Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Maudhu’


Al- Maudhu’ adalah isim maf’ul dari wa-dha’a, ya-dha-‘u, wadha-‘an, yang
mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan), al-iftira’ wa al-ikhtilaq
(mengada-ada atau membuat-buat), dan al-tarku (ditinggal).1 Jadi hadits maudhu’
menurut bahasa adalah hadits yang diada-adakan dan dibuat-buat.
Sedangkan pengertian hadits maudhu’ menurut istilah adalah “yakni hadits yang
disandarkan kepada Rasulullah saw, dengan dusta dan tidak ada kaitan yang hakiki
dengan Rasulullah. Bahkan, sebenarnya ia bukan hadits, hanya saja para ulama
menamainya dengan hadits yang mengingat adanya anggapan rawinya bahwa hal itu
adalah hadits”.2
Banyak sekali kata-kata ahli hikmah, kata-kata mutiara para sahabat dinisbatkan
kepada Nabi Saw. oleh para pemalsu hadits. Banyak pula mereka memalsukan hadits
dengan kata-kata yang mereka ciptakan dan mereka rangkai sendiri.3
Hadits maudhu’ adalah hadist dhaif yang paling jelek dan paling membahayakan
bagi agama Islam dan pemeluknya. Para ulama sepakat bahwa tidak halal meriwayatkan
hadits maudhu’ bagi seseorang yang mengetahui keadaannya, apa pun misi yang
diembannya kecuali disertai penjelasan tentang ke-maudhu’-annya dan disertai
peringatan untuk tidak menggunakannya. Rasulullah Saw. bersabda dalam sebuah hadits
yang sangat masyhur “Barang siapa meriwayatkan suatu hadits dariku yang ia ketahui
bahwa hadits itu dusta, maka ia adalah salah seorang pendusta.4
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa hadits maudhu’ bukanlah hadits yang
bersumber dari Rasulullah Saw. atau dengan kata lain bukan merupakan hadits Rasul,
paling tidak sebagian, namun hadits tersebut disandarkan kepada Rasul.5

1
Ilmu hadis 2002 h.176
2
1997 h.68
3
2012 h.308
4
Ibid 308-309
5
2008 h.171

Hadits Maudhu’ | 1
B. Latar Belakang Munculnya Hadits Maudhu’
Para ahli berbeda pendapat tentang awal mula kemunculan hadits maudhu’. Ahmad
Amin (w.1954) berpendapat bahwa hadits maudhu’ telah ada pada masa Nabi dengan
alasan pemahaman terhadap hadits mutawatir yang mengancam orang yang berdusta pada
Nabi dengan neraka. Hadits yang dimaksud adalah : “Barangsiapa dengan sengaja
berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”6
Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadits tidak hanya dilakukan oleh orang-orang
Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non Islam. Ada beberapa motif yang
mendorong mereka membuat hadits palsu, antara lain adalah:
1. Faktor Politik
Setelah khalifah ketiga –‘Utsman ibn ‘Affan’- wafat, timbullah perpecahan
dikalangan umat Islam. Perpecahan tersebut berlanjut dengan lahirnya
kelompok-kelompok pendukung masing-masing pihak yang berseteru, seperti
kelompok pendukung ‘Ali ibn Abi Thalib, pendukung Mu’awiyah ibn Abi
Sofyan, dan kelompok Khawarij, yang muncul setelah terjadinya perang
Syaffin, yaitu antara kelompok Ali dan kelompok Mu’awiyah.
Perpecahan yang bermotifkan politik ini mendorong masing-masing
kelompok berusaha untuk memenangkan kelompoknya dan menjatuhkan
kelompok lawan. Dalam upaya mendukung kelompok mereka masing-masing
serta menarik perhatian umat agar berpihak kepada mereka, maka mereka,
dalam melakukan kampanye politik, mencari argumen-argumen dari al-Qur’an
dan hadits. Akan tetapi, tatkala mereka tidak menemukan argumen yang mereka
butuhkan didalam kedua sumber tersebut, maka mereka mulai menciptakan
hadits-hadits palsu yang kemudian disandarkan kepada Nabi saw. Perpecahan
politik ini merupakan sebab utama (penyebab langsung) terjadinya pemalsuan
hadits.7

