GOVERNANCE
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika Soeharto lengser dari kursi kepresidenan pada bulan Mei 1998, ada harapan untuk
terjadinya perubahan yang mendasar dalam kepemerintahan (Governance) di Indonesia. Salah satu
isu mencuat selama tahun-tahun terakhir pemerintahan Soeharto adalah mewabahnya korupsi yang
tidak hanya melibatkan Soeharto dan keluarganya, tetapi juga seakan telah merasuk sampai tingkat
terendah dan semakin terang-terangan. Pelayanan Publik, di semua level, betul-betul sangat
berpengaruh, banyak terjadi misalokasi dana, sementara intensif untuk memberikan pelayanan publik
yang baik nyaris tidak ada. Kondisi ini membentuk kultur administrasi yang birokratis, dimana sangat
sedikit atau tidak ada dorongan untuk melaksanakan reformasi dan perubahan: sebaliknya, perilaku
birokrasi banyak diwarnai sikap asal bapak senang. Banyak, kalau tidak nyaris seluruh pegawai negeri
dan politikus ditingkat lokal selama masa pemerintahan Soeharto hidup nyaman, menikmati
kekuasaan dan materi yang cukup melimpah, yang tidak sungguh-sungguh ingin berubah. Rendahnya
transparansi dan akuntabilitas, disertai paternalisme buta dan pemupusan inisisatif lokal mengarah
pada situasi ketidakpercayaan yang mendalam dari kalangan warga terhadap lembaga publik. Yang
paling serius adalah adanya fakta bahwa masyarakat tidak mempercayai institusi-institusi yang
mestinya bertujuan untuk menjaga hukum dan ketertiban, yaitu polisi, pengadilan, dan adminstrasi
publik.
Memang tugas yang tidak mudah untuk mengubah sebuah sistem yang begitu mendarah
daging. Mengubah suatu birokrasi dari yang biasa bekerja secara hierarkis menjadi birokrasi yang
responsif terhadap rakyat dan atau wakilnya yang terpilih, nampaknya masih merupakan proses yang
lambat dan sulit. Belajar dari sejarah kelembagaan dan budaya politik di Indonesia kiranya sulit unutuk
mengharapkan terjadinya reformasi di sektor publik kalau kita berharap itu akan terjadi dengan
sendirinya dari dalam, dari aparat itu sendiri. Terlalu besar risiko dan terlalu sedikit penghargaan bagi
aparat-aparat publik untuk melaksanakan inovasi. Reformasi sektor publik di Indonesia tampaknya
harus diprakarsai oleh pihak luar, memalui tekanan-tekanan dari civil society dan reformasi politik
melalui anggota legislatif dan partai politik. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan memenangkan “hati
dan pikiran” masyarakat. Penggunaan paksaan dan janji-janji kosong hanya akan menimbulkan
pengasingan dan apatisme. Pelatihan profesional yang diselenggrakan oleh lembaga-lembaga donor
semenjak era 1980-an dan 1990-an, sepertiya kecil pengaruhnya terhadap perubahan, karena
situasinya kembali tergantung kepada individu dan lembaganyanya memang tidak beritikad untuk
melakukan perubahan. Kondisi yang mendukung untuk terjadinya perubahan tidak tersedia.
Oleh karena itu, penyeleggaraan administrasi publik-yang merupakan kunci untuk
terlaksanakan demokrasi lokal-pada awalnya bisa jadi segan untuk mendukung desentralisasi yang
demokratis. Rasanya sangatlah perlu keikutsertaan dalam pendidikan politik, yang akan menjelaskan
bahawa keberlanjutan pemerinntahan hanya dapat dicapai melalui administrasi yang transparan,
yang mengarah pada peran masyarakat yang lebih tinggi serta tingkat penerimaan masyarakat yang
lebih baik atas berbagai rencana pemerintah.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk lebih mengetahui dan memahami lebih mendalam dan jauh tentang tata
pemerintahan yang baik (Good Governence).
