Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

TERAPI PENGGANTI GINJAL DAN ADEKUASI HEMODIALISA

Disusun untuk Memenuhi Kompetensi Profesi Ners


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I
RSUP FATMAWATI RUANG HEMODIALISA

Disusun Oleh :

Puji Astuti

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
Terapi Pengganti Ginjal

A. Pendahuluan
Saat ini, fungsi ginjal dapat didukung dengan beragam metode dan skenario
klinis, baik pada pasien rawat jalan maupun sakit kritis. Terapi penggantian ginjal
(TPG) dapat dilakukan secara intermitten maupun secara continous menggunakan
metode extracorporeal (hemodialisis) atau paracorporeal (dialisis peritoneal).
Umumnya pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK) stadium 4-5 (perkiraan laju
filtrasi glomerulus (eGFR) <30 ml / menit / 1,73 m2) atau dengan stadium 3 dan fungsi
ginjalnya memburuk dengan cepat harus dirujuk untuk penilaian oleh nephrologis.
Idealnya pasien harus dirujuk setidaknya satu tahun sebelum mereka dapat diantisipasi
untuk memerlukan terapi pengganti ginjal. Tiga pilihan untuk terapi penggantian ginjal
yang tersedia untuk pasien dengan stadium akhir penyakit ginjal. Tiga pilihan untuk
terapi penggantian ginjal yang tersedia untuk pasien dengan stadium akhir penyakit
ginjal: perawatan konservatif dan kontrol gejala, dialisis (dialysis peritoneal atau
hemodialisis), transplantasi ginjal (donor hidup atau donor kadaver).

B. Perawatan konservatif pada PGK stadium akhir


Dialisis mungkin tidak meningkatkan kualitas hidup pada pasien dengan komorbiditas
ekstensif. Pasien tua mungkin tidak memiliki harapan hidup yang panjang dengan
dialisis. Dalam situasi ini, banyak pasien memilih untuk kontrol gejala tanpa dialisis,
menggunakan erythropoietin, vitamin D analog, kontrol diet, antipruritus dan
antiemetic yang diperlukan. Pasien tersebut sering memiliki kualitas yang jauh lebih
baik dari kehidupan, masuk rumah sakit lebih sedikit (misalnya, dari komplikasi-
dialisis terkait) dan lebih mungkin untuk meninggal akhirnya di rumah, bukan di rumah
sakit, dibandingkan pasien yang menerima dialisis. Perawatan konservatif masih
melibatkan manajemen aktif dari komplikasi gagal ginjal. Partisipasi pasien dan
pengasuh dalam penyediaan pelayanan dan pendekatan tim multidisiplin termasuk
perawat, dokter dan konselor sangat penting untuk manajemen pasien yang efektif.
C. Indikasi
Indikasi utama untuk TPG adalah gagal ginjal akut atau kronis. Namun, saat ini banyak
perdebatan mengenai definisi optimal gagal ginjal, terutama dengan penyakit ginjal
akut. Ada 30 definisi gagal ginjal akut dalam literatur, namun definisi dan konsensus
baru menjadi pedoman yang tersebar luas. Menurut guideline dari The Kidney Dialysis
Outcomes Initiative’s(K/DOQI) PGK stadium 5 didefinisikan dengan laju filtrasi
glomerulus (LFG) <15 ml / menit / 1,73 m2 atau penggunaan dialisis. LFG adalah
estimasi fungsi ginjal dengan menggunakan kreatinin serum dalam rumus Modifikasi
Diet Renal Disease (MDRD), Crockcroft- Gault atau persamaan Schwart. Kelompok
The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) memberi definisi gagal ginjal akut untuk
orang dewasa, dengan tingkat keparahan dari Risk Injury Failure Loss and End Stage
Kidney Disease (RIFLE).Indikasi di luar ginjal untuk TPG adalah gangguan elektrolit
dan asam-basa serta membuang racun (toksin). Begitu juga pada anak-anak yang sakit
kritis dengan kelebihan cairan.

