Anda di halaman 1dari 85

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Departemen Fisika Skripsi Sarjana

2017

Analisis Kualitas Citra Lumbal pada


Pengaruh Perubahan Nilai Time
Repetition dan Time Echo Untuk Kasus
Hernia Nukleus Pulposus dengan
Menggunakan Magnetic Resonance Imaging

Hutapea, Delly Marintan

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/3184
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
ANALISIS KUALITAS CITRA LUMBAL Pada PENGARUH
PERUBAHAN NILAI TIME REPETITION Dan TIME ECHO
Untuk KASUS HERNIA NUKLEUS PULPOSUS Dengan
MENGGUNAKAN MAGNETIC RESONANCE IMAGING

SKRIPSI

DELLY MARINTAN HUTAPEA


150821046

DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


i

ANALISIS KUALITAS CITRA LUMBAL Pada PENGARUH


PERUBAHAN NILAI TIME REPETITION Dan TIME ECHO
Untuk KASUS HERNIA NUKLEUS PULPOSUS Dengan
MENGGUNAKAN MAGNETIC RESONANCE IMAGING

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar


Sarjana Sains

DELLY MARINTAN HUTAPEA


150821046

DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ii

PERSETUJUAN

Judul : Analisis Kualitas Citra Lumbal Pada Pengaruh


Perubahan Nilai Time Repetition Dan Time Echo
Untuk Kasus Hernia Nukleus Pulposus Dengan
Menggunakan Magnetic Resonance Imaging

Kategori : Skripsi
Nama : Delly Marintan Hutapea
Nomor Induk Mahasiswa : 150821046
Program Studi : Sarjana (S1) Fisika
Departemen : FISIKA
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. HERLI GINTING,MS JOSEPA ND SIMANJUNTAK,MSi


Nip : 195505191986011001 Nip : 197703192006042001

Diketahui Oleh :
Ketua Departemen Fisika

Dr. Perdinan Sinuhaji, MS


Nip. 195903101987031002

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


iii

PERNYATAAN

ANALISIS KUALITAS CITRA LUMBAL PADA PENGARUH PERUBAHAN


NILAI TIME REPETITION DAN TIME ECHO UNTUK KASUS HERNIA
NUKLEUS PULPOSUS DENGAN MENGGUNAKAN MAGNETIC
RESONANCE IMAGING

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, JULI 2017

DELLY MARINTAN HUTAPEA

150821046

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


iv

PENGHARGAAN

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa ,karna atas
berkat dan rahmat-nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Sains Jurusan Fisika Medis pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Sumatera Utara.

Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skiripsi ini, sangatlah sulit bagi
saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan
terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Perdinan Sinuhaji, MS selaku Ketua Departemen Fisika


Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.
2. Bapak Drs. Herli Ginting,MS, selaku pembimbing I pada penyelesaian
skripsi ini, yang telah memberikan panduan dan bimbingan untuk
menyempurnakan skripsi ini.
3. Ibu Josepa ND Simanjuntak,M.Si, selaku pembimbing II pada
penyelesaian skripsi ini, yang telah memberikan panduan dan
bimbingan untuk menyempurnakan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen serta seluruh pegawai program studi Fisika Fakultas
Matemetika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
5. Seluruh staf unit Radiologi dan Laboratorium di RSUP. Haji Adam Malik
Medan yang selalu membantu saya.
6. Teristimewa buat Orang Tua Saya M. Hutapea Dan B. Nainggolan Spdk.
yang telah banyak memberikan dukungan Doa, Moril, Materil, serta
Kasih Sayang dan kepercayaan penuh dalam hal pencapaian tujuan
akademik saya.
7. Rekan – rekan seperjuangan Fisika Ekstensi 2015 yang sama-sama
merasakan pahit manisnya selama kuliah dan kerja sama selama masa
perkuliahan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


v

8. Buat Semua yang belum tersebutkan yang memberi bantuan dan


dorongan yang diperlukan, Semoga Tuhan Yang Maha Esa akan
membalasnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini masih terdapat


kekurangan maupun kesalahan. Untuk penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak untuk penyempurnaan laporan ini. Akhirnya penulis
berharap semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca,
khususnya rekan-rekan mahasiswa lainnya yang mengikuti perkuliahan di
Universitas Sumatera Utara.

Medan, Juli 2017


Penulis

DELLY MARINTAN HUTAPEA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


vi

ANALISIS KUALITAS CITRA LUMBAL PADA PENGARUH


PERUBAHAN NILAI TIME REPETITION DAN TIME ECHO UNTUK
KASUS HERNIA NUKLEUS PULPOSUS
DENGAN MENGGUNAKAN MAGNETIC RESONANCE IMAGING

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh perubahan nilai Time


Repetition (TR) dan Time Echo (TE) pada citra lumbal untuk kasus Hernia
Nukleus Pulposus (HNP) dengan menggunakan MRI yang bertujuan Untuk
melihat pengaruh perubahan nilai TR dan TE terhadap kualitas citra lumbal atau
tulang belakang, sehingga diperoleh citra yang lebih berkualitas dengan
menentukan nilai Signal to Noise Rasio (SNR). Pengambilan citra diambil dari 3
pasien dengan melakukan perubahan pada nilai TR 2000, 4000, 6000 dan Nilai
TE 109, 100, 120. Dengan melakukan pengaturan nilai parameter TR dan TE yang
lama maka diperoleh pembobotan T2 yang dapat menunjukkan kelainan patologi
dengan lebih jelas dengan metode Spin spin. Dari hasil yang diperoleh dapat
disimpulkan dengan Pemberian TR yang lama yaitu TR = 6000ms, tepat
mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih banyak, Namun menyebabkan
waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh data lebih lama dan memberikan harga
SNR yang lebih baik dan kualitas citra yang diperoleh lebih baik. TR yang cepat
dengan TR = 2000ms, dapat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih
sedikit, Namun menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh data
lebih singkat dan memberikan harga SNR yang kurang baik dan kualitas citra
yang diperoleh menjadi lebih jelek.

Kata Kunci : MRI, Time Repetition, Time Echo, SNR, Lumbal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


vii

LUMBAL IMAGE QUALITY ANALYSIS IN EFFECT OF TIME


REPETITION AND ECHO TIME VALUE FOR NUKLEUS PULPOSUS
HERNIA CASE USING MAGNETIC RESONANCE IMAGING

ABSTRACT

A study of the effects of Time Repetition (TR) and Time Echo (TE) changes
on the lumbar image for Hernia Nucleus Pulposus (HNP) case using MRI aimed to
see the effect of TR and TE values on the quality of lumbar or spinal images, So as to
obtain a higher quality image by determining the value of Signal to Noise Ratio
(SNR). Image retrieval was taken from 3 patients by making changes to TR 2000,
4000, 6000 and TE value 109, 100, 120. By adjusting the value of the old TR and TE
parameters we obtained T2 weighting which can show the pathology abnormalities
more clearly with the method Spin spin. From the results obtained it can be
concluded with the old TR's TR = 6000ms, precisely evaluating the tissue in more
slices, but causing the time required to obtain longer data and provide a better SNR
price and better image quality. Fast TR with TR = 2000ms, can evaluate the network
in fewer slices, but it causes the time required to obtain shorter data and give the
SNR price less good and the image quality obtained becomes worse.

Keywords: MRI, Time Repetition, Time Echo, SNR, Lumbal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


viii

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
SURAT PERNYATAAN iii
PENGHARGAAN iv
ABSTRAK vi
ABSTRACK vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR TABEL xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Perumusan Masalah 2
1.3 Batasan Masalah 3
1.4 Tujuan Penelitian 3
1.5 Manfaat Penelitian 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah MRI 4


2.2 Magnetic Resonance Imaging (MRI) 4
2.3 Prinsip Dasar Sistem Magnetic Resonansi Imaging (MRI) 6
2.4 Pulsa RF (Radio Frequency) 9
2.5 Interaksi Spin Proton dengan Medan Magnet Luar 11
2.6 Parameter MRI 13
2.7 Pengukuran Sinyal MRI 16
2.8 Cara kerja MRI 19
2.9 Parameter kekontrasan pencitraan MRI 19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ix

2.9.1 Waktu pengulangan atau repetition 20


2.9.2 Waktu gaung atau time encho 21
2.10 Pembobotan Pada MRI 21
2.11 Relaksasi Spin T1 dan T2 23
2.12 Metode Pencitraan 26
2.13 Parameter Resolusi Citra 27
2.14 Rekonstruksi Pencitraan MRI 28
2.15 Parameter yang terdapat pada MRI 29
2.16 Komponen Utama MRI 32
2.17 Fisika Magnetic Resonance Imaging 34
2.18 Kualitas Citra MRI 37
2.19 Pembentukan Citra 41
2.20 Dasar Fisika MRI 43

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Bahan atau Materi Penelitian 49


3.2 Tempat Dan Instrumen Dalam Penelitian 49
3.3 Konfigurasi Instrument MRI 49
3.4 Tata cara penelitian 50
3.5 Persiapan alat dan bahan 50
3.6 Persiapan pasien 50
3.7 Posisi pemeriksaan pasien 50
3.8 Operator Consule dan Layar Citra 50
3.9 Diagram alur penelitian 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pasien 1 Untuk Potongan Sagital Pembobotan T2 52


4.2 Pasien 2 Untuk Potongan Sagital Pembobotan T2 55
4.3 Pasien 3 Untuk Potongan Sagital Pembobotan T2 57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


x

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan 62
5.2 Saran 62

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Komposisi dasar system MRI 5


Gambar 2.2 Spinning protonatom hidrogen 7
Gambar 2.3 Dasar fisika MRI 7
Gambar 2.4 Posisi magnet superkonduktif dalam pesawat MRI 10
Gambar 2.5 Spin dengan medan magnet luar 12
Gambar 2.6 Spin pada pararel dan anti pararel 13
Gambar 2.7 Presisi arah pararel dan anti-pararel 13
Gambar 2.8Time Repetition atau waktu pengulangan pada Fast spin echo 14
Gambar 2.9 Pesawat MRI 19
Gambar 2.10 Magnetisasi longitudinal 24
Gambar 2.11 Komposisi dasar pada pesawat MRI 29
Gambar 2.12 Ilustrasi dari Time Reptition/TR 31
Gambar 2.13 Ilustrasi dari Time Echo/ TE 31
Gambar 2.15 Presesi 35
Gambar 2.16 Time Repetition (TR) 38
Gambar 2.17 Time Echo (TE) 39
Gambar 2.18 Partikel Yang Bermuatan Paralel 43
Gambar 2.19 Arah Momen Magnet Tergantung Pada Arah Putaran Proton 44
Gambar 2.20 Repetition Time 45
Gambar 2.21 Echo Time 45
Gambar 3.1 Gantri dan Meja pemeriksaan 49
Gambar 4.1 Pencitraan dengan parameter TR = 2000 ms dan TE = 109 ms 52
Gambar 4.2 Pencitraan dengan parameter TR = 4000 ms dan TE = 109 ms53
Gambar 4.3 Pencitraan dengan parameter TR = 6000 ms dan TE = 109 ms 53
Gambar 4.4 Pencitraan dengan parameter TR = 2000 ms dan TE = 100 ms 55
Gambar 4.5 Pencitraan dengan parameter TR = 4000 ms dan TE = 100 ms 55
Gambar 4.6 Pencitraan dengan parameter TR = 6000 ms dan TE = 100 ms 56
Gambar 4.7 Pencitraan dengan parameter TR = 2000 ms dan TE = 120 ms 57
Gambar 4.8 Pencitraan dengan parameter TR = 4000 ms dan TE = 120 ms 57
Gambar 4.9 Pencitraan dengan parameter TR = 6000 ms dan TE = 120 ms 58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Inti yang bersifat magnetic 6


Tabel 2.2 Densitas hidrogen pada beberapa jaringan 18
Tabel 2.3 Spin echo sequence untuk parameter TR dan TE 20
Tabel 2.4 Hubungan karateristik jaringan dengan pembobotan T1 dan T2 22
Tabel 2.5 Waktu relaksasi T1 dan T2 pada jaringan tubuh 25
Tabel 2.6 Hubungan T1 dan T2 untuk berbagai jaringan Dengan kuat medan
Magnet 1 Tesla 30
Tabel 4.1 Nilai TR, SNR dan TE 60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemajuan teknologi dibidang kesehatan yang ada pada saat ini memberi
kemudahan bagi para praktisi kesehatan untuk mendiagnosa penyakit serta
menentukan jenis pengobatan bagi pasien. Salah satu bentuk kemajuan tersebut
adalah penggunaan alat MRI (Magnetic Resonance Imaging). MRI merupakan suatu
alat diagnostik mutakhir untuk memeriksa dan mendeteksi tubuh dengan
menggunakan medan magnet yang besar dan gelombang frekuensi radio, tanpa
operasi, penggunaan sinar X, atau pun bahan radioaktif. MRI menciptakan kualitas
citra yang dapat menunjukkan perbedaan sangat jelas untuk menilai anatomi jaringan
lunak dalam tubuh terutama tulang belakang, dibandingkan dengan pemeriksaan CT
Scan. Dalam pembentukan citra MRI harus melalui proses pembentukan citra yaitu
Pulsa Radio Frequency (RF), Fenomena Resonansi, Waktu Relaksasi Longitudinal
(T1) dan Transversal (T2), Sinyal FID (Free Induction Decay), dan Mekanisme
Kekontrasan Citra (Sprawls, 1995).
Salah satu penyakit yang dapat di deteksi dengan menggunakan
pemeriksaanMRI yaitu penyakit Hernia Nucleus Pulposus (HNP) pada Lumbal,
dimana ada gangguan terjadi akibat adanya penonjolan atau hernia, bantalan atau
nucleus pulposus sehingga menonjol melalui annulus fibrosus ke dalam canalis
spinalis dan mengakibatkan penekanan radiks saraf. Pihak Radiologi memiliki
peranan penting dalam penanganan masalah yang timbul akibat HNP. MRI memiliki
kemampuan membuat gambaran potongan koronal, sagital, aksial dan oblik tanpa
banyak memanipulasi tubuh pasien sehingga sangat sesuai untuk diagnostik jaringan
lunak. Dalam pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) tehnik pencitraan
penampang tubuh berdasarkan prinsip resonansi magnetik inti atom hidrogen. Tehnik
pencitraan MRI relatif komplek karena citra yang dihasilkan tergantung pada banyak
parameter seperti Signal to Noise Ratio (SNR), Densitas proton daerah yang
diperiksa, Volume voxel, Nilai Time Repetition (TR), Time Echo (TE),Flip Angel
(FA), Contrast to Noise Ratio (CNR), Spatial Resolution, Waktu pencitraan.
(Sprawls, 1995)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2

Time Repetition (TR) adalah suatu interval waktu antara pengulangan dua
pulsa yang sama dan pemberian TR yang lama dapat mengevaluasi jaringan dalam
irisan yang lebih banyak serta memberikan harga sinyal noise yang lebih baik,
namun menyebabkan waktu yang dibutuhkan lebih lama untuk memperoleh data, TR
yang cepat dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah irisan
jaringan yang dievaluasi menjadi sedikit, dan Signal to Noise
Ratio (SNR) menjadi jelek. (Sprawls,1995)
Penelitian tentang Kualitas citra MRI Lumbal Sagital menggunakan
pembobotan T2 FSE sudah pernah dilakukan dengan hasil menunjukkan bahwa ETL
dan pembobotan T2 berpengaruh terhadap kualitas citra MRI yaitu kontras citra pada
FSE dan kemampuan softwer berbasis matlab dalam menganalisa kualitas citra MRI,
SNR dan kontras merupakan aspek yang penting dalam proses optimasi citra yaitu
semakin tinggi nilai SNR maka citra akan semakin baik dalam memberikan
informasi diagnose (Josepa, dkk.2014).
Maka, berdasarkana hal tersebut peneliti ingin mengkaji lebih lanjut
mengenai MRI dalam bentuk proposal dengan judul Analisis Kualitas Citra
Lumbal Pada Pengaruh Perubahan Nilai TR Dan TE Untuk Kasus HNP
Dengan Menggunakan MRI.

