Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH ADMINISTRASI PUBLIK DALAM RANGKA GOOD

GOVERNANCE

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika Soeharto lengser dari kursi kepresidenan pada bulan Mei 1998, ada harapan untuk
terjadinya perubahan yang mendasar dalam kepemerintahan (Governance) di Indonesia. Salah satu
isu mencuat selama tahun-tahun terakhir pemerintahan Soeharto adalah mewabahnya korupsi yang
tidak hanya melibatkan Soeharto dan keluarganya, tetapi juga seakan telah merasuk sampai tingkat
terendah dan semakin terang-terangan. Pelayanan Publik, di semua level, betul-betul sangat
berpengaruh, banyak terjadi misalokasi dana, sementara intensif untuk memberikan pelayanan publik
yang baik nyaris tidak ada. Kondisi ini membentuk kultur administrasi yang birokratis, dimana sangat
sedikit atau tidak ada dorongan untuk melaksanakan reformasi dan perubahan: sebaliknya, perilaku
birokrasi banyak diwarnai sikap asal bapak senang. Banyak, kalau tidak nyaris seluruh pegawai negeri
dan politikus ditingkat lokal selama masa pemerintahan Soeharto hidup nyaman, menikmati
kekuasaan dan materi yang cukup melimpah, yang tidak sungguh-sungguh ingin berubah. Rendahnya
transparansi dan akuntabilitas, disertai paternalisme buta dan pemupusan inisisatif lokal mengarah
pada situasi ketidakpercayaan yang mendalam dari kalangan warga terhadap lembaga publik. Yang
paling serius adalah adanya fakta bahwa masyarakat tidak mempercayai institusi-institusi yang
mestinya bertujuan untuk menjaga hukum dan ketertiban, yaitu polisi, pengadilan, dan adminstrasi
publik.

Memang tugas yang tidak mudah untuk mengubah sebuah sistem yang begitu mendarah
daging. Mengubah suatu birokrasi dari yang biasa bekerja secara hierarkis menjadi birokrasi yang
responsif terhadap rakyat dan atau wakilnya yang terpilih, nampaknya masih merupakan proses yang
lambat dan sulit. Belajar dari sejarah kelembagaan dan budaya politik di Indonesia kiranya sulit unutuk
mengharapkan terjadinya reformasi di sektor publik kalau kita berharap itu akan terjadi dengan
sendirinya dari dalam, dari aparat itu sendiri. Terlalu besar risiko dan terlalu sedikit penghargaan bagi
aparat-aparat publik untuk melaksanakan inovasi. Reformasi sektor publik di Indonesia tampaknya
harus diprakarsai oleh pihak luar, memalui tekanan-tekanan dari civil society dan reformasi politik
melalui anggota legislatif dan partai politik. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan memenangkan “hati
dan pikiran” masyarakat. Penggunaan paksaan dan janji-janji kosong hanya akan menimbulkan
pengasingan dan apatisme. Pelatihan profesional yang diselenggrakan oleh lembaga-lembaga donor
semenjak era 1980-an dan 1990-an, sepertiya kecil pengaruhnya terhadap perubahan, karena
situasinya kembali tergantung kepada individu dan lembaganyanya memang tidak beritikad untuk
melakukan perubahan. Kondisi yang mendukung untuk terjadinya perubahan tidak tersedia.
Oleh karena itu, penyeleggaraan administrasi publik-yang merupakan kunci untuk
terlaksanakan demokrasi lokal-pada awalnya bisa jadi segan untuk mendukung desentralisasi yang
demokratis. Rasanya sangatlah perlu keikutsertaan dalam pendidikan politik, yang akan menjelaskan
bahawa keberlanjutan pemerinntahan hanya dapat dicapai melalui administrasi yang transparan,
yang mengarah pada peran masyarakat yang lebih tinggi serta tingkat penerimaan masyarakat yang
lebih baik atas berbagai rencana pemerintah.

Isu governance mulai memasuki arena perdebatan pembangunan di Indonesia didorong


adanya dinamika yang menuntut perubahan-perubahan di sisi pemerintah maupun di sisi warga. Ke
depan pemerintah dan pemimpin politik di negara ini diharapkan menjadi lebih demokratis, efisien
dalam penggunaan sumber daya publk, efektif menjalan fungsi pelayanaan publik, lebih tanggap serta
mampu meyusun kebijakan, program dan hukum yang menjamin hak asasi dan keadilan sosial. Sejalan
dengan harapan baru terhadap peran memilki kesadaraan akan hak dan kewajibannya, lebih
terinformasi, memiliki solidaritas terhadap sesama, bersedia berpartisipasi aktif dalam
penyelenggaraan urusan publik, memiliki kemampuan untuk berurusan dengan pemerintah atau
institusi publik lainnya, tidak apatis, serta tidak memetingkan diri sendiri. Adanya perubahan di sisi
pemerintah dan warga seperti tersebut diatas, berarti adanya perubahan dalam pola governance.

