Anda di halaman 1dari 5

PERBEDAAN ADALAH RAHMAT; BERAGAMA DALAM KEBERAGAMAN

I. Taqdim

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam
adalah tanda bagi orang yang punya ‘otak’ (yang menggunakannya untuk
berfikir)”(Q.S.2:190). “Kami jadikan manusia itu bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk
saling mengenal satu sama lain”(Q.S. 49: 13). Demikianlah firman Allah tentang sebuah
perbedaan, dan masih banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang hikmah dari
keberagaman dan variasi kehidupan.

Keberagaman dan perbedaan bagi orang yang otoriter dan ‘orang zaman dahulu’
adalah suatu awal dari kehancuran dan konflik, namun tidak bagi manusia yang modern dan
progressif. Justru hal tersebut adalah suatu awal kemajuan dan perkembangan bagi manusia-
manusia yang berakal. Kemajuan yang dilandasi dengan sebuah perbedaan akan lebih kuat
dan solid jika dibanding dengan kemajuan yang dilandasi persamaan yang akan cenderung
menuju statis dan monoton.

Perbedaan yang dianggap sebagai pemicu suatu kehancuran, namun jika dianalisis
dan dimenej dengan bagus akan menjadi suatu kekuatan yang besar yang takkan terkalahkan.
Hal ini sering disebut dengan ‘Management of Conflict’. Dengan demikian akan lahir satu
kubu oposan yang mengevaluasi kinerja pihak lain sekaligus menjadi kubu penengah
(ummatan wasatan) sebagai tim pendingin dan manejerial suatu konflik. Bukankah Nabi
Muhammad juga sebagai oposan dan penengah atas konflik yang terjadi pada suku Arab?.

II. Perbedaan Adalah Rahmat

‘Ikhtilaafu Ummati Rahmah’ (perbedaan adalah rahmat), itulah hadis yang sudah
masyhur di telinga kaum muslimin. Terlepas dari sahih dhaifnya hadis ini, namun jika
ditinjau dari konten hadis memang sangat faktual dan logis. Hal ini dilihat dari penggunaan
kata ‘ikhtilaaf’ yang bermakna perbedaan namun lebih cenderung kepada perbedaan cara
pandang dan wawasan bukan dengan kata “nizaa’’ yang bermakna berselisih yang lebih
cenderung kepada permusuhan. Dengan demikian, semakin banyak ikhtilaaf dalam sesuatu
hal maka akan semakin luas cara pandang dan wawasan orang yang mengkajinya.

1
Jika diilustrasikan ikhtilaaf (perbedaan) dalam warna lukisan, maka sekiranya sebuah
lukisan berwarna putih semua, atau hijau semua apakah akan tampak keindahan ?. Tangan
yang beranggotakan lima jari dan berbeda bentuk dan panjang, apakah kelima jari saling
menyalahkan?. Bagaimanakah bunyi petikan suara gitar jikalau semua jenis talinya sama?.
Betapa indahnya jika suatu perbedaan berkolaborasi dan berkoordinasi.

Secara historis, perbedaan yang diikuti saling mencela dan menyalahkan sudah terjadi
dalam sejarah Islam. Ali ibn Abi Talib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan
(radhiayallahu’anhuma) keduanya adalah sahabat nabi yang harus adu otot karena saling
mengkafirkan satu sama lain. Kekuatan yang sudah lama dihimpun pecah seketika, tiada lagi
persaudaraan, yang ada hanya pembenaran diri sendiri dan penyalahan orang lain dan diberi
derajat ‘kafir’ serta halal darahnya. Ini merupakan pelajaran berharga bagi kaum muslim
sesudah mereka termasuk kita sebagaimana firman Allah “hendaklah setiap orang
memperhatikan apa yang telah lewat sebagai tolok ukur untuk hari esok” (Q.S.59: 18)

Pelajaran yang harus diperhatikan dalam perbedaan adalah perbedaan yang ditempuh
oleh ulama mazahib arba’ah (mazhab yang empat). Perbedaan yang mereka utarakan
bukanlah suatu perpecahan tetapi suatu kesepakatan dalam perbedaan, sepakat walau tidak
sependapat yang berbias pada rasa toleransi yang tinggi. Mazhab apapun yang dianut oleh
kaum muslimin, para pendiri mazhab tidak akan pernah mencela apalagi menyalahkan.