1.2 Perumusan Masalah


Magnetic Resonance Imaging dalam aplikasi kedokteran terus berkembang dan
pencitraan Magnetic Resonance Imaging untuk mendiagnosis kelainan patologi juga
terus berkembang terutama pencitraan Magnetic Resonance Imaging dengan kasus
Hernia Nukleus Pulposus (HNP).
Maka permasalahan dapat dirumuskan yaitu :
a. Bagaimana pengaruh parameter Time Repetition (TR) untuk pembobotan T2
terhadap pencitraan Magnetic Resonance Imaging untuk kasus Hernia
Nukleus Pulposus (HNP)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

1.3 Batasan Masalah


Untuk mengatasi meluasnya permasalahan, maka penelitian ini dibatasi hanya
Untuk melihat pengaruh parameter TR dengan menggunakan TR 2000, TR 4000, dan
TR 6000 terhadap kualitas citra lumbal dengan kasus HNP

1.4 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh parameter TR (time repetition) pada
pembobotan T2 terhadap pencitraan MRI Lumbal untuk kasus HNP.
2. Untuk mengetahui citra yang lebih berkualitas dengan menentukan nilai TR
dan SNR.

1.5 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mendapatkan hasil citra yang lebih baik dengan perubahan TR dengan
menggunakan pesawat MRI
2. Untuk mendapatkan pengaruh TR terhadap citra lumbal yang lebih baik
dalam menegakkan diagnose suatu penyakit

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah MRI


Awal kelahirannya MRI bukanlah satu alat yang serta merta dibuat oleh satu
orang atau satu vendor besar tertentu.Namun ada beberapa alat yang di buat
kemudian dikembangkan. Pada periode 1990an MRI merupakan alat diagnostic yang
Ekslusif dan sangat sulit dicari, serta menjadi indikator rumah sakit dengan
pelayanan radiologi termodern. Dewasa ini kita dapat dengan cukup mudah
menemukan rumah sakit yang menyediakan pelayanan MRI dengan tenaga teknis
seorang radiographer tertentu yang diperbolehkan untuk mengoperasikannya.
Periode 1940-an adalah masa keemasan bagi fisika quantum. Dunia memasuki jaman
atom, Pada tahun 1946, Felix Bloch dan Purcell mengemukakan teori bahwa inti
atom bersifat sebagai magnet kecil, dan inti atom membuat spinning dan precessing.
Dari hasil penemuan kedua orang diatas kemudian lahirlah alat Nuclear Magnetic
Resonance (NMR) Spectrometer, yang penggunaannya terbatas pada kimia saja.
Setelah lebih dari sepuluh tahun Raymond Damadian bekerja dengan alat NMR
Spectometer, maka pada tahun 1971 ia menggunakan alat tersebut untuk
pemeriksaan pasien. Pada tahun 1979, The University of Nottingham Group
memproduksi gambaran potongan coronal dan sagittal (disamping potongan aksial)
dengan NMR. Selanjutnya karena kekaburan istilah yang digunakan untuk alat NMR
dan di bagian apa sebaiknya NMR diletakkan, maka atas saran dari AMERICAN
COLLEGE of RADIO-LOGI (1984), NMR dirubah menjadi Magnetic Resonance
Imaging ( MRI) dan diletakkan di bagian Radiologi.

2.2 Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan salah satu cara pemeriksaan
diagnostik dalam ilmu kedokteran, khususnya radiologi yang menghasilkan
gambaran potongan tubuh manusia dengan menggunakan medan magnet tanpa
menggunakan sinar x. Prinsip dasar Magnetic Resonance Imaging adalah inti atom
yang bergetar dalam magnit. Prinsip ini pertama kali ditemukan oleh blonch dan
purcell pada tahun 1946. Dengan penemuan tersebut mereka mendapat hadiah nobel

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

pada tahun 1952. Pada prinsip ini proton yang merupakan inti atom hydrogen dalam
sel tubuh berputar (spining ), bila atom hydrogen ini ditembak tegak lurus pada
intinya dengan radiofrekuensi tinggi didalam medan magnit secara periodik akan
beresonansi, maka proton tersebut akan bergerak menjadi searah / sejajar. Dan bila
radiofrekuensi tinggi ini dimatikan, maka proton yang bergetar tadi akan kembali
keposisi semula dan akan menginduksi dalam satu kumparan untuk menghasilkan
sinyal elektrik yang lemah. Bila hal ini terjadi berulang-ulang dan sinyal elektrik
tersebut ditangkap kemudian diproses dalam komputer akan dapat disusun menjadi
suatu gambar.

Gambar 2.1 Komposisi dasar system MRI (Westbrook C, 1999)

Metode ini dipakai karena tubuh manusia mempunyai konsentrasi atom


hydrogen yang tinggi (70%). Untuk menghasilkan sebuah gambaran dari proton,
minimum dibutuhkan tenaga medan magnit 0,064 Tesla. Untuk suatu medan magnit
yang rendah 0,2 tesla dibutuhkan kumparan yang normal dimana tenaga listrik
dirubah menjadi panas. Untuk suatu medan magnit diatas 0,3 tesla dibutuhkan suatu
kumparan istimewa / super. Kumparan ini ekstrim dingin (-2690 C), sehingga
tahanannya tidak sama sekali nol. Oleh karena itu, kumparan super ini tidak
memakai listrik kumparan ini sangat mahal. Saat kini alat Magnetic Resonance
Imaging (MRI) yang digunakan mulai dari 0.064T sampai 3 Tesla. Teknik
penggambaran MRI relatif kompleks karena gambaran yang dihasilkan tergantung
pada banyak parameter. Bila pemilihan parameter tersebut tepat, kualitas gambar
MRI dapat memberikan gambaran detail tubuh manusia dengan perbedaan yang
kontras, sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu teknologi pencitraan yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

menggabungkan prinsip magnetic dan resonansi (gelombang radiofrekuensi) untuk


menghasilkan gambaran parenkim tubuh manusia.

2.3 Prinsip Dasar Sistem Magnetic Resonansi Imaging (MRI)


Dalam tubuh manusia terdapat air (H2O) yang terdiri dari 2 atom hidrogen
dan memiliki no atom ganjil (1) yang dominan pada tubuh manusia dan mempunyai
inti atom bebas yang akan menghasilkan jaringan magnetisasi, merupakan
kandungan inti terbanyak dalam jaringan tubuh manusia dan memiliki gaya magnetik
terkuat dari elemen lain. Hidrogen memiliki momenmagnetik, pelimpahan atau
abundance terbesar. Dimana abundance adalah perbandingan jumlah atom suatu
isotop unsur tertentu terhadap jumlah atom seluruh isotop yang ada dinyatakan dalam
persen dapat dilihat pada Tabel 2.1. Oleh karena itu, hidrogen adalah elemen utama
yang digunakan untuk MRI. Pada atom dengan nomor atom genap, inti atom akan
berpasang pasangan sehingga saling meniadakan efek magnetik dengan demikian
tidak terdapat inti bebas yang akan membentuk jaringan magnetisasi sehingga sulit
untuk dirangsang agar terjadi pelepasan signal.
Tabel 2.1 Inti yang bersifat magnetic (Busberg, 2002)

Proton memiliki prilaku yang hampir sama dengan prilaku sebuah magnet,
melakukan gerakan secara kontinyu mengintari sumbunya atau spinning, seperti
Gambar 2.2, yang akan menghasilkan moment dipole magnetic yang kuat dan
akan menimbulkan fenomena resonansi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

Gambar 2.2 Spinning protonatom hidrogen (Bushberg,2002)

Prinsip dasar pencitraan MRI dapat disimpulkan secara ringkas yaitu dalam
keadaan normal proton proton hydrogen dalam tubuh tersusun secara acak sehingga
tidak ada jaringan magnetisasi. Ketika pasien dimasukan kedalam medan magnet
yang kuat dalam pesawat MRI, proton-proton dalam tubuh pasien akan searah
(parallel) dan tidak searah (antiparallel) dengan kutub medan magnet pesawat serta
melakukan gerakan presesi. Selisih proton proton yang searah dan berlawanan arah
amat sedikit dan tergantung kekuatan medan magnet pesawat dan selisih inilah yang
akan merupakan inti bebas (tidak berpasangan) yang akan membentuk jaringan
magnetisasi. Pemberian gelombang radio frequency (RF) proton menyerap sinyal
elektromagnetik atau sinyal MRI. Sinyal - sinyal diterima oleh sebuah koil antena
penerima, selanjutnya sinyal- sinyal tersebut diubah menjadi pulsa listrik dan dikirim
ke sistem komputer untuk diubah menjadi gambar.

Gambar 2.3 Dasar fisika MRI

Gambar 2.3 menunjukkan dasar fisika MRI, dimana (a) inti hidrogen
mengitari sumbunya atau spinning memiliki medan magnet, panah kuning
merupakan arah sumbu magnetis. Pada awalnya inti hidrogen (1–6), berpresesi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

dengan berbagai sudut akan tetapi saat masuk kedalam medan magnet eksternal (B0)
akan berbaris, jumlah momen magnetis disebut vektor magnetisasi (NMV). RF
diberikan NMV membentuk sudut yang menghasilkan dua komponen magnetisasi
yaitu magnetisasi longituginal (Mz) dan magnetisasi transversal (Mxy).Presesi
Magnetisasi transversal disekitar koil penerima, dipengaruhi tegangan (i). Ketika RF
dimatikan terjadi T1 pembangkitan atau T1 recovery, T2 peluruhan atau T2 decay
dan T2*
Adapun prinsip dasar Magnetic Resonance Imaging yaitu : Spin dan Interaksi
spin dengan medan magnet luar. Tubuh manusia terdiri dari kumpulan sel-sel, bagian
terkecil dari sel adalah atom. Atom terdiri dari inti atom dan elektron. Inti atom
terdiri proton dan netron. Proton bermuatan positif, netron tidak bermuatan
sedangkan elektron bermuatan negatif. Elektron berputar pada sumbu masing-
masing, elektron mengitari inti atom dan inti atom sendiri berputar pada sumbunya.
Perputaran ini disebut SPIN. Spin adalah partikel bermuatan listrik yang berputar
pada sumbunya sehingga menimbulkan arus listrik di sekitar sumbu putarnya. Arus
listrik ini akan menginduksi medan magnet sehingga inti atom memiliki momen
magnetik mikroskopik. Pada unsur yang memiliki nomor atom genap momen
magnetik inti akan saling menghilangkan (mengenolkan). Spin dari inti atom inilah
yang dapat menimbulkan terjadinya moment magnetic dipole ( Kutub magnet).
Dalam keadaan normal kutub magnet ini posisinya acak sehingga kekuatan medan
magnetnya adalah nol, karena masing-masing magnet saling menolak satu sama lain.
Ketika tubuh pasien diletakkan di dalam medan magnet eksternal yang sangat kuat
maka kutub magnet pada inti atom akan berada pada keadaan searah atau berlawanan
arah (yang berlawanan arah lebih sedikit daripada yang searah). Untuk itu, agar tetap
diperoleh momen magnetik inti maka diperlukan unsur yang memiliki nomor atom
ganjil.Resonansi dengan radiofrekuensi diberikan agar energi spin bertambah.
Radiofrekuensi digunakan karena nilai frekuensinya sama dengan nilai larmor
frekuensi Hidrogen. Hidrogen merupakan salah satu unsur dengan nomor atom ganjil
yang banyak digunakan dalam MRI klinik. Hidrogen ini digunakan karena
jumlahnya sangat melimpah di dalam tubuh manusia, dan karena bentuk proton yang
soliter maka dapat memberikan momen magnetik yang relative lebih besar dibanding

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

atom unsur lain.(Larmor frekuensi Hidrogen=42,58 MHz/T)>ω=∂. B Hasil resonansi


yang terpenting adalah munculnya sinyal magnetic resonance.
Interaksi Spin dengan Medan Magnet Luar yaitu Apabila tubuh manusia berada
pada medan magnet luar yang sangat kuat (di dalam gantri MRI), maka yang terjadi
adalah momen magnetic masing-masing spin akan bergerak searah dan berlawanan
arah terhadap arah medan magnet luar.
Bila materi itu berada pada tingkat energy rendah (suhu kamar) maka total kuat
magnetisasi (Net Magnetisation Vector = NMV) adalah paralel dengan sumbu Z
(sumbu arah medan magnet luar). Tubuh manusia (materi yang banyak mengandung
spin) ketika berada di dalam medan magnet utama. (Bushong, 1996 ) Disamping
perubahan orientasi momen magnetik, secara individu spin juga berputar menyerupai
gasing yang disebut gerakan presesi (precession). Frekuensi presesi dinamakan
dengan frekuensi Larmor, dimana besarnya frekuensi tergantung dari kuat medan
magnet luar yang mempengaruhinya. Untuk atom hidrogen frekuensi Larmor sebesar
63,8MHz dalam kuat medan magnet 1,5 tesla.

2.4 Pulsa RF (Radio Frequency)


Pemberian frekuensi radio dengan waktu yang singkat disebut dengan pulsa
frekuensi radio yang merupakan gelombang elektromagnetik dengan frekuensi antara
2,31 MHz sampai 85 MHz. Pemberian pulsa RF mengubah energi proton sehingga
dapat menyebabkan transisi, yang terjadi jika dan hanya jika pulsa RF yang diberikan
sama dengan frekuensi Larmor yang dimiliki proton. Pada keadaan tersebut proton
yang sedang berpresisi akan mendapat tambahan energi. Dalam pemberian frekuensi
radio proton pada tingkat energi rendah akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih
tinggi, peristiwa ini disebut resonansi magnetik.
Pada saat terjadi magnetisasi transversal maka terjadi pula keadaan inphase
pada bidang transversal sehingga akan terjadi induksi dari medan magnetterhadap
koil penerima yang akan tercatat sebagai sinyal. Kuat dan lemahnya magnetisasi
pada bidang transversal ini akan berpengaruh pada kekuatan signal MRI dan
berpengaruh pada intensitas gelap dan terang pada citra MRI. Bila signal MRI kuat
maka akan memberikan gambaran citra yang terang atau hiperintens, sedangkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

apabila signal MRI lemah akan memberikan citra MRI gelap atau hipointens. Bila
pulsa RF dihentikan, magnetik moment pada bidang transversal yang dalam keadaan
in phaseakan mengalami dephase kembali sehingga magnetisasi pada bidang
transversal akan menurun, akibatnya induksi pada koil penerima juga akan semakin
melemah yang dikenal dengan sinyal Free Induction Decay (FID).
Pulsa RF yang menggerakkan magnetisasi (M) dari posisi setimbang ke
0
bidang transversal disebut pulsa 90 . Pulsa RF yang menggerakkan M dengan arah
0
yang berlawanan dengan arah asalnya dinamakan pulsa 180 . Kedua pulsa tersebut
merupakan pulsa yang mempunyai persamaan yang sangat besar dan penting dalam
metoda MRI.
Beberapa komponen utama dalam pesawat sistem MRI, yaitu magnet utama,
koil gradien, koil pemancar, koil penerima dan komputer. Magnet utama berguna
untuk memproduksi medan magnet yang besar antara 0.1-3.0 Tesla, yang mampu
menginduksi jaringan sehingga mampu menimbulkan magnetisasi dalam obyek.
Beberapa jenis magnet utama yaitu Magnet permanen, resistive Magnet, magnet
superkonduktif, bahan ini akan menjadi superconductive pada temperatur 4K
(Kelvin) dengan memberikan arus listrik melalui kumparan-kumparan. Untuk
menjaga kemagnetan kumparan harus dalam temperatur yang sangat dingin, biasanya
digunakan helium cair yang disebut juga dengan cryogen bath.

Gambar 2.4 Posisi magnet superkonduktif dalam pesawat MRI

Koil yang umum digunakan yaitu koil penerima dan koil pemancar, karena
Koil pemancar berfungsi untuk memancarkan gelombang radio pada inti yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

terlokalisir sehingga terjadi eksitasi. Sedangkan koil penerima berfungsi untuk


menerima sinyal output dari sistem setelah eksitasi terjadi. Sistem Komputer
berfungsi untuk mengontrol semua komponen alat MRI dan berfungsi juga untuk
menyimpan data. Gradien koil untuk membangkitkan suatu medan, terdapat tiga
fungsinya berbeda-beda sesuai dengan irisan yang dipilih, gradien koil X untuk
membuat citra potongan sagital, gardien koil Y untuk potongan koronal dan
medan yang saling tegak lurus antara ketiganya, yaitu bidang X, Y dan Z yang
gradien koil Z untuk potongan aksial. Bila gradien koil X, Y dan Z bekerja secara
bersamaan maka akan terbentuk potongan oblik.

