Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek “rhin/rhino” (hidung) dan “itis”
(radang). Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput
lendir (membran mukosa) hidung.1 Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang
dapat muncul akut atau kronik. Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa
hidung yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut
dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder akibat iritasi lokal atau trauma. Rhinitis
disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan.1,2
Pembagian rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai
penyebabnya. Rhinitis kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita
temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik
(difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur). Rhinitis kronis yang tidak
disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis alergi, rhinitis
vasomotor, dan rhinitis medikamentosa.1,2 Rinitis hipertrofi merupakan jenis
rinitis tipe kronis dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinus,
atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor. Proses infeksi dan iritasi
yang kronis akan dapat menyebabkan hipertrofi konka nasalis. Septum deviasi
juga dapat menyebabkan penyakit ini secara kontralateral.2
Gejala utama rinitis hipertrofi adalah hidung tersumbat. Keadaan ini
memerlukan tindakan koreksi karena pengobatan dengan medikamentosa saja
sering tidak memberi hasil yang memuaskan. Tindakan yang paling ringan seperti
kauter sampai pemakaian laser dapat dilakukan untuk mengatasi keluhan hidung
tersumbat akibat hipertrofi konka.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FUNGSI HIDUNG


Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung
luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:3
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Batang hidung (dorsum nasi)
3. Puncak hidung (hip)
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung ( nares anterior )
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior,
tepat dibelakang disebut dengan vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar subasea dan rambut panjang yang disebut vibrise.
Sedangkan nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding
lateral, medial, inferior, dan superior.3

Gambar 1.1. Anatomi Hidung3

2
Gambar 1.2. Batas lateral kavum nasi (lubang hidung) 3
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2)
vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang
rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela.3

Gambar 1.3. Kartilago septum nasi sisi lateral3


Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah
konka inferior kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi
konka superior dan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya
rudimenter. Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat meatus nasi yang
jumlahnya tiga buah, yaitu meatus inferior, meatus media, dan meatus superior.
Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding

3
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral
rongga hidung yang bermuara pada sinus frontalis, sinus etmoid anterior dan sinus
maksilaris. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.3

Gambar 1.4. Konka nasi3


Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os
etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya
serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung
dibentuk oleh os sphenoid.3

Kompleks ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung
yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting
yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang

4
letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi
obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang
signifikan pada sinus-sinus yang terkait.3,4

Gambar 1.5. Kompleks Osteomeatal4


Vaskularisasi hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di
antaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung
dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmid anterior, a. labialis
superior dan a. palatine mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little’s area).
Pleksus kiesesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada

5
anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan brjalan berdampingan
denga arterinya.3,4
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyeabaran infeksi
sampai ke intrakranial.3,4

Gambar 1.6. Vaskularisasi hidung4

Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
Etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. Nasosiliaris, yang berasal dari
n. Oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf simpatis dari m. Petrosus
superfisialis mayor profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidupan berasal dari n.
Olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus

6
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidup pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.3,4

Gambar 1.7. Persarafan hidung4

Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silis (ciliated peudostratified collumner
epithelium) dan di antaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu terdapat
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga berlapis semu tidak
bersilia (pseudostratified collumner non ciliated epithelium) epitelnya dibentuk
oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu.
Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Pada bagian yang lebih
terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia,
menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa respratori berwarna

7
merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lender (mucous blanket)
pada permukaannya.3,4
Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh
darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa
hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih
dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini
memberikan pendarahab pada anyaman kapiler perglanduler dan sub epitel.
Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena
yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada
bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter otot.3,4
Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih
dalam lalu ke venaula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai
jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengmbangkan dan mengerut.
Vasodilatasi dan vasosonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf
otonom.3,4

Sistem transpor mukosilier


Sistem transport mukosilier merupakan system pertahanan aktif rongga
hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup
bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas
silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada pada
epitel dan kelenjar seromusinosa subnukosa. Bagian bawah dari palut lender
terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian permukaan banyak mengandung
protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan
cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhi bitor lekoprotease sekretorik,
dan IgA sekretorik (s-IgA). Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting
untuk pertahanan lokal yang bersifat antimikrobial.3
IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisma dari jaringan dengan
mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi
didalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajang dengan antigen
banteri. Pada sinus maksila, sistem transpor mukosilier menggerakkan sekret

