Anda di halaman 1dari 15

Perbandingan Konsep Islamisasi

Antara Syed M. Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi

Oleh: Muhammad Habibie

Pendahuluan

Hegemoni peradaban Barat menjadi kekuatan baru dalam percaturan


kehidupan. Dimana sains dan teknologi berkembang dengan pesat, sedang di bagian
dunia lainnya kemajuan teknologi dan sains mengalami stagnasi. Apalagi saind dan
teknologi modern yang berkembang di peradaban Barat didasari paham sekular
yang mencoba mensubordinasikan peran agama, atau yang lebih ekstrim atheis
yang memandang ketiadaan metafisik.1 Secara tidak langsung keadaan seperti ini
direspon dengan Ide Islamisasi untuk menghilangkan unsur unsur barat dalam sains
maupun teknologi. Tokoh yang memulai gagasan ini adalah Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, yang secara tidak langsung menyatakan dan “meresmikan”
Proyek Islamisasinya pada konferensi Pendidikan Islam Internasional pada tahun
1977 di Mekkah. Sedang di Amrerika gagasan ini dikembangkan oleh Ismail Raji
Al-Faruqi, kemudian dilanjutkan dengan mendirikan perguran tinggi International
Institute of Islamic Thought (IIIT).2

Untuk menjelaskan definisi islamisasi tersebut maka penulis merujuk


kepada dua tokoh sentral Islamisasi, yaitu Al-Attas dan Al-Faruqi. Yang keduanya
secara nyata mempunyai lembaga pendidiakan yang menghasilkan para pemikir
tentang Islamisasi melalui instutusi yang mereka bangun, Al-Attas melalui ISTAC
dan Al-Faruqi Melalui IIIT.3

1
Budi Handrianto, Islamisasi Sains; Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern,
(Jakarta: INSISTS, 2009), p.137
2
Muhammad Mumtaz Ali, Issues in Islamization of Human Knowledge; Civilizations
building Discourse of Contemporary Muslim Thinkers, (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2014), p.90
3
Ibid, p.105

1
Islamisasi Menurut Syed M.N. Al-Attas

Di dalam Term Islamisasi secara konsep dan sistematis pertama kali


dirumuskan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Sebagai penggagas awal
Islamisasi, ia memberi istilah untuk Islamisasi ilmu pengetahuan dengan sebutan
Islamization of Contempory or Islamization of Present Day Knowledge. Yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi Islamiyyat al-‘Ulum al-Mu’ashirah.
Dengan begitu objek Islamisasi Al-Attas sangatlah tampak dan jelas yaitu ilmu
pengetahuan kontemporer atau ilmu pengetahuan yang dikembangkan Barat saat
ini. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan
kontemporer dari nilai, ideologi, makna dan ungkapan sekuler yang tidak sesuai
dengan Islam.4

Sedangkan mengenai Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer, penulis


mengutip pernyataan dari Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas :

...untuk perumusan dan penyebaran ilmu di dunia Islam pada masa kini,
kita harus melihat bahwa penyusupan konsep-konsep kunci dari dunia
Barat telah membawa kekeliruan yang pada akhirnya menimbulkan akibat
yang serius jika tidak ditangani. Karena apa yang dirumuskan dan
disebarkan dalam dan melalui universitas-universitas dan lembaga-
lembaga pendidikan yang lainnya mulai dari tingkat dasar hingga tingkat
tinggi sebenarnya adalah ilmu yang mengandung watak, kepribadian,
kebudayaan dan peradaban Barat dan dibentuk dalam cetakan budaya
Barat. 5 Tugas kita pertama-tama adalah mengasingkan unsur-unsur itu
termasuk konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan
peradaban itu 6 ..... Islamisasi pengetahuan kontemporer tepatnya berarti
bahwa, setelah pengasingan itu, ilmu yang telah terbebaskan itu kemudian
diisi dengan unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam. Karena sifat asasi
unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam ini merupakan sesuatu yang

4
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1990), p. 90.
5
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: PIMPIN, 2010) p.
1-15
6
Ibid., p. 137-8.

