Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Penemuan Endoscopic Third ventriculostomy (ETV)

Endoscopic third ventriculostomy (ETV) pertama kali dilakukan pada 6

Februari 1923 oleh seorang ahli urologi William Jason Mixter pada seorang anak

dengan hidrosefalus kongenital. Terobosan Mixter ini didasari oleh karya

ilmuwan sebelumnya termasuk Ernst Axel Key dan Magnus Gustav Retzius, pada

tahun 1875, yang menjelaskan fisiologi sirkulasi, produksi, dan resorpsi cairan

serebrospinal (CSF). Pada tahun 1913, Walter Dandy dan Kenneth Blackfan

meneliti tentang fisiologi sirkulasi CSF. Penemuan mereka mendorong ahli bedah

untuk mencari cara yang lebih cepat untuk mengobati hidrosefalus. Pleksus koroid

telah diakui sebagai tempat utama pembentukan CSF. Menghilangkan struktur ini

menjadi tujuan utama terapi bedah. Prosedur bedah terbuka untuk menangani

kasus hidrosefalus terbukti sangat sulit dilakukan, terutama pada otak anak-anak

yang masih rapuh. Angka kematian setelah dilakukan prosedur ini terbilang

buruk.1

Didorong oleh luaran yang buruk dan orang tua yang putus asa, Dandy

mencoba melakukan vaentrikulostomi posterior terbuka pada pasien dengan

stenosis aqueductus Sylvii. Dalam periode yang sama, Victor L' Espinasse, ahli

urologi di Chicago menggunakan cystoscope untuk membakar pleksus koroid

pada dua anak dengan hidrosefalus. Dandy selanjutnya menyempurnakan metode

ini dan menyebutnya ventrikuloskopi. Dandy juga menciptakan istilah

3
4

ventrikuloskop untuk menyebut teknik dan instrumen yang digunakan. Dia

mengeksploitasi penemuan baru berupa pemakaian cystoscope untuk memasuki

ventrikel dan menghilangkan pleksus koroideus di mana teknik ini memperbaiki

angka mortalitas dibandingkan prosedur operasi terbuka yang telah dijalani

sebelumnya.1,2

Setelah Mixter melakukan ETV pertama pada tahun 1923, beberapa ahli lain

mengikuti prosedur ETV dan juga endoskopi kauterisasi pleksus koroid. Namun,

keterbatasan teknis dari endoskopi menyebabkan angka kematian dan morbiditas

yang tinggi, dan metode endoskopi sebagai pengobatan hidrosefalus tidak disukai

mengingat meningkatnya popularitas prosedur shunt pada 1950-an. Menjelang

awal 1980-an dengan konsep bedah saraf minimal invasif dibarengi teknologi

komputer yang lebih canggih, minat terhadap teknik pengobatan endoskopi

kembali muncul. Munculnya beberapa indikasi untuk dilakukan prosedur

neuroendoskopi dan pemahaman yang lebih baik tentang patofisiologi serta

peningkatan metode diagnostik dan alat terapi telah menyebabkan peningkatan

luaran prosedur ETV.1,2

B. Endoscopic Third Ventriculostomy

Endoscopic Third Ventriculostomy atau lebih sering disingkat ETV adalah

prosedur operasi untuk penanganan hydrocephalus dengan cara membuat lubang

di lantai ventrikel ketiga menggunakan endoskop yang masuk dalam sistem

ventricular melalui burr hole. Prosedur ini menjadikan cairan serebrospinal yang

tadinya mengalami obstruksi dapat langsung mencapai spatium subarachnoid,

sehingga sirkulasi aliran cairan serebrospinal kembali menjadi lancar.