8
sepanjang dinding anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus
membentuk gambaran serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau
bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium secret akan lebih
kental tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan
berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan
atau mengubah transport, dan sekret akan melewati mukosa yang rusak terebut.
Tetapi jika sekret lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami
defek. Gerakan sistem transpor mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan
spiral.3
Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian keatap, dinding
lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posteror menuju area frontal.
Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sphenoid, sedangkan pada
sinus etmoid terjadi gerakan rectilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau
gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah dindingnya.3 Pada dinding lateral
terdapat 2 rute besar transprort mukosilier. Rute pertama merupakan gabungan
sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Secret ini biasanya bergabung
di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalalan menuju tepi bebas prosesus
unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring
melewati bagian antero inferior orifisium tuba eustachius. Transpor aktif berlanjut
ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke
bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan.3
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan
sphenoid yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju naso faring pada
bagian posterosuperior orifisium tuba eustachius. Sekret yang berasal dari meatus
superior dan septum akan bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior
dari tuba eustachius. Sekret pada septum akan berjalan vertical kea rah bawah
terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba
eustachius.3

9
B. FISIOLOGI HIDUNG
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 2,3,4
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humikifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanise
inunologik local
2. Fungsi pengidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara
dan mencegah hantaran tuara sendiri melalui kondukdi tulang
4. Fungsi static dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas, proteksi terhadap trauma dan
pelindung panas
5. Refleks nasal

Fungsi respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem repirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas stinggi konka media dan kemudian turun ke bawah
kearah nasorafing. Aliran udara di hidung ini benbentuk lingkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan menglami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hamper jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara
inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius.
Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.2,3,4
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh: a) rambut (vibrissae) pada vesti bulum nasi, b) silis, c)
palut lender. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lender dan partikel-
partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.2,3,4

10
Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indera penghidu dan pencecep dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu
indra pencecep adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai
macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat.
Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.2,3,4

Fungsi fonetik
Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu pembentukkan
konsonan nasal (m, n, ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum
mole turun untuk aliran udara.2,3,4

Gambar 2.1. Sistem olfaktoris3

11
C. RHINITIS HIPERTROFI
1. Definisi
Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan
sinus, atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor. Proses infeksi dan
iritasi yang kronis akan dapat menyebabkan hipertrofi konka nasalis. Gambar
dibawah ini mencontohkan bagaimana konka inferior dapat menutup aliran udara
ketika konka tersebut membesar dan menyentuh septum.2,5

Gambar 3.1 Inferior turbinate5


Konka terdiri atas tulang dan soft tissue. Baik tulang maupun soft tissue
dapat membesar. Pada kebanyakan pasien, pembesaran soft tissue dari konka
merupakan masalah utama ketika konka membengkak.2,3,5

2. Epidemiologi
Rinitis hipertrofi lebih sering terjadi sebagian besar pada kelompok umur
20-60 tahun, karena faktor-faktor anatomis atau vasomotor, endokrin, alergi atau
iritasi. Di Eropa sendiri miliki tingkat yang dilaporkan berkisar antara 10% hingga
20% dari populasi yang memiliki beberapa jenis alergi pernapasan. Dutra dan
Marchiori (2002) menilai 71 anak-anak antara 1 dan 7 tahun dengan sinusitis
menggunakan alat tomografi. Di antara temuannya, dilaporkan bahwa sekitar
14,1% memiliki hipertrofi turbinate inferior. Duarte, Zavarezzi and Soler (2005)
dalam penelitiannya menggunakan 20 pasien dengan obstruksi nasal kronik yang
berusia dari 14 sampai 51 tahun. Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata
ditemukan 16 pasien (80%) yang mengalami rinitis hipertrofi.12

12
3. Etiologi
Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan
sinus atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor. Konka yang
mengalami hipertrofi dapat timbul dari hipertrofi mukosa, hipertrofi tulang,
maupun keduanya. Hipertrofi tulang menyebabkan obstruksi struktural tetap dan
lebih baik diobati dengan operasi. Lebih umumnya, masalah hipertrofi mukosa
menabrak katup hidung, meningkatkan resitensi hidung, dan sumbatan hidung.
Hal ini dapat dikelola secara obat-obatan atau operasi tergantung pada tingkat
hipertrofi dan responsifitas terhadap manajemen medis.2,5