2
mendefinisikan fitrah, maka sebenarnya Islamisasi akan mengisi ilmu itu
dengan fungsi dan tujuan tabii sehingga menjadikannya ilmu sejati.7
Dengan demikian, langkah Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer yang di
tawarkan Al-Attas adalah melakukan De-westernisasi. Maka penulis
menyimpulkan bahwa De-westernisasi Al-Attas merupakan kegiatan
pengidentifikasian, pemisahan, dan pengisolasian unsur-unsur Barat yang ada pada
tubuh ilmu pengetahuan. Mengapa demikian? Karena Al-Attas melihat setidaknya
ada lima factor yang menjiwai dalam tubuh ilmu pengetahuan Barat, yaitu
mempercayakan akal manusia untuk membimbing manusia, kepercayaan pada
dualistik yang akan mengantar pada kebenaran, penegasan akan sisi fana kehidupan
sebagai realiti yang memancarkan pandangan alam yang sekular, penerimaan ajaran
humanisme, penerimaan drama dan tragedi, yang dianggap sebagai realiti
universal. 8 Setelah unsur-unsur keilmuan barat tersebut diidentifikasi, kemudian
dipisahkan dan diisolasi dari tubuh ilmu pengetahuan yang utuh, barulah dapat
dilakukan islamisasi. Dengannya de-westernisasi telah mengangkat penyakit dalam
tubuh ilmu pengetahuan. Pengobatan selanjutnya berupa islamisasi ilmu
pengetahuan dengan mengacu pada konsep-konsep kunci dalam Islam atau
memasukan nilai-nilai dan konsep dasar Islam di dalamnya. Konsep-konsep dasar
Islam itu di antaranya adalah: (1) Konsep din; (2) Konsep manusia (insan); (3)
Konsep ilmu (ilm dan ma’rifah); (4) Konsep keadilan (‘adl); (5) Konsep amal yang
benar (amal sebagai adab) dan semua istilah dan konsep yang berhubungan dengan
itu semua; dan (6) Konsep tentang universitas (kulliyah, jâmi’ah) yang berfungsi
sebagai bentuk implementasi semua konsep-konsep itu dan menjadi model sistem
pendidikan. 9 Dan tujuan akhir dari proses Islamisasi ini adalah mewujudkan
manusia yang beradab.10

7
Ibid., p. 204-5.
8
Ibid., p. 170.
9
Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, p. 201.
10
Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu dan segala
sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-
tingkatannya , dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan

3
Berikut penulis ingin menyederhanakan tentang bagaimana langkah-langkah
Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer Al-Attas. Islamisasi ilmu pengetahuan
kontemporer Al-Attas melibatkan dua proses yang saling berkaitan.

Pertama, mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk


budaya dan peradaban Barat (dalam hal ini lima unsur yang telah penulis sebutan
sebelumnya), dan setiap bidang ilmu penegtahuan modern saat ini (khususnya
dalam bidang ilmu pengetahuan humaniora). Ilmu-ilmu modern tersebut harus
diperiksa dengan teliti. Penelitian kritis tersebut dapat mencakup (metode, konsep,
praduga, symbol, dan ilmu modern berserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan
yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historisitas ilmu tersebut,
bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas
proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya,
batasannya, hubungan dan kaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya
dengan social)11. Problemnya ialah Barat tidak menjadikan wahyu sebagai pondasi
utama ilmu pengetahuan mereka, melainkan dibangun di atas sebuah tradisi budaya
yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan secular
dimana manusia sebagai pusat segalanya. Dampaknya adalah ilmu pengetahuan
tersebut akan terus menerus berubah dan relative. Inilah alasan mengapa peradaban
Barat terus menerus berubah. Karena ia sejatinya mengalami sebuah proses yang
terus menerus mencari identitas dan menuju kedewasaannya. Sebagai contoh
peralihan dari masa Modernism ke Postmodernisme, merupakan sebuah upaya
Barat menuju sebuah perbedaan cara pandang yang mengikuti perkembangan
zaman. Hal itu berdampak pada ilmu pengetahuannya, karenanya ia tidaklah bebas
nilai (value free), tapi sarat nilai (value laden).12

Kedua, memasukkan nilai-nilai Islam beserta konsep-konsep kunci dalam


setiap bidang dan ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. seperti konsep dasar yang

realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan spiritual. Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas,( p. 177.
11
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1995), hlm. 114
12
Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hal. 134

4
menjadi cara pandang Islam yaitu konsep Tuhan. konsep Tuhan (Tauhid)
merupakan kunci pokok yang memengaruhi konsep-konsep yang lain. Artinya,
konsep Tuhan menjadi jiwa atau ruh bagi pandangan hidup Islam. selain itu Konsep
tentang Wahyu (al-Qur’an), Konsep Penciptaan, Konsep Manusia, Konsep Ilmu,
Konsep Agama, Konsep Kebebasan Manusia, Konsep Nilai dan Kebajikan, Konsep
Kebahagiaan kesepuluh: Konsep Hari Akhir, dan sebagainya.