D. Macam-macam Terapi Pengganti Ginjal


1. Hemodialisis
Indikasi emergency seperti uremic syndrome, overload syndrome, anuria dan
oliguria, hiperkalemia (K >6,5 mmol/l), Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat
<12 meq/l), perikarditis, keracunan alkohol dan obat-obatan serta pasien dengan
indikasi hemodialisis kronik.Kontra indikasi hemodialisis : malignansi stadium
lanjut (kecuali multiple myeloma), penyakit Alzheimer’s, multi-infarct dementia,
sindroma hepatorenal, sirosis hati tingkat lanjut dengan enselopati, hipotensi,
penyakit terminal, dan organic brain syndrome.
2. Peritoneal Dialisis
Peritoneal Dialysis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal yang fungsinya
sama dengan hemodialisis, tetapi dengan metode yang berbeda. Peritoneal dialisis
adalah metode dialisis dengan bantuan membran peritoneum (selaput rongga perut),
jadi darah tidak perlu dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan dan disaring oleh
mesin dialisis.
a. Jenis Peritoneal Dialisis
1) APD (Automated Peritoneal Dialysis). Merupakan bentuk terapi dialysis
peritoneal yang baru dan dapat dilakukan di rumah, pada malam hari
sewaktu tidur dengan menggunakan mesin khusus yang sudah diprogram
terlebih dahulu.
2) CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis). Bedanya tidak
menggunakan mesin khusus seperti APD. Dialisis peritoneal diawali dengan
memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga
perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Indikasi: bayi
dan anak-anak, pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik pada
hemodialisis, pasien dengan akses vascular sulit. Kontra Indikasi: hilangnya
fungsi membran peritoneum, operasi berulang pada abdomen, kolostomi,
ukuran tubuh yang besar (kemungkinan dengan PD yang adekuat tidak
tercapai), identifikasi problem yang potensial timbul sebelum CAPD
dimulai, apakah pasien perlu seorang asisten (keterbatasan fisik / mental),
hernia, penglihatan kurang, dan malnutrisi yang berat.
b. Keuntungan Peritoneal Dialisis
- Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
- Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
- Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
- Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana
HD
- Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
- Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
- Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
- Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama
c. Komplikasi
Anemia, kejang otot, mual, muntah, sakit kepala, rasakan panas,
berkeringat, kelemahan atau pusing, infeksi pada organ rongga perut,
pericarditis, masalah-masalah neurologis, dan keseimbangan kalsium dan
fosfor.

3. Transplantasi Ginjal
Data epidemiologi global dari beberapa tahu lalu melaporkan bahwa penderita
gagal ginjal tahap akhir yang yang harus mendapatkan terapi pengganti ginjal terus
bertambah. Diperkirakan terdapat 1.4 juta penderita gagal ginjal tahap akhir dan
penambahan pasien baru 8% tiap tahun. Di Inggris terdapat 47.000 orang yang
mendapatkan terapi pengganti ginjal. Di Amerika Serikat terdapat 250.000
penderita transplantasi ginjal, 6037 penderita mendapat donor dari living donor dan
sisanya dari cadaveric donor. Transplantasi ginjal dapat menghemat biaya yang
sangat bermakna dari penderita PGA tahap akhir dibandingkan dengan yang
menjalani dialisis. Keberhasilan tansplantasi ginjal menjadikan kualitas hidup
penderita PGA tahap akhir lebih baik. Penderita nefropati diabetik dan anak-anak
sangat disarankan untuk transplantasi ginjal. Kendala untuk transplantasi ginjal
adalah minimnya donor, sehingga harus menunggu daalm waktu lama. Kegagalan
transplantasi ginjal disebabkan oleh rejeksi kronik,disfungsi graft, dan nefrotoksik
sehingga penderita memerlukan dialisi lagi atau mencari donor baru. Indikasi, PGK
stage 5, usia 13-60 tahun. Kontra indikasi relative ;berumur lebih dari 65 tahun,
kanker, infeksi akut (tuberkolosis, infeksi saluran kemih, hepatitis B dan C),HIV
dan obesity.
Daftar Pustaka

Fleming GM. Renal Replacement Therapy Review: Past, present and future. Organogenesis
2011; 71: 2-12.
JustPM, Riella MC,Tschosik EA, Noe LL, Bhattacharyya SK, deCharro F. Economic
evaluations of dialysis treatment modalities. Health Policy 2008;86:163-80.
Edelstein CL. Biomarkers of acute kidney injury. Adv Chronic Kidney Dis 2008;15:222-34. 4.
Jha V. Periotoneal dialysis in India: current status and challenges. PeritDial Int 2008;28:36-
41.
Yu AWY, Chau KF, Ho YW, Li PKT. Development of the “Peritoneal Dialysis First” model
in HongKong. Perit Dial Int 2007;27:53-5.
Ma TM, Walker RE, Eggleton K, Marshall MR. Cost comparison between sustained low
efficiency daily dialysis/ diafiltration (SLEDD) and continuous renal replacment
therapy(CRRT) for ICU patients with ARF. Nephrology 2002;7:54.
Rauf AA, Long KH,Gajic O, Anderson SS, Swaminathan L, Albright RC. Renal replacement
therapy for acute renal failure in intensive care unit:An observational outcomes
analysis. JIntCareMed 2008;23:195-203.
Dixon BF and Vecihi B. Assessment and Mangement of Renal Transplantation Patient.
Medscape, update Jul 21,2015.
Pau TRT, Michelle W, Nadey H, David T, and Vassilios P. Renal Transplantation. BMJ
2011;343, pp 1-8.
ADEKUASI HEMODIALISA