2.5 Interaksi Spin Proton dengan Medan Magnet Luar


Apabila tubuh manusia berada pada medan magnet luar yang sangat kuat (di
dalam gantri MRI), maka yang terjadi adalah momen magnetik masing-masing spin
akan bergerak searah dan berlawanan arah terhadap arah medan magnet luar. Bila
materi itu berada pada tingkat energi rendah (suhu kamar) maka total kuat
magnetisasi (Net Magnetisation Vector = NMV) adalah paralel dengan sumbu Z
(sumbu arah medan magnet luar).
Energi termal dan arah spin random dalam jaringan, tidak mempunyai
magnetisasi jaringan, menghasilkan momen magnetik keseluruhan nol. Di bawah

pengaruh medan magnet eksternal (Bo) yang kuat spin didistribusikan menjadi dua
keadaan energi yaitu sejajar atau pararel dengan medan listrik pada tingkat energi
rendah, dan antiparalel pada daerah tingkat energi yang sedikit lebih tinggi.
Mayoritas spin pada energi rendah. Untuk kekuatan medan magnet yang lebih tinggi,
pemisahan energi dari tingkat energi yang rendah ke energi lebih tinggi, seperti
jumlah kelebihan proton di daerah energi rendah. Suatu materi yang terdiri atas inti
yang memiliki spin intristik, jika diletakkan di dalam medan magnet luar, dengan
arah sumbu z maka spin tadi akan berinteraksi dengan medan magnet yang

menimbulkan torka. τ= µ x B0
Selain pemisahan daerah energi spin, proton juga mengalami torka yang

merupakan suatu orientasi momen magnetic (µ) terhadap B0, Torka tersebut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12

menyebabkan spin proton bergerak secara unik berotasi mengelilingi medan magnet
luar yang diberikan seperti gerakan gasing yang disebut dengan presisi. Proton
presisi dengan arah pararel dan anti pararel.Selisih antara arah pararel dengan anti
pararel disebut dengan net moment magnetic.
Menurut persamaan Larmor, presesi single proton pada porosnya dengan
frekuensi sudut, sebanding dengan kekuatan medan magnet eksternal. Kelompok
proton dalam keadaan energi paralel dan anti paralel menghasilkan sebuah

magnetisasi equilibrium. M0 dalam arah medan magnet B0 (Busberg, 2002).


Frekuensi Larmor merupakan frekuensi gerakan presisi proton dengan
persamaandengan B0 adalah medan magnet luar, dan adalah rasio giromagnetik.
Karena jumlah energi spin pada keadaan pararel lebih besar daripada keadaan anti
pararel, maka menghasilkan resultan vektor magnetisasi searah keadaan paralel atau
searah medan sumbu longitudinal.

ω = γ B0........................................................................ (2.2)

dengan :ω adalah frekuensi Larmor (MHz tesla), γ adalah rasio giromagnetik


-1
(MHz tesla ) dan B0 adalah medan magnet luar (tesla).
Jika medan magnet luar ditempatkan pada tubuh yang mempunyai
banyak inti atom hidrogen, maka akan mengakibatkan gerakan proton
didalam tubuh tidak acak lagi.

Gambar 2.5 Spin dengan medan magnet luar


Penempatan proton pada medan magnet luar menyebabkan berpresisi dengan
arah pararel dan anti pararel dan untuk perbandingannya yaitu anti pararel lebih
banyak dibandingkan dengan arah anti-pararel. Selisih antara arah pararel dengan
anti pararel disebut dengan net moment magnetic.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

Gambar 2.6 Spin pada pararel dan anti pararel

Menurut hukum distribusi Maxwell-Boltzman pada suhu kamar partikel-


partikel lebih banyak berada pada tingkat energi rendah karena lebih stabil. Dengan
demikian lebih banyak proton berpresisi pada rah partikel daripada arah anti-pararel.
Jika proton yang berpresisi sejajar dengan medan magnet luar dijumlahkan, maka

akan memberikan suatu nilai magnetisasi total sebesar M0. Magnetisasi M0 tersebut
merupakan besaran vektor yang terdiri atas penjumlahan dua vektor magnetisasi
yaitu: vektor magnetisasi longitudinal (Mz) dan vektor magnetisasi transversal (Mxy)
yang merupakan komponen total vektor magnetisasi pada arah horizontal.

Gambar 2.7 Presisi arah pararel dan anti-pararel

2.6 Parameter MRI


Adapun parameter MRI terdiri dari : Parameter waktu, FA (flip angel = sudut
balik), Matrik, NEX (Number of Excitation), Bandwith.
Parameter waktu (pulse timing parameters) Parameter waktu terdiri dari TR dan
TE. Time Repetition (TR) merupakan parameter yang mengontrol jumlah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

magnetisasi longitudinal (MZ) yang recoveri sebelum Radio Frequency pulse


berikutnya. TR yang panjang akan meningkatkan Signal Noise Ratio dan TR yang
pendek menurunkan Signal Noise Ratio. Pada TR pendek, perbedaan waktu relaksasi
antara lemak dan air dapat dideteksi (magnetisasi longitudinal pulih lebih cepat dari
pada lemak dalam air), di TR panjang, tidak dapat dideteksi. Oleh karena itu, TR
berhubungan dengan T1 dan mempengaruhi kontras gambar T1Weighted,
Pemberian TR yang lama dapat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih
banyak serta memberikan harga sinyal noise yang lebih baik, namun menyebabkan
waktu yang dibutuhkan lebih lama untuk memperoleh data.
TR yang cepat dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah
irisan jaringan yang dievaluasi menjadi sedikit, dan Signal to NoiseRatio (SNR)
menjadi jelek. Harga TR dianggap cepat jika kurang dari 1000 milidetik, sedangkan
TR dianggap lama jika lebih dari 1000 milidetik. TR berkaitan dengan waktu
relaksasi longitudinal. Dari perbedaan nilai dari TR akan memberikan kekontrasan
citra yang berbeda. Pemilihan TR yang lama memberikan kekontrasan citra yang
kurang baik, karena relaksasi longitudinal kedua jaringan sudah mencapai keadaan
seimbang sempurna. Pemberian TR yang cepat memberikan kekontrasan citra lebih
baik, karena relaksasi longitudinal yang lebih lama belum sempurna kembali keadaan
seimbang sehingga pembedaan intensitas sinyal yang yang diberikan dari kedua
jaringan lebih besar (Pierce, 1995).

Gambar 2.8 Time Repetition atau waktu pengulangan pada Fast spin echo
Time Echo (TE) merupakan parameter yang 19 mengontrol jumlah magnetisasi
transversal (Mxy) yang akan Decay sebelum echo itu dicatat. Pada TE singkat,
perbedaan sinyal T2 lemak dan air tidak dapat dideteksi dan penggunaan TE panjang
dapat dideteksi. Oleh karena itu, TE berhubungan dengan T2 dan mempengaruhi
kontras gambar T2 Weighted. Waktu gaung atau time encho adalah interval waktu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

pemberian pulsa RF awal dengan pulsa RF terakhir sampai deteksinya sinyal


magnetik resonance maksimum. Sinyal MR maksimum tersebut merupakan sinyal
spin encho. Pemilihan lama dan cepatnya TE akan mempengaruhi intensitas sinyal
yang didapat. TE disebut pendek bila waktunya kurang dari 30 ms, sedangkan TE
panjang adalah tiga kali dari TE pendek (90 ms). Pemilihan panjang dan pendeknya
TE akan mempengaruhi intensitas sinyal yang didapat. Time echo digambarkan
sebagai interval antara akhir dan permulaan dari pulsa eksitasi RF window
acquisition. Dengan TE yang cepat meminimalkan peluruhan transversal atau
transverse decay dan sinyal yang dihasilkan dapat dipelihara. Pemilihan TE panjang
dapat mengakibatkan peluruhan transversal atau transversedecay menjadi maksimal
dan sinyal yang didapat kecil (Bushberg, 2002).
Time Repetition (TR) dan waktu Time Echo (TE) merupakan kunci dari
pencitraan kontras citra MRI. Ketika TR panjang dan TE pendek, perbedaan dalam
pemulihan magnetisasi dan peluruhan sinyal antara lemak dan air yang tidak dapat
20 dibedakan. Oleh karena itu, kontras diamati pada gambar MR dihasilkan adalah
terutama karena perbedaan kepadatan proton antara kedua jenis jaringan. Jaringan
dengan lebih proton memiliki intensitas sinyal yang lebih tinggi, dan jumlah proton
lebih sedikit memiliki intensitas sinyal yang lebih rendah (Pierce, 1995).
Sudut yang ditempuh NMV pada waktu relaksasi. Nilai FA akan mempengaruhi
kekontrasan gambar, dimana besar kecilnya dapat dibagi menjadi:
a) Sudut balik kecil (5° – 30°) Sudut balik kecil menghasilkan magnetisasi
longitudinal besar setelah aplikasi pulsa RF sehingga dapat mepersingkat
waktu sehingga untuk memperoleh pembobotan T2* TR dan TE harus
panjang.
b) Sudut balik besar (75°– 90°, menurut Hashemi dan 70°-110°, menurut
Westbrook) akan menghasilkan perbedaan T1 karakteristik dua jaringan
dengan baik. Untuk memperoleh pembobotan T1 maka perbedaan T1
jaringan harus maksimal dan perbedaan T2 nya harus minimal. Hal ini bias
dilakukan dengan mengatur parameter FA besar, TR dan TE pendek.
c) Sudut balik sedang (30° – 60°)
Jika pada pembobotan T1 memerlukan FA yang besar, maka pada
pembobotan T2* diperoleh dengan peningkatan steady state. Oleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

karena itu faktor TR harus dipertimbangkan. Sehingga sisa


magnetisasi transversal berkontribusi terhadap sinyal berikutnya. TR
pendek meningkatkan pembobotan T2*, sedangkan TE yang pendek
akan mengurangi pembobotan T2*.
Matriks adalah jumlah elemen gambar (piksel) dalam satu FOV (field of view).
Ukuran matriks ditentukan oleh dua sisi gambar, yaitu sisi yang berhubungan dengan
jumlah sampel frekuensi yang diambil, dan sisi yang berhubungan dengan fase
enkoding yang dibentuk.
Banyaknya sampel frekuensi dan fase enkoding menentukan banyaknya piksel
dalam FOV. Matriks kasar memiliki sedikit piksel dalam FOV, sedangkan matriks
halus berarti banyak piksel dalam FOV.
NEX (Number Of Excitation) adalah nilai yang menunjukkan jumlah pengulangan
pencatatan data selama akuisisi dengan amplitudo dan fase enkoding yang 16 sama.
NEX mengontrol sejumlah data yang masing-masing disimpan dalam lajur K space.
Data tersebut terdiri dari sinyal dan derau (noise). Peningkatan NEX berati akan
menambah sinyal secara linier tetapi deraunya acak, sehingga menambah NEX
sebesar 2 kali hanya akan menambah SNR sebesar √2 kali, atau SNR = √ NEX.
Bandwidth adalah rentang frekuensi yang digunakan untuk akuisisi data. Lebar
bandwidth ditentukan oleh kekuatan gradien readout dan data sampling rate yang
secara khusus berpengaruh pada sistem MRI. Bandwidth tidak mempengaruhi
kekuatan sinyal, tetapi berhubungan erat dengan banyaknya derau. Jadi SNR dapat
dipengaruhi oleh bandwith.

2.7 Pengukuran Sinyal MRI


Tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air (H2O ) yang mengandung 2
atom hydrogen yang memiliki no atom ganjil (1) yang pada intinya terdapat satu
proton. Inti hydrogen merupakan kandungan inti terbanyak dalam jaringan tubuh
manusia yaitu 1019 inti/ mm3 , memiliki konsentrasi tertinggi dalam jaringan 100
mmol/ Kg dan memiliki gaya magnetic terkuat dari elemen lain. Dalam aspek
klinisnya, perbedaan jaringan normal dan bukan normal didasarkan pada deteksi dari
kerelatifan kandungan air (proton hydrogen) dari jaringan tersebut. Proton proton

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

memiliki prilaku yang hampir sama dengan prilaku sebuah magnet. Sebab proton
merupakan suatu partikel yang bermuatan positif dan aktif melakukan gerakan
mengintari sumbunya (spin) secara kontinyu. Secara teori jika suatu muatan listrik
melakukan pergerakan maka disekitarnya akan timbul gaya magnet dengan demikian
proton proton dapat diibaratkan seperti magnet magnet yang kecil.
Secara ringkas prosedur pembentukan gambar pada pemeriksaan MRI adalah
pasien diletakan dalam medan magnet yang kuat selanjutnya dipancarkan sebuah
gelombang radio, ketika gelombang radio dimayikan (turn off) pasien memancarkan
signal yang berasal dari proton proton tubuh pasien dan signal tersebut akan diterima
oleh antenna dan dikirim ke sisitem komputer untuk direkonstruksi menjadi gambar.
Proses terjadinya signal MRI yang berasal dari pasien tersebut melalui 3 fase fisika
yaitu : Fase Presesi (Magnetisasi), Fase Resonansi dan Fase Relaksasi. Fase Presesi
dimana telah diketahui inti sebuah atom terdiri dari neutron yang tidak bermuatan
(netral) dan proton yang bermuatan positif. Protonyang bersifat magnetic memiliki
medan magnet yang mengarah pada 2 kutub (utara dan selatan) mirip dengan sebuah
magnet kecil sehingga proton proton dengan kutubnya tersebut lazim disebut “
Magnetic Dipole “. Dalam keadaan normal proton proton hydrogen dalam tubuh
tersusun secara acak sehingga tidak dihasilkan jaringan magnetisasi. Ketika pasien
dimasukan kedalam medan magnet yang kuat dalam pesawat MRI, magnetik dipole
tubuh pasien akan searah (parallel) dan tidak searah (antiparallel) dengan kutub
medan magnet pesawat. Selisih proton proton yang searah dan berlawanan arah amat
sedikit dan tergantung kekuatan medanmagnet pesawat dan selisih inilah yang akan
merupakan inti bebas (tidak berpasangan) yang akan membentuk jaringan
magnetisasi.
Fase Resonansi dimana kita mengetahui secara tepat frekuensi presesi proton
proton sangat mutlak untuk menentukan besarnya frekuensi presesi gelombang radio
(RF) yang akan dipancarkan untuk mengubah arah orientasi dipole yang membentuk
jaringan magnetisasi. Ketika proton proton hydrogen mengalami 1 presesi, maka
proton proton akan mudah menyerap energi luar. Pada saat fase presesi itulah
gelombang radio (RF) dipancarkan dan proton proton hydrogen akan menyerapnya
dan mulai bergerak meninggalkan arah longitudinal (L direction) yang sejajar dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

arah kutub magnet pesawat menuju kearah transversal (Tegak lurus terhadap sumbu
medan magnet pesawat) dan menghasilkan magnetisasi transversal.
Fase Relaksasi dibagi menjadi T1 dan T2. T1 didefenisikan sebagai waktu yang
diperlukan proton proton hydrogen sekitar 63% telah berada kembali dalam arah
longitudinal (magnetisasi longitudinal). T1 mencerminkan tingkat trnsfer energi
frekuensi radio (RF) dari proton proton keseluruh jaringan sekitar (Tissue-Lattice)
sehingga T1 biasa pula dikenal; istilah “ Spin Lattice-Relaxation”, dimana besar T1
tergantung pada konsentrasi dan kepadatan proton. Jika T1 makin lama maka
diperoleh signal yang makin besar.Ketika pemberian gelombang radio 900 (memutar
proton proton ke arah transversal) diperoleh signal dari arah transversal maksimum.
Namun ketika RF 900 dihentikan magnetisasi transversal yang memancarkan signal
awal maksimum berangsur angsur mulai berkurang (Decay). Awalnya presesi proton
proton berada dalam laju dan arah yang sama ( fase yang sama) namun secara
perlahan satu sama lain keluar dari fase yang satu tersebut (Dephasing ) disebabkan
terjadinya interaksi masing proton dengan proton proton disekitarnya (spin-spin
interaction). Waktu yang diperlukan proton proton dari keadaan magnetisasi
transversal berkurang hingga sekitar 37 % saja merupakan nilai T2 yang sebenarnya.
Kehilangan signal yang diakibatkan oleh medan magnetic lokal yang tidak homogen
tersebut, menutupi nolai T2 yang sebenarnya.