Jika kedua langkah tersebut selesai dilakukan maka islamisasi ilmu


pengetahuan kontemporer akan berdampak pada pembebasan manusia dari unsur
magic, mitologi, animism, tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam,
kemudian dari control secular kepada akal dan bahasanya. Dan Islamisasi pula akan
membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (zann) dan argumentasi
kosong (mira’) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual,
intelligible dan materi. Selain itu akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu
pengetahuan kontemporer dan ideologinya dari unsur secular.

Islamisasi Menurut Ismail Raji Al-Faruqi

Al-Faruqi seringkali menyebut istilah Islamisasi ilmu pengetahuan dengan


sebutan Islamization of Knowladge (IOK). Dalam bahasa Arab sering disebut
dengan Islamiyyatul Ma'rifah yang bermakna bahwa segala disiplin ilmu baik
kontemporer maupun yang ada dalam tradisi Islam mesti di Islamkan. Inilah
mengapa Al-Attas sangat menentang definisi yang diajukan oleh Al-Faruqi karena
mengandung arti semua ilmu, termasuk di dalamnya ilmu-ilmu agama juga harus
ikut di Islamkan kembali. Istilah Islamisasi Al-Faruqi tersebut sangatlah jelas dalam
penjelasannya mengenai Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam karya yang ia tulis
Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan yaitu mengajukan
kembali ilmu sebagai sebuah usaha untuk mendefinsikan ulang, mengatur ulang,
memikirkan ulang, mengevaluasi ulang, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan,

5
yang semua itu dengan tujuan agar disiplin-disiplin ilmu itu kaya serta sesuai
dengan visi Islam.13

Untuk mencapai hal tersebut, Al-Faruqi merumuskan beberapa rencana kerja


dalam Islamisasi, yaitu, penguasaan terhadap disiplin ilmu Modern. Disamping itu,
memiliki penguasaan dalam khazanah warisan intelektual Islam. hal ini agar
khazanah Islam dapat di pahami dengan lebih baik lagi dari sudut latar belakang
sejarah, masalah, dan isu yang terlibat. Selain itu, untuk menjembatani kesenjangan
antara ilmu Islam dan Modern maka diperlukan juga sebuah relevansi ilmu Islam
dengan masing-masing disiplin ilmu modern. Dan juga memadukan nilai-nilai dan
khazanah warisan Islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu modern. Dan
mengarahkan itu semua agar sesuai dengan nilai ajaran Islam.14

Untuk merealisasikan program kerja di atas, Al-Faruqi kemudian menyusun


12 langkah yang harus ditempuh dalam Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.
Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, penguasaan displin ilmu modern (prinsip, metodologi, masalah,


tema dan perkembangannya). kedua, survei disiplin ilmu. Ketiga, penguasaan
khazanah Islam: ontology. Keempat, penguasaan kahzanah ilmiah Islam: analisis.
Kelima, penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu.
Keenam, penilaian secara kritis terhadap disiplin keilmuan modern dan tingkat
perkembangannya di masa kini. Ketujuh, penilaian seara kritis terhadap khazanah
Islam dan tingkat perkembangannya dewasa ini. Kedelapan, survey terhadap
permasalahan yang dihadapi umat Islam. kesembilan, survey permasalahan yang
dihadapi umat manusia. Kesepuluh, analisis dan sintesis kreatif. Kesebelas,
penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam. keduabelas,
penyebarluasan ilmu yang sudah diislamkan.