Keberhasilan hemodialisis berhubungan dengan adekuatnya suatu tindakan hemodialisis


disebut adekuasi hemodialisis. Banyak parameter yang berpengaruh dalam hal ini. Menurut
The Renal Physicians Associations (RPA) di tahun 1993 membuat acuan parameter sebagai
berikut :
1. Umur lebih dari 18 tahun.
2. Hemodialisis dilakukan 3 kali per minggu selama 3 hingga 4 jam
3. Residual fungsi tidak diperhitungkan
4. Kt/v diukur tiap bulan minimal 1,2; Urea Reduction Ratio (URR) lebih dari 65%
5. Perlu persamaan pengambilan sampel darah
6. Pemberian dosis saat hemodialisis
7. Dializer re-use
8. Kenyamanan / kepatuhan pasien
Sedangkan menurut National Kidney Foundation-Dialisys Outcomes Quality Initiative
(NKF – DOQI) pada tahun 1995, membuat tujuan hemodialisis untuk :
1. Kepentingan klinik
2. Perbaikan pelayanan
3. Hasil yang lebih baik
Secara klinis hemodialisis reguler dikatakan adekuat jika keadaan umum dan nutrisi
penderita dalam keadaan baik, tidak ada menifestasi uremi serta diupayakan rehabilitasi
penderita kembali pada aktivitas seperti sebelum menjalani hemodialisis. Adapun kriteria
klinis adekuasi hemodialisis adalah sebagai berikut:
1. Keadaan umum dan nutrisi yang baik
2. Tekanan darah normal.
3. Tidak ada gejala akibat anemia.
4. Tercapai keseimbangan air, elektrolit dan asam basa.
5. Metabolisme Ca, dan P terkendali serta tidak terjadi osteodistrofi renal.
6. Tidak didapatkan komplikasi akibat uremia.
7. Tercapai rehabilitasi pribadi, keluarga dan profesi.
8. Kualitas hidup yang memadai.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi adekuasi hemodialisis adalah :
 Aliran larutan dengan molekul besar dengan High Flux
 Membran biocompatibility
 Inisiasi HD
 Dosis HD / Nutrisi
 Pemeriksaan Kt/v; URR rutin (minimal setiap bulan)
 Kualitas hidup
Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung Urea Reduction Ratio (URR) dan
(Kt/V). Kt/V urea digunakan untuk merencanakan peresepan hemodialisis serta menilai
adekuasi hemodialisis, sedangkan Urea reduction ratio (URR) atau Rasio Reduksi Urea (RRU)
merupakan pedoman yang sederhana dan praktis untuk menilai adekuasi hemodialisis.
National Cooperative Dialysis Study (NCDS), merupakan penelitian prospektif skala
luas pertama yang menilai adekuasi hemodialisis. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa urea
merupakan pertanda yang memadai untuk penilaian adekuasi hemodialisis, dan tingkat
kebersihan urea dapat dipakai untuk prediksi keluaran (outcome) dari penderita. Lowrie dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa blood urea-nitrogen (BUN) yang tinggi menyebabkan
meningkatnya morbiditas.