Tabel 2.2 Densitas hidrogen pada beberapa jaringan (Bushberg, 2002)

Jaringan Densitas Jaringan

Blood 93
Bone 12
Cerebrospinal fluid
96
Fat 88
Gray matter 84
Liver 81
Lung 5
Muscle 82
White matter 70

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

2.8 Cara kerja MRI


Pertama, putaran nukleus atom molekul otot diselarikan dengan menggunakan
medan magnet yang berkekuatan tinggi, Kemudian, denyutan/pulsa frekuensi radio
dikenakan pada tingkat menegak kepada garis medan magnet agar sebagian nuklei
hidrogen bertukar arah, Selepas itu, frekuensi radio akan dimatikan menyebabkan
nuklei berganti pada konfigurasi awal. Ketika ini terjadi, tenaga frekuensi radio
dibebaskan yang dapat ditemukan oleh gegelung yang mengelilingi pasien, Sinyal ini
dicatat dan data yang dihasilkan diproses oleh komputer untuk menghasilkan gambar
yang diinginkan.
Komponen-komponen seperti pada gambar dibawah ini yaitu :
1. System magnet.
2. Alat pemancar radio frekuensi tinggi.
3. Alat penerima radio frekuensi yang tinggi.
4. Computer
5. Tenaga listrik dan system pendingin

Gambar 2.9 Pesawat MRI (Anonim, 1996)

2.9 Parameter kekontrasan pencitraan MRI


Parameter pada magnetic resonance imaging adalah variabel yang dapat
mengakibatkan terjadinya pembedaan kontras.Dan khususnya dalam bidang
kesehatan untuk mendiagnosa suatu kelainan pada jaringan tubuh manusia.
Parameter dalam MRI dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a. waktu pengulangan atau time repetition (TR)
b. waktu gaung atau time encho (TE)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


20

2.9.1 Waktu pengulangan atau repetition


Waktu pengulangan atau time repetition adalah suatu interval waktu antara
pengulangan dua pulsa yang sama. Pemberian TR yang lama dapat mengevaluasi
jaringan dalam irisan yang lebih banyak serta memberikan harga sinyal noise yang
lebih baik, namun menyebabkan waktu yang dibutuhkan lebih lama untuk
memperoleh data.TR yang cepat dapat mempersingkat waktu pengambilan data
namun jumlah irisan jaringan yang dievaluasi menjadi sedikit, dan Signal to
NoiseRatio (SNR) menjadi jelek.Harga TR dan TE untuk pembobotan T1 dan T2
padapulsa spin echo dapat dilihat dalam Tabel dibawah ini.

Tabel 2.3 Spin echo sequence untuk parameter TR dan TE

Parameter Waktu (Milidetik) Pembobotan


TR Cepat <1000 T1
TE Cepat <30 T1
TR Lama >1000 Kerapatan Proton
TE Cepat <30 Kerapatan Proton
TR Lama >1000 T2
TE Lama >60 T2

Harga TR dianggap cepat jika kurang dari 1000 milidetik, sedangkan TR


dianggap lama jika lebih dari 1000 milidetik. TR berkaitan dengan waktu relaksasi
longitudinal. Dari perbedaan nilai dari TR akan memberikan kekontrasan citra
yang berbeda. Pemilihan TR yang lama memberikan kekontrasan citra yang
kurang baik, karena relaksasi longitudinal kedua jaringan sudah mencapai keadaan
seimbang sempurna. Pemberian TR yang cepat memberikan kekontrasan citra
lebih baik, karena relaksasi longitudinal yang lebih lama belum sempurna kembali
keadaan seimbang sehingga pembedaan intensitas sinyal yang yang diberikan dari
kedua jaringan lebih besar (Pierce, 1995).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

2.9.2 Waktu gaung atau time encho


Waktu gaung atau time encho adalah interval waktu pemberian pulsa RF awal
dengan pulsa RF terakhir sampai deteksinya sinyal magnetik resonance MR)
maksimum. Sinyal MR maksimum tersebut merupakan sinyal spin encho. Pemilihan
lama dan cepatnya TE akan mempengaruhi intensitas sinyal yang didapat. TE
tersebut cepat jika waktu gaungnya kurang dari 30 milidetik (Bushberg, 2002).
Intensitas sinyal encho ditentukan oleh kurva T2, Intensitas sinyal besar jika
memakai TE pendek. Dengan TE yang cepat meminimalkan peluruhan transversal
atau transverse decay dan sinyal yang dihasilkan dapat dipelihara. Pemilihan TE
panjang dapat mengakibatkan peluruhan transversal atau transversedecay menjadi
maksimal dan sinyal yang didapat kecil.

2.10 Pembobotan Pada MRI


Pembobotan pada magnetic resonance imaging adalah suatu pencitraan
dengan menggunakan beberapa parameter yang berhubungan dengan jaringan tubuh
yang akan didiagnosa. Dalam penelitian ini ada dua jenis pembobotan yang akan

dilakukan yaitu pembobotan T1 dan Pembobotan T2.


Pembobotan pada MRI merupakan suatu pencitraan degan menggunakan
beberapa parameter yang berhubungan dengan jaringan tubuh yang akan di
diagnosa, dipengaruhi oleh nilai TR dan TE. Dalam penelitian ini dikaji tentang
pembobotan T2, yang memanfaatkan echo train length (ETL) namun akan
dijelaskan secara ringkas tentang pembobotan T1.
a. Pembobotan T1 atau Spin Latice Relaxation
Pembobotan T1 merupakan pembobotan dengan parameter TR dan TE yang
pendek. Pada pembobotan T1 dengan nilai TR pendek jaringan (lemak) akan
mengalami recovery penuh pada arah longitudinal dan akan tampak gelap atau
hyperintense. Sedangkan pada jaringan yang memiliki nilai TR panjang (CSF)
akan mengalami recovery sebagian atau partial, sehingga akan tampak
hypointense, tetapi untuk jaringan yang mempunyai T1 yang cepat maka
padapembobotan T1 akan kelihatan terang atau hypointens. Tabel dibawah ini
menunjukkan karateristik jaringan dari struktur anatomi (Pierce, 1995).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22

Tabel 2.4 Hubungan karateristik jaringan dengan pembobotan T1 dan T2


Jaringan Pembobotan T1 Pembobotan T2
CSF Gelap Terang
Gray matter Abu – abu Abu-abu
White matter Terang Terang
Lemak atau fat Terang Abu-abu
Corticoal bone Gelap Gelap
Air Gelap Gelap
Darah atau blood Gelap Gelap
Edema Abu – abu gelap Terang
Protein Terang Terang

Dengan parameter TE yang pendek maka waktu untuk meluruh atau relaksasi
spin-spin sangat singkat sehingga peluruhan sinyal menjadi minimal.Parameter TE
yang pendek untuk meminimalkan tranversal decay, T2 selama akuisisi sinyal.
Biasanya pembobotan T1 diinterpretasikan untuk menunjukkan struktur anatomi
(Bushberg, 2002).
b. Pembobotan T2 atauSpin-spin Relaxation
Pembobotan T2 adalah pembobotan dengan mengunakan parameter TR yang
lama dan TE yang lama.Pembobotan T2 baik dalam menciptakan sinyal yang terang
pada pemeriksaan kelainan patologi. Air akan tampak lebih cerah dari lemak
(Robbie, 2006). Nilai TR lebih dari 1000 msec dan TE lebih dari 30 msec. Dengan
TR yang panjang mengakibatkan terjadinya proses magnetisasi ke equilibrium untuk
semua jenis jaringan (fat, CSF) sudah mencapai magnetisasi maksimum, saat itu juga
perbedaan intensitas sinyal relative untuk semua jaringan.
Dengan nilai TE yang panjang maka jaringan yang mempunyai nilai TR pendek
yaitu lemak pada pembobotan T2 akan tampak gelap atau hyperintens, karena waktu
untuk meluruh atau relaksasi spin-spin pendek sehingga peluruhan sinyal menjadi
lebih banyak. Peluruhan sinyal yang banyak mengakibatkan intensitas sinyal relatif
yang dihasilkan menjadi sedikit, menjadi hyperintens. Artinya peluruhan sinyal yang
sedikit akan meminimalkan proses.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


23

Pembobotan T2 penting dalam memperlihatkan citra dari vertebra lumbal


terutama irisan sagital dibandingkan teknik SE konvensional. Pembobotan T2 FSE
menggunakan echo train yang panjang atau ETL. Semakin banyak ETL, pembobotan
T2 akan semakin tinggi. Hal ini akan menyebabkan kekaburan citra atau blurring,
memungkinkan pengurangan nilai signal to noise ratio (SNR) atau perbandingan
antara besarnya amplitudo sinyaldengan amplitude noise, yang berpengaruh terhadap
kontras citra atau contras tonoise ratio (CNR) merupakan salah satu kelemahan FSE
(Woodward dan Freimarck, 2001).

2.11 Relaksasi Spin T1 dan T2


a. Relaksasi T1
Pulsa RF dalam aplikasi pemeriksaan medis mempunyai waktu tertentu,

sehingga setelah pulsa RF dihilangkan menyebabkan magnetisasi longituginal Mz


tidak berada pada kesetimbangan termal yang menyebabkan terjadinya mekanisme
pergerakan spin berelaksasi menuju bidang longitunginal. Pada saat mencapai nilai

magnetisasi dalam kondisi setimbang (Mz = M0 ) terdapat interaksi yaitu interaksi


spin dengan lingkungannya atau lattice yang menyebabkan terjadinya pertambahan
energi sehingga terdapat pertumbuhan magnetisasi dengan bertambahnya waktu t

yang merupakan solusi persamaan Bloch, yang dinyatakan dengan T1 adalah waktu
relaksasi longituginal yang diukur 63% dari waktu pertumbuhan magnetisasi disebut
spin-kisi atau spin lattice relaxation (Bushberg, 2002). Waktu relaksasi T1 ini terjadi
dimana energi yang dibebaskan ke lingkungan sekitar akan menyebabkan
magnetisasi bidang longitudinal akan semakin lama semakin menguat (recovery)
dengan waktu recovery yang konstan dan berupa proses eksponensial.
Menurut Hendee, (2002) bahwa relaksasi sinyal magnetik resonansi (MR)
merupakan karakteristik yang bersifat ekponensial sama dengan peluruhan radioaktif,
penyerapan energi dan pertumbuhan sel dalam jaringan. Untuk waktu relaksasi
longitunginal dimana sinyal magnetik resonansi (S) berkurang secara ekponensial.

Waktu dari sinyal S0 mengikuti pulsa RF, Nilai S0 dipengaruhi oleh faktor
banyaknya proton dalam sampel, panjangnya waktu gelombang radio yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


24

diberlakukan bagi sampel, kepekaan coil penerima, dan keseluruhan kepekaan


elektronik.
Pada saat pulsa RF dihentikan (off), akan terjadi proses dimana Net
Magnetisasi Vektor kehilangan energi yang dikenal dengan relaksasi. Ada dua
fenomena yang terjadi pada saat terjadinya relaksasi yaitu jumlah magnetisasi pada
bidang longitudinal secara perlahan semakin meningkat yang dikenal dengan
peristiwa recovery dan pada saat yang sama jumlah magnetisasi pada bidang
transversal akan meluruh yang dikenal dengan decay.

Gambar 2.10 Magnetisasi longitudinal (pierce, 1995)


Sebagai contoh adalah lemak dan cairan cerebro spinal. Lemak memiliki
waktu relaksasi T1 yang pendek sekitar 180 ms sedangkan untuk cairan
cerebrospinal memiliki waktu relaksasi T1 yang panjang berkisar 2000 ms.
Sehinggauntuk mencapai waktu relaksasi T1 (63%), lemak akan lebih cepat
dibanding dengan cairan cerebrospinal. Dengan demikian untuk pembobotan T1,
jaringan dengan waktu relaksasi T1 pendek (lemak) akan tampak terang dan
jaringan dengan waktu relaksasi T1 panjang (cairan cerebrospinal) akan tampak
gelap.
b. Relaksasi T2
0
Penerapan pada pulsa RF 90 pada spin sampel menyebabkan terdapat
perubahan arah magnetisasi longitugunal menjadi sumbu transversal yang

menjadikan nilai magnetisasi longituginal Mz = 0 dan magnetisasi transversal M xy


dalam kondisi maksimum. Setelah berada pada bidang transversal spin akan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

dirotasikan dibidang tersebut sehingga terdapat laju perubahan magnetisasi terhadap


waktu yang sesuai dengan persamaan gyroskopik.
Pada saat spin berpresisi pada bidang transversal terdapat interaksi yaitu
interaksi antar spin yang menyebabkan perubahan magnetisasi tanpa mengubah nilai
energi interaksi awal, sehingga besar magnetisasi transversal mengecil secara
eksponensial dengan bertambahnya waktu t, yang merupakan solusi persamaan gerak

tersebut (persamaan Bloch) didiskripsikan dengan T2 adalah waktu transversal yang


besarnya diukur setelah meluruh 37% dari amplitudemaksimumnya disebut juga spin
– spin (Gambar 2.6). T2 decay dihasilkan oleh Spin Relaxation yaitu pertukaran
energi antar nuklei yang satu dengan nukleiyang lain disekitarnya.
Waktu relaksasi T2 akan lebih pendek dari pada waktu relaksasi T1. Secara
umum pada pembobotan T2, jaringan dengan waktu relaksasi T2 panjang (seperti
cairan cerebro spinal sekitar 300 ms akan tampak terang dan jaringan dengan waktu
relaksasi T2 pendek (seperti lemak sekitar 90 ms) akan tampak gelap. Kecepatan
meluruhnya komponen magnetisasi tranversal tergantung dari konstanta waktu
relaksasi transversal atau waktu relaksasi spin-spin, yang merupakan interaksi antara
proton dengan proton. Berdasarkanmekanisme relaksasi baik transversal maupun
longitudinal di atas, untuk berbagai jaringan dalam tubuh mempunyai prilaku dan
waktu relaksasi yang berbeda – beda, yang diterangkan pada Tabel 2.5

Tabel 2.5 Waktu relaksasi T1 dan T2 pada jaringan tubuh (Bushberg, 2002)

Tissue T1 (msec) T2
(msec)
Muscle 870 47
Liver 490 43
Kidney 650 58
Grey Matter 920 100
White Matter 790 92
Lung 830 80
CSF 2,400 160

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

2.12 Metode Pencitraan


Metode pencitraan adalah metode pembentukan citra yang dipergunakan
dalam pemeriksaan MRI atau magnetic resonance imaging. Ada 2 metode yang
dipergunakan dalam penelititian ini, yaitu:
a. Metode spin encho
Metode spin echo adalah metode yang paling sederhana dan waktu pencitraan
yang relatif cepat dan menghasilkan bentuk citra yang baik sehingga metode ini
sering dipergunakan. Rangkaian atau sequence pulsa RF diawali dengan pemberian
0 0
pulsa 90 , lalu dalam interval waktu TE/2 diikuti dengan pemberian pulsa 180 ,
dalam pemberian pulsa RF ini akan mempengaruhi posisi proton terhadap komponen
magnetisasi transversal. Pulsa ini menyebabkan berputarnya semua proton pada
0
bidang transversal menjadi 180 , dan proses ini menyebabkan semua proton berputar
bidang transversal negatif. Akibatnya letak posisi proton lambat menjadi depan
presisi proton cepat. Kemudian pada selang waktu TE/2 berikutnya seluruh proton
sudah berpresisi pada kecepatan yang sama, sehingga fasenya sama untuk semua
proton. Kembalinya semua proton kepada satu fase mengakibatkan magnetisasi
transversal diperoleh kembali dan menghasilkan sinyal magnetic resonance yang
maksimal, sinyal inilah yang disebut spin echo atau sinyal echo. Sejalan dengan
proses perubahan fase, proton-proton mulai kembali yang diikuti dengan peluruhan
induksi bebas (bushberg, 2001)
b. Metode inversion recovery
Metode ini diawali dengan pemberian pulsa 1800 , yang menimbulkan vekor
magnetisasi kearah sumbu Z negatip. Dengan pertambahan waktu maka proton
akan kembali keadaan kesetimbangan, maka pada momen tertentu magnetisasi
total atau net magnetitation akan berharga nol, karena besarnya magnetisasi pada
arah sumbu Z negatip. Pada keadaan tersebut tidak akan ada sinyal yang akan
terdeteksi atau intensitas sinyal yang akan dihasilkan adalah nol. Interval waktu
tertentu setelah pulsa 1800 diberikan waktu pembalikan, dilanjutkan dengan
pemberian pulsa 900 yang menyebabkan magnetisasi longitudinal kebidang
transversal maka sinyal akan teramati dan terjadilah peluruhan induksi bebas.
Kemudian diikuti dengan pemberian pulsa 1800 untuk mendapatkan sinyal echo.
Inversion recoverysama metode spin echo dengan penambahan pulsa 1800 diawal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

rangkaian pulsa RF. Besarnya sinyal echo yang dihasilkan tergantung pada
lamanya waktu pembalikan atau time inversion dan waktu tunda atau delay time,
yaitu waktu dimana deretan pulsa pemulihan kembali diatas diulang kembali.
Disamping metode yang dipergunakan diatas ada beberapa metode yang
mengandung teknik pemberian pulsa RF yaitu: Variable-echo, Fast screen echo,
Gradien echo.

