Tugas
Tugas
Oleh
Lesmadona Ferutama
NIM. 203033102165
JAKARTA
2008 M / 1428 H
KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI`ATI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I)
Oleh
Lesmadona Ferutama
NIM. 203033102165
Di Bawah Bimbingan
NIP. 150107970
JAKARTA
2008 M / 1428 H
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juni 2008.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Program Strata 1 (S1) pada jurusan Aqidah Filsafat.
Sidang Munaqasyah
Segala puji hanya milik Tuhan Semata Alam, pencipta makhluknya, Yang mengetahui apa-
apa yang ada dilangit dan di bumi yang nyata maupun yang tersirat baik dalam keadaan terang
benderang maupun dalam keadaan gelap gulita. Shalawat dan salam selalu tercurah dari bibir pendosa
yang selalu dipaksakan untuk terus mengucapkan keselamatan atas manusia agung sang paduka Nabi
Muhammad saw, berkat dengan adanya Muhammad-lah alam ini dapat terciptakan dan dapat
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak menemukan kendala-kendala yang harus
dihadapi oleh penulis. Namun demikian berkat bimbingan-Nya serta bantuan yang sangat berharga
bagi penulis, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
2. Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Negeri
3. Bapak Drs. Harun Rasyid, MA selaku Kepala Program Ushuluddin dan Filsafat Non-
Reguler.
4. Bapak. Drs. Agus Darmaji, M.Fils selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat
6. Kepada segenap Dosen-dosen Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan ilmunya
7. Segenap staff dan petugas Perpustakaan Utama dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
8. Selanjutnya, salam ta‘dzim penulis kepada Ayahanda Lem Ses Aini dan Ibunda Fithriani,
selaku kedua orang tua yang pernah mendidik penulis dari semenjak buaian hingga
menemukan “dirinya” sebagai manusia. Buaian kasih dan sayangnya sungguh tak akan
9. Kepada kedua kakek dan nenek penulis, Soehaily Ya`qub dan Nurkimah, yang telah
memberikan nasehat-nasehat yang bijak agar penulis bisa menjadi lebih baik dan lebih
baik lagi. Semoga keduanya diberikan umur panjang dan sehat selalu.
10. Latifah Mitrayani Hanum, adik penulis yang akan melanjutkan cita-citanya ke perguruan
11. Om Edi, Tante Dwi, Om Raka, One, Om Fahmi, dan Uniang yang telah memberikan
12. Buat sepupu-sepupu penulis Suci, Rio, Bima, Bulan, Bintang (welcome), Farhan, dan
13. Ust. Saepudin yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis.
14. Pak Masyhar MA yang telah menyediakan waktunya untuk mendiskusikan skripsi kepada
penulis.
15. Teman-teman seperjuangan yang ada di KINEKLUB dan Kabbalah Study Club.
16. Teman-teman yang paling ngebosenin dari Al-Mukhlishin, Wawan, semoga sukses
dengan kursusan barunya. “Udah jago belom (PS)?“. Goro, manusia paling banyak
obsesi, mudah-mudahan tercapai obsesinya. Dan Sotoy, yang sedang meniti karier di
17. Buat Noz, Paijo, Muthe, dan Yuni yang telah memberikan kebersamaan dari kejenuhan
18. Teman-teman Alumni Al-Hikmah, Will Strong, Wawan, Goro, Sotoy, Putra, Fakih,
pelosok Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin
kontribusinya, Fandy Rose, Rusli (Iwan), Diana “Cimot“, Uchay (Tuan Takur) dan Daus
(Kabbalis), cepet beres ye.. Syakib (Pongga), Ismet, Ayat yang sudah selesai.
DAFTAR ISI
Transliterasi.....................................................................................................vi
BAB I. PENDAHULUAN
a. Basyar ................................................................................27
b. Insân...................................................................................28
A. Kesimpulan ....................................................................................48
B. Saran-Saran ....................................................................................49
BAB I
PENDAHULUAN
menempati posisi yang sangat penting, karena hanya manusia yang mampu berpikir
dengan akalnya tentang kebaikan dan keburukan. Selain itu, dengan akalnya,
manusia juga mampu mengatur segala sesuatu yang ada di alam dan mengolahnya
dengan tujuan kepentingan dirinya sendiri. Dengan alasan ini, manusia termasuk
kedalam salah satu kajian yang paling penting dalam ilmu filsafat.
filsafat, namun para filosof memahami hal ini dengan beragam persepsi. Hal
demikian terjadi karena perbedaan dari definisi tentang hakikat manusia di antara
mereka.
bereksistensi. Di samping itu, Kierkegard percaya bahwa manusia berasal dari Allah
dan berada sedang dalam proses menuju hubungan kepada kesatuan tertinggi
istilah to exist yang artinya dalam proses “menjadi”, dan disisi lain ditemukan pula
istilah existence yang artinya adalah suatu perjuangan terus menerus menuju yang
1
tak terbatas. Jika demikian, perjuangan yang terus menerus inilah yang merupakan
dengan kata lain, mereka lebih menyukai untuk menempatkan Kierkegard sebagai
Tidak berbeda dengan Kierkegard, `Abd al-Karîm ibn Ibrâhîm al-Jîllî juga
Namun, al-Jîllî lebih dipandang sebagai seorang mistikus ketimbang seorang filosof,
padahal berbagai persoalan yang diangkat tidak terlalu jauh dari persoalan yang
eksistensi manusia bersifat koheren dengan Tuhan. Dalam hal ini, manusia memiliki
potensi untuk meneladani sifat-sifat ketuhanan. Dengan usaha ini, maka seseorang
berada dalam proses pengembaraan menuju Tuhan, dan ketika pengembaraan itu
telah mencapai tujuannya, maka manusia menjadi intim dengan dengan Tuhan. Pada
saat keintiman ini, maka manusia itu menjadi manusia yang seutuhnya, dalam
Bagi al-Jîllî, Insân Kâmil telah merangkum semua metafor asma-asma dan
sifat-sifat-Nya yang berdimensikan zat di dalam diri Insân Kâmil itu sendiri.2
tahap inilah yang disebut puncak pengalaman spiritual manusia. Menurut al-Jîllî,
manusia yang paling tampak mempunyai potensi-potensi Insân Kâmil adalah Nabi
1
Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta:
Teraju, 2004), h. 57
2
Syeikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim al-Jîllî, Insan Kamil: Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia
Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman, terj. Misbah El Majid, Lc., (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana,
2006), h. 319.