13
“… to Islamize, is to recast knowledge as Islam relates to it… i.e. to redefine and reorder
the data, to rethink the reasoning and relating of the data, to reevaluate the conclusions, to reproject
the goals and to do so in such a way as to make the diciplines enrich the vision and serve the cause
of Islam” Lihat, Ismail Raji Al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and
Workplan, (Herndo, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1982), h. 15
14
Ibid., h. 28

6
Analisa Islamisasi Al-Attas dan Al-Faruqi

Dalam kerangka falsafah yang ditawarkan oleh al-Attas maupu al-Faruqi


mempunyai asumsi yang sama tentang ilmu. Dari sudut epistemologi, mereka
percaya bahwa ilmu tidak bebas nilai. Mereka menilai bahwa tujuan ilmu adalah
satu dan sama. Mengenai konsepsi ilmu mereka bersandar kepada prinsip metafisik,
ontologi, epistemologi dan aksiologi, dengan konsep tauhid sebagai kuncinya.
Keduaanya meyakini bahwa Tuhan sebagai sumber asal segala ilmu dan ilmu
adalah asas bagi kepercayaan dan amal salih.15 Dalam pandangan mereka akar
masalah utama dalam adalah pada sistem pendidikan, terlebih yang berkaitan
dengan ilmu kontemporer, dan sepakat penyelesaiannya hanya dapat dilaksanakan
dengan Islamisasi. Mereka sepakat dengan konsep Islamisasi ilmu kontemporer,
yaitu satu pembedahan atas ilmu modern perlu dilakukan supaya unsur-unsur buruk
dan tercemar dihapuskan, dianalisa, ditafsir ulang atau disesuaikan dengan
pandangan dan nilai Islam.

Menurut Syamsul Rizal, semua pelopor ide Islamisasi ilmu, khususnya al-
Attas, dan al-Faruqi, menyakini bahwa ilmu itu bukanlah neutral (value Free).16
atau bebas nilai. Tujuan usaha mereka adalah sama dan konsep Islamisasi ilmu yang
mereka bawa adalah berpedoman kepada prinsip metafisik, ontologi, epistemologi
dan aksiologi Islam yang berasaskan kepada konsep tauhid. Mereka sependapat
bahwa ilmu Barat khususnya ilmu sains kemanusiaan, sains kemasyarakatan, dan
sains alam modern bersandar pada falsafah dan pandangan yang sekuler di mana
Allah yang Maha Esa telah dipinggirkan. Dalam kerangka ilmu ini, Allah tidak
berperan. Keduanya juga sependapat tentang metodologi ilmu modern ini banyak
dipengaruhi oleh metodologi sains alamiah yang lebih menekankan objektivitas
tetapi telah melampaui batasan dengan wujudnya golongan berpaham positivistik
yang menolak segala kenyataan atau hakikat yang tidak dapat dibuktikan secara
empirikal.

15
Lihat: Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme; Ismail Raji Al-Faruqi,
Islamization of Knowledge: general Principles and workplane, (Herdon: IIT, 1982)
16
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), p.204

7
Dan sudut epistemologi, falsafah yang bersumber dari peradaban Barat ini
menentang ilmu yang bersumberkan wahyu maupun ilham dan hanya menerima
akal dan pancaindera. Sehingga implikasi nyata dari ilmu modern ini bukan
mengokohkan iman sebagaimana pandangan Islam, tetapi sebaliknya merusak dan
menyesatkan aqidah umat Islam.

Walaupun cukup banyak persamaan yang terdapat di antara kedua pemikir


ini, namun dalam beberapa hal, secara prinsip, mereka berbeda. Untuk
mensukseskan proyek Islamisasi, al-Attas lebih menekankan kepada subjek
daripada ilmu, yaitu manusia, dengan melakukan pembersihan jiwa dan
menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, sehingga dalam proses Islamisasi ilmu
tersebut dengan sendirinya akan terjadi transformasi pribadi serta memiliki akal dan
rohani yang telah menjadi Islam secara kaffah. Sedangkan al-Faruqi lebih
menekankan pada objek Islamisasi yaitu disiplin ilmu itu sendiri. Hal ini mungkin
saja menimbulkan masalah, khususnya ketika berusaha untuk merelevansikan Islam
terhadap sains modern, karena bisa saja yang terjadi hanyalah proses labelisasi atau
ayatisasi semata Begitu juga, langkah yang dianjurkan oleh alFaruqi mungkin
menghadapi sedikit masalah khususnya ketika beliau merencanakan agar relevansi
Islam terhadap sesuatu disiplin ilmu dikenal pasti dan dilakukan sintesis.17 Apabila
ini dilakukan mungkin akan terjadi penempelan atau pemindahan saja, sebagaimana
yang dikhawatirkan oleh al-Attas.18