2.13 Parameter Resolusi Citra


Parameter resolusi citra terdiri dari:
a. Jenis jaringan
Jenis jaringan dibagi menjadi dua keadaan yaitu cairan atau liquid dan padat
atau solid. Jaringan padat memiliki molekul-molekul relatif tetap hal ini berarti
medan magnetnya tetap dan variasi lokal medan magnetik disekitar proton cukup
berarti, dan jaringan cair medan magnet lokal dari molekul-molekul terdekatnya
berubah dengan cepat, sebagai akibat dari gerakan molekulnya. Didalam jaringan
padat tumbukan tidak sering terjadi karena molekul-molekul relatif tetap, lain
halnya dengan jaringan cair tumbukan sering terjadi karena molekul-molekulnya
bebas bergerak dan mengakibatkan transfer energy lebih banyak sehingga proton
lebih cepat mensejajarkan diri kembali kemedan magnet (Bushberg, 2002). Proton
mensejajarkan diri secara pararel dan anti-aararel terhadap medan yang diberikan.
Proses pensejajaran tersebut terjadi karena interaksi thermal molekul-molekul,
dimana molekul-molekul dalam jaringan bertumbukan dan berinteraksi satu sama
lain sehingga terjadi transfer energi.
Waktu relaksasi transversal untuk jaringan padat lebih cepat dibanding dengan
jaringan cair.Karena struktur molekul relatif tetap sehingga medan-medan
magnetiknya tetap. Ketidakhomogenan lokal tersebut cukup berarti sehingga
menyebabkan efek antar medan magnetic cukup berpengaruh, terutama jika
arahnya saling berlawanan sehingga interaksi antar spin-spin cukup memberikan

pengaruh pada medan magnet total yang memberikan harga T2 cepat. Pada
jaringan cair molekulnya bebas dan bergerak cepat, sehingga magnetisasi lokal
totalnya sangat cepat menjadi nol, hal ini menyebabkan interaksi spin-spin tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


28

cukup berarti. Akibatnya uuntuk jaringan cair medan magnet internalnya lemah

sehingga T2 kuranng berpengaruh pada perbahan fase, Hal ini mengakibatkan

kostanta waktu T2 jaringan cair panjang.


b. Resolusi spasial
Resolusi spasial adalah faktor yang sangat berhubungan dengan kualitas
citra.Resolusi spasial dapat diperoleh dengan menentukan jumlah pixel
(pictureelemen) atau satuan pembentuk gambar yang ditampilkan dalam FOV (Field
Of View) dan resolusi spasial berhubungan sekali dengan SNR (Signal to Noise
Ratio) (bushberg, 2002). Penggunaan pixel-pixel yang mewakili besarnya frekuensi
encoding mengontrol waktu scan dimana arah frekuensi encoding terdapat pada
window (band width) yang membaca data dari jaringan yang dipilih. Dimana
banyaknya data yang diambil menentukan resolusi vertikal.Pada dasarnya resolusi
sebanding dengan pemilihan ukuran jaringan dalam arah frekuensi encoding. Dengan
menggunakan pixel-pixel kecil Maka akan mempertinggi resolusi spasial tetapi
dalam hal ini harga SNR (signal to Noise Ratio) berkurang., sebab besarnya sinyal
yang sama harus didistribusikan keseluruh pixel yang jumlahnya banyak.

2.14 Rekonstruksi Pencitraan MRI


Melalui antena frekuensi radio khususnya pada saat proton berada diantara
selang relaksasi, bisa didapatkan sinyal RF yang dipancarkan dari tubuh pasien yang
disebut peluruhan induksi bebas.FID merupakan intensitas sinyal MRI digambarkan
sebagai fungsi waktu. Dan dengan melakukan transformasi Fourier terhadap FID
menghasilkan spectrum MR. Spektrum MR tersebut merupakan gambar intensitas
sinyal terhadap frekuensi dan puncak dari spectrum PR menyatakan suatu
karateristik jaringan yang diamati. Jika pada magnet utama tersebut diberikan media
magnet gradien yang bedanya bisa diatur (bidang X, Y dan Z) yaitu pada potongan
tubuh sagital,coronal dan axial, maka didapatkan spektrum MR yang sesuai
(Bushberg, 2002)
Dengan medan magnet gradien yang kuat medan magnetnya jauh lebih kuat
dari pada medan magnet utama, akan terjadi pembedaan kuat medan magnet diluar
potongan tubuh yang dipilih, sehingga ada bagian yang lebih besar, maupun yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

lebih kecil dari frekuensi larmor. Dengan bantuan seperangkat komputer pesawat
MRI yang dibuat atau yang deprogram sesuai dengan kekuatan dari medn magnet
yang dihasilkan oleh superconductor didapatkan suatu pencitraan MRI. Pencitraan
MRI dilakukan melalui suatu metode transformasi Fourier yang dapat
mengkontruksi citra dari gambaran MRI. Melalui berbagai proyeksi kemudian dapat
direkontruksikan kedalam layar monitor, dan akan terbentuk gambar yang
merupakan hasil dari pencitraan resonansi magnetic dan disamping dalam bentuk
gambar di monitor juga dapat dimasukkan kedalam kaset (Bushberg, 2002).

Gambar 2.11 Komposisi dasar pada pesawat MRI

2.15 Parameter yang terdapat pada MRI


Sekuens dalam pemeriksaan MRI tidak terlepas dari parameter-
parameter yang saling mempengaruhi, baik parameter intrinsik maupun parameter
ekstrinsik. Untuk itu sebelum membahas mengenai sekuens, penulis akan
menyajikan mengenai sebagian dari parameter-parameter yang ada, antara lain :
a. Parameter Intrinsik
1. T1 (Waktu Relaksasi Longitudinal)
Waktu relaksasi longitudinal ( T1 ) adalah waktu berkurangan energi proton
sampai 63% dari energi pulsa Radio Frekwensi (RF) yang diserap. Pada gambaran
MRI dengan pembobotan T1, jaringan dengan T1 yang pendek pendek akan
tampaknya putih, sedangkan jaringan dengan T1 yang lama akan tampak gelap.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

2. T2 (Waktu Relaksasi Transversal)


Waktu relaksasi Transversal (T2) adalah waktu berkurangnya kuat
magnetisasi yang menyebar di bidang XY sampai 63%. Gambar MRI dengan
pembobotan T2, jaringan dengan T2 yang lama akan tampak putih, sedangkan
jaringan dengan T2 yang pendek akan tampak gelap.

Tabel 2.6 Hubungan T1 dan T2 untuk berbagai jaringan Dengan kuat medan magnet
1 tesla (Bushong, 1996)
No Jaringan/organ T1(ms) T2 (ms)
1 Lemak 180 80
2 Lever 270 50
3 Renal 360 70
4 White Matter (otak) 390 90
5 Limpa 480 80
6 Gray Matter (otak) 520 100
7 Otot 600 40
8 Medula Renalis 680 140
9 Darah 800 180
10 Cerebro Spinal Fluida 2000 300
(CSF)
11 Air 2500 2500

b. Parameter Ekstrinsik
1. TR (Time Repetition / Waktu pengulangan)
Waktu pengulangan adalah interval waktu antara pengulangan dua pulsa
yang sama. Pemberian TR yang panjang dapat mengevaluasi jaringan dalam irisan
yang lebih banyak serta SNR (Signal to Noise Ratio) yang lebih baik, namun
menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh data menjadi lebih
lama.TR yang pendek dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun
jumlah irisan jaringan yang dievaluasi menjadi sedikit dan SNR menjadi rendah.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

Gambar 2.12 Ilustrasi dari Time Reptition/TR (Pierce,1995)

TR dianggap pendek jika kurang dari 500 ms, sedangkan TR dianggap


panjang jika lebih dari 1500 ms. TR berkaitan dengan waktu relaksasi longitudinal.
Dari pulsa waktu TR akan memberikan kekontrasan citra yang berbeda, TR pendek
memberikan kontribusi T1 lebih banyak daripada kontribusi T1 pada TR yang
panjang. TR yang panjang memberikan kekontrasan citra yang kurang baik, karena
relaksasi longitudinal kedua jaringan sudah mencapai keadaan setimbang sempurna.
Pemberian TR yang pendek akan memberikan kekontrasan citra lebih baik, karena
relaksasi longitudinal jaringan CSF yang lebih banyak belum sempurna kembali ke
keadaan setimbang sehingga perbedaan intensitas sinyal yang diberikan dari kedua
jaringan lebih besar, kontras pada diagnostik berkisar antar 0,0 – 0,6.

2. TE (time Echo / Waktu Gaung)


Waktu gaung adalah interval waktu dari saat terakhir pada RF diberikan
sampai terdeteksinya sinyal MR (Magnetic Resonance) maksimum. Sinyal MR
maksimum tersebut merupakan sinyal spin echo. TE disebut pendek, jika
waktunya kurang dari 30 ms. Pemberian TE dengan panjang waktu sekitar tiga
kali lipat TE pendek disebut TE panjang. Pemilihan panjang dan pendeknya akan
mempengaruhi intesitas sinyal yang didapat.

Gambar 2.13 Ilustrasi dari Time Echo/ TE (Pierce,1995)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


32

Intensitas sinyal besar jika memakai TE pendek, namun akibatnya kekontrasan


citra kurang baik karena tidak dapat membedakan jaringan yang satu dengan
jaringan yang lainnya yang memiliki relaksasi transversal yang berbeda.Pemilihan
TE panjang dapat memberikan kekontrasan citra yang kurang baik, namun
intensitas sinyal yang di dapat kecil.

2.16 Komponen Utama MRI


1. Magnet Utama
Magnet utama di gunakan untuk membangkitkan medan magnet yang mampu
menginduksi jaringan tubuh sehingga menimbulkan magnetisasi. Beberapa jenis
magnet utama, antara lain:
a. Magnet Permanen
Magnet permanen terbuat dari beberapa lapis batang keramik
ferromagnetik dan memiliki kuat medan magnet maksimal 0,3 Tesla. Magnet
ini di rancang dalam bentuk tertutup maupun terbuka (C shape) dengan arah
garis magnetnya adalah antero-posterior.
b. Magnet resistive
Medan magnet dari jenis resistif dibangkitkan dengan memberikan arus
listrik pada kumparan. Kuat medan magnet yang mampu dihasilkan mencapai
0,3 Tesla.
c. Magnet superkonduktor
Magnet ini mampu menghasilkan medan magnet hingga berkekuatan 0,5
Tesla-3.0 Tesla, dan sekarang banyak dipakai untuk kepentingan klinik. Helium
cair digunakan untuk mempertahankan kondisi superkonduktor agar selalu
berada pada temperatur yang diperlukan.
d. Koil gradient
Koil gradien dipakai untuk membangkitkan medan magnet gradient yang
berfungsi untuk menentukan irisan, pengkodean frekuensi dan pengkodean fase.
Terdapat tiga medan yang saling tegak lurus yaitu bidang X, Y dan Z. Peranannya
akan saling bergantian dengan potongan yang dipilih axial, sagital dan coronal. Ini
digunakan untuk memvariasikan medan magnet pada pusat yang terdapat 3 medan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


33

yang saling tegak lurus antara ketiganya (X,Y dan Z). Secara koordinat ruang (X, Y
dan Z). Kumparan gradien dibagi 3 yaitu:
a. Kumparan gradien pemilihan irisan (slice)
b. Kumparan gradien pemilihan fase
c. Kumparan gradien pemilihan frekuensi
e. Koil Radio Frekuensi
Koil radiofrekuensi(RF), koil RF terdapat 2 tipe yaitu koil pemancar dan
penerima.
Koil pemancar berfungsi untuk memancarkan gelombang radio pada inti yang
terlokalisir sehingga terjadi eksitasi, sedangkan koil penerima brefungsi untuk
menerima sinyal output dari sistem setelah proses eksitasi terjadi (Bushberg,2002)
Koil RF dirancang untuk sedekat mungkin dengan obyek agar sinyal yang
diterima memiliki amplitudo besar.Beberapa jenis koil RF diantaranya.
a. Koil volume merupakan jenis koil RF yang sensitif terhadap volume tubuh
jaringan dan sudut eksitasi yang sama, sehingga dapat menerima sinyal
secara merata pada area yang tercakupinya. Koil berfungsi sebagai koil
penerima sekaligus pemancar. Jenis koil volume diantaranya koil tubuh,
koil genu dan koil leher.
b. Koil permukaan didesain berbentuk kaku, lentur atau mirip pelana. Koil ini
umumnya berfungsi sebagai koil penerima. Koil vertebra dan beberapa
ekstrimitas termasuk jenis koil ini.
c. Koil Linier adalah koil yang sensitif terhadap perubahan medan magnet
sepanjang garis axis tunggal. Koil permukaan sebagian besar termasuk koil
linier.
d. Koil Kuadrat adalah koil yang sensitif terhadap perubahan axis ganda.Koil
volume sebagian besar termasuk koil kuadrat.
e. Phase Array (PA) Koildibuat untuk mengatasi kekurangan koil permukaan
yang besar cakupan obyeknya sangat terbatas. PA koil umumnya
digunakan pada servikal, thoraco-lumbal atau dapat dirangkaikan dengan
beberapa tipe koil abdomen dan pelvis.
f. Sistem Komputer.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


34

Sistem computer bertugas sebagai pengendali dari sebagian besar peralatan


MRI. Dengan kemampuan piranti lunaknya yang besar computer mampu
melakukan tugas-tugas multi, diantranya adalah operator input, pemilihan
potongan, kontrol system gradient, kontrol sinyal RF. Disamping itu, computer
juga berfungsi untuk mengolah sinyal hingga menjadi citra MRI yang biasa dilihat
melalui layar monitor, disimpan ke dalam piringan magnetik atau bisa langsung
dicetak.