5

ETV dapat menjadi terapi alternative untuk hidrosefalus, selain terapi

ventriculo-peritoneal shunt (VP-shunt). Teknik ETV dapat dikatakan menjadi

pilihan pertama untuk hidrosefalus obstruktif atau hidrosefalus non-komunikans

karena tidak perlu menggunakan shunt sehingga dapat terhindar dari beberapa

komplikasi seperti infeksi. Selain itu juga lebih praktis dan hemat karena tidak

diperlukan operasi yang berulang kali seperti VP-shunt. Namun ETV hanya dapat

dilakukan pada hidrosefalus tipe obstruktif, kurang baik luaran klinisnya apabila

dilakukan pada kasus hidrosefalus komunikans.2

Gambar 1. Prosedur ETV : A. Tampak alat endoskopi memasuki foramen monro melalui
burr hole. B. Pembuatan lubang di dasar lantai venrikel III hingga ke cisterna prepontin /
cisterna interpedunkularis, sehingga aliran cairan serebrospinal yang terobstruksi dapat
langsung terserap di subarachnoid
6

C. Hidrosefalus

Hydrocephalus adalah penumpukan cairan serebrospinal akibat ketidak-

seimbangan antara produksi, absorbsi cairan serebrospinal, dan obstruksi pada

sirkulasi cairan cerebrospinal sehingga terdapat pelebaran ventrikel. Hidrosefalus

selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya

kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi

pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun.3

Cerecrospinal fluid (CSF) awalnya dibentuk dalam sistem ventrikel oleh

pleksus koroidalis di ventrikel lateral. Cairan serebrospinal pada akhirnya akan

kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam piamater dan araknoid

yang meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Aliran CSS yang normal ialah

dari ventrikel lateralis melalui foramen Monro ke ventrikel III, dari tempat ini

melalui saluran yang sempit akuaduktus Sylvii ke ventrikel IV dan melalui

foramen Luschka dan Magendie ke dalam ruang subaranoid melalui sisterna

magna. Sistem serebrospinal dapat dilihat dalam Gambar 2.3,4


7

Gambar 2. Sistem Ventrikular dan Sirkulasi Cairan Serebrospinal4

Jenis hidrosefalus dapat di klasifikasikan berikut : 3

a. Berdasarkan waktu pembentukan :

1. Hidrosefalus Kongenital

yaitu hidrosefalus yang dialami sejak dalam kandungan dan berlanjut

setelah dilahirkan.

2. Hidrosefalus Akuisita

yaitu hidrosefalus yang terjadi setelah bayi dilahirkan atau terjadi karena

faktor lain setelah bayi dilahirkan.


8

b. Berdasarkan Sirkulasi Cairan Serebrospinal

1. Hidrosefalus komunikan

Hidrosefalus komunikan yaitu kondisi hidrosefalus dimana CSF masih

bisa keluar dari ventrikel namun terjadi gangguan fungsi dari granulatio

arachnoidea yang berfungsi untuk menyerap kembali cairan serebrospinal

menuju sistema vena. Beberapa hal yang dapat menyebabkan kondisi ini

antara lain subarachnoid hemorrhage, intraventricula hemorrhage,

meningitis, kelainan kongenital berupa tidak adanya villi arachnoid. Selain

itu, infeksi, inflamasi dan perdarahan dapat menyebabkan scarring dan

fibrosis di ruang subarachnoid sehingga menyebabkan gangguan resorbsi

akibatnya terjadi dilatasi ventrikel.

2. Hidrosefalus Nonkomunikan

Hidrosefalus nonkomunikan yaitu kondisi hidrosefalus dimana terdapat

sumbatan aliran CSS yang terjadi di salah satu atau lebih jalur yang

menghubungkan ventrikel-ventrikel otak. Penyebab obstruksi bermacam-

macam tergantung dari letaknya (Gambar 3) :

 Obstruksi foramen Monro dapat menyebabkan dilatasi 1 atau kedua

ventrikel lateral. Contoh penyakit yang dapat menyumbat foramen

Monro : Kista Kolloid

 Penyempitan Aquaductus Silvii dapat terjadi oleh karena lesi genetik

(stenosis pada aqueductus kongenital, Brickers-Adams-Edwards

syndrome) atau kelainan yang didapat (tumor tectal/midbrain, tumor


9

pineal, gliosis). Obstruksi disini menyebabkan dilatasi kedua ventrikel

lateral dan ventrikel ketiga.

 Obstruksi di ventrikel keempat dapat menyebabkan dilatasi

aqueductus Silvii, ventrikel ketiga, dan ventrikel lateral. Kondisi ini

bisa ditemukan pada penyakit malformasi Chiari.

 Foramina Luschka dan foramen Magendi dapat pula terobstruksi.

Penyebab yang paling sering yang menyebabkan sumbatan disini

adalah malformasi Dandy-Walker.