Bagi al-Attas islamisasi ilmu harus didahului oleh islamisasi kepribadian


seseorang. Sedang al-Faruqi, berpendapat bahwa faktor utama untuk mendorong
islamisaasi ilmu pengetahuan adalah menghilangakan sistem dualisme dalam
pendidikan yang telah menyebabkan gagalnya metodologi tradsional untuk
berhaadapan dengan realitas modern. al-Attas berhasil meyakinkan dengan jelas

17
S. Sholeh, Islamisasi Ilmu Pengetahuan; Konsep Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqidan
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Al-Hikmah; Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan, 14 (2), 2017,
p.217
18
Ibid, p.124

8
keperluan kepada Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai respons terhadap
sekularisasi.19

Perbedaan yang kentara antara keduanya juga terlihat dalam pendekatan


mereka melibatkan ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ingin diislamisasikan. Al-
Attas membatasi ilmu pengetahuan yang ingin diislamisasikan kepada ilmu
pengetahuan kontemporer. Al-Faruqi yakin bahwa proses Islamisasi patut juga
dilakukan terhadap ilmu turath islamiy seperti yang termaktub dalam kerangka
kerjanya.20 Sedang menurut al-Attas hanya berfokus pada Islamisasi sains
kontemporer yang telah menyimpang dari nilai-nilai Islam. Al-Attas menilai ilmu
turath islami tidak perlu di Islamisasikan karena tidak terpengaruhi oleh nilai-nilai
sains barat yang sekuler dan atheis.21

Perbedaan yang lain di antara kedua pemikir ini adalah dalam masalah
metodologi proses Islamisasi. Bagi al-Attas, definisi Islamisasi ilmu
pengetahuan itu sendiri memberi panduan kepada metode pelaksanaannya. Proses
ini melibatkan dua langkah, yaitu, proses verifikasi atau saringan dan proses
penyerapan. Beliau tidak menjelaskan prosedur-prosedur yang khusus.22 Menurut
beliau apabila seorang individu memahami pandangan Islam, menafsirkannya dan
menghayati nilai-nilainya yang sesuai dengan pemahaman tersebut, maka islamisasi
ilmu pengetahuan pun akan terlaksana. Seseorang akan dapat mengidentifikasi
unsur-unsur dan konsep-konsep asing serta melakukan pembedahan yang
diperlukan.

Sementara Al-Faruqi merumuskan satu kaidah untuk Islamisasi ilmu


pengetahuan berdasarkan prinsip-prinsip pertamanya yang melibatkan 12 langkah.
Kaedah al-Faruqi merangkum sintesis yang kreatif dan pemaduan konsep ilmu

19
Budi Hanrianto, Islamisasi Sains..., p.156
20
Abdul Rashid Moten, Approaches to Islamization of Knowledge: A Review, Islamization
of Human Sciences, edit. M. Yusof Hussain, (Kuala Lumpur: IIUm Press, 2009), p.67
21
Irma Suryani Siregar & Lina Mayasari Siregar, Studi Komparatif Pemikiran Ismail Raji
al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Jurnal al-Hikmah, Vol. 15, no.1, April 2018, p.91
22
Rosnani Hasyim & Imron Rossidy, A Comparative Analysis of The Conceptions of Al-
Attas and Al-Faruqi, dalam Islamization of Human Sciences, (Kuala Lumpur: IIUm Press, 2009),
p.127

9
Barat dan Islam yang dirancang dapat menyerap ilmu Islam ke dalam ilmumodern
dan sebaliknya ilmu modern ke dalam ilmu Islam. Namun bagi Al-Attas hal ini
dapat dilaksankan hanya setelah menyaringkan unsur dan konsep Barat sekuler.

Perbedaan di antara konsepsi al-Faruqi dan al-Attas juga amat jelas


berkenaan dengan kepentingan tasawuf dalam merumuskan konsep-konsep dasar
dalam semua cabang ilmu.23 Al-Faruqi mengecilkan peranan tasawuf dan
berpendapat bahwa “kerohanian yang terpancar melalui tasawwuf hanya membawa
kepada kelesuan dan karena itu ia beranggapan bahwa tasawuf itu sesuatu yang
tidak perlu dan bahkan bisa merusak.”

Semantara al-Attas menganggap tasawuf bukan saja penting tetapi perlu


bagi perumusan teori ilmu dan pendidikan.24 Menurut beliau “perumusan falsafah
pendidikan dan falsafah sains dalam acuan Islam tidak boleh dilakukan dengan
mengabaikan sumbangan besar ulama-ulama sufi tentang hakikat realitas.”