Dengan demikian, dapat diketahui, Kierkegard dan al-Jîllî telah sepakat
bahwa substansi manusia sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari Tuhan. Hal
Kierkegard dan al-Jîllî bukan satu-satunya pemikir dari kalangan religius yang
adalah seorang mistikus, maka dari kalangan filosof muslim, juga banyak yang
mempresentasikan persoalan serupa. Salah seorang filosof Muslim Iran, Ali Syari’ati
Bagi Ali Syari’ati, persoalan substansi manusia sine qua non harus dikupas
diketahui bahwa, jika Ali Syari`ati berangkat dari dogma-dogma Islam dalam
memahami hakikat manusia, maka pengaruh kitab suci al-Qur’an menjadi tampak
pada pemikirannya.
merupakan pernyataan humanisme yang paling dalam dan paling maju. Adam
mewakili seluruh manusia, dia adalah esensi umat manusia, manusia dalam
pengertian filosofis, bukan biologis. Bila al-Qur`an berbicara biologis, maka itu
pada kejadian Adam, bahasa yang dipergunakan adalah bahasa metaforis dan
berpendapat bahwa manusia diciptakan melalui dua unsur penting, yaitu, ruh Tuhan
3
Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, (Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 113.
dan tanah lempung. Ruh Tuhan mengajak manusia menuju puncak spritual tertinggi,
sedangkan tanah lumpur berasal dari tanah yang rendah dan hina yang
membawanya ke hakikat yang rendah. Pada akhirnya, kedua unsur ini saling tarik
menarik sehingga manusia harus menentukan pilihannya sendiri. Oleh karena itu
nasibnya sendiri. Setelah itu, Tuhan mengajarkan nama-nama pada manusia. Jadi
pengenalan “nama-nama”. Manusia juga pemberi nama pada dunia. Lantas, untuk
padahal mereka hanya diciptakan dari tanah, sementara malaikat tercipta dari
cahaya. Tuhan menyatakan diri-Nya mengetahui hal-hal yang tidak mereka ketahui,
dan menyuruh para malaikat untuk bersujud sebagai tanda hormat kepada manusia.
Derajat manusia diangkat sedemikian mulia, setingkat di atas malaikat, meski ada
unsur yang hina pada manusia. Keunggulan manusia ini bukan atas dasar rasial,
tinggi, makhluk yang punya kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, makhluk
unsur lumpur (kehinaan). Manusia adalah makhluk yang punya potensi intelektual,
potensi kebebasan, dan potensi spiritual. Oleh karena itu, manusia dikaruniai
amanat yang paling agung, yaitu sebagai wakil Tuhan, sebagai khalifahnya di bumi
ini.
4
Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta:
Teraju, 2004), h. 32.
Dalam hal ini, manusia harus melakukan evolusi, merubah dirinya dari
ke insan. Selain itu, manusia juga harus membebaskan dirinya dari belenggu alam,
sejarah, masyarakat dan egonya sendiri. Ia harus bisa menentukan dirinya sendiri
dengan kesadaran dan ideologi yang diyakininya. Manusia juga harus punya
kepedulian sosial yang tinggi, baik dalam dataran pikiran maupun aksi. Oleh karena
maka dia akan selalu dekat kepada Tuhan, sehingga dia menjadi insân yang
diketahui bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara Ali Syari’ati dengan
para pemikir lainnya seperti Kierkegard dan al-Jîllî. Adapun persamaannya antara
Begitu pula dengan al-Jîllî, meskipun Ali Syaria`ti mempunyai keimanan yang sama
dengan al-Jîllî, akan tetapi, Ali Syaria`ti menggunakan analisa filosofis ketimbang al-
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis melihat banyak persoalan yang harus
dijawab yang salah satunya adalah pengaruh filosofis dan teologis dalam konsep
manusia (insân) menurut Ali Syari`ati. Dalam hal ini, penulis melihat pengaruh
filosofis dan teologis sama-sama menghiasi pemikirannya. Namun dalam skripsi ini,
penulis merasa perlu untuk meneliti lebih dalam mengenai konsep manusia menurut
Ali Syari`ati. Berkaitan dengan ini penulis menyusun laporan penelitian dengan judul
Pembatasan masalah dalam menyusun tema yang akan diangkat ini, penulis
membatasi pokok permasalahan pada konsep manusia menurut Ali Syari`ati. Selain
itu penulis juga bermaksud untuk meneliti pengaruh filosofis dan teologis namun
tetap dalam konsep yang ditawarkan. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak
revolusionisme, dan yang lainnya. Hal ini dimaksudkan agar penelitian konsep
Syari`ati.
D. Metode Penelitian
Sehubungan dengan topik yang dipilih oleh penulis, maka dalam penelitian
ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara riset kepustakaan
(Library Research).
Untuk penelitian skripsi ini yang digunakan sebagai sumber primer adalah, Ali
Syari`ati, Agama Versus Agama, Terj. Dr. Afif Muhammad dan Drs. Abdul Syukur,
MA(Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), Ali Syari`ati, Tentang Sosiologi Agama, Terj.
Saifullah Mahyudin (Yogyakarta: Ananda 1982), Ali Syari`ati, Kritik Islam Atas
Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, Terj. Husin Anis Al- Habsyi (Bandung:
Mizan 1990), Ali Syari`ati, Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasan Islam, Peny.
Syari`ati Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju 2004), Charles
Kurzman, Ed, Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu
penelitian skripsi ini adalah dengan metode diskripsi analisis. Dalam penulisan
laporan penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan tata cara penyusunan skripsi
berdasarkan buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
membantu peneliti untuk mencari benang merah sekaligus proses penulisan laporan
E. SISTEMATIKA PENULISAN
secara singkat dan jelas mengenai gambaran secara garis besar dari isi skripsi ini
yang terbagi ke dalam empat bab beserta dengan kata pengantar, daftar
transliterasi, daftar isi, dan daftar pustaka. Adapun sistematika penulisan skripsi ini
latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
bab yang menguraikan tentang, riwayat hidup dan karya-karya Ali Syari`ati.
dan filosofis serta hubungannya dengan konsep manusia (insân). Bab keempat,
A. Riwayat Hidup
Ali Syari`ati merupakan anak pertama dari Muhammad Taqi Syari`ati dan
Zahra, lahir pada tanggal 24 November 1933 di sebuah desa kecil di Kahak, sekitar
70 kilometer dari Sabzevar.5 Dia berasal dari keluarga yang shaleh. Ayahnya,
Muhammad Taqi Syaria`ti merupakan seorang ulama anti konservatif yang sering
memiliki pendapat yang berbeda dengan para ulama dan para mullah lainnya.
pendidikan dari ayahnya, dia juga gemar membaca. Perpustakaan milik ayahnya
yang besar menjadi tempat di mana dia sering menekuni kegemarannya tersebut.