B. Rumusan Masalah

Dalam tugas ini saya memiliki empat rumusan masalah, yaitu :.

1. Bagaimanakah sebenarnya konsep dari good governance?

2. Bagaimana untuk membangun prasyarat good governance?

3. Apa saja prinsip-prinsip pokok good governance?

4. Bagaimana pelayanan publik (administrasi publik) dalam konsep good governance?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu:

1. Untuk lebih mengetahui dan memahami lebih mendalam dan jauh tentang tata
pemerintahan yang baik (Good Governence).

2. Sebagai bahan bacaan dan referensi mengenai tata pemerintahan yang baik.

3. Memberikan gambaran tata pemerintahan yang baik pada sektor publik khususnya di
Indonesia.

4. Menyajikan bagaimana penerapan penyelenggaraan governance yang lebih baik di Indonesia.

D. Manfaat

Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat, yaitu:

a. Bagi mahasiswa, sebagai bahan acuan dan persiapan dalam menghadapi pemerintahan
Indonesia ke depan sesuai dengan prinsip “good governance”.
b. Bagi masyarakat luas, sebagai bahan bacaan dalam mengambil sikap terhadap pemerintahan
yang berlangsung.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Good Governance

Governance diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur
sumber daya dan memecahkan masalah-masalah publik. Dalam konsep governance, pemerintah
hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor paling menetukan. Implikasinya, peran
pemerintah sebagai pembangun maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastruktur akan bergeser
menjadi badan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas
dan sektor swasta untuk ikut aktif melakukan upaya tersebut. Governance menuntur redefinisi peran
negara, dan itu berarti adanya redefenisi pola pada peran warga. Ada tuntunan yang lebih besar pada
warga, antara lain untuk memonitor akuntabilitas pemerintahan itu sendiri.

Secara terminologis governance dimengerti sebagai kepemerintahan, sehingga masih banyak


yang beranggapan bahwa governance adalah sinonim government. Interpretasi dan praktik-
praktik governance selama ini memang banyak mengacu pada perilaku dan kapasitas pemerintah,
sehingga good governance seolah-olah tomatis akan tercapai apabila
ada good government. Berdasarkan sejarah ketika istilah governance pertama kali diadopsi oleh para
praktisi dilembaga pembangunan internasional, konotasi governance yang dugunakan memang
sangat sempit dan bersifat teknokratis di seputar kinerja pemerintah yang efektif: utamanya yang
terkait dengan manajemen publik dna korupsi. Oleh sebab itu, banyak kegiatan atau program bantuan
yang masuuk dalam kategori governance tidak lebih dari bantuan teknis yang diarahkan untuk
meningkatkan kapasitas pemerintah dalam menjalankan kebijakan publik dan mendorong adanya
pemerintahan yang bersih (menghilangkan korupsi).

Sejatinya konsep governance harus dipahami sebagai sebagai suatu proses, bukan struktur atan
institusi. Governance juga menunjukan inklusivitas. Kalau government dilihat sebagai “mereka”
maka governance adalah “ kita”. Menurut Leach & Percy-Smith (2001), government mengandung
pengertian politisi dan pemerintahan yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan,
sementara sisa dari ‘kita’ adalah penerima yang pasif. Sementara governance meleburkan perbedaan
antara “pemerintah” dan “yang diperintah”, kita semua adalah bagian dari proses governance.

Istilah good governance saasi ini menjadi sangat “trendi”. Walaupun wacana governance dalam
pembangunan, sebagaimana wacana demokrasi, relatif baru bagi bangsa Indonesia, istilah tersebut
cepat sekali populer. Ada yang menerjemahkan good governance sebagai “kepemerintahan yang
prima” atau “tata pemeritahan yang baik”. Dan good governance mengandung arti hubungan yang
sinergis dan kontruktif diantara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Dalam hal ini adalah
kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalistas,
akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efesiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan
daat diteriman oleh seluruh masyarakat.