2.17 Fisika Magnetic Resonance Imaging


a. Nukleus Aktif MR (Mitchell,1999)
Nukleus aktif MR yaitu inti-inti atom dalam tubuh manusia yang memiliki
nomor massa ganjil, baik jumlah proton maupun neutronnya yang ganjil. Beberapa
nucleus aktif MR yaitu hidrogen (1 proton dan tanpa neutron), Carbon-13, Phosfor-
31, sodium-23, oksigen-17, nitrogen-15.Hidrogen adalah nucleus aktif MR yang
banyak digunakan dalam MRI karena hydrogen dalam tubuh sangat banyak dan
protonnya mempunyai moment magnetik yang sangat besar.Dalam kondisi normal
moment magnetic inti hidrogen arahnya random. Namun apabila ditempatkan dalam
suatu medan magnet yang kuat, momen magnetic inti-inti atom akan menyesuaikan
arah dengan medan magnet statis. Sebagian besar inti hidrogen akan parallel dengan
medan magnet statis. Inti atom hidrogen yang mempunyai energi rendah akan
parallel terhadap medan magnet statis dan inti–inti atom hidrogen yang tinggi akan
anti parallel dengan medan magnet Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuain
inti-inti atom hidrogen terhadap medan magnet statis adalah kuat lemahnya medan
magnet statis dan energi thermal inti atom, yakni bila energi thermal lebih lemah
tidak cukup kuat untuk berlawanan dengan medan magnet statis (Bo), dan bila energi
thermal tinggi akan cukup untuk anti parallel.
b. Resonansi
Resonansi adalah fenomena yang terjadi apabila sebuah obyek diberikan pulsa
yang mempunyai frekuensi sesuai dengan frekuensi Larmor. Apabila tubuh pasien
diletakkan dalam medan magnet eksternal yang sangat kuat, maka inti-inti atomnya
akan berada pada arah yang searah atau berlawanan dengan medan magnet luar dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


35

inti-inti itu akan mengalami perpindahan dari suatu energi ke tingkat energi yang
lain. Proses perpindahan energi ini seringkali merubah arah dari NMV, akibatnya
vektor dapat berubah arah dari arah longitudinal atau parallel medan magnet luar, ke
arah yang lain. Peristiwa ini terjadi apabila inti atom menyerap energi untuk
berpindah energi yang lebih tinggi atau melepaskan energi untuk berpindah ke
tingkat yang lebih rendah. Energi untuk terjadinya proses ini di dapat dari energi
pulsa radiofrekuensi. Pulsa radiofrekuensi ini harus mempunyai frekuensi tertentu
untuk dapat berperan dalam proses transisi, dan harus disesuaikan dengan kekuatan
medan magbnet eksternal. Untuk magnet dengan kekuatan 1 Tesla (10.000 gauss),
frekuensi RF yang diperlukan adalah 42,6 Mhz, sedangkan untuk 1,5 Tesla
diperlukan 63,9 Mhz
c. Presesi
Tiap-tiap inti hidrogen membentuk NMV spin pada sumbu atau porosnya.
Pengaruh dari Bo akan menghasilkan spin sekunder atau ”gerakan” NMV
mengelilingi Bo. Spin sekunder ini disebut precession, dan menyebabkan magnetik
moment bergerak secara circular mengelilingi Bo. Pergerakan itu disebut
”precessional path” dan kecepatan gerakan NMV mengelilingi Bo disebut ”frekuensi
path” Satuan frekuensinya MHz, dimana 1 Hz= 1 putaran per detik.

Gambar 2.15 Presesi

d. MR Signal
MR Signal Adalah sebagai akibat resonansi NMV mengalami inphase pada
bidang transversal. Hukum Farady menyatakan jika receiver koil ditempatkan pada
area medan magnet yang bergerak misalnya NMV yang mengalami presesi pada
bidang transversal tadi akan dihasilkan voltage dalam receiver koil. Oleh karena itu
NMV yang bergerak menghasilkan medan magnet yang berfluktuasi dalam koil. Saat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


36

NMV berpresesi sesuai frekuensi Larmor pada bidang transversal, maka akan terjadi
voltage. Voltage ini merupakan MR signal. Frekuensi dari signal adalah sama dengan
frekuensi Larmor, besarnya kecilnya sinyal tergantung pada banyaknya magnetisasi
dalam bidang transversal. Bila masih NMV, akan menimbulkan sinyal yang kuat dan
tampak terang pada gambar, bila NMV lemah akan sedikit menimbulkan sinyal dan
akan tampak gelap pada gambar.
e. Sinyal FID (Free Induction Decay)
Pada saat mengalami relaksasi, NMV akan mengeluarkan energi dalam bentuk
sinyal. Pemberian pulsa 90o menghasilkan sinyal yang dikenal dengan peluruhan
Induksi Bebas (Free Induction Decay = FID), tetapi sinyal ini sulit dicatat. Untuk
mendapatkan sinyal echo yang memiliki energi besar dibutuhkan lagi pulsa 180 o.
Sinyal echo yang akan ditangkap koil sebagai data awal proses pembentukan citra.
Pembentukan citra ini ketika energi RF diberikan pada pasien menyebabkan
obyek akan tereksitasi dan sinyal terakusisi dalam daerah yang terlokalisasi menjadi
tiga dimensi. Metode yang digunakan tersebut dikenal dengan metode Transformasi
Fourier 2 dimensi. Masing-masing sinyal yang didapatkan oleh masing-masing
elemen voxel akan terukur dalam peralatan MRI menjadi suatu nilai Signal to Noise
Ratio (SNR) yaitu perbandingan yang diperoleh masing-masing elemen voxel
terhadap noise. Dan SNR ini yang akan menentukan citra yang diperoleh. SNR ini
yang akan menggambarkan besar intensitas signal yang didapat pada elemen voxel,
maka SNR akan bergantung pada langkah pengkodean fase dan dapat dijumlahkan
serta diratakan. Besarnya matrik menentukan jumlah pixel atau satuan pembentuk
citra.Ukuran matrik bertambah besar maka jumlah pixel bertambah banyak pula,
tetapi ukuran pixel bertambah kecil.Jika ukuran matrik betambah besar maka resolusi
spatial meningkat bertambah baik), karena ukuran pixelnya menjadi lebih kecil.
Namun hal tersebut akan mengurangi banyaknya sinyal yang diterima oleh setiap
pixel sehingga memperoleh perbandingan SNR yang sangat baik (Scwartz, 1995)
f. Relaksasi
Selama relaksasi NMV membuang seluruh energinya yang diserap dan kembali
pada Bo. Pada saat yang sama, tetapi tidak tergantung moment magnetik NMV
kehilangan magnetisasi transversal yang dikarenakan dephasing. Relaksasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


37

menghasilkan recoveri magnetisasi longitudinal dan decay dari magnetisasi


transversal.
1. Recoveri dari magnetisasi longitudinal disebabkan oleh proses yang
dinamakan T1 recoveri
2. Decay dari magnetisasi transverse disebabkan oleh proses yang dinamakan
T2 decay
g. T1 Recoveri
Disebabkan oleh inti-inti atom yang memberikan energinya pada lingkungan
sekitarnya atau lattice, dan disebut spin lattice relaksasi. Energi yang dibebaskan
pada sekeliling lattice menyebabkan inti-inti atom untuk recoveri ke magnetisasi
longitudinal. Rate recoveri adalah proses eksponensial dengan waktu yang konstan
yang disebut T1. T1 adalah waktu pada saat 63% magnetisasi longitudinal untuk
recoveri.
h. T2 Decay
Disebabkan oleh pertukaran energi inti atom dengan atom yang lain.
Pertukaran energi ini disebabkan oleh medan magnet dari tiap-tiap inti atom
berinteraksi dengan inti atom lain. Seringkali di namakan spin-spin relaksasi dan
menghasilkan decay atau hilangnya magnetisasi transverse. Rate decay juga
merupakan proses eksponensial, sehingga waktu relaksasi T2 dari jaringan soft tissue
konstan. T2 adalah waktu pada saat 63% magnetisasi transverse menghilang.

2.18 Kualitas Citra MRI


a. Signal To Noise Ratio (SNR)
SNR adalah perbandingan antara besarnya signal amplitudo dengan besarnya
noise dalam gambar MRI. Noise nilainya konstan untuk setiap pasien dan tergantung
pada kondisi pasien, area pemeriksaan dan sistem komponen MRI.semakin besar
signal maka akan semakin meningkatkan SNR dan sebaliknya menurunkan sinyal
akan menurunkan SNR. SNR dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu densitas proton
dari daerah yang diperiksa, voxel volume, TR, TE, flip angel, NEX, receive
bandwidth dan koil. (Mitchell, 1999)
1. Densitas Proton.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


38

Merupakan jumlah proton pada area pemeriksaan yang menentukan


amplitude sinyal yang diterima. Daerah dengan densitas proton yang rendah
menghasilkan signal yang rendah sehingga SNR yang dihasilkan juga rendah.
Sebaliknya daerah dengan desitas proton yang tinggi akan menghasilkan proton yang
tinggi sehingga SNR yang dihasilkan juga tinggi.
2. Voxel volume
Voxel volume menandakan volume dalam pasien dan ditentukan oleh pixel
area dan ketebalan irisan (slice thickness).Pixel area ditentukan oleh ukuran Field of
View (FOV) dan jumlah pixel dalam FOV atau matrik.Voxel yang besar mempunyai
inti-inti atom yang lebih banyak daripada voxel yang kecil, sehingga voxel yang
besar mempunyai SNR yang lebih tinggi. Melipatgandakan (2kali) slice thickness
akan menduakalikan SNR dan menduakalikan FOV akan mengempatkalikan SNR.
3. TR, TE, Flip angel
a. Time Repetition (TR)
TR adalah waktu yang diperlukan untuk aplikasi satu pulsa radiofrekuensi
ke pulsa radiofrekuensi berikutnya.Dimana satuannya Millisecond (ms).TR
menentukan jumlah relaksasi terjadinya antara satu radio frekuensi dan aplikasi radio
frekuensi berikutnya, oleh karena itu TR menentukan jumlah dari relaksasi T1
terjadi. Keuntungan TR meningkat yaitu: meningkatnya SNR dan meningkatnya
jumlah slice, sedangkan kerugiannya adalah meningkatnya waktu scanning dan
menurunnya pembobotan T1 Keuntungan TR turun yaitu waktu scanning berkurang
dan meningkatnya pembobotan T1, sedangkan kerugiannya adalah turunnya SNR
dan jumlah slice berkurang.

Gambar 2.16 Time repetition (TR)


b. Time Echo (TE)
TE adalah waktu yang diperlukan dari aplikasi radio frekuensi sampai
puncak induksi sinyal dalam koil, dimana satuannya millisecond (ms). TE

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


39

menentukan berapa banyak magnetisasi transverse untuk decay yang terjadi


sebelum dibaca. Oleh karena itu TE mengontrol jumlah T2 relaksasi yang
terjadi.

Gambar 2.17 Time echo (TE)

c. Flip angle (FA)


Flip Angel menentukan jumlah magnetisasi transverse. Maksimum
amplitudo dihasilkan dengan flip angle 90o. Flip angle yang lebih rendah akan
menghasilkan SNR yang rendah pula.
4. NEX
NEX (Number of excitation) merupakan nilai yang menunjukkan
pengulangan pencatatan data selama akuisisi dengan amplitudo dan phase encoding
yang sama. NEX mengontrol jumlah data yang disimpan dalam tiap-tiap lajur K-
space. Menduakalikan NEX maka menduakalikan jumlah data yang disimpan dalam
lajur K-space.Data berisi signal dan noise. Noise adalah random dan dalam posisi
yang berbeda tiap-tiap waktu data yang disimpan. Dan signal tidak random, selalu
terjadi dalam tempat yang sama ketika data dikumpulkan. Menambah NEX sebesar 2
kali, Meningkatkan NEX, bukan cara terbaik untuk meningkatkan SNR. Keuntungan
NEX meningkat yaitu: meningkatnya SNR dan rata-rata signal lebih banyak dan
mengurangi motion artefak, sedangkan kerugiannya adalah meningkatnya waktu
scanning.
5. Receive bandwidth
Receive bandwidth adalah rentang frekuensi yang terjadi pada sampling
data pada obyek yang di scan. Semakin kecil bandwidth maka noise akan
semakin kecil tetapi akan berpengaruh pada TE minimal yang dipilih.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


40

6. Koil
Pada prinsipnya semakin dekat koil dengan organ maka SNR yang dihasilkan
semakin tinggi.Type koil yang digunakan menentukan jumlah sinyal yang diterima
juga SNR.Umumnya ukuran koil juga menentukan SNR. Koil yang besar
memungkinkan untuk coverisasi area pemeriksaan yang lebih baik, tetapi akan
menghasilkan SNR yang rendah dikarenakan artefact yang muncul akan lebih
banyak. Koil yang kecil akan menghasilkan SNR yang besar tetapi ukuran coverisasi
area pemeriksaan sempit.
Contras To Noise Ratio (CNR) Adalah perbedaan SNR antara 2 organ yang
saling berdekatan. CNR yang baik dapat menunjukan perbedaan daerah yang
patologis dengan daerah yang sehat. Dalam hal ini, CNR dapat ditingkatkan dengan
cara: Menggunakan kontras media, Menggunakan pembobotan gambar T2, Memilih
magnetization transverse, Menghilangkan gambaran jaringan normal dengan spectra
presaturation.
Spatial Resolution Adalah kemampuan untuk membedaan antara dua titik
secara terpisah dan jelas.Spatial resolution menentukan resolusi gambar dan
dikontrol oleh voxel. Semakin kecil ukuran voxel maka resolusi akan semakin baik,
karena struktur-struktur yang kecil dapat dibedakan. Sedangkan voxel yang besar
akan menghasilkan resolusi yang rendah dan struktur yang kecil tidak dapat
dibedakan. Hal ini dikarenakan intensitas sinyal dirata-rata bersama sehingga partial
volume terjadi. Spatial resolution dapat ditingkatan dengan : Irisan yang tipis, Matrik
yang halus atau kecil, FOV kecil, Menggunakan rectangular FOV bila
memungkinkan.
Scan Time adalah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan akuisisi data.
Scan time berpengaruh terhadap kualitas gambar, karena dengan waktu scanning
yang lama akan menyebabkan pasien bergerak dan kualitas gambaran akan turun.
Beberapa hal yang berpengaruh terhadap scan time adalah TR, jumlah phase enchode
dan jumlah akusisi (NEX). Rumusnya: Waktu scanning Spin Echo = TR x Jumlah
phase enchode x NEX. Dimana, TR Adalah waktu dari masing-masing repetition
(pengulangan) pulsa 90o-90o, Jumlah Phase Enchod adalah jumlah dari fase
digunakan, yang menentukan jumlah dari lajur K-space yang terisi pada saat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


41

scanning. NEX adalah nilai yang menunjukkan pengulangan pencatatan data selama
akuisisi.
Optimisasi mengurangi waktu scan yaitu:
1. Menurunkan nilai TR, maka: Pembobotan T1 meningkat, SNR turun, Jumlah
slice berkurang.
2. Menurunkan nilai phase enchode, menyebabkan spatial resolusi rendah,
sedangkan nilai SNR meningka
3. Menurunkan nilai NEX, berpengaruh pada SNR dan artefak semakin
meningkat
4. Menurunkan jumlah slice, maka SNR turun.