Pada awal tahun 1940, ayahnya mendirikan usaha penerbitan yang bernama
“Pusat Penyebaran Kebenaran Islam”, yang memiliki tujuan untuk kebangkitan Islam
sebagai agama yang kaya akan kewajiban dan komitmen sosial. Tidak terlalu lama
Ali Syari`ati memang unik, pada masa belia, dia sudah tertarik mengkaji
tokoh-tokoh yang banyak dicap oleh para mullah telah menyimpang dari doktrin
5
Ali Rahnema, Ali Syari`ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien Wahid, M.A. et. all.,
(Jakarta: Erlangga, 2002), h. 53.
6
Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta:
Teraju, 2004), h. 12.
11
dogmatis yang telah mereka ajarkan secara turun temurun. Rupanya, kajian seperti
itu membuat dia dan ayahnya yang juga tertarik terhadap kajian serupa mendapat
yang merupakan sekolah sekuler. Setelah lulus, di tahun 1950, dia melanjutkan
1952, dia mulai mengajar di desa Ahmad Abad. Meskipun disibukkan waktu
mengajar, dia masih melanjutkan perlawanannya kepada Syah Reza Pahlevi. Hal ini
1953.7
Masyhad. Pada tahun ini juga dia menikah. Namun akibat mengikuti Gerakan
Perlawanan Nasional, pada tahun 1957, dia dan ayahnya, dipenjara sebagai tahanan
Pada tahun 1959, Syari`ati lulus dari Fakultas Sastra Universitas Masyhad.
itu tertunda. Baru pada tahun 1960, Ali Syari`ati bisa melanjutkan pendidikannya ke
Perancis atas beasiswa dari pemerintah Iran. Di Perancis, Ali Syari`ati belajar di
7
Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 12.
Universitas Sorbone dan mengambil dua bidang studi sekaligus yaitu Sosiologi
terkemuka seperti Jean Paul Sartre, Louis Massignon, dan Che Guevara. Pada saat
Perancis, Ali Syari`ati banyak berkenalan dengan buku-buku yang biasanya tidak
ada di Iran. Dia juga mempelajari dan memperoleh pengetahuan secara langsung
dari berbagai aliran pemikiran sosial, ataupun karya-karya para filosof, sarjana, dan
penulis. Meskipun akrab dengan pemikiran Barat, Ali Syaria`ti tidak menelan
dikritik oleh Syaria`ti dan dia juga mengemukakan beberapa kelemahannya yang
dalam isu-isu tentang Dunia Ketiga. Bersama kaum cendekiawan dari Afrika, Asia,
dan Amerika Latin, dia terlibat dalam pencarian dasar-dasar pemikiran Dunia
Ketiga. Berbagai tulisannya pun lahir tentang kenestapaan Dunia Ketiga pada saat
itu. Ali Syari`ati juga turut membantu penulisan artikel pada surat kabar kaum
Ali Syari`ati kembali ke Iran pada tahun 1964 setelah menyelesaikan studinya
dengan Iran dengan Turki, Ali Syari`ati di depan istri dan anaknya langsung
ditangkap dan dipenjarakan di Teheran. Dia ditahan selama enam bulan. Setelah
8
Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 16.
9
Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 210.
Masyhad. Sosiologi Islam merupakan mata kuliah baru yang diperkenalkan Ali
Syari`ati kepada mahasiswanya. Mata kuliah ini belakangan menjadi populer dan
juga digemari para mahasiswa. Ini terutama karena Ali Syari`ati menggunakan
metode dan pendekatan yang berbeda. Tidak hanya melalui pendekatan dogmatis
dan teologis semata, melainkan lebih sosiologis, filosofis, dan rasional. Oleh karena
itu, Ali Syari`ati bisa menghadirkan Islam sesuai dengan realitas yang ada di
masyrakat, bukan sekedar konsep yang ada dalam al-Qur`an dan Sunnah. Kemudian
untuk berbuat.10
Pernah suatu ketika Ali Syari`ati datang terlambat untuk memberikan kuliah
10
Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, h. 211.
11
Ali Syaria`ti, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, peny. Syafiq Basri dan Haidar
Bagir, (Bandung: Mizan, 1985), h. 23.
Dari sini bisa diketahui, bahwa Ali Syaria`ti sangat bersemangat untuk
para mahasiswanya ini layaknya ceramah wada` sebelum kematiannya. Tak lama
setelah memberikan kuliah itu, dia dibunuh oleh polisi SAVAK yang terkenal sangat
Ali Syati’ati merasa dirinya berada dalam keadaan bahaya sehingga pada
tanggal 16 Mei 1977 dia meninggalkan Iran menuju London, Inggris. Meskipun
demikian, polisi SAVAK tetap melakukan pelacakan kepadanya hingga pada tanggal
Iran mengumumkan Ali Syari’ati tewas akibat serangan jantung, tetapi banyak yang
Syari’ati, tetapi istrinya menolak tawaran tersebut karena tidak ingin terlibat dalam
revolusi Iran, namanya sering disebut-sebut sebagai tokoh revolusi selain Imam
tergantung dari kacamata yang melihatnya. Dirinya sendiri tidak pernah mengklaim
dengan semua sebutan tersebut. Ali Syari`ati hanyalah sebagian orang yang ingin
12
Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, h. 25.
merubah suatu keadaan menjadi lebih baik dengan menggunakan ide-ide yang ada
padanya. Tauhid merupakan landasan dasar dari seluruh pemikiran Ali Syari`ati.
Istilah Tauhid dengan pretensi yang sama, bisa juga disebut sebagai Ilmu
Kalam, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Akidah, dan dengan istilah Barat-Kristen sering
disebut Ilmu Teologi (Theology). Juhaya S. Praja menyebutkan, bahwa ilmu itu
digunakan para filosof. Para filosof menyebut Ilmu Kalam sebagai polemical wisdom
Terdapat beberapa tema dalam Ilmu Tauhid, antara lain seperti masalah baik
dan buruk (al-Husn wa al-Qubh), keadilan Tuhan, soal dosa besar, Iman dan Kafir,
zat dan sifat-sifat Tuhan, posisi teks kitab suci al-Qur’an, serta Qadar dan Taqdir.
Perlu ditegaskan, ketika membincang soal Tuhan dalam Ilmu Tauhid seperti istilah
dibicarakan adalah bukan Tuhan itu sendiri. Bukan Tuhan ini dan itu, not God itself.
