri sendiri adalah dengan kita
perhatikan betul apa yang dilakukan. Bersebab, apa yang ditanam dengan
pebuatan kita, akan dipanen dengan balasan yang adil dari Allah ta’ala. Jangan
sampai setiap detik yang dilalui dalam hidup adalah perbuatan penuh dosa. Dan
cara agar kita bisa mengetahui perbuatan mana yang Allah ta’ala ridhai
sehingga akan berbalas pahala, dan perbuatan mana yang Allah ta’ala murkai
sehingga akan berbalas dosa adalah dengan kita terus belajar, khususnya ilmu
Islam.Jangan pernah bosan belajar, karena ilmu Islam sangatlah
banyak.Kemudian amalkan, amalkan dan amalkan.

Anda mungkin juga menyukai