6
Idri 249
7
2007 155

Hadits Maudhu’ | 2
2. Usaha Kaum Zindiq
Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci Islam, baik sebagai agama
ataupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat
melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan Al-Qur’an,
sehingga menggunakan cara yang paling tapat dan memungkinkan, yaitu
melakukan pemalsuan hadits, dengan tujuan menghancurkan agama Islam dari
dalam. Ketika Abdul Al-Karim ibnu Auja hendak dihukum mati oleh
Muhammad bin Sulaiman bin Ali, ia mengatakan, “Demi Allah saya telah
membuat hadits palsu sebanyak 4.000 hadits.” Hammad bin Zaid mengatakan,
“Hadits yang dibuat kaum Zindiq ini berjumlah 12.000 hadits.”8
3. Sikap Fanatik Buta terhadap Bangsa, Suku, Bahasa, Negri, dan Pimpinan
Salah satu tujuan membuat hadits palsu adalah sifat ego dan fanatik buta
serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok, dan sebagainya. 9
Mereka yang fanatik terhadap bahasa Persia, membuat hadits yang
mendukung keutamaan bahasa Persia, dan sebaliknya, bagi mereka yang fanatik
terhadap bahasa Arab akan membuat hadits yang menunjukkan keutamaan
bahasa Arab dan mengutuk bahasa Persia.
Demikian juga kefanatikan terhadap seorang imam akan mendorong mereka
untuk memalsukan hadits yang menyanjung imam tersebut dan menjelekkan
imam yang lain, seperti: “Adalah dikalangan umatku seorang laki-laki yang
bernama Muhammad ibn Idrwis, dia lebih merusak terhadap umatku daripada
iblis. Dan ada lagi dari kalangan umatku seorang laki-laki bernama Abu
Hanifah. Dia adalah pelita bagi umatku.”10

8
2008 175
9
Ibid 175
10
2007 157

Hadits Maudhu’ | 3
4. Mempengaruhi Kaum Awam dengan Kisah dan Nasihat
Mereka melakukan pemalsuan hadits ini guna memperoleh simpatik dari
pendengarnya dan agar mereka kagum melihat kemampuannya. Hadits ini
mereka katakan terlalu berlebih-lebihan dan tidak masuk akal. Sebagai contoh
“Barang siapa yang mengucapkan kalimat Allah akan menciptakan seekor
burung (sebagai balasan dari tiap-tiap kalimat) yang paruhnya terdiri ari emas
dan bulunya dari marjan.” Ayyub Al-Sikhtiyani memberikan komentar terhadap
akibat dari pengaruh para tukang cerita dalam merusak hadits “Tiada sejelek-
jeleknya pembicaraan kecuali (yang berasal) dari tukang cerita.”11
5. Perselisihan dalam Fiqih dan Ilmu Kalam
Munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah-masalah fiqih dan ilmu kalam
ini berasal dari para pengikut Madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadits
karena didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan madzhabnya masing-
masing.12 Dibidang kalam terjadi perbedaan tentang qadim tidaknya al-Qur’an.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an itu tidak qadim, ia baru dan
diciptakan (makhluq). Sedang ahli hadits, yang diwakili Ahmad ibn Hanbal,
berpendapat bahwa al-Qur’an itu kalam Allah, kalam Allah merupakan salah
satu sifat-Nya. Karena al-Qur’an bukan makhluk, ia qadim. Untuk memperkuat
pendirian mereka, kelompok kedua membuat hadits palsu, misalnya: “barang
siapa mengatakan al-Qur’an itu makhluk, maka ia kafir.”13
6. Membangkitkan Gairah Beribadah, Tanpa Mengerti apa yang Dilakukan
Banyak diantara ulama yang membuat hadits palsu dengan asumsi bahwa
usahanya itu merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah dan menjunjung
tinggi agama-Nya. Mereka mengatakan “kami berdosa semata-mata untuk
menjunjung tinggi nama Rasulullah dan bukan sebaliknya.”14