Tapi sesungguhnya bicara soal persepsi manusia terhadap Tuhan. Hassan Hanafi
misalnya, mengungkapkan bahwa yang dimaksud Teologi bukan berarti ilmu tentang
ke-Tuhanan, karena Tuhan sendiri yang menciptakan ilmu. Ilmu tak sanggup mampu
Dalam dunia Islam, Ilmu Tauhid diwakili oleh aliran-aliran, namun secara
Maturidiah berada dalam garda depan pemikiran mazhab ini. Kedua, direpresentasi
13
Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia,
(Jakarta: Penerbit Teraju, 2002), h. 38.
14
Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh, (Jakarta: Penerbit P3M,
1991), h. 14.
mazhab rasionalis. Dalam kategori ini, aliran Mu‘tazilah khususnya, mengusung
mazhab itu terletak ketika membincang tema zat dan sifat-sifat Tuhan. Mazhab
Mu‘tazilah menyebut bahwa yang kekal hanyalah Allah, dan keesaan-Nya tidak
keterkaitan antara satu dan yang lainnya, juga memperlihatkan keharmonisan yang
keadilan yang menolak semua kontradiksi yang ada. Sebagaimana yang dikatakan
15
Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 73.
yang berorientasi Tauhid --- suatu masyarakat yang
berdasarkan struktur material dan ekonomi bebas dari
kontradiksi dan suatu struktur intelektual dan kepercayaan
yang bebas dari kontradiksi. Jadi masalah Tauhid, dan syirk
senantiasa berkaitan erat dengan filsafat sosiologi universal,
dengan struktur ethis masyarakat serta sistim-sistim hukum dan
konvensionalnya.”
Tidak hanya sebagai sebuah filsafat moral, bagi Ali Syari`ati, Tauhid juga merupakan
dengan peristiwa politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Tauhid juga menghapus
kebebasan,dan kemerdekaan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pemikiran Ali Syari`ati berangkat dari
dogmatisme Islam, lalu dipresentasikan dari sudut pandang filososfis. Sehingga bisa
Dalam hal karya, Ali Syari`ati jarang menulis sebuah buku utuh. Dari
beberapa tulisannya yang sengaja dibuat untuk buku utuh, bisa disebut diantaranya
adalah Kavir, dan Hajj. Kavir menjelaskan tentang otobiografinya dan juga
haji secara filosofis. Selebihnya merupakan kumpulan ceramah yang terekam pada
saat ia mengajar, dan juga beberapa kumpulan tulisannya. Karena Ali Syari`ati
jarang menulis buku utuh, maka sering ditemukan buku yang berbeda, namun
A. Pengertian Manusia
Dalam istilah bahasa Arab, manusia mempunyai banyak padanan kata, yaitu,
insân, basyar, bani adam, unâsi, dan nâs. Di dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan
ﺖ ِﻓ ْﻴ ِﻪ
ُ ﺨ
ْ ﺳ َﻮ ْﻳ ُﺘ ُﻪ َو َﻧ َﻔ
َ َﻓِﺈذَا.ﻦ
ٍ ﻃ ْﻴ
ِ ﻦ
ْ ﺸﺮًا ِﻣ
َ ﻖ َﺑ
ٌ ﻲ ﺧَﺎِﻟ ِ ﻼ ِﺋ َﻜ ِﺔ ِإ ّﻧ
َ ﻚ ِﻟ ْﻠ َﻤ
َ ل َر ﱡﺑ
َ ِإ ْذ ﻗَﺎ
(72-71:) ص.ﻦ َ ﺟ ِﺪ ْﻳ
ِ ﻦ ُر ْوﺣِﻲ ﻓَﻘَ ُﻌﻮْا َﻟ ُﻪ ﺳَﺎ ْ ِﻣ
.ن
ٍ ﺴﻨُﻮ
ْ ﺣ َﻤٍﺈ َﻣ
َ ﻦ
ْ ل ِﻣٍ ﺻ ْﻠﺼَﺎ
َ ﻦ ْ ﺸﺮًا ِﻣ َ ﻖ َﺑ
ٌ ِﻚ ِﻟ ْﻠ َﻤﻠَﺎ ِﺋ َﻜ ِﺔ ِإﻧﱢﻲ ﺧَﺎﻟ
َ ل َر ﱡﺑ َ َوِإ ْذ ﻗَﺎ
-28 : )اﻟﺤﺠﺮ.ﻦ َ ﺟﺪِﻳ
ِ ﻦ رُوﺣِﻲ َﻓ َﻘﻌُﻮا َﻟ ُﻪ ﺳَﺎ ْ ﺖ ﻓِﻴ ِﻪ ِﻣُ ﺨ ْ ﺳﻮﱠ ْﻳ ُﺘ ُﻪ َو َﻧ َﻔَ َﻓِﺈذَا
(29
Artinya: Dan Ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada
para Malaikat, ”sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang
manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam
yang diberi bentuk. Dan Apabila Aku (Allah) telah
menyempurnakan kejadiannya, serta telah meniupkan
kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya
dengan bersujud (al-Hijr: 28-29)
Manusia diciptakan juga membawa potensi dan sifat masing-masing. Ada beberapa
ayat yang memuji sikap manusia dan ada pula yang merendahkan derajat manusia. Dalam
pandangan Quraish Shihab, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung
jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan ruh Ilahi
(akal dan ruhani), manusia juga diberi anugerah berupa potensi untuk mengetahui nama dan
fungsi benda-benda alam, pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan
dan kenikmatannya, maupun rayuan iblis dan akibat buruknya dan terakhir petunjuk
keagamaan.16
al-Qur`an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.
Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan
kecerdasan.18 Sedangkan term bani adam untuk menunjukkan bahwa manusia adalah
makhluk yang mempunyai kelebihan dan keistimewaan dari makhluk lainnya. Keistemawaan
itu meliputi fitrah keagamaan, peradaban, dan kemampuan memanfaatkan alam.19 Unâsi
digunakan dalam al-Qur`an dapat difahami bahwa term ini selalu dihubungkan dengan
kelompok manusia, baik sebagai suku bangsa, kelompok pelaku kriminal, maupun kelompok
orang yang baik dan buruk nanti di akhirat. Jika ini dikaitkan dengan manusia maka term
unâsi ini dapat difahami bahwa manusia adalah makhluk yang berkelompok, dan ia selalu
akan membentuk kelompoknya sesuai dengan ciri persamaan, seperti biologis dan kebutuhan
16
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an (Bandung: Mizan, 1997), h. 282-283.
17
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an , h. 278.
18
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, h. 280.