Menghitung Adekuasi Hemodialisis


1. Rumus Logaritma Natural Kt/V
RRU dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar urea predialisis
dibagi kadar urea pasca dialisis. RRU adalah prosentase dari urea yang dapat
dibersihkan dalam sekali tindakan hemodialisis. RRU merupakan cara paling
sederhana dan praktis untuk menilai adekuasi hemodialisis, tetapi tidak dapat dipakai
untuk merencanakan dosis hemodialisis.
Kt pada Kt/V urea adalah jumlah bersihan urea dari plasma per satuan waktu
dan V merupakan volume distribusi dari urea dalam satuan liter. K adalah klearensi
dalam satuan L/menit, diperhitungkan dari KoA dializer serta kecepatan aliran darah
dan kecepatan aliran dialisat, t adalah waktu tindakan hemodialisis dalam satuan
menit. Kt/V akan bernilai lebih dari 1,2 saat evaluasi menandakan bahwa sudah
mencukup syarat normal. Kt/V menjadi metode pilihan untuk mengukur dosis dialisis
yang diberikan karena lebih akurat menunjukkan penghilangan urea, bisa dipakai
untuk mengkaji status nutrisi pasien dengan memungkinkan perhitungan angka
katabolisme protein yang dinormalisir, dan bisa dipakai untuk peresepan dialisis
untuk penderita yang memiliki fungsi renal residual.5,20. Dalam menggunakan rumus
ini diasumsikan bahwa konsep yang dipakai adalah model single-pool urea kinetik.
Cara ini merupakan penyederhanaan dari perhitungan Model Kinetic Ureum (MKU),
dimana Kt merupakan jumlah bersihan urea dari plasma dan V merupakan volume
distribusi dari urea. K dalam satuan L/menit, diperhitungkan dari KoA dializer serta
kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat, t adalah waktu tindakan HD
dalam satuan me nit, sedangkan V dalam satuan liter. Rumus yang dianjurkan oleh
NKF-DOQI adalah generasi kedua yang dikemukakan oleh Daugirdas.

Kt/V = -Ln (R - 0,008 x t) + (4 - 3,5 x R) x UF/W

Dimana :
1. Ln adalah logaritma natural.
2. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis
3. t adalah lama waktu dialisis dalam jam.
4. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
5. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kg.
Penghitungan dilakukan sesuai dengan Rumus Linier Daugirdas yang lebih sederhana
berupa:
Kt/V = 2,2 – 3,3 (R-0,03) - UF/W)
Dimana :
1. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis.
2. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
3. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kilogram.
4. Re-evaluasi dari data NCDS menunjukkan bahwa Kt/V kurang dari 0,8 dihubungkan
dengan meningkatnya morbiditas, sedangkan Kt/V1,0-1,2 dihubungkan dengan
mortalitas yang rendah. Batasan minimal Kt/V ialah lebih dari 1,2 untuk penderita
yang menjalani hemodialisis 3 kali seminggu. Sedangkan untuk kelompok penderita
diabetes, Collins menganjurkan menaikkan Kt/V menjadi 1,4. Hemodialisis 2 kali
seminggu hanya dilakukan untuk sementara dan hanya untuk penderita yang masih
mempunyai klirensia > 5 ml/menit.
Rumus-rumus sebelumnya :
- Kt/V = Ln(BUN sebelum HD/BUN sesudah HD) (Gotch,1985)
- Kt/V = 0,04 PRU-1,2 (Jindal,1987)
BUN sebelum HD – BUN sesudahHD
- Kt/V = (Barth, 1988)
BUN mid

- Kt/V = -ln(R-0,008t)- UF/W) (Daugirdas, 1989)


- Kt/V = -ln(R-0,03-UF/W) (Manahan, 1989)
- Kt/V = 0,026PRU-0,46 (Dugirdas, 1990)
- Kt/V = 0,023PRU-0,284 (Basile,1990)
- Kt/V = 0,062PRU-2,97 (Kerr, 1993)
PRU = Percent Reduction Urea = (BUN sebelum HD-BUN sesudah HD) x 100/BUN
sebelum HD

2. Rasio Reduksi Urea (RRU).


Cara lain untuk mengukur adekuasi hemodialisis adalah dengan mengukur
RRU. Rumus yang dianjurkan oleh Lowrie adalah sebagai berikut :
RRU (%) = 100 x (1-Ct/Co)

Keterangan : Ct adalah BUN setelah hemodialisis dan Co adalah BUN sebelum


hemodialisis.
Cara ini paling sederhana dan paling praktis digunakan untuk pengukuran AHD.
Banyak dipakai untuk kepentingan epidemiologi, dan merupakan prediktor terbaik
untuk mortalitas penderita HD reguler. Kelemahan cara ini karena tidak
memperhitungkan faktor ultrafiltrasi, protein catabolic rate (PCR) dan sisa klirens
yang masih ada. Cara ini juga tidak dapat dipakai untuk merencanakan dosis HD. NKF-
DOQI memakai batasan bahwa HD harus dilakukan dengan RRU > 65%. Dalam sebuah
penelitian dengan menggunakan RRU untuk mengukur dosis dialisis, telah ditunjukkan
bahwa penderita yang menerima RRU ³60% memiliki mortalitas yang lebih rendah dari
yang menerima RRU 50%.