2. Sebagai bahan bacaan dan referensi mengenai tata pemerintahan yang baik.
3. Memberikan gambaran tata pemerintahan yang baik pada sektor publik khususnya di
Indonesia.
D. Manfaat
Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat, yaitu:
a. Bagi mahasiswa, sebagai bahan acuan dan persiapan dalam menghadapi pemerintahan
Indonesia ke depan sesuai dengan prinsip “good governance”.
b. Bagi masyarakat luas, sebagai bahan bacaan dalam mengambil sikap terhadap pemerintahan
yang berlangsung.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Good Governance
Governance diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur
sumber daya dan memecahkan masalah-masalah publik. Dalam konsep governance, pemerintah
hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor paling menetukan. Implikasinya, peran
pemerintah sebagai pembangun maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastruktur akan bergeser
menjadi badan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas
dan sektor swasta untuk ikut aktif melakukan upaya tersebut. Governance menuntur redefinisi peran
negara, dan itu berarti adanya redefenisi pola pada peran warga. Ada tuntunan yang lebih besar pada
warga, antara lain untuk memonitor akuntabilitas pemerintahan itu sendiri.
Sejatinya konsep governance harus dipahami sebagai sebagai suatu proses, bukan struktur atan
institusi. Governance juga menunjukan inklusivitas. Kalau government dilihat sebagai “mereka”
maka governance adalah “ kita”. Menurut Leach & Percy-Smith (2001), government mengandung
pengertian politisi dan pemerintahan yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan,
sementara sisa dari ‘kita’ adalah penerima yang pasif. Sementara governance meleburkan perbedaan
antara “pemerintah” dan “yang diperintah”, kita semua adalah bagian dari proses governance.
Istilah good governance saasi ini menjadi sangat “trendi”. Walaupun wacana governance dalam
pembangunan, sebagaimana wacana demokrasi, relatif baru bagi bangsa Indonesia, istilah tersebut
cepat sekali populer. Ada yang menerjemahkan good governance sebagai “kepemerintahan yang
prima” atau “tata pemeritahan yang baik”. Dan good governance mengandung arti hubungan yang
sinergis dan kontruktif diantara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Dalam hal ini adalah
kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalistas,
akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efesiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan
daat diteriman oleh seluruh masyarakat.
Governance yang baik hanya tercipta apabila dua kekuatan saling mendukung: warga yang
bertanggung jawab, aktif dan memiliki kesadaran, bersama dengan pemerintah yang terbuka,
tanggap, mau mendengar, mau melibatkan (inklusif). Inilah basis tatanan masyarakat yang
diidamkan.[2]
Proses pengambilan keputusan publik dengan gaya lama, yang memberikan pemerintah peran
sentral dalam mengotrol dan mengelola sumber daya pembangunan dan tidak memberikan banyak
ruang (akses) kepada masyarakat untuk terlibat merumuskan persoalan yang mereka hadapi dan
memutuskan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya, akan diganti dengan proses yang baru
yang lebih partisipori. Supaya pertemuan ini berlangsung baik (demokratis) dan menghasilkan
keputusan yang adil dan memuaskan semua pihak, ada berbagai prasyarat yang harus dipenuhi
terlebih dahulu. Dengan pertimbangkan sistem sosial yang ada serta kondisi praktik-
praktik governance yang berlangsung saat ini, beberapa elemen strategis yang dituntut dalam
penyelenggaraan governance yang lebih baik di Indonesia antara lain:
Redifinisi peran pemerintah menuntur adanya tipe kepemimpinan yang baru. Berbagai litertur
tentang “perubahan” menyebutkan pentingnya leadership sebagai salahsatu penentu kesuksesan.
Dalam mewujudkan good governance, pimpinan daerah (eksekutif san legislatif) maupun pimpinan
masyarakat (tokoh-tokoh informal, adat) memegang yang sangat penting sebagai pendorong atau
penghambat perubahan. Kata kunci yang penting dari kepemimpinan yang baru ini
adalah visionary dan trustworthy. Idealnya, seorang pemimpin harus memilki visi dan dapat
dipercaya.