Di samping itu, ulama tradisional melihat tasawuf sebagai satu cara untuk
memperoleh ilmu kerohanian, dan menganggap ilmu kerohanian sebagai cara
utama bagi menyelamatkan manusia dari cengkaman empirisme, pragmatisme,
materialisme dan rasionalisme sempit yang merupakan sumber utama sains
modern.25 Justru itu ilmu kerohanian menjadi cara untuk mengatur pendidikan dan
perspektif terpadu dan komprehensif.

Al-Faruqi memberi penekanan kepada transformasi sosial dibanding


idealisme sufi yang memberi perhatian kepada perubahan individu.26 Dia
mengutamakan masyarakat dan negara dibanding individu. Ini jelas sekali dan
penekanan al-Faruqi kepada ummah. Bagaimanapun al-Attas menjelaskan memang
benar ummah dan negara sangatpenting dalam Islam, tetapi begitu juga dengan
individu Muslim, sebab bagaimana ummah dan negara bisa dibangun jika individu

23
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: PIMPIN, 2010),
p. 152-154
24
Rosnani Hasyim & Imron Rossidy, A Comparative Analysis of The Conceptions..., p.120
25
Ibid
26
Muhammad Mumtaz Ali, Issues in Islamization of Human Knowledge; Civilizations
building Discourse of Contemporary Muslim Thinkers, (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2014), p.144

10
Muslim tidak memahami tentang Islam dan pandangannya belum menjadi Muslim
yang baik? Oleh karena itu, menurut al-attas strategi yang tepat sesuai dengan
zaman dan keadaan kita, yang lebih penting adalah menekankan individu dalam
mencari penyelesaian kepada masalah yang kita hadapi daripada menekankan
masyarakat dan negara. Al-Attas mendukung intuisi sebagai sumber dan metode
yang sah bagi metodologi saintifik.27

Berbeda dengan pandangan al-Attas, Al-Faruqi menentang keras


metodologi tradisional khususnya yang dipengaruhi oleh tasawuf yang mendukung
metodologi intuitif dan esoterik. Pada pandangannya metode ini menghasilkan
pemisahan wahyu dan akal. Perbedaan pandangan terhadap intuisi sebagai metode
dan sumber ilmu mempunyai beberapa implikasi bagi konsep ilmu, pendidikan dan
Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer dan islamisasi secara umum. Seperti
yang dijelaskan sebelum ini konsep Islamisasi al-Faruqi lebih menekankan
masyarakat, ummah atau perubahan sosio-ekonomi dan politik. Konsep islamisasi
ilmu pengetahuan al-Attas juga memberi lebih perhatian kepada individu daripada
masyarakat. Baginya perubahan individual akan diikuti oleh perubahan dalam
masyarakat dan ummah.

Penutup

Dalam konsep Islamisasi al-Attas maupun al-Faruqi mempunyai kesamaan


pandangan, seperti pada tataran epistemologi mereka sepakat bahwa ilmu tidak
bebas nilai (value free) tetapi terikat (value bound) dengan nilainilai yang diyakini
kebenarannya. Mereka juga sependapat bahwa ilmu mempunyai tujuan yang sama
yang konsepsinya disandarkan pada prinsip metafisika, ontologi, epistemologi dan
aksiologi dengan tauhid sebagai kuncinya. Mereka juga meyakini bahwa Allah
adalah sumber dari segala ilmu dan mereka sependapat bahwa akar permasalahan
yang dihadapi umat Islam saat ini terletak pada sistem pendidikan yang ada,
khususnya masalah yang terdapat dalam ilmu kontemporer. Dalam pandangan

27
Rosnani Hasyim & Imron Rossidy, A Comparative Analysis of The Conceptions..., p.120;
Muhammad Mumtaz Ali, Issues in Islamization of Human Knowledge..., p. 95

11
mereka, ilmu kontemporer atau sains modern telah keluar dari jalur yang
seharusnya.