19
Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam; Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Qur`an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) h. 90.
sosial lainnya.20 Sedangkan ungkapan nâs untuk menunjukkan sifat universal manusia atau
untuk menunjukkan spesies manusia. Artinya ketika menyebut nâs berarti adanya pengakuan
menulusuri mengenai manusia itu sendiri. Dalam pandangan sufi ada istilah yang penting dan
menjadi kunci dalam kajiannya, yaitu insân kâmil. Namun dalam al-Qur`an, tidak pernah
disinggung mengenai insân kâmil secara pasti, tidak ada ayat yang menyatakan mengenai
insân kâmil, yang ada adalah mengenai manusia yang ada dalam bentuk yang sebaik-baiknya
dan manusia yang mempunyai sifat yang keluh kesah, namun ia bisa dibina menjadi baik.
Ayat yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam sebaik-baiknya bentuk adalah:
Ayat di atas adalah salah satu ayat yang dijadikan sebagai isyarat mengenai
kesempurnaan manusia dari segi fisik. Kesempurnaan yang demikian membuat manusia
menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk, yaitu menjadi khalifah di muka bumi.22
Kendati manusia memiliki potensi kesempurnaan sebagai gambaran dari kesempurnaan citra
ilahi, tetapi kemudian, ketika ia terjauh dari prototipe ketuhanan, maka kesempurnaan itu
semakin berkurang. Untuk itu, jalan satu-satunya mencapai kesempurnaan itu ialah kembali
kepada Tuhan dengan iman dan amal saleh. Jika manusia tidak bisa mempertahankan
bentuknya, maka ia juga bisa jatuh kedalam kehinaan. Dengan ungkapan lain manusia bisa
Dari semua padanan kata manusia di atas, penulis mendapatkan suatu kesimpulan,
yaitu, bahwa manusia merupakan makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifahnya di bumi, serta
20
Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, h. 76
21
Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, h. 86
22
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 2.
makhluk yang di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan dan keesaan-Nya, memiliki
kebebasan, terpercaya, memiliki rasa tanggung jawab, juga dibekali dengan kecenderungan
bukan memakai bahasa yang jelas (eksposisi). Bahasa simbolis menyatakan makna-
maknanya lewat simbol-simbol dan imaji, adalah bahasa yang paling indah dan halus
dari seluruh bahasa yang dikembangkan manusia. Bahasa simbolis jelas lebih
mendalam, lebih universal dan lebih abadi dari pada bahasa eksposisi yang maksud
dan kejelasannya terbatas pada waktu dan tempatnya. Bahasa eksposisi mungkin
merupakan sarana komunikasi dan pengajaran yang lebih baik, tapi ia tidak lestari
dan abadi sebagaimana bahasa simbolik. Karena hakekatnya yang satu dimensi,
tidak simbolik dan tidak mistis, bahasa eksposisi selalu terbatas pada waktu. Hal ini
Badawi, suatu agama atau filsafat yang mencoba mengemukakan seluruh makna
dengan satu tingkatan, pasti tidak akan dapat bertahan lama. Padahal mereka yang
dituju oleh agama selalu mewakili berbagai tipe dan kelas manusia yang
persepsi yang beraneka ragam.24 Dengan demikian kiranya perlu, bahwa proses
sampai sekarang, setelah melampaui masa beberapa abad yang lalu, kisah Adam
tetap bernilai untuk dibaca meski dalam zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan
23
Kata, tanda, isyarat, yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain: arti, kualitas, abstraksi,
gagasan, dan objek.
24
Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Dr. Amien Rais, (Jakarta: Rajawali, 1982) h. 3.
Di dalam al-Qur`an disebutkan bahwa manusia diciptakan dari bentuk paling
rendah dari tanah kemudian ditiupkan ruh suci kepadanya. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia merupakan makhluk dua dimensi dengan dua arah dan dua
satunya terbuat dari Rûh Ilâhiah dan mengajak manusia menuju ke puncak
tertinggi.25
Proses tersebut bermakna simbolis, bahwa manusia itu memiliki dua dimensi.
Dimensi Ketuhanan dan dimensi kerendahan atau kehinaan, sedangkan makhluk lain
hanya memiliki satu dimensi. Dalam pengertian simbolis, lumpur merujuk pada
keburukan, kehinaan, tidak berarti, stagnan, dan mati. Sedangkan dimensi keilahian
roh Tuhan. Oleh karena kejadian manusia yang demikian itu, maka manusia pada
satu saat dapat mencapai derajat yang lebih tinggi, akan tetapi di saat yang lain ia
juga dapat terjerumus ke tempat yang hina dan rendah, yang berarti pengingkaran
dorongan instingnya.26
kehendak bebas inilah manusia dapat menemukan jati dirinya, untuk mendapatkan
25
Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 32.
26
Sesuatu yang hewan maupun tumbuhan tidak dapat melakukannnya, karena keduanya mustahil
menentang instingnya.
kemuliaan dan kebahagiaan abadi bersama sang pencipta, karena ia diberi
kebebasan memilih yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk yang lain.27
jalan ini atau tidak; maka jika ia menempuh, sesungguhnya ia menempuh dengan
memiliki cri khas dan keutamaan yang tidak dinikmati oleh malaikat, yang diciptakan
oleh Allah dalam paksaan dan terus ditarik kearah kebaikan bukan karena pilihan
malaikat.28
Manusia juga universal, memiliki wujud alami, memiliki zat materi dengan arti
ungkapan yang berbeda-beda, agar kita paham betul, dan kita tidak tunduk pada
kombinasi dua hal yang berlawanan, fenomena dialektis yang terdiri dari oposisi
dari Allah dan para malaikat bersujud kepadanya; ia adalah khalifah Allah di bumi,
ia diusir dari sorga dan dibung ke alam tandus, dengan tiga aspek: cinta (Hawa),
27
Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h.10-11.
28
Ali Syaria`ti, Ummah dan Imamah, trj. Muhammad Faishol Hasanuddin, (Jakarta: YAPI, 1990) h.
117-119.
lempung menuju Allah, berusaha untuk naik meningkat, sehingga hewan yang
berasal dari lumpur dan endapan itu bisa mendapatkan karakteristik Allah.29
Oleh karena itu, manusia yang memiliki dimensi ganda, membutuhkan suatu
bersifat material dan spiritual. Disinilah letak keunggulan Islam, sebab manusia di
dalam Islam tidak dipandang tanpa daya dihadapan Tuhannya. Sebagai makhluk
agama yang dapat memelihara keseimbangan antara kutub keakhiratan dan kutub
keduniawiannya.
manusia di dalam al-Qur`an. Dalam hal ini, Ali Syari`ati hanya memakai dua padanan
kata saja mengenai kecenderungan manusia walaupun juga ia mengutip dari al-
Qur`an.
a. Basyar
Dalam pandangan Ali Syari`ati, basyar adalah makhluk tertentu yang terdiri
dari karakteristik fisiologis, biologis, dan psikologis yang dimiliki oleh seluruh
manusia, tak perduli apakah mereka itu berkulit hitam, berkulit putih, berkulit
bening, bangsa Barat, beragama atau tidak beragama; ia didasarkan atas hukum-
hukum fisik yang ditemukan oleh kedokteran, fisiologi, psikologi dan lain-lain.30
29
Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, (Yogyakarta: Ananda, 1982), h.