3. Cara alternatif untuk menilai AHD.


a. Percent Reduction Urea (PRU).
Perhitungan Kt/V dengan menggunakan PRU tidak dianjurkan oleh NKF-DOQI
karena dapat menyebabkan penyimpangan sampai 20%. Jika batasan kesalahan
terhadap MKU yang dapat ditoleransi sampai 5%, maka rumus dari Jindal hanya
akurat untuk Kt/V=0,9-1,1. Sedangkan untuk rumus dari Basile hanya akurat
untuk Kt/V= 0,6 sampai 1,3.
b. Total Dialysate Collection.
Pengumpulan dialisat total, sebenarnya cara ini dapat menjadi standar baku
pengukuran HD, akan tetapi pengumpulan dialisat yang mencapai 90-150 liter
tidak praktis.
c. Waktu tindakan HD.
Waktu tindakan HD dapat dipakai sebagai pengukur AHD, independen dari
Kt/V ataupun RRU. Makin lama tindakan HD, klirens dari molekul yang lebih
besar dari urea diperkirakan akan lebih baik. Juga akan terjadi intravaskuler
euvolemia yang lebih baik dimana hal ini akan mengurangi komplikasi
kardiovaskuler. Meskipun data penunjang secara klinis belum lengkap, lama HD
yang dianjurkan minimal adalah 2,5 jam.
d. Urea removal indek (URI).
Adalah indek pembersihan dari urea merupakan cara baru untuk mengukur
AHD, dan masih sangat sedikit pengalaman klinis dalam penggunaannya. Waktu
tindakan hemodialisis dapat dipakai sebagai pengukur analisis hemodialisis,
independen dari Kt/V ataupun RRU. Semakin lama tindakan hemodialisis, klirens
dari molekul yang lebih besar dari ureum diperkirakan akan lebih baik. Selain itu
juga akan mengakibatkan terjadinya intravaskuler euvolemia yang lebih baik dan
dapat mengurangi komplikasi kardiovaskuler.Hemodialisis dianggap adekuat,jika:
1) Morbiditas / mortalitas menurun jangka pendek / panjang
2) Pelaksanaan secara rutin
3) Kualitas hidup baik
4) Parameter :

Kt/v: 0,7 – 1,2


URR: 55 – 75% (rata-rata 65%)

Dosis adekuasi hemodialisis adalah sebagai berikut :


1) Setiap pasien diberi catatan program perkembangan dari awal hemodialisis
2) Penentukan Kt/v, dosis HD (Delivery Dose)
3) Target Kt/v 1,2; URR 65% dengan HD 3 kali per minggu selama 4 jam atau
HD 2 kali per minggu selama 4 hingga 5 jam
4) Kt/v URR setiap bulan
Untuk peritoneal dialisis :
1) Nilai Clearance
2) Target Kt/v minimal 1,7 per minggu
3) Target Creatinin Clearance 60 L per minggu pada high average.
Sedangkan pada low average 50 L per minggu
Ketika hemodialisis berlangsung, dilakukan pemantauan sebagai berikut:
1) Pengukuran Kt/v total mingguan Creatinin Clearance tiap 4minggu setelah
dialisis
2) Pengukuran Creatinin Clearance dan Kt/v, residual function harus diulang
tiap 2 bulan pada APD dan tiap 4 – 6 bulan pada CAPD, bila :
 Volume urine menurun tajam
 Overload cairan
 Perburukan uremia secara klinis / biokemis.

4. Mengukur KT/V yang Diberikan


Secara individual semestinya kita harus selalu merencanakan dosis HD yang
akan dilakukan dalam setiap tindakan HD, adapun target minimal yang ditentukan
untuk Kt/V =1,2 atau setara dengan RRU ³65% (NKF- DOQI).
Dalam merencanakan dosis HD sebaiknya diperhitungkan Kt/V 1,3 atau setara dengan
RRU 70%, karena terdapatnya hal-hal yang berpengaruh :
a. Yang dilakukan lebih rendah dari yang direncanakan .
1. Aliran darah sebenarnya lebih lambat dari yang tertera dipanel.
2. Aliran darah dilambatkan karena alasan tertentu.
3. Resirkulasi.
4. Waktu tindakan HD yang sesungguhnya lebih pendek dari yang direncanakan.
5. KoA dializer lebih rendah dari yang tertera dalam spesifikasi pabrik.
6. V penderita lebih besar dari pada yang tertera dalam normogram.
b. Yang dilakukan lebih tinggi dibanding yang direncanakan.
1. Blood urea-nitrogen (BUN) paska-HD lebih rendah karena tidak tepatnya
pengambilan sample seperti resirkulasi kardiopulmonari.
2. V dari penderita lebih kecil dari pada yang tertera dalam normogram.
3. Dializer lebih efisien, waktu tindakan HD lebih panjang.