11
2002 186
12
2008 176
13
Idri 286
14
2008 177

Hadits Maudhu’ | 4
C. Ciri-ciri Hadits Maudhu’
Para ulama hadits telah menentukan kaidah-kaidah untuk mengetahui hadits-
hadits maudhu’, sebagaimana halnya mereka juga telah menentukan ciri-ciri atau
karakteristik untuk menegtahui suatu hadits itu sahih, hasan, atau dhaif.
Hadits maudhu’ dapat diketahui melalui beberapa cirri atau karakteristik, bagi
dari segi sanad maupun dari segi matannya.15 Ciri-ciri yang dimaksud merupakan
kesimpulan pengkajian muhadditsin terhadap hadits-hadits maudhu’ satu per satu. Ciri-
ciri itu dapat mempermudah resiko pembahasan yang panjang lebar. Pedoman-
pedoman itu meliputi telaah atas keadaan rawi dan keadaan riwayatnya, sebagaimana
perincian berikut16:
1. Ciri-ciri yang Terdapat pada Sanad
Dari segi sanad, hadits maudhu’ dapat diketahui setidaknya melalui tiga hal,
yaitu:
Pertama, melalui pengakuan si pemalsu hadits itu sendiri. Artinya, sipemalsu
hadits dengan secara terbuka mengaku bahwa dirinya telah memalsukan hadits.
Hal ini seperti yang dilakukan oleh Abu ‘Ishmah Nuh ibn Abi Maryam, yang
telah memalsukan beberapa hadits yang berkaitan dengan keutamaan surat-surat
al-Qur’an. Demikian juga yang dilakukan oleh ‘Abd al-Karim al-Auja’, salah
seorang tokoh kaum zindiq yang terkenal dalam pemalsuan hadits, bahwa dia
telah memalsukan hadits sebanyak 4.000 hadits mengenai masalah halal dan
haram.
Kedua, bahwa perawi tidak bertemu dengan orang yang diakuinya sebagai
gurunya. Hal ini seperti yang dilakukan Ma’mum ibn Ahmad al-Harawi yang
telah mengaku mendengar hadits dari Hisyam ibn Hammar. Al-Hafizh ibn
Hibban mempertanyakan kpan Ma’mum datang ke Syam. Dijawab oleh
Ma’mun, tahun 205 H. Ibn Hibban selanjutnya mengatakan, bahwa Hisyam ibn
Hammar itu meninggal tahun 245 H. Ma’mun kemudian menjawab, bahwa itu
adalah Hisyam ibn Hammar yang lain. Pengakuan seperti diatas, menurut al-
Thahhan, sama kedudukannya dengan pengakuan telah memalsukan hadits.

15
2007 159
16
2012 320

Hadits Maudhu’ | 5
Ketiga, bahwa perawi dikenal sebagai seorang pendusta. Artinya, hadits yang
diriwayatkannya itu tidak diriwayatkan oleh seorang perawi lain yang
dipercaya.17