125.
30
Ed. Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu
Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, (Jakarta: Paramadina, 2003) h. 300.
Penulis melihat bahwa basyar yang dimaksud oleh Ali Syari`ati ialah manusia
sebagai makhluk biasa. Karena dilihat dari proses penciptaan manusia yang ada di
al-Qur`an, manusia terbentuk dari dua unsur, salah satunya yaitu lempung. Unsur
lempung ini lebih dominan pada basyar. Oleh karena itu basyar dianggap rendah
dan tidak mencapai tingkat kemanusiaan. Seperti yang di katakan Ali Syari`ati:
b. Insân
kesempurnaan. Tipe manusia ini, berbeda dengan tipe umum, memiliki karakteristik
khusus yang berlainan antara satu orang dengan orang lainnya sesuai dengan
tingkatan realitas atau esensinya. Jadi bila menyebut insân, bukanlah penduduk
31
Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 68.
dunia pada umumnya. Jadi tidak semua manusia adalah insân, namun mereka
kemanusiaan ini. Walaupun demikian setiap manusia mencapai taraf insân dalam
ke arah taraf-taraf yang lebih tinggi dalam proses menjadi insân. Bagaimanapun,
Jika melihat proses penciptaan manusia pada al–Qur`an, unsur yang paling
dominan pada insân ialah unsur ruh Tuhan. Unsur ini mendorong manusia agar
terlepas dari kerendahan dan kehinaan. Maka, pada saat manusia mencapai pada
tingkatan insân, dia telah terbebas dari belenggu dan kontradiksi antara “dua
merupakan gerak maju ke arah sasaran mutlak dan kesempurnaan mutlak, suatu
Dalam konteks ini, Ali Syari`ati menafsirkan ayat “Innâ Ilaihi Râji`ûn” (Dan
kepada-Nya. Artinya, Tuhan bukanlah titik beku atau suatu arah yang pasti yang
menuju kepada-Nya. Tetapi Tuhan adalah Yang Tanpa Batas, Yang Maha Abadi, dan
Yang Maha Mutlak. Oleh karena itu, Ali Syari`ati mengkritik sufisme yang
menyatakan manusia bisa bersatu dengan Tuhan, karena Tuhan dianggap sebagai
sesuatu yang tetap. Ali Syari`ati, menyatakan bahwa selalu ada jarak antara manusia
dean Tuhan, dan manusia hanya bisa sebatas menghampiri dan tidak bisa bersatu
dengan Tuhan. Karena itu gerakan ini adalah gerakan manusia terus menerus tanpa
32
Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 64.
henti ke arah tahap-tahap evolusi dan kesempurnaan. Inilah definisi manusia yang
“menjadi”.33
Manusia (insân) memiliki tiga sifat yang saling berkaitan satu sama lainnya.
Semua sifat ini adalah sifat ilâhiyah, dan hanya manusia (insân) sajalah yang dapat
menyesuaikan dirinya dengan sifat-sifat ketuhanan ini. Bila ada sifat-sifat lainnya,
maka sifat-sifat itu merupakan sifat-sifat yang diturunkan dari ketiga sifat- sifat di
bawah ini:
1. Kesadaran diri
Sifat ini menuntun manusia untuk memilih, dan kemudian menolongnya untuk
mencipta sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak ada di alam semesta.
2. Kemauan bebas
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bebas untuk memilih bagi dirinya,
dan apa yang ia pilih dapat bertentangan dengan instingnya, dengan alam,
proses “menjadi” manusia. Hanya manusia sajalah yang bebas untuk memilih,
lainnya.
33
Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 68-69.
Dengan karakteristik ini, manusia bisa memilih untuk berbuat baik atau jahat,
Tuhan.
3. Kreativitas
kebutuhannya.34
Ketiga sifat ilahiyâh tersebut hadir dalam diri manusia, dan manusia mampu
untuk mengembangkan ketiga sifat tersebut dan menjadi khalifah Tuhan di muka
bumi.
cenderung membatasi. Kekuatan tersebut pada saat ini muncul dalam berbagai
1. Materialisme
berasal dari materi. Jika demikian, evolusi manusia tidak akan dapat
2. Naturalisme
34
Ed. Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, h. 303.
Naturalisme merupakan ideologi yang cukup populer di Eropa. Naturalisme
beranggapan bahwa alam adalah realitas puncak; alam yang hidup tetapi
tidak memiliki kesadaran juga dilihat sebagai hukum dasar di alam semesta.
yang paling maju di atas alam, mereka meletakkan manusia pada derajat
3. Eksistensialime
sebagai suatu ideologi juga telah mengorbankan realitas manusia yang paling
tinggi.
eksistensi manusia.35
eksistensi dirinya. Hanya kemauan manusia saja yang bisa untuk mencetak
Hal yang paling ditakuti oleh Sartre adalah bila naturalisme maupun
4. Monisme
35
Misalnya sebuah kursi. Sebuah kursi belum ada sebelum di buat, misalnya anda bertanya kepada
tukang kayu: “Apa yang anda mau buat?”. “Saya akan membuat sebuah kursi”, jawab si tukang kayu.
Kemudian anda akan menanyakan bebarapa keterangan tentang kursi yang sedang di rancang. Ia mungkin akan
menerangkan pada anda bahwa kursi mempunyai tempat duduk yang ditunjang oleh empat kaki, pegangan dan
sandaran punggung, dan di buat dari kayu. Berbicara tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kursi
pada hakekatnya berarti berbicara tentang esensi kursi. Tetapi kursi itu belum mengambil eksistensi.
Bagaimanapun si tukang kayu mungkin sibuk merancangnya dengan alat-alat dan membuat kursi itu setelah
gambarnya (esensi) diberikan, tetapi kursi itu sendiri belum ada.
Walaupun paham ini berpegang pada suatu tipe idealisme yang teistik, namun
dalam filsafat India, dalam doktrin-doktrin sufi dan dalam agama Katolik.
apa, hanya menunggu apa yang telah ditakdirkan. Dengan begitu peniadaan
1. Historisisme
2. Sosiologisme
36
Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 76-80.
manusia mengambil semua ciri-cirinya dari masyarakatnya. Hal ini berarti
individualitasnya.