United Nations Development Program (UNDP) membuat definisi yang lebih


ekspansif, governance meliputi pemerintah, sektor swasta dan civil society serta interaksi antar-ketiga
elemen tersebut. Dalam dokumen kebijakannya, UNDP lebih jauh menyebutkan ciri-
ciri good governance, mengikut sertakan semua, transparan dan bertanggung jawab, efektif dan adil,
menjamin adanya supremasi hukum, menjamin prioritas-prioritas politik, sosial dn ekonomi
didasarkan pada konsensus masyarakat, serta memperhatikan kepentingan mereka yang paling
miiskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya
pembangunan.[1]

Governance yang baik hanya tercipta apabila dua kekuatan saling mendukung: warga yang
bertanggung jawab, aktif dan memiliki kesadaran, bersama dengan pemerintah yang terbuka,
tanggap, mau mendengar, mau melibatkan (inklusif). Inilah basis tatanan masyarakat yang
diidamkan.[2]

2. Membangun Prasyarat Good Governance

Proses pengambilan keputusan publik dengan gaya lama, yang memberikan pemerintah peran
sentral dalam mengotrol dan mengelola sumber daya pembangunan dan tidak memberikan banyak
ruang (akses) kepada masyarakat untuk terlibat merumuskan persoalan yang mereka hadapi dan
memutuskan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya, akan diganti dengan proses yang baru
yang lebih partisipori. Supaya pertemuan ini berlangsung baik (demokratis) dan menghasilkan
keputusan yang adil dan memuaskan semua pihak, ada berbagai prasyarat yang harus dipenuhi
terlebih dahulu. Dengan pertimbangkan sistem sosial yang ada serta kondisi praktik-
praktik governance yang berlangsung saat ini, beberapa elemen strategis yang dituntut dalam
penyelenggaraan governance yang lebih baik di Indonesia antara lain:

a. Tipe Kepemimpinan Baru

Redifinisi peran pemerintah menuntur adanya tipe kepemimpinan yang baru. Berbagai litertur
tentang “perubahan” menyebutkan pentingnya leadership sebagai salahsatu penentu kesuksesan.
Dalam mewujudkan good governance, pimpinan daerah (eksekutif san legislatif) maupun pimpinan
masyarakat (tokoh-tokoh informal, adat) memegang yang sangat penting sebagai pendorong atau
penghambat perubahan. Kata kunci yang penting dari kepemimpinan yang baru ini
adalah visionary dan trustworthy. Idealnya, seorang pemimpin harus memilki visi dan dapat
dipercaya.

b. Kekuatan Civil Society

Elemen penting lain dari penyelenggaraan good governance adalah adanya posisi tawar warga
terhadap pemerintah dalam rangka penyelenggaran publik. Kesetaraan adalah prasyarat dari berbagai
interaksi yang sehat. Pengorganisasian warga, pembentukan jaringan kerja antar civil
society organizations adalah beberapa dari langkah kecil yang penting untuk mengkonsolidasikan civil
society sebagai kekuatan penyeimbang dari pemerintah. Keterbukaan yang diberikan oleh
model governance yang baru harus di imbangi dengan kemampuan civil society dalam merumuskan
permintaan kolektif, menciptakan representasi dan berbagai interest yang ada di masyarakat dan
meresolusi konflik-konflik yang muncul.

c. Kemampuan Teknis dan Manajemen

Berbagai studi tentang implementasi suatu perubahan menyebutkan kemampuan teknis dan
manajemen sebagai faktor pembentuk hasil dari suatu kebijakan atau program. Bagaimana proses
perencanaan dan penganggaran dirumuskan, bagaimana pengorgniasian dan pelaksanaannya,
maupun proses pengendalian dan pengawasan yang dijalankan merupakan cermin dari kemampuan
teknis dn manajemen urusan publik. Perubahan yang diharapkan dalam
mewujudkan good governance menuntut adanya desentralisasi dalam pengambilan keputusan,
adanya pengerutan jumlah pegawai disektor publik dan tuntunan yang lebih dasar terhada
akuntabilitas dalam penyelenggaran urusan publik.

d. Ruang Partisipasi

Situasi ketiadaan komunikasi yang terbuka dan bersifat dua arah perlu diubah menjadi situasi yang
lebih terkoordinir, deliberatif dan menunjukkan adanya hubungan kesetaraan. Pembentukan
forum stakeholders, adanya jaringan kerja sama ornop dan civil society organizations lainnya, maupun
koordinasi kerja antar instansi pemerintahan adalah hal-hal yang mmendorong terciptanya
mekanisme interaksi dan partisipasi stakeholders. Peran media massa untuk mendorong adanya
komunikasi dan ruang partisipasi yang lebih sehat juga merupakan bagaian yang penting dalam
mewujudkan good governance.[3]