2. Ciri-ciri yang Terdapat pada Matan


Adapun dari segi matan hadits, hadits maudhu’ dapat diketahui melalui ciri-
ciri berikut ini:
Pertama, terdapat kerancuan pada lafadz hadits yang diriwayatkan. Artinya,
apabila lafadz tersebut dibaca oleh seorang ahli bahasa, ia akan segera
mengetahui bahwa hadits tersebut adalah palsu dan bukan berasal dari Nabi saw.
tentu, hal ini jika si perawi menyatakan bahwa hadits yang diriwayatkannya itu
lafadznya berasal dari Nabi saw.
Kedua, maknanya rusak. Menurut Ibn Hajar bahwa kejelasan lafadz ini
dititikberatkan pada kerusakan arti. Sebab, dalam sejarah tercatat, bahwa
periwayatan hadits disamping melalui lafadz (bi al-lafd) juga melalui maknanya
(bi al-ma’na). Hal ini sebagaimana ungkapan: “al-badinjanu dawa’un min kulli
da’in” (terong itu merupakan obat dari segala penyakit).
Ketiga, matannya bertentangan dengan akal sehat. Hal ini sebagaimana
ungkapan: “Siapa yang mengambil ayam jantan putih, dia tidak akan didekati
(dikenai) oleh setan dan sihir”, dan “Sesungguhnya sampan (kapal) Nabi Nuh
telah thawaf di Baitullah sebanyak tujuh kali, dan shalat dimakam Ibrahim dua
rakaat.”
Keempat, bertentangan dengan nash al-Qur’an, hadits mutawattir atau jima’.
Seperti ungkapan: “Anak zina tidak akan masuk ke dalam surge sampai tujuh
keturunan.” Demikian juga hadits yang berbunyi: “Apabila diceritakan kepada
kamu sesuatu hadits dariku yang sejalan dengan kebenaran, maka ambillah
(terimalah) hadits itu, apakah aku benar-benar telah menyampaikan hadits itu
atau tidak.” Hadits ini bertentangan dengan hadits mutawattir berikut ini:”Siapa
yang berbuat dusta atas namaku dengan sengaja, maka sungguh dia telah
menyediakan tempatnya didalam api neraka.”

17
2007 160

Hadits Maudhu’ | 6
Kelima, hadits yang mendakwah bahwa para sahabat sepakat untuk
menyembunyikan sesuatu pernyataan Rasul saw, seperti riwayat tentang Rasul
saw memegang tangan Ali dihadapan para sahabat, kemudian beliau
bersabda:”ini adalah penerima wasiatku, saudaraku dan khalifah sesudahku.”
Kemudian para sahabat, menurut dakwaan kelompok yang memalsukan hadits
tersebut, bersepakat untuk menyembunyikan dan mengubah hadits tersebut.
Keenam, hadits yang menyalahi fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi
saw, seperti hadis yang menjelaskan bahwa Nabi Saw menetapkan jizyah atas
penduduk Khaibar dengan disaksikan oleh Sa’d ibn Mu’az. Sa’d sendiri,
menurut keterangan sejarah, telah meninggal sebelum peristiwa tersebut, yaitu
pada peristiwa Perang Khandaq, dan penetapan jizyah baru ditetapkan Nabi pada
Perang Tabuk terhadap orang-orang Nasrani di Bahrain dan Yahudi di Yaman.
Ketujuh, matan hadits tersebut sejalan atau mendukung mazhab perawinya,
sementara perawi tersebut terkenal sebagai seorang yang sangat fanatic terhadap
mazhabnya. Umpamanya, seorang Rafidah meriwayatkan hadits tentang
keutamaan iahl al-bait.
Kedelapan, suatu riwayat mengenai peristiwa besar yang terjadi dihadapan
umum yang semestinya diriwayatkan oleh banyak orang, akan tetapi ternyata
hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Seperti, riwayat tentang
pengepungan yang dilakukan musuh terhadap orang banyak yang sedang
melakukan ibadah haji di Baitullah.
Kesembilan, hadits yang menerangkan pahala yang sangat besar terhadap
perbuatan kecil dan yang sederhana, atau sebaliknya siksaan yang sangat hebat
terhadap tindakan salah yang kecil.
Demikianlah beberapa kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama hadits
untuk mengetahui dan mengenali hadits maudhu’.