4. Patogenesis
Rinitis hipertrofi merupakan salah satu bagian dari rinitis kronik dimana
sering dihubungkan dengan alergen atau iritas lain di udara, kadang-kadang dapat
meningkat dramatis dengan penggunaan obat-obatan maupun pengobatan alergi
itu sendiri. Septum nasi dan konka merupakan struktur normal yang ada di dalam
rongga hidung. Septum nasi itu sendiri membagi saluran hidung menjadi bagian
kanan dan kiri. Deviasi septum menunjukkan septum yang bengkok. Konka
berada didekat septum, tetapi biasanya memiliki jarak antara septum dan konka
sebagai tempat lewatnya udara di hidung. Konka dapat berperan menyebabkan
sumbatan hidung jika konka tersebut terlalu besar. Ada beberapa konka di hidung.
Salah satu diantaranya yang paling sering mempengaruhi aliran udara tersebut
adalah konka inferior. Gambar di bawah ini menunjukkan spetum nasi dan konka
inferior di sisi kiri hidung.2,5

Gambar 3.2 Septum nasi dan konka inferior5

13
Hidung adalah organ yang kompleks dan sangat khusus yang berperan
dalam penciuman, pertukaran panas, produksi kemampuan berbicara, respirasi,
humidifikasi, filtrasi, dan pertahanan antimikroba. Mucous diproduksi oleh sel
goblet, submukosa dan kelenjar seromucous. Produksi mucous terutama
dikendalikan oleh persarafan parasimpatis. Lapisan mucous berfungsi untuk
melembabkan dan membersihkan udara inspirasi dan menghilangkan kotoran dari
saluran napas hidung. Sumbatan hidung dapat disebabkan oleh aktitivitas yang
berlebihan dari persarafan parasimpatis atau kurang optimalnya aktivitas dari
persarafan simpatis. Resistance penting dalam fungsi hidung dan turbulensi
mengoptimalkan kontak udara inspirasi dengan membran mukosa. Resistance
harus tetap dalam batas-batas tertentu untuk persepsi pernapasan normal.2,3,5
Jika terlalu tinggi atau terlalu rendah, perasaan obstruksi (tertutup) mungkin
terjadi. Sebuah perubahan siklik dari penyempitan dan pelebaran konka inferior,
yang dikenal sebagai siklus hidung, terjadi kira-kira setiap 2-7 jam. Katup hidung
menyebabkan sekitar 50% dari keseluruhan resistensi saluran napas. Katup hidung
adalah wilayah jalan napas hidung yang memanjang mulai dari ujung ekor dari
kartilago lateralis atas dan berakhir pada anterior konka inferior. Dengan
masuknya aliran udara pada segmen yang menyempit ini, hal ini mempercepat
dan menurunkan tekanan (per prinsip Bernoulli), yang dapat menyebabkan katup
hidung kolaps jika kartilago lateralis atas memiliki anatomi lemah. Jaringan
erectile dari septum hidung dan konka inferior dapat mengenai katup hidung dan
meningkatkan resistensi.3,5
Karena luas penampang dari katup hidung kecil, perubahan kecil dalam
kongesti konka inferior dapat menandai efek pada resistensi. Sebuah penentu
utama resistensi aliran udara adalah jari-jari kubah hidung. Meskipun demikian,
bahkan dengan radius normal sekalipun, sensasi obstruksi dapat terjadi dari aliran
turbulen.3,5

5. Gejala Klinis
Gejala utama rinitis hipertrofi adalah sumbatan hidung. Sekret hidung
biasanya banyak, kental dan mukopurulen. Sekret mukopurulen yang banyak

14
biasanya ditemukan di antara konka inferior dan septum, dan di dasar rongga
hidung. Beberapa penderita mengeluhkan sakit kepala, rasa berat di kepala, dan
gangguan penghidu. Pada stadium awal dari pemeriksaan tampak membran
mukosa membengkak dan merah kemudian terjadi konka hipertrofi.5 Gejala dari
septum deviasi/konka hipertrofi:5,6
a. Kongesti hidung atau hidung tersumbat
b. Gangguan pernafasan pada malam hari disertai mendengkur
c. Mimisan kronis
d. Sinusitis kronis