2.19 Pembentukkan Citra


Citra MRI dibentuk melalui proses pengolahan sinyal yang keluar dari obyek.
Sinyal baru bisa diukur apabila arah vektornya diputar dari sumbu Z (Mz) menuju xy
(Mxy). Pemutaran arah vektor magnet jaringan dan pengambilan sinyalnya
dijelaskan melalui serangkaian proses berikut :
1. Pulsa RF (Radio Frequency)
Pulsa RF merupakan gelombang elektromagnetik yang memiliki frekunsi
antara 20 – 120 MHz. Apabila spin diberikan oleh sejumlah pulsa yang
mempunyai frekuensi sama dengan frekuensi larmor, maka terjadilah
resonansi. Spin akan menyerap energi pulsa dan mengakibatkan sudut presesi
semakin besar. Peristiwa tersebut dikenal dengan Nuclear Magnetic
Resonance (NMR). Ketika energi RF diterapkan pada pasien menyebabkan
objek akan tereksitasi dan sinyal terdeteksi dalam daerah terlokalisasi tiga
dimensi. Metode yang digunakan tersebut dikenal dengan metode transformasi
fourier dua dimensi. Disini bidang pencitraan atau daerah yang terseleksi akan
tereksitasi oleh pulse RF ketika penerapan medan gradien secara sumbu Z.
1. Waktu Relaksasi Longitudinal (T1)
Relaksasi longitudinal disebut juga dengan relaksasi spin-kisi,
sedangkan nama lain relaksasi transversal yaitu relaksasi spin-
spin. Waktu yang dibutuhkan NMV untuk kembalinya 63 %

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


42

magnetisasi longitudinal disebut waktu relaksasi longitudinal


atau T1.
2. Waktu Relaksasi Transversal (T2)
Waktu yang dibutuhkan komponen magnetisasi transversal
(Mxy) untuk meluruh hingga 37 % dari nilai awalnya dinamakan
waktu relaksasi transversal atau T2.nilai T1 dan T2 adalah konstan
pada kuat medan magnet tertentu.
3. Sinyal FI
Pada saat mengalami relaksasi, NMV akan mengeluarkan energi
dalam bentuk sinyal. Eksposi pulsa 90% RF menghasilkan sinyal
yang dikenal dengan nama peluruhan Induksi Bebas (Free
Induction Decay = FID), tetapi sinyal ini sulit dicatat.
Untukmendapatkan sinyal echo yang memiliki energi besar
dibutuhkan lahi pulsa 180 ˚. Sinyal echo yang akan ditangkap koil
sebagai data awal proses pembentukan citra.
Masing-masing sinyal yang didapatkan oleh masing-masing elemen voxel
akan terukur dalam peralatan MRI menjadi suatu nilai Signal To Noise Ratio
(SNR), yaitu perbandingan yang diperoleh masing-masing elemen voxel terhadap
noise. Dan SNR ini yang akan menentukan citra yang diperoleh. SNR ini yang
akan menggambarkan besar intensitas signal yang di dapat pada elemen voxel,
maka NSR akan bergantung pada langkah pengkodean fase dan dapat dijumlahkan
serta diratakan.
Besarnya matriks menentukan jumlah pixel atau satuan pembentuk
citra.Ukuran matriks bertambah besar maka jumlah-jumlah pixel bertambah
banyak juga, tetapi ukuran pixel bertambah kecil.Jika ukuran matriks bertambah
besar maka resolusi spasial meningkat (bertambah baik), karena ukuran pixelnya
menjadi lebih kecil. Namun hal itu akan mengurangi banyaknya sinyal yang
diterima oleh setiap pixel sehingga memperoleh perbandingan SNR yang sangat
baik (Bushong, 1996)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


43

2.20 Dasar Fisika MRI


a. MR Active Nuchlei
Inti yang paling banyak mendominasi jaringan biologi adalah atom hydrogen
(1proton dan tanpa neutron) serta atom lain secara teoritik juga dapat terjadi
fenomene resonansi antara lain Carbon-13, Natrium-23 dan pospor -31. Atom
hidrogen tidak hanya berlimpah dalam jaringan biologi tetapi juga mempunyai
momen dipol magnetik yang kuat sehingga menghasilkan konsentrasi yang besar dan
kekuatan yang kuat per inti. Hal ini menyebabkan sinyal hydrogen yang dihasilkan
1000X lebih besar daripada lainnya, sehingga atom inilah yang digunakan sebagai
sumber sinyal dalam pencitraan MRI. Proton dan neutron adalah komponen
penyusun semua inti atom yang ada di alam. Pergerakkan Spinning (pergerakan
presesi pada sumbu) muatannya adalah seperti bumi, sehingga mempunyai kutub
utara dankutub selatan yang juga akan menghasilkan medan magnet eksternal.
Pergerakkan spinning ini yang menghasilkan momen dipol magnetik disebut pula
dengan Spin (Scwartz, 1995)
b. Resonansi
Ketika terdapat lebih dari satu proton dan neutron akan terdapat kemungkinan
momen magnetiknya yang saling berpasangan, sehingga menghilangkan kekuatan
dipole magnetic satu dengan lainnya atau menjadi sangat kecil. Hal ini berarti bila
inti dengan proton genap dan neutron genap akan terdapat momen magnetic yang
bernilai nol, sedangkan untuk inti dengan proton dan neutron ganjil akan
terdapatnilai momen dipol magnetik yang akan membuat fenomena resonansi
magnetik dapat dimungkinkan.

Magnetic field Magnetic field

Spining charged Spining nucleus


Particle with charge

Gambar 2.18 partikel bermuatan yang berputar (spin) b. inti hidrogen yang berputar

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


44

Dalam kondisi normal putaran proton atom hydrogen adalah random,


sehingga orientasinya dalam jaringan tubuh manusia tidak menimbulkan nilai
magnetisasi atau sama dengan nol. Jika putaran proton diletakkan dalam medan
magnet eksternal yang sangat kuat, maka akan dihasilkan suatu orientasi proton yang
disearahkan dengan medan magnet atau berlawanan.

Direction of magnetic field

Direction of spin Direction of magnetic field

Gambar 2.19 Arah momen magnet tergantung pada arah putaran


spin proton (inti hidrogen)

c. Presesi
Kecepatan atau frekuensi presesi proton atom hydrogen tergantung pada kuat
medan magnetic yang diberikan pada jaringan. Semakin kuat medan semakin cepat
presesi proton dan frekuensi presesi yang tergantung pada kuat medan magnetik yang
disebut dengan Frekuensi Larmor.
d. Sinyal
Besar dan proses waktu relaksasi T1 dan T2 sangat berpengaruh pada sinyal
keluaran yang akan ditransformasikan sebagai kontras gambar, kurva T1 akan
menentukkan magnetisasi transversal. Peluruhan waktu T2 (waktu relaksasi T2)
adalah efek yang paling berkontribusi pada gambar citra, sebab pada proses dephase
proton akan dihasilkan suatu induksi sinyal. Adapun pengulangan pulsa sekuen
terjadi sebelum kurva recovery menjadi maksimal, sehingga obyek jaringan dengan
T1 pendek (cepat kembali ke kondisi kesetimbangan) akan mempunyai jumlah
recovery yang banyak dibandingkan dengan jaringan yang mempunyai waktu yang
panjang, sehingga dalam citra MRI akan didapatkan gambar yang hitam pada
pembobotan T1 spin-echo
Setelah pulsa RF 90˚ diberikan pada obyek magnetisasi longitudinal akan
diputar 90˚ ke bidang transversal dan terjadi proses relaksasi T2. Jaringan yang
mempunyai nilai T2 pendek dephase yang terjadi sangat cepat, sehingga intensitas

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


45

sinyal yang dihasilkan sangat besar dan jaringan dengan waktu relaksasi T2 pendek
ini akan kelihatan hitam pada pembobotan nilai T2. proses relaksasi T1 dan T2
adalah suatu kerja yang berlawanan yaitu pada saat proses pertumbuhan kembali
magnetisasi longitudinal diimbangi dengan peluruhan yang sangat cepat hingga pada
kurva relaksasi T2. Dua efek relaksasi T1 dan T2 terjadi ketika sistem diberikan
gelombang radio RF yang merupakan bentuk pulsa sekuen.
Rangkaian pulsa RF dephasing phase echo dalam mendapatkan citra MRI
dilakukan pengulangan untuk 1 studi. Waktu pengulangan antara pulsa sekuen yang
satu dengan yang berikutnya disebut dengan Time Repetition (TR), sedangkan waktu
tengah antara pulsa 90˚ dan sinyal maksimum (echo) disebut denganTime Echo (TE).
Parameter T1 dan T2 sebagai sifat instrinsik jaringan dan TR dan TE sebagai
parameter teknis yang digunakan akan mengontrol derajat kehitaman pada gambar
MRI. Pada T2 Weighting derajat kehitaman gambar akan dikontrol oleh TE dan T2,
sedangkan untuk T1 Weighting derajat kehitaman akan dikontrol oleh TR dan T1
serta proton density Weighting akan tergantung dari densitas proton dalam jaringan
yang menentukan besar kecilnya sinyal. Hal ini berarti variasi T1, T2, TE dan TR
adalah komponen utama yang akan menentukan derajat kehitaman pada masing-
masing jaringan. Secara umum T1 weighting akan menunjukkan struktur anatomi,
T2 weighting menunjukkan struktur patologi.

Gambar 2.20 Repatition Time (Pierce, 1995)

Gambar 2.21 Echo Time (Pierc, 1995)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


46

Urutan pulsa (pulse sequence) adalah urutan pulsa RF yang dipancarkan selama
pemeriksaan MRI, dengan parameter TR, TE, dan T1 serta parameter-parameter lain
yang menyertainya. Beberapa urutan pulsa yang biasa digunakan adalah sebagai
berikut :

1) Spin Echo (SE)


Urutan pulsa Spin Echo terdiri dari 90˚ pulsa excitation yang diikuti 180˚
pulsa rephasing, dan hanya dengan satu langkah Phase encoding per TR.
Pembobotan gambar meliputi T1, T2 dan PD. Spin Echo digunakan hampir
disemua pemeriksaan dengan hasil citra yang sangat baik karena memiliki
nilai SNR yang tinggi. Pembobotan T1 menghasilkan gambaran anatomi,
sedangkan pembobotan T2 menunjukkan patologinya, yang akan tampak
terang jika ada cairan. Tetapi kerugian SE adalah waktu yang relatif panjang.
2) Fast Spin Echo (FSE)
Disamping SE (Spin Echo) ada juga FSE (Fast Spin Echo), yaitu
pencitraan cepat, pada awalnya dikenal dengan RARE (Rapid Acquisition
With Recofussed Echos). FSE ini menggunakan pulsa 90˚ yang diikuti
rangkaian pulsa 180˚ untuk menghasilkan rangkaian echo yang disebut ETL (
Echo Train Length). Setiap echo pada FSE memiliki sejumlah sinyal fase yang
bersesuaian dengan jalur-jalur berbeda pada K-Space (Osborn A.G, 1992).
Pencitraan FSE biasanya digunakan untuk menghasilkan citra dengan
karakteristik T2 weighting dengan TR lebih besar dari 3000 ms. FSE
mempunyai cara yang sangat fantastis untuk memanipulasi teknik SE
konvensional dengan cara mempersingkat waktu scanning. Selain TR dan TE,
ETL adalah parameter utamanya. Nilai ETL menentukan banyaknya phase
encoding setiap TR sehingga lamanya waktu akuisisi dapat berkurang. Secara
umum, kontras gambar dari FSE hampir sama dengan SE sehingga teknik ini
juga banyak digunakan di klinik misalnya sistem saraf pusat, sistem
muskuloskeletal dan pelvis. Efek samping penggunaan urutan pulsa ini adalah
timbulnya artefak pada aliran dan gerakan. Untuk menguranginya diperlukan
teknik flow dan respiratory compensation (Pierce, 1995)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


47

3) Inversion Recovery (IR)


Inversion Recovery (IR) merupakan variasi dari SE, dimana urutan
pulsanya dimulai dengan 180˚ pulsa inversi yang dilanjutkandengan pulsa
90˚ excilation, lalu pulsa 180˚ rephasing. Parameter utamanya adalah TR,
TE dan TI.Kontras gambar yang dihasilkan dari pembobotan Ti tergantung
dari panjang pendeknya TI. Pulsa Inversion 180˚ menghasilkan perbedaan
kontras antara cairan dan jaringan yang lain. Inversion Recovery biasanya
digunakan sebagai alternatif metode spin echo yang secara konvensional
juga untuk membuat gambat dengan pembobotan T1.hasil gambar pada T1
Weighting sangat dipererat, karena pulsasi penginversi 180˚ mencapai
saturasi penuh dan memastikan adanya kontras yang besar antara lemak
dan air. Inversion (IR) secara konvensional digunakan untuk memperoleh
gambar T1 Weighted yang menghasilkan gambaran anatomi. Pulse
penginversi 180˚ menghasilkan perbedaan kontras yang besar antara lemak
dan air karena saturasi penuh dari vektor lemak dan air telah tercapai pada
permulaan setiap reperisi, sehingga sekuens pulse IR menghasilkan T1
Weighted yang lebih berat daripada spin echo konvensional dan sebaiknya
digunakan bila dibutuhkan. Bila IR digunakan untuk menghasilkan gambar
T1 Weighted, TE mengendalikan besar penurunan T2 dan oleh karena itu
biasanya dibuat tetap pendek untuk menimbulkan efek T2. namun
demikian, dapat diperpanjang untuk memberi jaringan yang mempunyai
T2 panjang sehingga sinyal yang dihasilkan terang (Hiperintens) hal ini
disebut penekanan patologi dan menghasilkan gambar yang secara
predominan T2 Weighted, tetapi area yang mengalami proses patologis
tampak terang.
4) Time Inversion (TI)
Time Inversion adalah pengenali kontras yang paling potensial
pada sekuen IR. Besar T1 medium memberikan T1 Weighted, tetapi
karena diperpanjang, gambar menjadi PD weighted image.TR sebaiknya
selalu dibuat cukup panjang untuk memulihkan seluruh NMV sebelum
pulse penginversi diaplikasikan. Bila tidak demikian, vektor individual
dipulihkan pada derajat yang berbeda

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


48

5) Fat Suppresion (Fat Sup)


Fat Suppresion adalah teknik yang dipakai untuk menekan sinyal lemak
sehingga gambaran lemak akan kelihatan hitam (hipontens). Ada dua teknik fat
suppression yang digunakan, yaitu :
a. Sort Tau Inversion Recovery (STIR)
STIR adalah bagian dari teknik inversion recovery, dimana untuk
menekan sinyal lemak memakai nilai TI antara 150-175msec.
urutan pulsanya adalah 180˚ , lalu pulsa 90˚ exitation da 180˚
refocusing.
b. Frequency Selective Excitation (fat saturation = fat sat )
Fat sat menggunakan pulsa 90˚ RF untuk menekan sinyal lemak,
yaitu pada frekuensi presisi vector lemak. Fat sat biasanya
digunakan pada pembobotan T2.
6) Fluid Attenuated In version Recovery (FLAIR)
Sebuah variasi FLAIR adalah teknik FLAIR.Dengan TI yang pendek
untuk menangkap lemak saat titik null pada relaksasi longitudinal, pada
FLAIR diperlukan TI yang panjang untuk menangkap air pada titik null.Hal
ini menghasilkan supresi struktur seperti ventrikel (CSF) dan telah terbukti
membantu mengidentifikasi bahkan lesi demielisasi yang sangat kecil seperti
sklerosis multiple. (Scwartz,1995) FLAIR adalah variasi lain dari sekuens
Inversion Recovery. Pada FLAIR, sinyal CSF dihilangkan dengan memilih TI
yang sesuai dengan waktu pemulihan CSF dari 180˚ kebidang transversal dan
tidak ada magnetisasi longitudinal pada CSF dibalik oleh 90˚ dimasukkan,
vektor CSF dibalik oleh 90˚ menjadi saturasi penuh kembali. Sinyal dari CSF
dihilangkan, dan FLAIR digunakan untuk menekan sinyal CSF yang tinggi
pada gambar T2 Weighted dan densitas proton sehingga patologi yang
berdekatan dengan CSF dapat terlihat lebih jelas.TI 1700-2200 milidetik
mencapai supresi CSF (Pierce,1995).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Bahan atau Materi Penelitian


Materi penelitian adalah hasil dari penggunaan pesawat MRI dengan melihat
kualitas citra lumbal pada pengaruh perubahan nilai time repetition untuk kasus
Hernia Nukleus Pulposus.

3.2 Tempat Dan Instrumen Dalam Penelitian


Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik
Medan.Instrument Magnetic Resonance Imaging yang digunakan dalam penelitian
ini adalah MRI produksi dari Philips. System medan yang dipergunakan adalah
superkonduktor yang mampu memberikan medan magnet yang sangat besar yaitu
sebesar 1,5 Tesla.

3.3 Konfigurasi Instrument MRI


Konfigurasi instrument Magnetic Resonance Imaging yang digunaklan dalam
penelitian ini terdiri dari beberapa bagian yang utama, yaitu : Magnet Utama,
Gradien Magnet, Meja Pemeriksaan,

Gambar 3.1 Gantri dan Meja pemeriksaan (Anonim,1996)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


50

3.4 Tata cara penelitian


Tata cara penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan citra dari MRI diawali
dengan persiapan pasien, persiapan dan proses pemeriksaan pesawat MRI,
pengaturan dari parameter TR dan analisa data.

3.5 Persiapan alat dan bahan


1. Menghidupkan Pesawat MRI
2. Penutup telinga untuk mengurangi keributan magnet MRI
3. Tombol emergency pasien apabila pasien tidak nyaman saat pemeriksaan
berjalan.

3.6 Persiapan pasien


Persiapan pasien harus melakukan prosedur :
1. Pengisian check list pasien
2. Memberikan penjelasan tentang jalannya pemeriksaan yang akan
dilakukan.

3.7 Posisi pemeriksaan pasien


Pada pemeriksaan MRI pengaturan posisi pasien perlu dilakukan untuk
memperoleh pencitraan yang baik.