Elemen penting lain dari penyelenggaraan good governance adalah adanya posisi tawar warga
terhadap pemerintah dalam rangka penyelenggaran publik. Kesetaraan adalah prasyarat dari berbagai
interaksi yang sehat. Pengorganisasian warga, pembentukan jaringan kerja antar civil
society organizations adalah beberapa dari langkah kecil yang penting untuk mengkonsolidasikan civil
society sebagai kekuatan penyeimbang dari pemerintah. Keterbukaan yang diberikan oleh
model governance yang baru harus di imbangi dengan kemampuan civil society dalam merumuskan
permintaan kolektif, menciptakan representasi dan berbagai interest yang ada di masyarakat dan
meresolusi konflik-konflik yang muncul.
Berbagai studi tentang implementasi suatu perubahan menyebutkan kemampuan teknis dan
manajemen sebagai faktor pembentuk hasil dari suatu kebijakan atau program. Bagaimana proses
perencanaan dan penganggaran dirumuskan, bagaimana pengorgniasian dan pelaksanaannya,
maupun proses pengendalian dan pengawasan yang dijalankan merupakan cermin dari kemampuan
teknis dn manajemen urusan publik. Perubahan yang diharapkan dalam
mewujudkan good governance menuntut adanya desentralisasi dalam pengambilan keputusan,
adanya pengerutan jumlah pegawai disektor publik dan tuntunan yang lebih dasar terhada
akuntabilitas dalam penyelenggaran urusan publik.
d. Ruang Partisipasi
Situasi ketiadaan komunikasi yang terbuka dan bersifat dua arah perlu diubah menjadi situasi yang
lebih terkoordinir, deliberatif dan menunjukkan adanya hubungan kesetaraan. Pembentukan
forum stakeholders, adanya jaringan kerja sama ornop dan civil society organizations lainnya, maupun
koordinasi kerja antar instansi pemerintahan adalah hal-hal yang mmendorong terciptanya
mekanisme interaksi dan partisipasi stakeholders. Peran media massa untuk mendorong adanya
komunikasi dan ruang partisipasi yang lebih sehat juga merupakan bagaian yang penting dalam
mewujudkan good governance.[3]
Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good
governance yang harus diperhatikan yaitu:
a. Partisipasi (participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung
maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh
tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yaitu kebebasan berkumpul dan mengungkapkan
pendapat secara konstruktif.
1) Supremasi hukum
2) Kepastian hokum
5) Independensi peradilan.
c. Transparansi (transparency)
Transparansi (keterbukaan umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good
governance. Akibat tidak adanya prinsip transparansi ini, menurut banyak ahli Indonesia telah
terjerembab dalam kubangan korupsi yang berkepanjangan dan parah. Untuk itu, pemerintah harus
menerapkan transparansi dalam proses kebijakan publik. Menurut Gaffar, terdapat 8 (delapan) aspek
mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu
3) Pemberian penghargaan
5) Kesehatan
d. Responsif (responsive)
e. Konsesus (consesus)
Prinsip ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah
melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan sebagian besar
pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga akan memiliki
kekuatan memaksa bagi semuakomponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.
f. Kesetaraan (equity)
Clean vand good governance juga harus didukung dengan asas kesetaraan, yakni kesamaan dalam
perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua
penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena kenyatan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa yang
majemuk, baik etnis, agama, dan budaya.
g. Efektivitas dan Efisiensi
Konsep efektivitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni efektivitas
dalam pelaksanan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun partisipasi masyarakat,
dan kedua, efektivitas dalam konteks hasil, yakni mampu membrikan kesejahteraan pada sebesar-
besarnya kelompok dan lapisan sosial.
h. Akuntabilitas (accountability)
Asas akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang
memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Secara teoritik, akuntabilitas
menyangkut dua dimensi yakni akuntabilitas vertikal yang memiliki pengertian bahwa setiap pejabat
harus mempertanggung jawabkan berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap
atasan yang lebih tinggi, dan yang kedua akuntabilitas horisontal yaitu pertanggungjawaban
pemegang jabatan publik pada lembaga yang setara.
i. Visi Strategis
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang.
Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seseorang yang memiliki
jabatan publik atau lembaga profesional lainnya, harus memiliki kemampuan menganalisa persoalan
dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.[4]
Menurut Institute on Governance (1996), sebagaimana dikutip Nisjar (1997), untuk menciptakan
good governanace perlu diciptakan hal-hal berikut:
b. Hubungan kemitraan antar pemerintah dengan setia unsur dalam masyarkat negara yang
bersangkutan
c. Pemahaman dan komitmen terhadap manfaat dan arti pentingnya tanggung jawab bersama
dan kerjasama dalam satu keterpaduan sinergisme dalam pencapaian tujuan.
d. Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai untuk mendorong terciptanya
kemampuan dan keberanian menaggung risiko (risk taking) dan berinisiatif, sepanjang hal ini
secara relistik dapat dikembangkan.
e. Adanya pelayanan administrasi publik dan bersahabat yang berorientasi pada masyarkat,
mudah dijangkau masyarkat dan bersahabat, berdasarkan kepada asas pemerataan dan
keadilan dalam setipa tindakan dan pelayanan kepada masyarkat, berfokus pada kepentingan
masyarakat, bersikap profesional, dan tidak memihak (non-partisan).[5]
Untuk itu pemerintah menuntut untuk lebih efektif, inovatif, dan cerdas tentang yang mana yang
harus dilakukan dan diprioritaskan, selain juga mampu membedakan antara yang urgen dan yang tidak
perlu dilakukan dengan pertimbangkan keterbatasan sumber daya, menghemat dan menambah aset
publik melalui investasi publik dengan tidak membebani mereka.[8]
Semestinya pelayanan merespon pada kepentingan dan kebutuhan publik, dengan mengubah
paradigma dari pelayanan yang sifatnya sentralistik menuju pelayanan yang lebih pemberikan
kepuasaan.
Selain mengubah citra aparatur dan dilakukannya efesiensi birokrasi, langkah berikutnya untuk
mewujudkan good governance pelayanan publik (administrasi publik) adalah adanya efektivitas dan
efesiensi pelayanan publik (administrasi publik).
Secara sederhana efektivitas dapat diartikan sebagai tepat sasaran yang juga lebih diarahkan pada
aspek kebijakan. Artinya, program pembangunan yang akan dan sedang dijalankan atau ditujukan
untuk perbaikan kualitas hidup rakyat yang benar-benar diperlukan guna meningkatkan produktivitas
rakyat sehingga berdampak pada meningkatnya investasi pubik dalam bidang ekonomi dan sosial.
Efektivitas fokus kepada tingkat pencapaian terhadap tujuan dari organisasi publik.[9]
c. Karakteristik pekerja yang meliputi keterikatan pada organisasi pada organisasi dan prestasi
kerja
d. Karakteristik kebijakan praktik manajemen yang meliputi penyusunann rencana strategis dan
proses komunikasi
Efesiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara
masukan dan keluaran dalam penyelenggaran pelayanan publik.
Dalam kaitanya dengan penyelenggaran pelayanan publik tentunya keterlibatan dan kerjasama
semua stakeholder dalam hal ini pemerintah, masyarakat, dana pihak swasta harus
ditumbuhkembangkan secara berkesinambungan, sehingga pada akhirnya diharapkan praktik
pelayanan publik dapat memenuhi nilai –nilai yang diisyaratkan dalam implementasi good
governance.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Good governance bermakna “tata kepemerintahan yang baik” atau “kepemerintahan yang
prima”.
Good govermnance mengandung arti hubungan yang sinergis dan kontruktif diantara negara,
sektor swasta, dan masyarakat. Dalam hal ini adalah kepemerintahan yang mengembangkan
dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalistas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima,
demokrasi, efesiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan daat diteriman oleh seluruh
masyarakat. UNDP menyebutkan ciri-ciri good governance, mengikut sertakan semua,
transparan dan bertanggung jawab, efektif dan adil, menjamin adanya supremasi hukum,
menjamin prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus
masyarakat, serta memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam
proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan.