6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan klinis
sebagai berikut:6,7
a. Anamnesis
Hidung tersumbat merupakan keluhan umum. Membedakan etiologi penting
agar pengobatan yang tepat dapat dimulai. Riwayat mengenai perubahan apapun
ataupun obstruksi yang unilateral, mungkin menunjukkan masalah perubahan
daripada masalah struktural. Gejala rhinitis berupa sumbatan, rhinorrhea, dan
bersin dapat terjadi pada rhinitis alergi dan rhinitis nonallergi. Gejala sistemik yag
didapatkan pada alergi yakni seperti mata gatal berair, asma, dan variasi musiman.
Pemeriksaan umum awal harus mencatat "allergic shiners" atau penampilan wajah
yang mungkin menunjukkan tanda-tanda obstruksi hidung kronis. Rhinitis
vasomotor jenis rhinitis yang gejalanya diperburuk oleh iritasi, suhu atau
perubahan kelembaban, atau faktor psikologis.
Nonallergic eosinophilic rhinitis umumnya tahunan tanpa alergen yang
menginduksi gejala. Rhinitis atrofi ditandai dengan hidung yang kering dan
krusta, sering dengan bau busuk. Rhinitis juga dapat dikaitkan dengan kehamilan
dan dengan gangguan sistemik seperti hipotiroidisme. Obat juga dapat
menyebabkan rhinitis dan sumbatan hidung. Rhinitis medikamentosa merupakan
hasil dari rebound vasodilatasi setelah penggunaan jangka panjang dari
dekongestan hidung topikal. Biasanya pasien menggunakan agen topikal untuk

15
mengobati gangguan yang mendasarinya menyebabkan sumbatan hidung. Obat
lain yang dapat menyebabkan peningkatan hidung tersumbat termasuk
antihipertensi tertentu, antidepresan, antipsikotik, dan kontrasepsi oral.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada hidung eksternal, tentu saja, penting. Selain menilai
estetika hidung, perhatikan patensi katup hidung dan setiap jika ada alar nasi yang
kolap, mungkin perlu ditangani untuk memastikan fungsionalitas pada saat
postrhinoplasty hidung. Cottle maneuver dengan menarik pipi pasien ke lateral
untuk membuka sudut katup hidung. Jika gejala pada aliran udara nasal membaik,
hal ini menunjukkan katup hidung yang patologi. Hidung bengkok dapat
mengrindikasikan trauma sebelumnya dan riwayat ini harus ditanyakan. Hidung
pelana (Saddle nose deformity) dapat mengindikasikan pada trauma sebelumnya,
operasi sebelumnya, penyalahgunaan kokain, atau proses inflamasi. Selain itu,
fokus pemeriksaan fisik rhinoskopi anterior, dapat mengungkapkan deformitas
septum kaudal atau hipertrofi konka inferior yang dapat menjelaskan mengenai
gejala-gejala pada pasien.
Jika pasien memiliki deviasi septum kaudal yang signifikan, biasanya konka
inferior di sisi yang berlawanan dari deviasi membesar. Gunakan dekongestan
topikal untuk mengevaluasi respon dari mukosa konka. Hal ini dapat membantu
menggambarkan apakah yg terjadi hipertrofi mukosa atau hipertrofi tulang. Jika
diindikasikan berdasarkan riwayat, gejala klinis, maupun tanda-tanda klinis,
pemeriksaan yang lebih luas pada hidung dapat dilakukan menggunakan rigid or
flexible endoscope. Pemeriksaan ini memungkinkan penilaian tambahan pada
septum posterior, nasofaring, dan ostia sinus. Massa hidung atau polip sebagai
penyebab obstruksi juga dapat dievaluasi.
Drainase purulen dapat mengindikasikan adanya sinusitis. Bukti adanya
perforasi septum dapat mengindikasikan adanya riwayat operasi sebelumnya,
penyalahgunaan kokain atau dekongestan topikal, atau penyakit radang. Krusta
yang signifikan atau kelainan penampakan mukosa dapat mengindikasikan adanya
gangguan sistemik. Riwayat atau gejala dan tanda-tanda gangguan sistemik
lainnya dapat mempengaruhi hidung dan konka harus dilakukan penyelidikan

16
lebih lanjut. Wegener granulomatosis dan sarcoid dapat mengakibatkan sumbatan
hidung dan pengerasan kulit. Rhinitis infeksi dapat disebabkan oleh berbagai
macam organisme misalnya disebabkan oleh rhinoscleroma, TBC, sifilis,
rhinosporidiosis, histoplasmosis, dan aspergillosis. dicurigai, jika menunjukkan
riwayat pajanan dan perjalanan, dan menunjukkan pengujian lebih lanjut yang
sesuai. Riwayat epistaksis yang signifikan dapat meningkatkan dugaan pada
proses inflamasi atau neoplastik.

7. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Terapi medis merupakan pendekatan lini pertama yang digunakan untuk
menatalaksana disfungsi konka. Namun, pilihan yang tepat dari terapi bergantung
pada diagnosis yang tepat. Beberapa kategori obat yang tersedia yang memiliki
efek pada mukosa konka dan mempengaruhi gejala pasien. Dekongestan hidung,
dalam dua bentuk berupa topikal dan oral, merupakan obat yang paling defektif
yang dapan mengurangi kongesti dari mukosa konka. Topical sprays,
oxymetazoline and phenylephrine,merupakan antagonis-alpha yang sangat kuat,
dan memiliki masa kerja yang panjang yang memiliki efek rebound. Rebound
muncul 4-5 hari dan jika berlangsung lama disebut rhinitis medikamentosa.7
Dekongestan oral juga sangat efektif untuk mengurangi kongesti dan tidak
menyebabkan pembengkakan kembali pada mukosa (rebound) dengan
penggunaan jangka panjang. Pseudoefedrin dan fenilefrin merupakan 2 bentuk
umum dari dekongestan oral. Perhatian utama sehubungan dengan penggunaan
dekongestan oral ini yakni peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi dan
retensi urin pada pasien dengan hipertrofi prostat jinak. Penggunaan
berkepanjangan dekongestan oral dapat menyebabkan toleransi dan
ketidakefektifan. Fenilpropanolamin telah ditarik oleh Food and Drug
Administration (FDA) karena kasus stroke hemoragik yang terjadi pada wanita.
Obat ini saat ini tidak tersedia untuk digunakan sebagai dekongestan oral.
Antihistamin adalah agen yang mempengaruhi konka dengan menghalangi efek
histamin pada reseptor H1.7

17
Banyak antihistamin yang tersedia OTC (Over The counter Drugs) maupun
dengan resep dokter. Obat-obat ini hanya diindikasikan pada pasien dengan
rhinitis alergi. Digunakan bersama dengan dekongestan oral, antihistamin dapat
mengurangi gejala tersumbat dan drainase. Efek samping obat tertentu dan
berkisar dari efek sedasi dan memori (dengan antihistamin generasi sebelumnya
yang melintasi penghalang darah-otak) kekeringan yang berlebihan. Antihistamin
kontraindikasi pada pasien dengan glaukoma. Semprotan steroid intranasal
berguna untuk disfungsi konka.8
Obat-obat ini diberi label untuk pengelolaan rhinitis alergi tetapi, seperti
semua steroid, juga memiliki efek anti-inflamasi nonspesifik. Semprotan terbaru
di kelas ini sangat aman dan tidak memiliki penekanan yang signifikan dari
hipotalamus-hipofisis axis (HPA). Steroid intranasal diberikan setiap hari dan
butuh kelanjutan dalam penggunaan sehari-hari untuk manfaat yang signifikan.
Arah yang tepat dari semprot hidung pada dinding lateral hidung mencegah efek
samping yang umum terjadi berupa hidung kering, termasuk epistaksis dan
perforasi septum (jarang). Toleransi tidak terjadi dengan penggunaan jangka
panjang. Kontroversi terbaru tentang penggunaan steroid nasal pada anak-anak
adalah terhambatnya pertumbuhan. Penelitian terbaru menyelidiki penggunaan
oral steroid inhalers, yang memiliki tingkat penyerapan lebih tinggi, tidak
mendukung kekhawatiran ini pada setidaknya 2 semprotan steroid yang
tersedia.7,9
Montelukast antagonis reseptor leukotriene juga bisa digunakan dalam
kasus rhinitis musiman dan perennial allergic rhinitis. Memperbaiki munculnya
gejala hidung tersumbat yang terjadi pada siang hari, rhinorrhea, dan bersin yang
nyata pada studi klinis. Efek samping yang serupa dengan plasebo. Suntikan
steroid intra konka juga digunakan untuk mengobati hipertrofi mukosa yang
inflamasi. Perawatan harus dilakukan karena kasus kebutaan telah dilaporkan
dengan teknik ini. Sebuah laporan awal injeksi intra konka dari botulinum toxin A
untuk rhinitis vasomotor menunjukkan perbaikan gejala dibandingkan dengan
plasebo dalam studi kohort kecil.7,9,10

18
b. Pembedahan
Upaya harus dilakukan untuk menemukan penyebab dan menghilangkan
sumbatan hidung. Sumbatan hidung dapat dihilangkan dengan pengurangan
ukuran konka. Berbagai macam metode yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:11
1) Linier cauterisation.
2) Submucosal diathermy.
3) Cryosurgery dari turbinates.
4) Partial or total turbinectomy. Hipertrofi konka inferior dapat di angkat
sebagian pada ujung anterior. Perbatasan inferior atau ujung posterior. Konka
media, jika hipertrofi, juga dapat diangkat sebagian atau seluruhnya.
Penghapusan berlebihan pada konka harus dihindari karena menyebabkan
krusta persisten.
5) Submucous resection of turbinates bone, dengan mengangkat tulang yang
mengobstruksi tetapi mempertahankan mukosa konka untuk mempertahankan
fungsinya.
6) Laser juga telah digunakan untuk mengurangi ukuran konka.