Mengapa terjadi perbedaan pandangan dalam Islam padahal bersumber pada rujukan
yang sama?. Di sinilah kemukjizatan al-Quran dengan unsur balagah (stilistik), struktur
kalimat (morfologi) dan Nahwu (sintaksis) yang ada di dalamnya. Al-Quran tidaklah statis
dan jumud, satu kata dan kalimat dapat ditinjau dari berbagai aspek keilmuan. Dengan
demikian, jelas akan berbeda penafsiran Zamakhsyari dalam ‘al-Kassyaf’ dengan Ibn Katsir
dalam ‘Tafsir al-Quran al-‘Azim’. Tentu akan berbeda pula penafsiran Buya Hamka dengan
penafsiran Quraish Shihab dalam tafsirnya ‘al-Misbah’. Semua penafsiran hanyalah sarana
mendekati kebenaran dan bukan suatu kebenaran yang mutlak. Diferensiasi ini terjadi sesuai
dengan perkembangan faktor bahasa dan ilmu pengetahuan manusia. Namun apakah para
mufassir kontemporer menyalahkan para pendahulu mereka? Tidak. Namun penafsiran
terdahulu merupakan landasan awal dalam mewujudkan penafsiran yang kontemporer, aktual
dan akseptebel bagi manusia masa kini.

III. Kultus Dalam Perbedaan

2
Bagi insan yang sulit menerima perbedaan dan perubahan suatu kebiasaan akan
mengultuskan seseorang seseorang yang berbeda dengannya dengan memberikan label yang
bermacam-macam seperti, liberal, kafir, murtad, ortodok dan lain sebagainya. Perbuatan yang
demikian ini adalah perbutan tanpa dasar pemikiran yang luas dan pertimbangan mengapa
orang lain tersebut menyatakan pendapat yang berbeda. Apakah mobil “kodok” yang dulu
dianggap mewah akan terus dianggap mewah hingga sekarang ?. Apakah mobil mewah
seperti BMW, Marcedes Benz tidak layak pakai sekarang hanya karena mobil
‘kodok’?.Untuk itu perlu kehati-hatian dalam mengkultuskan seseorang dengan istilah dan
label yang tidak mendasar, bisa jadi apa yang dikatakan olehnya merupakan sebuah
kebenaran di kemudian hari dan orang yang mengkultuskan tersebut mau tidak mau harus
menjilat ludah yang sudah dibuangnya.

Hal ini sudah banyak terjadi pada zaman dahulu. Galileo Galilei harus pasrah dengan
hukuman mati karena pendapatnya yang tidak sesuai dengan dewan gereja (ulama jika
diibaratkan dalam Islam) pada saat itu. Ilmuwan ini menyatakan bahwa bumi mengitari
matahari, namun dewan gereja yang menyatakan sebaliknya menolak dan menyatakan bahwa
Gelileo melanggar aturan yang berlaku dan harus dihukum mati. Pada saat sekarang ini
pendapat siapakah yang benar?. Apakah dewan mampu menghapus kata-kata yang sudah
terucapkan?. Bukankah akan timbul rasa bersalah dan berdosa seumur hidup dengan tindakan
yang begitu gegabah?.

Dalam kemajuan pemikiran Islam banyak pernyataan-pernyataan yang secara zahir


menentang syariat Agama Islam namun secara batin, justru sangat mendukung
berlangsungnya maqasid syariah. Contohnya, pernyataan bahwa Shalat bukanlah suatu
kewajiban seorang muslim. Secara zahir ini sangat bertentangan dengan nash syar’i, namun
secara batin memang salat bukanlah suatu kewajiban, namun suatu kebutuhan setiap hamba.
Barang siapa yang butuh untuk berkomunikasi dengan Tuhannya maka hendaklah ia salat.