3.8 Operator Consule dan Layar Citra


Operator consule adalah suatu unit yang berfungsi untuk mengatur parameter-
parameter untuk pencitraan dan juga untuk memilih jaringan tubuh yang akan di
scan. Unit ini terdiri dari : CPU computer, Monitor pasien, Micropon untuk
komunikasi, Speaker pasien, Monitor computer, Keyboard, Mouse computer.
Layar citra adalah hasil dari pencitraan yang dilakukan oleh pesawat magnetic
resonance imaging (MRI) dan akan ditampilkan dalam monitor film melalui
perangkat computer.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


51

3.9 Diagram alur penelitian

Mulai


Persiapan Pasien


Persiapan Alat dan Bahan


Proses Pemeriksaan MRI


Pengaturan Parameter TR (2000, 4000, 6000)


Kualitas Citra SNR


Tidak
Analisa Kualitas Citra

Ya

Rekaman Medis
(Film atau CD)


Selesai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian dilakukan pada pesawat Magnetic Resonance Imaging (MRI)


di intlalasi radiologi dengan melakukan pengamatan (observasi) langsung dan
pengujian langsung.Pencitraan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dilakukan pada
vertebra Lumbal dengan kasus Hernia Nukleus Pulposus (HNP) untuk
memperlihatkan kelainan Patologi.
Pengambilan data dilakukan dengan melihat Pembobotan T2 pada potongan
Sagital dengan menggunakan metode pencitraan Spin Echo yaitu Pencitraan Lama
dengan melihat pengaruh perubahan parameter Time Repetition (TR) yaitu dengan
TR Lebih besar dari 2000 ms, TR 4000 ms, TR 6000 ms.Adapun Hasil dan
pembahasan yang diperoleh dari 3 pasien dengan hasil sebagai berikut :

4.1 Pasien 1 Untuk Potongan Sagital Pembobotan T2


Pada citra dibawah ini dengan menunjukkan kelainan patologi. Dengan nilai TR
dan TE yang dipergunakan adalah Lama (Tabel 2.3) yaitu TR 2000 ms, TR 4000 ms,
TR 6000 ms dan TE 109 dengan metode pencitraan Spin Echo.

Keterangan : Bentuk : Menunjukkan ROI (Region Of Interest)

Gambar 4.1 Pencitraan dengan parameter TR = 2000 ms dan TE = 109 ms

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


53

Gambar 4.2 Pencitraan dengan parameter TR = 4000 ms dan TE = 109 ms

Gambar 4.3 Pencitraan dengan parameter TR = 6000 ms dan TE = 109 ms

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


54

DATA PENELITIAN PASIEN 1

NILAI TR NILAI TE NILAI SNR


2000 109 1,087
4000 109 1,220
6000 109 1,398

Pada gambar 4.1, 4.2, 4.3 menunjukkan potongan sagital dari MRI Lumbal untuk
kasus HNP dapat kita lihat bahwa daerah Medula Spinalis lebih Hyperintens
dibandingkan dengan Vertebra Lumbal karena medulla spinalis lebih banyak
mengandung CSF dibandingakan dengan vertebra Lumbal dengan parameter TR
2000, 4000, 6000, TE 109, 109, 109 dan SNR 1,087, 1,220, 1,398 yang artinya
peluruhan sinyal yang banyak mengakibatkan intensitas sinyal relatif yang dihasilkan
menjadi sedikit yang akan meminimalkan proses peluruhan sehingga kualitas citra
yang dihasilkan dengan menggunakan nilai TR dan TE yang lama mengakibatkan
terjadinya proses magnetisasi ke equilibrium atau mengalami relaksasi longitudinal
untuk semua jenis jaringan (Fat, CSF, white and gray matter) sudah mencapai
magnetisasi maksimum. Ketika sudah mencapai magnetisasi maksimum perbedaan
intensitas sinyal relatif untuk semua jaringan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


55

4.2 Pasien 2 Untuk Potongan Sagital Pembobotan T2


Pada citra dibawah ini dengan menunjukkan kelainan patologi. Dengan nilai TR
dan TE yang dipergunakan adalah Lama (Tabel 2.3) yaitu TR 2000 ms, TR 4000 ms,
TR 6000 ms dan TE 100 dengan metode pencitraan Spin Echo.

Gambar 4.4 Pencitraan dengan parameter TR = 2000 ms dan TE = 100 ms

Gambar 4.5 Pencitraan dengan parameter TR = 4000 ms dan TE = 100 ms

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


56

Gambar 4.6 Pencitraan dengan parameter TR = 6000 ms dan TE = 100 ms

DATA PENELITIAN PASIEN 2

NILAI TR NILAI TE NILAI SNR


2000 100 1,198
4000 100 1,465
6000 100 1,926

Pada gambar 4.4, 4.5, 4.6 menunjukkan potongan sagital dari MRI Lumbal untuk
kasus HNP dapat kita lihat bahwa daerah Medula Spinalis lebih Hyperintens
dibandingkan dengan Vertebra Lumbal karena medulla spinalis lebih banyak
mengandung CSF dibandingakan dengan vertebra Lumbal dengan parameter TR
2000, 4000, 6000, TE 100, 100, 100 dan SNR 1,198, 1,465, 1,926 yang artinya
peluruhan sinyal yang banyak mengakibatkan intensitas sinyal relatif yang dihasilkan
menjadi sedikit yang akan meminimalkan proses peluruhan sehingga kualitas citra
yang dihasilkan dengan menggunakan nilai TR dan TE yang lama mengakibatkan
terjadinya proses magnetisasi ke equilibrium atau mengalami relaksasi longitudinal
untuk semua jenis jaringan (Fat, CSF, white and gray matter) sudah mencapai
magnetisasi maksimum. Ketika sudah mencapai magnetisasi maksimum perbedaan
intensitas sinyal relatif untuk semua jaringan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


57

4.3 Pasien 3 Untuk Potongan Sagital Pembobotan T2


Pada citra dibawah ini dengan menunjukkan kelainan patologi. Dengan nilai TR
dan TE yang dipergunakan adalah Lama (Tabel 2.3) yaitu TR 2000 ms, TR 4000 ms,
TR 6000 ms dan TE 120 dengan metode pencitraan Spin Echo.

Gambar 4.7 Pencitraan dengan parameter TR = 2000 ms dan TE = 120 ms

Gambar 4.8 Pencitraan dengan parameter TR = 4000 ms dan TE = 120 ms

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


58

Gambar 4.9 Pencitraan dengan parameter TR = 6000 ms dan TE = 120 ms

DATA PENELITIAN PASIEN 3

NILAI TR NILAI TE NILAI SNR


2000 120 1,005
4000 120 1,163
6000 120 1,327

Pada gambar 4.1, 4.2, 4.3 menunjukkan potongan sagital dari MRI Lumbal untuk
kasus HNP dapat kita lihat bahwa daerah Medula Spinalis lebih Hyperintens
dibandingkan dengan Vertebra Lumbal karena medulla spinalis lebih banyak
mengandung CSF dibandingakan dengan vertebra Lumbal dengan parameter TR
2000, 4000, 6000, TE 109, 100, 120 dan SNR 1,087, 1,220, 1,398 yang artinya
peluruhan sinyal yang banyak mengakibatkan intensitas sinyal relatif yang dihasilkan
menjadi sedikit yang akan meminimalkan proses peluruhan sehingga kualitas citra
yang dihasilkan dengan menggunakan nilai TR dan TE yang lama mengakibatkan
terjadinya proses magnetisasi ke equilibrium atau mengalami relaksasi longitudinal
untuk semua jenis jaringan (Fat, CSF, white and gray matter) sudah mencapai
magnetisasi maksimum. Ketika sudah mencapai magnetisasi maksimum perbedaan
intensitas sinyal relatif untuk semua jaringan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


59

Pada citra diatas menunjukkan bahwa kualitas citra pada pembobotan T2


yang dipengaruhi oleh parameter TR (Time Repetition) yang dihasilkan dengan
menggunakan nilai TR dan TE yang Lama yaitu TR 2000, TR 4000, TR 6000 dan
TE 109, TE 100, TE 120.
Dalam pembobotan T2 TR yang dipergunakan adalah Lama, karena pada
pembobotan T2 menggunakan metode pencitraan Spin Echo.Pemberian TR yang
lama tepat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih banyak serta
memberikan harga Signal to noise ratio yang lebih baik, namun menyebabkan
waktu yang di butuhkan untuk memperoleh data yang lebih lama dan Kualitas
Citra yang dihasilkan akan tampak lebih hypointens. SedangkanTR yang cepat
dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah irisan jaringan yang
di evaluasi menjadi sedikit dan signal tonoise ratio (SNR) menjadi jelek dan
Kualitas Citra yang dihasilkan akan tampak hyperintens.
Dengan TR yang lama yaitu TR 6000 dan SNR 1,926 mengakibatkan
terjadinya proses magnetisasi ke equilibrium atau mengalami relaksasi
longitudinal untuk semua jenis jaringan (Fat, CSF, white and gray matter) sudah
mencapai magnetisasi maksimum. Ketika sudah mencapai magnetisasi maksimum
perbedaan intensitas relatif untuk semua jaringan seperti disebut diatas akan
tampak lebih hypointens karena adanya perubahan sinyal, pada perbedaan tingkat
atau jumlah hydrogen dalam jaringan yang mengalami kelainan patologi. Dalam
hal ini akan kelihatan lebih hypointens sehingga akan tampak perbedaan sinyal
dari jaringan yang tidak normal Hernia Nukleus Pulposus (HNP).
Pada pembobotan T2 nilai TE yang dipergunakan adalah lama. Dengan
nilai TE yang lama yaitu TE 120 dan SNR 1,327 maka pada citra akan tampak
hyperintens, sebab dengan TE yang lama mengakibatkan waktu untuk meluruh
atau relaksasi spin-spin cepat sehingga peluruhan sinyal menjadi lebih banyak.
Peluruhan sinyal yang banyak mengakibatkan intensitas sinyal relatif yang
dihasilkan menjadi lebih sedikit.Intensitas sinyal relatif yang sedikit menjadi
hyperintens dalam pencitraan MRI. Artinya peluruhan sinyal yang sedikit akan
menimbulkan proses peluruhan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


60

Tabel 4.1 Nilai TR, SNR dan TE

NILAI TR NILAI SNR NILAI TE


2000 1,087 109
PASIEN 1 4000 1,220 109
6000 1,398 109

2000 1,198 100


PASIEN 2 4000 1,465 100
6000 1,926 100

2000 1,005 120


PASIEN 3 4000 1,163 120
6000 1,327 120

Dari tabel 4.1 diatas diperoleh nilai SNR yang merupakan nilai intensitas signal
yang diamati pada setiap citra pasien 1,2,3sehingga didapat citra mana yang lebih
berkualitas yang ditunjukkan pada gambar diagram SNR seperti dibawah ini :

Hubungan Variasi TR Dengan Kualitas Citra SNR


7000

N 6000
I
L
A 5000
I
4000
T
R 3000

2000

1000

0
PASIEN 1 PASIEN 2 PASIEN 3

NILAI TR NILAI SNR NILAI TE

Gambar 4.2 Diagram hubungan variasi TR dengan kualitas citra yaitu SNR

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


61

Diagram pada Gambar 4.2 diatas menunjukkan hasil nilai SNR dari
masing – masing citra MRI Lumbal dari intensitas daerah yang diamati, dimana
TR yang digunakan yaitu TR 2000, TR 4000 dan TR 6000. Diperoleh hasil bahwa
semakin tinggi nilai TR maka SNR semakin tinggi yang artinya citra lebih
berkualitas pada saat TR nya lebih maksimum
Pada penelitian ini pemilihan nilai TR untuk mendapatkan kualitas citra T2
pada nilai TR diatas 2000 ms tidak terlalu berpengaruh pada perubahan SNR
karena perubahan nilai TR yang sedikit. Karena itu penggunaan perubahan nilai
TR yang besar akan menghasilkan kualitas citra yang baik.Pada penelitian ini
protokol pencitraan parameter TR dari 2000 – 6000 ms. Protokol dengan TR =
2000ms merupakan protokol standar rutin.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan Penelitian yang telah dilaksanakan, dapat diperoleh


kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembobotan T2 dengan TR (2000, 4000, 6000) dan TE (109, 100, 120)
yang lama adalah untuk menunjukkan perbedaan sinyal interaksi spin-spin
dan disebut untuk menunjukkan kelainan patologi.
2. Pada TR yang lama yaitu 6000 dapat Meningkatkan Nilai SNR yaitu 1,926
dapat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih banyak, Namun
menyebabkan waktu yang di butuhkanuntuk memperoleh data yang lebih
lama. Dan kualitas citra yang diperoleh lebih hypointens
Pada TR yang cepat yaitu 2000 dapat Mengurangi Nilai SNR yaitu 1,327
dapat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih sedikit, Namun
menyebabkan waktu yang di butuhkan untuk memperoleh data yang lebih
cepat. Dan kualitas citra yang diperoleh menjadi berkurang.

5.2 Saran
Sebagai masukan guna pengembangan lebih lanjut dari penelitian ini,
maka penulis memberikan saran dimana waktu yang terbatas dan data yang
sulit didapat, sebaiknya data diambil lebih banyak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1996. Operating Manual Tomikon S50 System France.

Bushberg, J.T. 2002. The Essential Physic Of Medical Imaging. California :


University of California.

Bushong, P. 1996. Magnetic Resonance Imaging Physical and Biological Principle.


Houston, Texas: Batlor Ciollege Of Medicine.

Mitchell, D.E . 1999. MRI Principle. Philadelphia, Pencsylvania : Thomas Jefferson


University Hospital.

Pierce, B.J. 1995. MRI for Technologist. San Fransisco, California : Peggy and
Associates.

Scwartz, G.M. 1995. MRI for Technologists. San Fransisco, California: Peggy
and Associates.

Sprawls, Jr. 1995. Physical Principal Of Medical Imaging. Atlanta Georgia. Emory :
University School Of Medicine.

Westbrook and Catherine, 1999. Handbook of MRI Technique. DP Photoseting


aylesbury, Bucks Printed and Bound in Great Britain, Cambridge.P

http://afandifunz.blogspot.co.id/2016/01/sejarah-magnetic-resonance.html
Diakses pada tanggal 5 April 2017 pukul 20.23

https://fisioterapidotme.wordpress.com/2014/05/29/hernia-nukleus-pulposus
Diakses pada tanggal 01 April 2017 pukul 23.00

http://radiograferatrosumbar.blogspot.co.id/2012/01/dasar-fisika-mri.html
Diakses pada tanggal 5 April 2017 pukul 20.23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


LAMPIRAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DATA PENELITIAN PASIEN 1

NILAI TR NILAI TE NILAI SNR


2000 109 1,087
4000 109 1,220
6000 109 1,398

Gambar 1 Pencitraan dengan parameter TR = 2000 ms dan TE = 109 ms

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 2 Pencitraan dengan parameter TR = 4000 ms dan TE = 109 ms

Gambar 3 Pencitraan dengan parameter TR = 6000 ms dan TE = 109 ms

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DATA PENELITIAN PASIEN 2

NILAI TR NILAI TE NILAI SNR


2000 100 1,198
4000 100 1,465
6000 100 1,926

Gambar 4 Pencitraan dengan parameter TR = 2000 ms dan TE = 100 ms

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 5 Pencitraan dengan parameter TR = 4000 ms dan TE = 100 ms

Gambar 6 Pencitraan dengan parameter TR = 6000 ms dan TE = 100 ms

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DATA PENELITIAN PASIEN 3

NILAI TR NILAI TE NILAI SNR


2000 120 1,005
4000 120 1,163
6000 120 1,327

Gambar 7 Pencitraan dengan parameter TR = 2000 ms dan TE = 120 ms

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 8 Pencitraan dengan parameter TR = 4000 ms dan TE = 120 ms

Gambar 9 Pencitraan dengan parameter TR = 6000 ms dan TE = 120 ms

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


TABEL NILAI TR, SNR DAN TE

NILAI TR NILAI SNR NILAI TE


2000 1,087 109
PASIEN 1 4000 1,220 109
6000 1,398 109

2000 1,198 100


PASIEN 2 4000 1,465 100
6000 1,926 100

2000 1,005 120


PASIEN 3 4000 1,163 120
6000 1,327 120

Hubungan Variasi TR Dengan Kualitas Citra SNR


7000

N 6000
I
L
A 5000
I
4000
T
R 3000

2000

1000

0
PASIEN 1 PASIEN 2 PASIEN 3

NILAI TR NILAI SNR NILAI TE

Diagram hubungan variasi TR dengan kualitas citra yaitu SNR

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai