Anda di halaman 1dari 6

Kasus korupsi E-KTP

Pengenalan isu
Zaman sekarang banyak hal memalukan yang terjadi di negara ini seperti
korupsi, suap, dan sebagainya. Anehnya, pelaku kejahatan tersebut adalah orang
pintar dan mempunyai jabatan tinggi. Pola pendidikan terlalu menekankan pada
ilmu duniawi semata. Yang menghasilkan orang pintar, namun tidak terdidik
ataupun memiliki budi pekerti baik.

Akibatnya orang pintar justru melakukan hal yang tidak baik, bersikap
seperti pencuri, menindas kaum lemah. Padahal seharusnya merekalah yang
menjadi penolong dan pemimpin yang dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat. Contohnya saja Sejumlah pejabat tinggi pun terlibat seperti Andi
Narogong, Anang Sugiana, Miryam S. Hariani, Markus Nari dan Setya Novanto.

Setya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP oleh


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 17 Juli 2017. Namun status
tersangka atas dirinya tidak berlangsung lama. Pada 29 September 2017,
status tersangka itu dibatalkan hakim praperadilan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Cepi Iskandar. Setya Novanto memenangkan sidang
praperadilan dan putusan hakim menyatakan status tersangka atas dirinya
tidak sah.

ARGUMENTASI

Banyak orang terhormat di negara ini yang tertangkap basah melakukan


tindak korupsi ataupun penyuapan. Bahkan mereka yang bergelar pendidikan
tinggi dan mengaku sebagai orang alim, tetapi bertindak memalukan dan
merugikan sesama. Bahkan banyak yang melakukan kejahatan ini secara
berjamaah, bersama dengan teman sejawat yang katanya juga terhormat.
Mirisnya, kala ditangkap oleh pihak berwajib, tetap saja memasang wajah tanpa
dosa dan sanggup menebar senyum. Seolah tak miliki rasa bersalah dan justru
senang dengan apa yang telah diperbuat.

Tidak selesai di sana, KPK melakukan penyelidikan baru untuk pengembangan


perkara e-KTP dalam proses penyelidikan ini hingga akhirnya menetapkan kembali
Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP pada 10 November 2017.
Setya pun kembali menggugat keabsahan status tersangka atas dirinya untuk kali
kedua.

Pada Rabu, 13 Desember 2017, sidang putusan praperadilan Setya akan


digelar. Sidang itu berpacu dengan sidang perdana pokok perkara Setya di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga akan digelar di hari yang sama. Ketika hakim
mengetok palu memulai sidang perdana pokok perkara Setya, otomatis sidang
praperadilan pun gugur. Berikut perjalanan kasus Setya Novanto:

17 Juli 2017
KPK mengumumkan penetapan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi
pengadaan e- KTP. Pengadaan proyek itu terjadi pada kurun waktu 2011-2012, saat
Setya menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR. Ia diduga ikut mengatur agar
anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun agar disetujui anggota DPR. Selain itu,
Novanto diduga telah mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Bersama
pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Setya diduga ikut menyebabkan
kerugian negara Rp 2,3 triliun.

18 Juli 2017
Setya Novanto menggelar jumpa pers menanggapi penetapannya sebagai tersangka.
Setya mengaku akan mengikuti proses hukum yang berjalan. Namun ia menolak
mundur dari Ketua DPR ataupun Ketua Umum Partai Golkar.

22 Juli 2017
Setya Novanto hadir dalam satu acara dengan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali
dalam sidang terbuka disertasi politikus Partai Golkar Adies Kadir di Universitas 17
Agustus 1945, Surabaya. Ketua Generasi Muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia
meyakini kesempatan ini digunakan Setya Novanto untuk melobi Hatta Ali untuk
menenangkannya di praperadilan. Namun, Hatta menegaskan kehadirannya murni
sebagai penguji. Golkar memecat Doli Kurnia atas tudingannya ini.

4 September 2017
Setelah lebih dari sebulan berstatus tersangka, Setya Novanto resmi mendaftarkan
gugatan praperadilan terhadap KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Setya
meminta penetapan statusnya sebagai tersangka oleh KPK dibatalkan.

11 September 2017
KPK memanggil Setya Novanto untuk diperiksa sebagai tersangka. Namun, Setya
tidak hadir dengan alasan sakit. Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham
bersama tim kuasa hukum Setya mengantarkan surat dari dokter ke KPK.

12 September 2017
Setya Novanto mengirimkan surat ke KPK melalui Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Setya
meminta KPK menunda proses penyidikan terhadap dirinya sampai putusan
praperadilan keluar. Surat itu sempat menuai protes karena dikirim menggunakan kop
DPR. Namun, KPK menilai proses praperadilan adalah hal yang terpisah dari proses
penyidikan. Karena itu, KPK tetap akan menjadwalkan pemeriksaan Setya Novanto
sebagai tersangka.

18 September 2017
KPK kembali memanggil Setya Novanto untuk diperiksa sebagai tersangka. Namun,
lagi-lagi Setya tidak hadir karena sakit, bahkan hingga menjalani kateterisasi jantung
di Rumah Sakit Premier Jatinegara, Jakarta Timur.

22 September 2017
Hakim Cepi menolak eksepsi yang diajukan KPK dalam praperadilan Setya Novanto.
KPK menganggap keberatan Setya soal status penyelidik dan penyidik KPK adalah
keliru. Kepala Biro Hukum KPK Setiadi menilai, pengacara Setya sebaiknya
mempermasalahkan status penyelidik dan penyidik melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara, bukan praperadilan. Namun, Hakim Cepi tak sependapat dengan Setiadi.

25 September 2017
Partai Golkar menggelar rapat pleno yang menghasilkan keputusan agar Setya
Novanto non-aktif dari posisi Ketua Umum Golkar. Internal Partai Golkar mulai
bergejolak dengan kondisi Setya yang berstatus tersangka KPK dan tengah sakit.

26 September 2017
Sidang praperadilan Setya Novanto kembali berlanjut. Pihak Setya mengajukan bukti
tambahan berupa laporan hasil pemeriksaan (LHP) dari BPK terhadap KPK pada
tahun 2016. LHP itu terkait pengangkatan penyidik di KPK. Namun KPK keberatan
dengan bukti itu karena didapatkan dari Pansus Angket terhadap KPK di DPR.

27 September 2017
Hakim Cepi menolak permintaan KPK untuk memutar rekaman di persidangan.
Padahal, KPK yakin rekaman tersebut bisa menunjukkan bukti kuat mengenai
keterlibatan Setya Novanto dalam proyek e-KTP.

29 September 2017
Setelah menjalani serangkaian sidang, hakim tunggal Cepi Iskandar mengabulkan
sebagian permohonan Setya. Penetapan Setya sebagai tersangka oleh KPK dianggap
tidak sah alias batal. Hakim juga meminta KPK untuk menghentikan penyidikan
terhadap Setya. Hakim Cepi beralasan, penetapan tersangka Setya Novanto tidak sah
karena dilakukan di awal penyidikan, bukan di akhir penyidikan. Hakim juga
mempermasalahkan alat bukti yang digunakan KPK untuk menjerat Setya Novanto.
Sebab, alat bukti itu sudah digunakan dalam penyidikan terhadap Irman dan
Sugiharto, dua pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis di pengadilan.

5 Oktober 2017
KPK melakukan penyelidikan baru untuk pengembangan perkara e-KTP, dalam proses
penyelidikan KPK meminta keterangan sejumlah pihak dan mengumpulkan bukti
relevan. Dalam proses penyelidikan, Setya Novanto dua kali tidak hadir untuk dimintai
keterangan, yakni pada 13 dan 18 Oktober 2017 dengan alasan sedang ada tugas
kedinasan.

31 Oktober 2017
KPK menerbitkan sprindik atas nama tersangka Setya Novanto. Di perkara ini, Setya
Novanto disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun
2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

3 November 2017
KPK mengantarkan surat perintah dimulainya penyidikan ke rumah Setya Novanto di
Jalan Wijaya 13, Melawai, Kebayoran Baru.
10 November 2017
KPK kembali menetapkan Setya Novanto menjadi tersangka e-KTP. Pengumuman
penetapan tersebut disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Gedung KPK
di kawasan Kuningan Jakarta. Sebagai pemenuhan hal tersangka, KPK
mengantarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada yang
bersangkutan ke kediaman Setya.

15 November 2017
KPK menjemput paksa Setya Novanto karena sudah tiga kali mangkir saat dipanggil
KPK untuk dimintai keterangan. Enam pegawai KPK menyambangi Setya Novanto di
kediamannya, Jalan Wijaya XIII Nomor 19, Melawai, Jakarta Selatan pada Rabu
malam, 15 November 2017. Para penyidik menggeledah rumah Setya hingga dinihari.
Namun Setya tidak ada di rumah dan tidak diketahui keberadaannya hingga
ditetapkan sebagai daftar pencarian orang (DPO).

16 November 2017
Setya Novanto dilarikan ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau setelah mobil yang dia
tumpangi mengalami kecelakaan tunggal di daerah Permata Hijau, Jakarta Barat.

17 November 2017
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK menahan Setya Novanto sebagai tersangka e-
KTP. Namun, karena sakit, Setya dibantarkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM).

20 November 2017
Setya Novanto menjalani pemeriksaan perdana selaku tersangka dan tahanan kasus
dugaan korupsi e-KTP di Gedung KPK, usai dijemput dari RSCM.

5 Desember 2017
KPK menyatakan berkas perkara tersangka kasus korupsi proyek pengadaan e-
KTP Setya Novanto telah P21 atau lengkap untuk dilimpahkan ke Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.

6 Desember 2017
Berkas kasus e-KTP dengan tersangka Setya Novanto dilimpahkan jaksa KPK ke
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berkas
tersebut berupa dakwaan dan berita acara pemeriksaan dalam enam buku. Tingginya
mencapai 1 meter.
7 Desember 2017
Sidang perdana praperadilan Setya Novanto digelar di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan.

8 Desember 2017
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang lanjutan gugatan
praperadilan Setya Novanto terhadap KPK dengan agenda mendengarkan jawaban
dari KPK serta penyerahan barang bukti surat, dan mendengarkan keterangan saksi
dari pihak Setya. Di hari yang sama, dua pengacara Setya Novanto, Otto Hasibuan
dan Fredrich Yunadi, memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai kuasa hukum
tersangka kasus dugaan korupsi KTP elektronik tersebut.

11 Desember 2017
Sidang lanjutan praperadilan Setya Novanto dengan agenda mendengarkan
keterangan saksi digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

13 Desember 2017
Sidang putusan praperadilan Setya Novanto akan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Di hari yang sama sidang perdana pokok perkara Setya juga akan digelar di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hakim tunggal praperadilan Setya Novanto,
Kusno mengatakan gugatan Setya dinyatakan gugur saat hakim mulai memeriksa
pokok perkara kasus e-KTP di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.

PENEGASAN ULANG

Memang mereka sudah tak tahu malu. Karenanya sangat perlu untuk
memperbaiki sistem pendidikan formal yang tak hanya mementingkan hasil
tetapi yang mau membuat negaranya jauh dari korupsi, menjadi pemimpin jujur,
serta bertanggung jawab. Melainkan juga proses agar dapat mencetak generasi
yang cerdas dan berakhlak baik.

Anda mungkin juga menyukai