3. Biologisme
Ada empat faktor atau penjara yang menurut Ali Syari`ati bisa mengungkung
manusia ke arah kemajuan, yaitu, materi, alam, sejarah dan masyarakat. Tetapi Ali
kehidupan dan nasib manusia. Dijelaskan juga, bahwa, manusia dapat mengatasi
37
Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 81- 84.
keempat faktor tersebut dengan melakukan pilihan bagi dirinya dan mampu
akan digantikan jika muncul sebuah kebenaran baru, artinya determinisme hanya
benar pada saat itu, tetapi tidak pada saat sekarang. Oleh karena itu makin maju
kekuatan-kekuatan determinisme.39
tersebut dengan ilmu dan teknologi. Zaman sekarang, ketergantungan akan alam
bisa diminimalisir dengan ilmu dan teknologi. Pertanian tidak lagi tergantung pada
curah hujan, dan gaya gravitasi bukanlah suatu halangan untuk menaklukkan
angkasa. Itu merupakan dari sekian banyak contoh dengan berkembangnya ilmu
Dengan teknologi tersebut, manusia bisa bebas dari determinisme alam. Oleh
karena itu alam bukanlah suatu rintangan deterministik yang menghambat kemajuan
manusia.
38
Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 85
39
Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 87.
Sedangkan untuk melepaskan manusia dari belenggu sejarah, ia harus sadar
bahwa dirinya merupakan boneka dari kekuatan hebat yang bernama sejarah.
Dengan mempelajari ilmu dan filsafat sejarah dan memahami bahwa faktor-faktor itu
40
Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 42.
memahami sejarah dan hukum-hukum serta perjalanannya yang
deterministik”.41
seiring perkembangan ilmu pengetahuan tentang sejarah, hal ini dapat diatasi,
bahkan manusia bisa melompat ke tahapan sejarah yang lebih baik sehingga
dengan sosiologi dan ilmu-ilmu sosial, dengan demikian anggota masyarakat dapat
sejarah, dan masyarakat, ia masih tetap terbelenggu di dalam penjara yang paling
gelap, yaitu ego. Ego merupakan penjara terberat yang harus dilewati oleh manusia,
Agar terbebas dari penjara ego, hanya ada satu cara, yaitu dengan cinta.
Dalam hal ini, yang dimaksud Ali Syati`ati bukan jenis cinta yang ada dalam
pengertian sufistik, Platonis, mistik, atau bentuk-bentuk yang abstrak, karena jenis
Ali Syari`ati melihat cinta sebagai sebuah kekuatan perkasa yang ada dalam
kedalaman jiwa manusia. Cinta mempunyai kekuatan untuk menolak diri kita sendiri,
memberontak melawan diri kita sendiri, dan mengorbankan kehidupan kita untuk
41
Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 89-90.
42
Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 90.
43
Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 97.
suatu cita-cita atau orang lain. Ali Syari`ati memberi contoh kematian Nietzche yang
Ketika manusia sudah terbebas dari penjara ego dengan senjata cinta, maka
manusia sudah dalam tahap puncak dari “menjadi” manusia penuh (insân).
44
Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 101.
Tabel hubungan antara Tuhan, Manusia (insân), dan Manusia dua dimensi
Tuhan
Manusia (insân)
menghampiri
(becoming)
(insân)
Penulis melihat Ali Syari`ati mengadopsi padanan kata insân yang ada di al-
Qur`an mengenai konsep manusia (insân) nya. Di dalam al-Qur`an dijelaskan bahwa
insân merupakan sebuah makhluk yang mempunyai budaya, tidak liar, baik secara
sosial maupun alamiah. Berbeda dengan Ali Syari`ati, menurutnya, manusia (insân)
merupakan sebuah proses menuju manusia sejati dengan melalui beberapa proses
dan berbagai hambatan dengan dibekali sifat-sifat ilahiyâh. Jadi dalam hal ini,
tampak pengaruh teologis melekat pada diri Ali Syari`ati mengenai konsep manusia
eksistensi manusia yang paling tinggi ialah ketika ia menuju Tuhan, karena manusia
berasal dari Tuhan dan sedang dalam proses menuju hubungan atau kesatuan
gerakan menuju Yang Tak Terbatas. Cara berada setiap individu adalah melakukan
gerakan dan perjuangan terus menerus menjadi manusia, mencapai eksistensi sejati
dengan cara menuju Tuhan.46 Oleh karena itu manusia belum sempurna, masih
dalam tahap penyempurnaan, dan dia sendiri bertanggung jawab atas proses ini.
bisa bereksistensi, yaitu, estetis, etis, dan religius. Tahap estetis maksudnya adalah
dan nafsu. Kecenderungan hedonistik47 lebih dominan dalam dirinya. Sehingga dia
45
Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi.
Pandangannya relatif modern dalam filsafat, walaupun akar-akar historis sudah ada dalam filsafat Yunani dan
filsafat Abad Pertengahan. Sejak awal filsafat ini sering dikaitkan dengan Soren Kierkegaard dan Friedrich
Nietzsche.
46
Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta:
Teraju, 2004), h. 57.
47
Hedonistik merupakan konsep moral yang menyamakan kebaikan dengan kesenangan.
juga tidak mempunyai landasan yang pasti dan pada akhir hidupnya hampir tidak
bisa lagi menentukan pilihan. Jalan keluarnya ada dua, bunuh diri atau masuk
ketahapan hidup yang lebih tinggi, yakni tahapan etis. Pada tahapan etis, manusia
tahap estetis. Tahapan ini adalah semacam “pertobatan” bagi manusia yang telah
melewati tahapan estetis. Prinsip hedonisme telah dibuang diganti dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat universal. Pada tahapan ini manusia tidak lagi
lebih tinggi. Berdasarkan keyakinannya, dia menolak segala kekuasaan dari suatu
universal. Tahapan terakhir adalah tahapan religius, manusia yang berada pada
tahapan ini telah melompat dan menceburkan dirinya dalam realitas Tuhan sehingga
eksistensi manusia tercapai sebagai “aku”. Lompatan manusia dari tahap etis ke
tahap religius jauh lebih sulit daripada lompatan dari tahap estetis ke tahap etetis.