8. Komplikasi Post Operasi


Berdasarkan prosedur yang dilakukan, komplikasi yang paling umum dari
operasi konka adalah pendarahan dan hidung kering berkepanjangan dengan
krusta. Perdarahan diminimalkan dengan teknik bedah yang cermat dan
penggunaan balutan perban. Obat antihipertensi segera mulai setelah operasi.
Trauma pasca operasi dapat menyebabkan perdarahan dan pasien diinstruksikan
untuk menjaga kelembaban hidung baik dengan menggunakan semprot hidung
tanpa obat. Menghindari meniup hidung dan membuka mulut walau bersin sangat
membantu. Tidak mengangkat berat atau mengedan selama 2-3 minggu pertama.
Dengan melakukan semua hal di atas dan melakukan hidrasi dengan baik dapat
meminimalkan krusta.7
Vaseline dapat dipakai pada hidung bagian anterior untuk mengurangi
gejala-gejala pada waktu tidur dan sepanjang hari sesuai yang diperlukan. Rhinitis

19
atrofi (ozena) dapat berkembang pada pasien dengan over-reseksi konka inferior.
Peningkatan kebersihan hidung diperlukan dalam situasi tersebut.7

20
BAB III
KESIMPULAN

Rinitis adalah masalah yang signifikan dalam kesehatan individu, dan


timbul dengan gejala hidung tersumbat, rhinorrhea, gatal hidung. Rhinitis disebut
kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian rhinitis kronis
berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis kronis yang
disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis
sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa & jamur).
Rinitis hipertrofi merupakan jenis rinitis tipe kronis dapat timbul akibat
infeksi berulang dalam hidung dan sinus, atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi
dan vasomotor. Proses infeksi dan iritasi yang kronis akan dapat menyebabkan
hipertrofi konka nasalis. Septum deviasi juga dapat menyebabkan penyakit ini
secara kontralateral. Gejala utama rinitis hipertrofi adalah hidung tersumbat.
Keadaan ini memerlukan tindakan koreksi karena pengobatan dengan
medikamentosa saja sering tidak memberi hasil yang memuaskan. Tindakan yang
paling ringan seperti kauter sampai pemakaian laser dapat dilakukan untuk
mengatasi keluhan hidung tersumbat akibat hipertrofi konka.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and
Throat. Edisi 4. New Delhi. Gopson Paper Ltd. 2007. Hal: 145-8
2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi
ke Enam. 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
3. Tortora G.J, Derrickson B, eds. Principles of Anatomy and Physiology,
11th Edition. New York : Wiley; 2006. p. 847-850
4. Netter F.H, ed. Atlas of Human Anatomy, 4t Edition. New York :
Elsevier; 2006. p. 32-36
5. Ginros G, Kartas I, Balatsauras D, Kandilaros, Mathos AK.
Mucosal change in chronic hypertrophic rhinitis after surgical
turbinate reduction. Eur Arch Otorhinolaryngol 2009; 266:1409-16.
6. Mygind, Niehls. Nacleria, Robert M. Alergic and Nonallergic Rhinitis,
Clinical Aspecst. 1st Edition. Munksgaard. Copenhagen. 159-165. 1993.
7. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
8. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with
Allergic Rhinitis. 2005. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh
pada 8 Januari 2011.
9. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug
therapy. 1991. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8
Januari 2011.
10. Mucha SM, et al. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in the
Treatnement of Allergic Rhinitis. 2006. Tersedia di:
http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
11. Fradis M, Golz A, Danino J, et al. Inferior turbinectomy versus
submucosal diathermy for inferior turbinate hypertrophy. Annals of
Otology Rhinology & Laryngology 2000;109:1040-5

22
12. Cury Sergio E, Gioseffi C, Andrade E, Cury M. The Incidence of
Hypertrophy Rhinitis in a Brazilian Population. [Online]. 2013 [cited 2019
Juli 4]. Available from: http://www.webmedcentral.com

23

Anda mungkin juga menyukai