3. Prinsip-prinsip Pokok Good Governance

Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good
governance yang harus diperhatikan yaitu:

a. Partisipasi (participation)

Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung
maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh
tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yaitu kebebasan berkumpul dan mengungkapkan
pendapat secara konstruktif.

b. Penegakan Hukum (rule of law)

Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik


memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan
penegakannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang
anarkis. Santoso menegaskan bahwa proses mewujudkan cita-cita good governance, harus diimbangi
dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter sebagai berikut :

1) Supremasi hukum
2) Kepastian hokum

3) Hukum yang responsitif

4) Penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif

5) Independensi peradilan.

c. Transparansi (transparency)

Transparansi (keterbukaan umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good
governance. Akibat tidak adanya prinsip transparansi ini, menurut banyak ahli Indonesia telah
terjerembab dalam kubangan korupsi yang berkepanjangan dan parah. Untuk itu, pemerintah harus
menerapkan transparansi dalam proses kebijakan publik. Menurut Gaffar, terdapat 8 (delapan) aspek
mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu

1) Penetapan posisi, jabatan dan kedudukan

2) Kekayaan pejabat publik

3) Pemberian penghargaan

4) Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan

5) Kesehatan

6) Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik

7) Keamanan dan ketertiban

8) Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat

d. Responsif (responsive)

Pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat-masyarakatnya, jangan menunggu mereka


menyampaikan keinginannya, tetapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisa
kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna
memenuhi kepentingan umum.

e. Konsesus (consesus)

Prinsip ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah
melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan sebagian besar
pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga akan memiliki
kekuatan memaksa bagi semuakomponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.

f. Kesetaraan (equity)

Clean vand good governance juga harus didukung dengan asas kesetaraan, yakni kesamaan dalam
perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua
penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena kenyatan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa yang
majemuk, baik etnis, agama, dan budaya.
g. Efektivitas dan Efisiensi

Konsep efektivitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni efektivitas
dalam pelaksanan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun partisipasi masyarakat,
dan kedua, efektivitas dalam konteks hasil, yakni mampu membrikan kesejahteraan pada sebesar-
besarnya kelompok dan lapisan sosial.

h. Akuntabilitas (accountability)

Asas akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang
memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Secara teoritik, akuntabilitas
menyangkut dua dimensi yakni akuntabilitas vertikal yang memiliki pengertian bahwa setiap pejabat
harus mempertanggung jawabkan berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap
atasan yang lebih tinggi, dan yang kedua akuntabilitas horisontal yaitu pertanggungjawaban
pemegang jabatan publik pada lembaga yang setara.

i. Visi Strategis

Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang.
Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seseorang yang memiliki
jabatan publik atau lembaga profesional lainnya, harus memiliki kemampuan menganalisa persoalan
dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.[4]

Menurut Institute on Governance (1996), sebagaimana dikutip Nisjar (1997), untuk menciptakan
good governanace perlu diciptakan hal-hal berikut:

a. Kerangka Kerja tim (team work) antarorganisasi, deparetemen, dan wilayah

b. Hubungan kemitraan antar pemerintah dengan setia unsur dalam masyarkat negara yang
bersangkutan

c. Pemahaman dan komitmen terhadap manfaat dan arti pentingnya tanggung jawab bersama
dan kerjasama dalam satu keterpaduan sinergisme dalam pencapaian tujuan.

d. Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai untuk mendorong terciptanya
kemampuan dan keberanian menaggung risiko (risk taking) dan berinisiatif, sepanjang hal ini
secara relistik dapat dikembangkan.

e. Adanya pelayanan administrasi publik dan bersahabat yang berorientasi pada masyarkat,
mudah dijangkau masyarkat dan bersahabat, berdasarkan kepada asas pemerataan dan
keadilan dalam setipa tindakan dan pelayanan kepada masyarkat, berfokus pada kepentingan
masyarakat, bersikap profesional, dan tidak memihak (non-partisan).[5]