Kesulitan itu di antaranya adalah saat individu memutuskan untuk lebur dalam kuasa
Tuhan mengingat terdapat sesuatu hal yang bertentangan di dalam diri Tuhan
sendiri. Contoh yang dikemukakan dalam hal ini adalah tentang ada dan tidaknya
Tuhan dan persoalan tentang sifat-sifat baik Tuhan, misalnya, (kalau Tuhan itu ada
dan Maha baik, mengapa harus ada kejahatan atau korban kejahatan?). Meskipun
terdapat hal yang bertentangan dalam diri Tuhan, namun hal demikian tidak perlu
menjelaskan pertentangan itu, sementara pada tahapan ini tidak ada ruang untuk
daya rasionalitas menjelaskannya, karena hal demikian bukan sesuatu yang bisa
dipikirkan secara rasional. Hanya dengan cara menyakini berlandaskan pada iman
saja manusia bisa menerima pertentangan itu. Jadi dalam hal ini dengan keyakinan
kebahagiaan abadi, jika ia sudah berada dalam tahap eksistensi yang religius.48
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa konsep manusia (insân) Ali Syari`ati
yang religius. Ali Syari`ati mewakili dari Islam dan Kierkegaard dari Kristiani.
bentuk tahapan eksistensi tertinggi, dan manusia sedang berada dalam perjalanan
menuju hubungan atau kesatuan tertinggi dengan Tuhan. Hal ini hampir serupa
etis, dan religius yang sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Dan Ali Syari`ati
Bedanya, tiga tahap Kierkegaard merupakan tahapan yang harus dilalui satu per
satu seperti menaiki anak tangga, sedangkan penjara-penjara Ali Syari`ati tidak
untuk-diri).49
Yang dimaksud dengan être-en-soi, yaitu, berada dalam dirinya atau cara
berada yang tidak berkesadaran. Misalnya, pohon, meja, manusia, hewan, dsb.
Dikatakan berada karena semuanya itu ada atau berada. “Berada” disini merupakan
sifat dari segala benda jasmaniah. Semuanya dikatakan padat, beku, tertutup, yang
satu terlepas daripada yang lain, tanpa saling berhubungan. Être-en-soi mentaati
48
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung Remaja
Rosdakarya, 2003) h. 134-138.
49
DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980) h. 157.
prinsip identitas (It is what it is). Bagi Sarte yang Atheis, être-en-soi itu ada secara
merupakan inti pandangan Sartre tentang eksistensi manusia. Kata kuncinya adalah
Seorang yang berusaha lari dari kebebasan sebenarnya juga sedang berusaha
merealisasikan kebebasan itu sendiri. Jadi tidak ada kata tidak untuk kebebasan
sama sekali” dari kewajiban dan beban. Kebebasan adalah sesuatu yang erat
kaitannya dengan tanggung jawab, dan tidak bisa dipisahkan. Dengan kebebasan
inilah manusia bereksistensi. Oleh karena itu, manusia bebas maka Tuhan tidak ada,
karena jika Tuhan ada, lanjut Sartre, berarti ”aku” tidak bebas alias diam karena
Ali Syari`ati. Bisa dikatakan bahwa être-en-soi adalah basyar. Hal ini karena, être-
en-soi merupakan makhluk yang tidak berkesadaran dan basyar adalah makhluk
yang tidak melakukan kesadaran untuk melakukan proses becoming dan dipandang
atau cara berada manusia. Sedangkan manusia (insân) dalam pandangan Ali
50
Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 51.
51
DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, h. 159
Dari kedua sudut pandang di atas, penulis melihat adanya benang merah antara Ali
Syari`ati dan Sartre, yaitu, bahwa être-pour-soi dan insân merupakan makhluk yang
mempunyai kesadaran diri. Oleh karena itu bisa dikatakan être-pour-soi sama
perbedaan antara Sartre dan Ali Syari`ati, sebagaimana akan dijelaskan pada tabel
berikut:
mengambil padanan kata manusia (insân) dari al-Quran lalu menjelaskannya dengan
gaya bahasa filosofis yang juga terdapat pengaruh dari para filosof Eropa, walaupun
juga ada perbedaan diantara mereka. Namun hal tersebut tidak mengurangi kajian
ini, tetapi menambah wawasan tentang berbagai macam pemikiran di antara
mereka.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
terutama untuk menjawab bagian rumusan masalah yang ada pada bab pertama,
sebagai berikut:
dimensi ganda, yaitu unsur lempung dan unsur ruh Tuhan. Kedua
B. Saran-saran
1. Diharapakan ada mahasiswa lain yang mengeksplorasi corak
pemikiran-pemikiran tokohnya.
Abidin, Zainal, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003
Al-Jilli, Syeikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim, Insan Kamil: Ikhtiar Memahami Kesejatian
Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman, terj. Misbah El Majid, Lc.,
Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2006
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
Baharuddin, Dr., Paradigma Psikologi Islam; Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-
Qur`an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Hanafi, Hassan, Agama, Ideologi dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh, Jakarta: Penerbit
P3M, 1991
Harun Hadiwijono, DR., Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980
Kurzman, Charles(ed.)., Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-
Isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Jakarta: Paramadina, 2003
Madjid, Nurcholish, (ed.)., Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1987
Malaky, Ekky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern,
Jakarta: Teraju, 2004
Maulana Muhammad, Ali, Islamologi, terj. R. Kaelan dan H.M. Bachrun, Jakarta: Darul
Kurtubi Islamiyah, 1996
Misbah, M. Taqi, Monoteisme; Tauhid Sebagai Sistem Nilai dan Akidah Islam, terj. M.
Hashem, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996
Musa Asy`arie, DR., Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur`an, Yogyakarta:
Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992
Muthahhari, Murtadha, Membumikan Kitab Suci; Manusia dan Agama, peny. Haidar Bagir,
Bandung: Mizan, 2007
Nasr, Sayyed Hossein, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam; Jembatan Filosofis dan religius
Menuju Puncak Spiritual, ter. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Ircisod, 2005
Praja, Juhaya S., Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia,
Jakarta: Penerbit Teraju, 2002
Raharjo, Dawam, Insan Kamil; Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta: Grafiti Press,
1987
Rahnema, Ali, Ali Syari`ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien Wahid,
M.A. et. all., Jakarta: Erlangga, 2002
_______, Ali (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan,
1996
Seyyed Mohsen Miri, Dr., Sang Manusia Sempurna; Antara Filsafat Islam dan Hindu,
Bandung: Teraju, 2004
Syari`ati, Ali, Agama Versus Agama, terj. Dr. Afif Muhammad dan Drs. Abdul Syukur, MA,
Bandung: Pustaka Hidayah, 2000
______, Ali, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, peny. Syafiq Basri dan
Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1985
______, Ali, Membangun Masa Depan Islam, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1988
______, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Dr. Amien Rais, Jakarta: Rajawali, 1982
______, Ali, Ummah dan Imamah, trj. Muhammad Faishol Hasanuddin, Jakarta: YAPI, 1990
أ ض dh
ب b ط th
ت T ظ zh
ث ts ع ‘
ج J غ gh
ح ف f
خ kh ق q
د d ك k
ذ dz ل l
ر r م m
ز z ن n
س s و w
ش sy ﻩ h
ص sh ي Y