Walaupun cukup banyak persamaan yang terdapat di antara keduanya,


dalam beberapa hal, secara prinsip, mereka berbeda. Untuk mensukseskan proyek
Islamisasi, al-Attas lebih menekankan kepada subjek daripada ilmu, yaitu manusia,
dengan melakukan pembersihan jiwa dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji,
sehingga dalam proses Islamisasi ilmu tersebut dengan sendirinya akan terjadi
transformasi pribadi serta memiliki akal dan rohani yang telah menjadi Islam secara
kaffah. Sedangkan al-Faruqi lebih menekankan pada objek Islamisasi yaitu disiplin
ilmu itu sendiri.

Terdapat juga perbedaan yang cukup mencolok mengenai ruang lingkup


yang perlu diislamkan. Dalam hal ini, alAttas membatasi hanya pada ilmu-ilmu
pengetahuan kontemporer atau masa kini sedangkan al-Faruqi meyakini bahwa
khazanah keilmuan Islam masa lalu juga perlu untuk diislamkan kembali
sebagaimana yang telah dia canangkan di dalam kerangka kerjanya. Dan satu hal
lagi, dalam metodologi bagi proses Islamisasi ilmu, al-Attas berpandangan bahwa
definisi Islamisasi itu sendiri telah memberi panduan kepada metode
pelaksanaannya di mana proses ini melibatkan dua langkah sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Sedangkan bagi al-Faruqi, hal itu belumlah cukup sehingga
ia merumuskan suatu kaedah untuk Islamisasi ilmu pengetahuan berdasarkan
prinsip-prinsip pertamanya yang melibatkan 12 langkah.

Perbedaan yang lain adalah al-Faruqi mengecilkan peranan tasawuf dan


berpendapat bahwa “kerohanian yang terpancar melalui tasawwuf
hanya membawa kepada kelesuan dan karena itu ia beranggapan bahwa tasawuf itu
sesuatu yang tidak perlu dan bahkan bisa merusak.” Semantara al-Attas
menganggap tasawuf bukan saja penting tetapi perlu bagi perumusan teori ilmu dan
pendidikan.

Konsep Islamisasi al-Faruqi lebih menekankan masyarakat, ummah atau


perubahan sosio-ekonomi dan politik. Malahan ia lebih gencar menyebarkan ide

12
Islamisasi ilmu kepada massa melalui aktivitas tetap yang berbentuk seminar,
persidangan dan membuka beberapa cabangnya di beberapa negara. Konsep
islamisasi ilmu pengetahuan al-Attas juga mnemberi lebih perhatian kepada
individu daripada masyarakat. Baginya perubahan individual akan diikuti oleh
perubahan dalam masyarakat dan ummah.

13
Daftar Pustaka

al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1990. Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu
Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Haidar Bagir,
(Bandung: Mizan)

, Syed Muhammad Naquib, 1995. Prolegomena to The Metaphysics of


Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC)

, Syed Muhammad Naquib, 2010. Islam dan Sekularisme, (Bandung:


PIMPIN)

Al-Faruqi, Ismail Raji, 1982. Islamization of Knowledge: General Principles and


Workplan, (Herndo, Virginia: International Institute of Islamic Thought)

Ali, Muhammad Mumtaz, 2014. Issues in Islamization of Human Knowledge;


Civilizations building Discourse of Contemporary Muslim Thinkers,
(Kuala Lumpur: IIUM Press)

Daud, Wan Mohd Nor Wan, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam

Handrianto, Budi, 2019. Islamisasi Sains; Sebuah Upaya Mengislamkan Sains


Barat Modern, (Jakarta: INSISTS)

Hasyim, Rosnani & Rossidy, Imron, 2009. A Comparative Analysis of The


Conceptions of Al-Attas and Al-Faruqi, dalam Islamization of Human
Sciences, (Kuala Lumpur: IIUM Press)

Moten, Abdul Rashid, 2009. Approaches to Islamization of Knowledge: A Review,


Islamization of Human Sciences, edit. M. Yusof Hussain, (Kuala Lumpur:
IIUM Press)

Nizar, Samsul, 2002. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press)

Sholeh, S., 2017. Islamisasi Ilmu Pengetahuan; Konsep Pemikiran Ismail Raji Al-
Faruqidan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Al-Hikmah; Jurnal Agama
dan Ilmu Pengetahuan, 14 (2)

14
Siregar, Irma Suryani & Siregar, Lina Mayasari, 2018, Studi Komparatif Pemikiran
Ismail Raji al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Jurnal al-
Hikmah, Vol. 15, no.1, April

15

Anda mungkin juga menyukai