4. Pelayanan Publik Dalam Konsep Good Governance

Pengelolaaan dan pengembangan pelayanan publik dalam rangka pemenuhan kebutuhan


masyarakat menjadi satu tugas bagi setiap pemerintah daerah. Terlebih lagi pelayaan publik menjadi
primadona bagi daerah-daerah guna menciptakan kesejahteraan masyarakat dan pencapainan
Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Berbagai terobosan kebijakan pun gencar dilakukan demi dan
untuk meningkatkan Permasalahan mengenai pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi
pemerintah. Menurut Agus Dwiyanto,[6] bahwa pelayanan publik selama ini telah menjadi ranah
dimana negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi langsung dengan pihak nonpemerintah.
Dalam ranah ini telah terjadi pergumulan yang sangat intensif antar pemerintah dan warga, dan baik
dan buruknya dalam pelayanan publik sangat dirasakan oleh masyarakat. Ini sekaligus membuktikan,
jika terjadi perubahan signifikan dalam pelayanan publik dengan sendirinya manfaat dapat dirasakan
secara langsung oleh masyarakat. Keberhasilan dalam mewujudkan praktik good governance dalam
pelayanan publik mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan masyarakat.[7]

Untuk itu pemerintah menuntut untuk lebih efektif, inovatif, dan cerdas tentang yang mana yang
harus dilakukan dan diprioritaskan, selain juga mampu membedakan antara yang urgen dan yang tidak
perlu dilakukan dengan pertimbangkan keterbatasan sumber daya, menghemat dan menambah aset
publik melalui investasi publik dengan tidak membebani mereka.[8]

Semestinya pelayanan merespon pada kepentingan dan kebutuhan publik, dengan mengubah
paradigma dari pelayanan yang sifatnya sentralistik menuju pelayanan yang lebih pemberikan
kepuasaan.

Sejak bergulirnya reformasi upaya penataan, pembahararuan, dan pembenahan budaya


penyelenggaraan pemerintah terus dilakukan peyalanaan khususnya dalam hal administrasi publik.
Kebijakan ini dilakukan untuk mengubah citra aparatur yang sebelumnya dipandang lamban dan tidak
tranparan.

Selain mengubah citra aparatur dan dilakukannya efesiensi birokrasi, langkah berikutnya untuk
mewujudkan good governance pelayanan publik (administrasi publik) adalah adanya efektivitas dan
efesiensi pelayanan publik (administrasi publik).

Secara sederhana efektivitas dapat diartikan sebagai tepat sasaran yang juga lebih diarahkan pada
aspek kebijakan. Artinya, program pembangunan yang akan dan sedang dijalankan atau ditujukan
untuk perbaikan kualitas hidup rakyat yang benar-benar diperlukan guna meningkatkan produktivitas
rakyat sehingga berdampak pada meningkatnya investasi pubik dalam bidang ekonomi dan sosial.
Efektivitas fokus kepada tingkat pencapaian terhadap tujuan dari organisasi publik.[9]

Faktor-faktor yang menyumbang efektivitas organisasi dirinci dalam beberapa karakteristik:[10]

a. Karakteristik organisasi yang meliputi struktur dan organisasi

b. Karakteristik lingkungan yang memiliki kondisi lingkungan internal dan eksternal

c. Karakteristik pekerja yang meliputi keterikatan pada organisasi pada organisasi dan prestasi
kerja

d. Karakteristik kebijakan praktik manajemen yang meliputi penyusunann rencana strategis dan
proses komunikasi

Efesiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara
masukan dan keluaran dalam penyelenggaran pelayanan publik.
Dalam kaitanya dengan penyelenggaran pelayanan publik tentunya keterlibatan dan kerjasama
semua stakeholder dalam hal ini pemerintah, masyarakat, dana pihak swasta harus
ditumbuhkembangkan secara berkesinambungan, sehingga pada akhirnya diharapkan praktik
pelayanan publik dapat memenuhi nilai –nilai yang diisyaratkan dalam implementasi good
governance.[11]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Good governance bermakna “tata kepemerintahan yang baik” atau “kepemerintahan yang
prima”.

Good govermnance mengandung arti hubungan yang sinergis dan kontruktif diantara negara,
sektor swasta, dan masyarakat. Dalam hal ini adalah kepemerintahan yang mengembangkan
dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalistas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima,
demokrasi, efesiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan daat diteriman oleh seluruh
masyarakat. UNDP menyebutkan ciri-ciri good governance, mengikut sertakan semua,
transparan dan bertanggung jawab, efektif dan adil, menjamin adanya supremasi hukum,
menjamin prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus
masyarakat, serta memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam
proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan.