Hadits Maudhu’ | 7
D. Sumber-sumber Hadits Maudhu’
Para ilmuwan hadits telah menyusun berbagai kitab yang menjelaskan hadits-
hadits maudhu’. Untuk itu, mereka mencurahkan segala kemampuan untuk membela
kaum Muslim agar tidak terjerumus dalam kebatilan, dan untuk memurnikan agama
yang penuh pesona. Diantara kitab-kitab sumber hadits maudhu’ yang terpenting adalah
sebagai berikut:
1. Al-Maudhu’at karya al-Hafizh Abul Faraj Abdurrahman bin al-Jauzi (w.597 H)
Kitab ini merupakan kitab yang pertama dan paling luas bahasanya dibidang
ini. Akan tetapi, kekurangan kitab ini adalah banyak sekali memuat hadits yang
tidak dapat dibuktikan kepalsuannya, melainkan hanya berstatus dhaif, bahkan
ada di antaranya yang berstatus hasan dan sahih, hal ini melebihi batas dan hanya
dikira-kira saja.
Syaikhul Islam Ibnu Hajar berkata “Kebanyakan hadits dalam kitab al-Jauzi
adalah hadits maudhu’, dan hadits yang mendapat kritik itu sangat sedikit
dibandingkan dengan hadits yang tidak mendapat kritik.” Selanjutnya ia berkata
“ Kekurangan kitab ini adalah bahwa penulisanya menganggap hadits yang
bukan maudhu’ sebagai hadits maudhu’; sebaliknya kekurangan pada Mustadzak
al-Hakim adalah bahwa al-Hakim menganggap hadits yang tidak sahih sebagai
hadits sahih. Dengan demikian, kritik terhadap kedua kitab ini harus
diperhatikan, karena pembicaraan yang mengungkap ketidak sportifan kedua
kitab itu akan menjadikannya tidak dimanfaatkan kecuali oleh orang yang alim
dalam bidang ini.”
Oleh karena itu, para ulama menyusun kitab untuk member koreksi terhadap
kitab Ibnu al-Jauzi dengan menguji dan membersihkannya dari kesalahan.
2. Al-La’ali’ al-Mashmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah karya al-Hafizh
Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H).
Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Ibnu al-Jauzi disertai penjelasan
tentang kedudukan hadits-hadits yang bukan maudhu’ ditambah dengan hadits-
hadits maudhu’ yang belum disebutkan oleh Ibnu al-Jauzi. Dengan demikian,
kitab ini sangat komplit dan besar manfaatnya.

Hadits Maudhu’ | 8
3. Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Ahadits al-Syani’ah al-Maudhu’ah
karya al-Hafizh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin’Iraq al-Kannani (w.
936 H).
Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Ibnu at-Jauzi dan tambahan al-
Suyuthi serta tambahan ulama lainnya dalam kitab mereka. Kitab ini diberi
mukadimah yang menyebutkan nama-nama rawi yang pendusta yang jumlahnya
lebih dari 1.900 orang, dan hal ini merupakan suatu ilmu yang sangat berharga
yang terkandung dalam kitab ini.
4. Al-Manar al-Munif al-Shahih wa al-Dha’if karya al-Hafizh Ibnu Qayyim al-
Jauziyah (w. 751 H)
5. Al-Mashnufi al-Hadits al-Maudhu karya Ali Al-Qari (w. 1014 H).
Kedua kitab ini terakhir ini amat ringkas dan sangat bermanfaat.

E. Cara Membendung Hadits Maudhu’


Dalam upaya menanggulangi hadits-hadits maudhu’ agar tidak berkembang dan
semakin meluas, serta agar tepeliharanya hadits-hadits Nabi saw. dari tercampurnya
dengan yang bukan hadits, para ulama hadits telah merumuskan langkah-langkah yang
dapat mengantisipasi problema hadits maudhu’ ini. Langkah-langkah tersebut adalah
sebagai berikut18:
1. Memelihara Sanad Hadits
Ketelitian dan sikap ketat terhadap sanad hadits telah dilakukan oleh umat
Islam sejak masa sahabat dan tabi’in. Sikap teliti dan hati-hati tersebut semakin
meningkat terutama setelah terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam dan
munculnya tindakan pemalsuan hadits. Para sahabat dan tabi’in apabila mereka
menerima hadits selalu menanyakan tentang sanad suatu ari orang yang
merawikannya, dan sebaliknya mereka juga akan menerangkan sanad dari hadits
yang mereka sampaikan.19