Elemen strategis yang dituntut dalam penyelenggaraan governance yang lebih baik di
Indonesia antara lain:
d. Ruang Partisipasi
Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good
governance yang harus diperhatikan yaitu
a. Partisipasi (participation)
c. Transparansi (transparency)
d. Responsif (responsive)
e. Konsesus (consesus)
f. Kesetaraan (equity)
h. Akuntabilitas (accountability)
i. Visi Strategis
B. Saran
1. Walaupun good governance dikita belum tercapai tetapi kita harus terus mendukung dan terlibat
kerjasama dengan pemerintah atau sektor swasta untuk tercapainya good governance sendiri.
2. Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan bagi setiap institusi di daerah yang bertugas
memberikan pelayanan kepada masyarakat
3. Pemerintah sebagai pelayan publik perlu mengupayakan untuk menekan sekecil mungkin
terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan kemampuan aparatur
pemerintah untuk memenuhinya
4. Pemerintah harus mampu mendorong kompetisi antar pemberi jasa; Memberi wewenang kepada
warga; Mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil, bukan masukan;
Digerakkan oleh tujuan/missi, bukan oleh peraturan; Menempatkan klien sebagai pelanggan dan
menawarkan kepada mereka banyak pilihan; Lebih baik mencegah masalah ketimbang hanya
memberi servis sesudah masalah muncul; Mencurahkan energinya untuk memperoleh uang, tidak
hanya membelanjakan; Mendesentralisasikan wewenang dengan menjalankan manajemen
partisipasi; Lebih menyukai mekanisme pasar ketimbang mekanisme birokratis; Memfokuskan
pada mengkatalisasi semua seKtor – pemerintah, swasta, dan lembaga sukarela – kedalam
tindakan untuk memecahkan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Fauzur_Rahman.MakalahGoodGovernence.Website:http://fauzurr.blogspot.com/2012/07/makalah-
good-governance.html. diunduh: 1 April 0014
Nurmandi, Ahmad. 2006. Manajemen Perkotaan, Aktor, Organisasi, Pengelolan Daerah Pekotaan dan
Metropolitan di Indonesia. Yogyakarta: Sinergi Publishing.
Novita Tresna. Efektivitas, Efesiensi Organisasi Publik versus Optimalisasi Pelayanan Publik.
Website: www.domaindlx.com.
Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik Sudrajat. 2009. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan
pelayanan Publik. Bandung: NUANSA.
Santoso, Pandji.. 2008. Administrasi Publik - teori dan aplikasi good governance. Bandung: Refika
Aditama.
Sj. Sumarto, Hetifah . 2009. Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
[1]
Hetifah Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2009), hlm.1 dan 17.
[2]
Ibid., hlm. 3.
[3]
Hetifah Sj. Sumarto, op.cit., hlm. 83.
[4]Fauzur_Rahman.MakalahGoodGovernance.Website:http://fauzurr.blogspot.com/20
12/07/makalah-good-governance.html
[5]
Pandji Santoso.. Administrasi Publik-teori dan aplikasi good governance. (Bandung: Refika Aditama,
2008) hlm.132.
[6]
Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, (Yogyakarta: Gajah mada
University Press, 2005), hlm. 20.
[7]
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan pelayanan
Publik, (Bandung: NUANSA, 2009), hlm. 83.
[8]
Novita Tresna, Efektivitas, Efesiensi Organisasi Publik versus Optimalisasi Pelayanan Publik,
Website: www.domaindlx.com
[9]
Ahmad Nurmandi, Manajemen Perotaan, Aktor, Organisasi, Pengelolan Daerah Pekotaan dan
Metropolitan di Indonesia, (Yogyakarta: Sinergi Publishing, 2006), hlm.269.
[10]
Richard M. Steers, Efektivitas Organisasi, (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 8.
[11]
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, op.cit., hlm. 88
Diposting 2nd February 2015 oleh Unknown