2. Membangun Prasyarat Good Governance:

Elemen strategis yang dituntut dalam penyelenggaraan governance yang lebih baik di
Indonesia antara lain:

a. Tipe Kepemimpinan Baru

b. Kekuatan Civil Society

c. Kemampuan Teknis dan Manajemen

d. Ruang Partisipasi

3. Syarat bagi terciptanya good governance, yang merupakan prinsif dasar.

Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good
governance yang harus diperhatikan yaitu

a. Partisipasi (participation)

b. Penegakan Hukum (rule of law)

c. Transparansi (transparency)

d. Responsif (responsive)

e. Konsesus (consesus)

f. Kesetaraan (equity)

g. Efektivitas dan Efisiensi

h. Akuntabilitas (accountability)

i. Visi Strategis

4. Pelayanan Publik Dalam Konsep Good Governance, untuk mewujudkan good


governance pelayanan publik (administrasi publik) yaitu: mengubah aparatur (dilakukannya
efesiensi birokrasi) dan harus adanya efektivitas dan efesiensi pelayanan publik (administrasi
publik).

B. Saran

1. Walaupun good governance dikita belum tercapai tetapi kita harus terus mendukung dan terlibat
kerjasama dengan pemerintah atau sektor swasta untuk tercapainya good governance sendiri.

2. Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan bagi setiap institusi di daerah yang bertugas
memberikan pelayanan kepada masyarakat
3. Pemerintah sebagai pelayan publik perlu mengupayakan untuk menekan sekecil mungkin
terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan kemampuan aparatur
pemerintah untuk memenuhinya

4. Pemerintah harus mampu mendorong kompetisi antar pemberi jasa; Memberi wewenang kepada
warga; Mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil, bukan masukan;
Digerakkan oleh tujuan/missi, bukan oleh peraturan; Menempatkan klien sebagai pelanggan dan
menawarkan kepada mereka banyak pilihan; Lebih baik mencegah masalah ketimbang hanya
memberi servis sesudah masalah muncul; Mencurahkan energinya untuk memperoleh uang, tidak
hanya membelanjakan; Mendesentralisasikan wewenang dengan menjalankan manajemen
partisipasi; Lebih menyukai mekanisme pasar ketimbang mekanisme birokratis; Memfokuskan
pada mengkatalisasi semua seKtor – pemerintah, swasta, dan lembaga sukarela – kedalam
tindakan untuk memecahkan masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.

Fauzur_Rahman.MakalahGoodGovernence.Website:http://fauzurr.blogspot.com/2012/07/makalah-
good-governance.html. diunduh: 1 April 0014

M. Steers, Richard. 1985. Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga.

Nurmandi, Ahmad. 2006. Manajemen Perkotaan, Aktor, Organisasi, Pengelolan Daerah Pekotaan dan
Metropolitan di Indonesia. Yogyakarta: Sinergi Publishing.

Novita Tresna. Efektivitas, Efesiensi Organisasi Publik versus Optimalisasi Pelayanan Publik.
Website: www.domaindlx.com.

Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik Sudrajat. 2009. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan
pelayanan Publik. Bandung: NUANSA.

Santoso, Pandji.. 2008. Administrasi Publik - teori dan aplikasi good governance. Bandung: Refika
Aditama.

Sj. Sumarto, Hetifah . 2009. Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
[1]
Hetifah Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2009), hlm.1 dan 17.
[2]
Ibid., hlm. 3.
[3]
Hetifah Sj. Sumarto, op.cit., hlm. 83.
[4]Fauzur_Rahman.MakalahGoodGovernance.Website:http://fauzurr.blogspot.com/20

12/07/makalah-good-governance.html
[5]
Pandji Santoso.. Administrasi Publik-teori dan aplikasi good governance. (Bandung: Refika Aditama,
2008) hlm.132.
[6]
Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, (Yogyakarta: Gajah mada
University Press, 2005), hlm. 20.
[7]
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan pelayanan
Publik, (Bandung: NUANSA, 2009), hlm. 83.
[8]
Novita Tresna, Efektivitas, Efesiensi Organisasi Publik versus Optimalisasi Pelayanan Publik,
Website: www.domaindlx.com
[9]
Ahmad Nurmandi, Manajemen Perotaan, Aktor, Organisasi, Pengelolan Daerah Pekotaan dan
Metropolitan di Indonesia, (Yogyakarta: Sinergi Publishing, 2006), hlm.269.
[10]
Richard M. Steers, Efektivitas Organisasi, (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 8.
[11]
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, op.cit., hlm. 88
Diposting 2nd February 2015 oleh Unknown

Anda mungkin juga menyukai