18
2007 163-164
19
Ibid 164

Hadits Maudhu’ | 9
2. Memilih Perawi-perawi Hadits yang Terpercaya
Para ulama menanyakan hadits-hadits yang dipandang kabur atau tidak jelas
asal-usulnya kepada para sahabat, tabi’in, dan pihak-pihak yang menekuni
bidang ini. Mereka tidak akan sembarangan untuk meriwayatkan hadits. Mereka
akan memilih dari orang-orang tertentu yang dipandang menguasai dan
mengetahui persoalan ini.20
3. Menerangkan Keadaan Para Perawi
Merupakan keharusan bagi para ulama hadits untuk mengenali para perawi
hadits, sehingga mereka dapat nenetapkan dan sekaligus membedakan perawi
yang benar dan dapat dipercaya riwayatnya dari perawi yang pembohong.
Dengan demikian, dapat dibedakan mana hadits yang shahih, dhai’if, bahkan
yang palsu. Oleh karenannya, pengetahuan tentang kehidupan para perawi dan
keadaan mereka adalah mutlak untuk dimiliki oleh para ulama hadits dalam
rangka menilai hadits yang diriwayatkan mereka. Dan, usaha ini akhirnya
melahirkan berbagai ilmu seperti ilmu al-jarh wa al-ta’dil.21
4. Menyusun Kaidah-kaidah Umum untuk Meneliti Hadits-hadits Tersebut
Sebagaimana para ulama telah menetapkan ketentuan-ketentuan dalam
menilai suatu hadits, apakah shahih, hasan, atau dhaif, mereka juga membuat
kaidah-kaidah untuk menetapkan suatu hadits itu palsu atau tidak. Diantaranya,
mereka menetapkan criteria hadits maudu’, baik dari segi sanad maupun matan.
Pada dasarnya , hadits maudu’ tersebut bukanlah hadits yang berasal dari
Nabi saw. tetapi merupakan pernyataan sengaja dibuat atau kebohongan yang
dilakukan oleh seorang perawi, yang selanjutnya dinisbahkan, atau
ditambahkannya pada hadits Nabi saw. dengan tujuan dan motif-motif tertentu.22
Dengan berbagai kaidah dan ilmu hadits, disamping telah dibukukan hadits,
mengakibatkan ruang gerak para pembuat hadits palsu yang sangat sempit.
Selain itu, hadits-hadits yang berkembang di masyarakat dan termaktub dalam
kitab-kitab dapat diteliti dan diketahui kualitasnya. Dengan menggunakan

20
Munzaer 192
21
2007 164
22
Ibid 165

Hadits Maudhu’ | 10
berbagai kaidah dan ilmu hadits itu, ulama telah berhasil menghimpun berbagai
hadits palsu dalam kitab-kitab palsu.
Seperti Al-Maudhu’ Al-Kubra, karangan Abu Al-Fari ‘Abd Al-Rahman bin
Al-Jauzi (580-597 H) dalam empat jilid; Al-Ba’its ‘ala Al-Khalas min Hawadits
Al-Qishas, oleh Al-Hafidz Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahman Al-Iraq (725-806 H);
Tanzih Al-Syai’ah Al-Mafu’ahh min Al-Ahbar Al-Syam’ilati Al-Maudhu’at, oleh
Abu Al-Hasan ‘Ali bin Muhammad Al-Kanany (w.963 H); Al-Qawa’id Al-
Majmu’ah fi Hadits Al-Maudhu’at, oleh Qadhi Abu ‘Abdullah Muhammad bi
‘Ali as-Syanhani. (1173-1255 H).23

23
Munzaer 193

Hadits Maudhu’ | 11

Anda mungkin juga menyukai