Pada umumnya kita akan memberikan jumlah dialisis maksimum yang bisa
diterima penderita dalam waktu tertentu. Idealnya memakai dializer dengan nilai
KoA tinggi untuk seluruh penderita, bahkan untuk penderita kecil dan untuk wanita.
Pemakaian dializer KoA tinggi dan penggunaan larutan dialisis bikarbonat tidak
akan mengakibatkan peningkatan efek samping.
Dializer KoA tinggi biasanya relatif lebih mahal. Di beberapa tempat dimana
pemakaian ulang tidak tersedia, dan biaya yang tinggi melemahkan pemakaian
dialyzer ini. Juga dibeberapa tempat yang masih menggunakan larutan dialisis asetat,
pemakaian dializer KoA tinggi bisa meningkatkan efek samping. Terlepas dari
biaya, dializer KoA tinggi (KoA >700) perlu dipakai pada pasien besar, terutama
penderita pria yang besar yang padanya V yang ditafsirkan >45 liter. Pada penderita
besar dialysis selama 4 jam, memakai dializer KoA rendah, walaupun kecepatan
aliran darah tinggi tidaklah mungkin memadai.11 Dializer KoA tinggi juga perlu
dipakai dalam dialysis singkat (<3,5 jam). Kecepatan aliran darah yang tinggi dan
menggunakan dialiser KoA rendah tidak akan memberikan dialisis yang memadai.
Pemakaian kecepatan aliran darah yang tinggi, dialiser KoA tinggi, dan durasi
dialisis pendek bisa memberikan penghilangan ureum yang memadai tetapi tidak
selalu menjamin klearensi yang memuaskan dari bahan berat molekul yang lebih
besar, karena penghilangan bahan ini tidak meningkat dengan kecepatan aliran darah
yang tinggi. Pada saat ini banyak pusat dialisis yang memakai dializer besar dengan
membran fluks tinggi, yang memiliki klearensi molekul tengah yang lebih tinggi dari
pada dialiser yang lama. Beberapa pusat dialisis masih mendukung pendekatan
dialysis yang lama dan lambat dengan memakai dializer KoA rendah serta kecepatan
arus darah relatif rendah, dan lama dialisis 4 jam atau lebih dan memberikan Kt/V
³1,0.
Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa perlunya pemberian dosis HD
yang maksimum agar tercapai target AHD, seperti penelitian Port FK dkk
melaporkan bahwa penderita dengan RRU >75% dibanding RRU 70-75%
mempunyai resiko relatif lebih rendah daripada RRU 70-75% pada penderia berat
badan rendah dan sedang. Wood HF dkk membandingkan membran high-flux dan
membran low-flux polysulfone, mendapatkan bahwa membran high-flux
menurunkan resiko mortalitas pada penderita non diabetetes.
DAFTAR PUSTAKA

Basile C, Casino F, Lopez T. Percent reduction in blood urea concentration during dialysis
estimates Kt/V in a simple and accuracy way. Am J of Kidney Dis, 1990; 15: 40 - 45
Bloembergen WE, Stannard D, Port FK, Wolfe RA, Pugh JA, dkk. Relationship of dose of
hemodialysis and cause specific mortality. Kidney Int. 1996; 50: 557 - 565.
Hakim RM, Depner Ta, Parker III TF. Adequacy of hemodilaysis. Am J. of Kidney Dis. 1992;
20: 107 - 123
Hakim RM. Influence of high-flux biocompatible membrane on carpal tunnel syndrome and
mortality. Am J of Kidney Dis, 1988; 32: 338-343
Kuhlmann MK, Konig J, Riegel W, Kohler H. Gender –specific differences in dialysis quality
(Kt/V): `big men` are at risk of inadequate haemodialysis treatment. Nephrol. Dial.
Transplant, 1999; 14; 147-53

Anda mungkin juga menyukai