Pernyataan ‘salat bukan suatu kewajiban’ secara implisit tidaklah menyalahi nash
syar’i namun audiens pernyataan inilah yang belum mampu memahami makna ‘sense’ yang
tersirat dalam ungkapan tersebut. Jika menggunakan kata ‘wajib’ maka terkandung di
dalamnya kata ‘pemaksaan’, namun jika menggunakan kata ‘kebutuhan’ maka terkandung di
dalamnya makna ‘kesadaran dan keikhlasan’. Dengan demikian, jelas lebih tinggi kualitas
penggunaan kata ‘kebutuhan’ di banding ‘kewajiban’

3
Banyak lagi contoh-contoh pernyataan-pernyataan para ulama yang tampaknya
menyalahi yuriprudensi Islam padahal pernyataan tersebut merupakan hasil dari dalamnya
pemahaman mereka atas teks-teks hukum syar’i dalam Islam.

Demikian juga halnya yang terjadi pada teolog (mutakallim) Indonesia alm. Prof. Dr.
Harun Nasution dan generasinya alm. Prof. Dr. Nurcholis Madjid dan bahkan pakar tafsir
Prof. Dr. Quraish Syihab yang dinyatakan ‘nyeleneh’ dengan pemikiran mereka yang
kontraversial. Namun akal yang terus berkembang dan mudah-mudahan pada akhirnya akan
menerima pemikiran mereka dengan alasan dan argumen ilmiah serta tetap berlandaskan al-
Quran dan sunnah.

Mengapa hal ini terjadi?. Hal ini disebabkan oleh akal manusia zaman dahulu belum
semaju akal manusia sekarang dan cenderung mempertahankan tradisi lama serta menolak
pembaharuan padahal ada ungkapan yang menyatakan ‘almuhafazatu ‘ala al-Qadiimi saliih,
wa al-akhzu bi al-jadiidi ashlah’ (Menjaga tradisi lama itu baik dan membuat suatu
pembaharuan itu lebih baik lagi).

Pembaharuan dalam Islam adalah satu di antara pemicu perbedaan antara ulama salaf
(tradisional) dan khalaf (kontemporer). Walau banyak kalangan menolak pembaharuan dalam
Islam tetapi mereka tidak dapat menolak untuk mengakui bahwa tokoh-tokoh seperti
Muhammad Iqbal, Jamaluddin al-Afgani,Muhammad Abduh adalah pembaharu dan reformis
perkembangan pemikiran dalam Islam.

III. Takhtim

Perbedaan adalah hukum alam (sunnatullah) yang tidak dapat dihindari. Pemikiran
manusia berbeda satu sama lain, dengan demikian hasil analisis juga akan berbeda pula.

Perbedaan hasil pemikiran adalah satu berkah bagi yang berakal. Dengan perbedaan
ini ia akan mencari alasan yang menjadi dasar perbedaan dalam pendapat. Jika tidak mampu
untuk mencari alasan tersebut harus mengakui bahwa pemikirannya belum sampai pada level
yang demikian. Jika masih ada rasa penasaran dan kurang puas seyogyanya untuk bertanya
kepada orang yang menyatakan perbedaan tersebut. Bukanlah tindakan islami jika perbedaan
dalam hal pemikiran harus dilanjutkan dengan pelabelan diri orang lain dengan istilah-istilah
yang negatif dan sakral.

4
Dengan naluri ‘rasa ingin tahu’, manusia-manusia berakal akan selalu
mengaplikasikan firman Allah yang pertama ‘Iqra’. Bukan hanya Iqra ketika sekolah atau
kuliah tetapi tetap Iqra walau kain kafan sudah menyelimuti badan. Dengan demikian tidak
mustahil Islam akan menginjak zaman keemasannya seperti dahulu lagi. Tetapi jika dengan
mempertahankan ‘Iqra’ dahulu dan menyalahkan ‘Iqra’ yang sekarang, maka Islam akan
kembali pada zaman statis dan tidak berkembang sehingga Islam akan dibaratkan buih di
lautan. Al-Islamu Mahjubun bil Muslimin (Islam itu akan tertutup dan terkekang oleh
penganut Islam itu sendiri) demikian kata Sayyid Muhammad Abduh, Benarkah demikian ?.

Anda mungkin juga menyukai