 Proses Penyakit

 Acquired, yaitu hidrosefalus yang disebabkan oleh infeksi

yang mengenai otak dan jaringan sekitarnya termasuk selaput

pembungkus otak (meningen).

 Ex-Vacuo, yaitu kerusakan otak yang disebabkan oleh penyakit

stroke atau cedera traumatis yang mungkin menyebabkan

penyempitan jaringan otak atau atrofi.

D. Indikasi

Indikasi untuk dilakukan ETV masih terus diperbarui. Hidrosefalus

obstruktif yang disebabkan oleh stenosis aqueductus Sylvii atau penekanan oleh

massa periaqueductal merupakan salah satu indikasi yang paling sering untuk

dilakukan penetrasi pada lantai ventrikel ketiga. Prosedur ETV merupakan terapi

pilihan untuk pasien dengan stenosis aqueductus Sylvii kongenital (primer) yang

membutuhkan pengalihan jalur aliran CSF. Beberapa penelitian membuktikan

bahwa spektrum indikasi telah berkembang dan saat ini hidrosefalus komunikans
10

juga menjadi indikasi ETV, meliputi hidrosefalus yang disebabkan oleh

penyebaran neoplastik, meningitis, myelomeningocele, perdarahan, dan infeksi.6

Laporan terbaru yang menunjukkan ETV bermanfaat dalam pengobatan

hidrosefalus tekanan normal (NPH) idiopatik telah diterbitkan. Seperti halnya

endoskopi yang semakin populer, ETV telah banyak digunakan sebagai terapi

adjuvant dalam pengobatan bentuk hidrosefalus yang lebih rumit. Sebagai contoh,

dalam kasus hidrosefalus ventrikel lateral terisolasi, penetrasi septum pellucidum

yang dikombinasi dengan ETV sukses dilakukan. Teknik ini juga bisa diterapkan

pada beberapa jenis hidrosefalus terlokalisasi juga.6,7

Hidrosefalus yang disebabkan oleh kelainan bawaan lainnya juga telah

diobati secara efektif dengan ETV, termasuk hidrosefalus yang disebabkan oleh

stenosis foramina Magendie dan Luschka idiopatik, serta malformasi Dandy-

Walker.6,7

E. Kontraindikasi

Kebanyakan kontraindikasi untuk ETV bersifat relatif, dan sebagian besar

teknik neuroendoskopi dapat diterapkan dengan aman pada populasi pasien yang

luas selama indikasi, teknik bedah, potensi kegagalan, dan komplikasi dapat

dipertimbangkan secara mendalam. Meskipun penggunaannya yang luas dan

manfaatnya telah diakui, dalam beberapa kasus hidrosefalus nonkomunikans,

ETV tidak selalu berhasil. Dalam literatur, banyak penulis melaporkan

pengalaman mereka mengenai ETV dan mereka mengakui bahwa tingkat

keberhasilan yang rendah pada pasien di bawah usia 2 tahun. Berdasarkan

pengalaman tersebut, dianggap bahwa usia kurang dari 2 tahun sebagai


11

kontraindikasi untuk ETV. Namun penulis lain melaporkan data yang tidak

menunjukkan adanya perbedaan antara populasi yang lebih muda dan yang lebih

tua, bahkan jika dilakukan bayi usia kurang dari 6 bulan.7

Kontraindikasi relatif lainnya termasuk posisi penempatan shunt

sebelumnya, ventrikel yang kecil atau miring dapat meningkatkan risiko operasu,

dan tipisnya lapisan kortikal. Banyak ahli bedah saraf juga melihat hidrosefalus

komunikans sebagai kontraindikasi relatif, meskipun laporan terbaru

menunjukkan sebaliknya.7

F. Evaluasi preoperatif

Pencitraan pra-operasi sangat penting untuk perencanaan ETV yang aman

dan sukses. Magnetic resonance imaging (MRI) adalah pencitraan pilihan karena

kemampuannya mengidentifikasi anatomi, sumber, dan lokasi obstruksi CSF jika

ada, serta struktur neurovaskular di bawah lantai ventrikel ketiga. Lokasi arteri

basilar harus dipelajari dan penetrasi pada lantai ventrikel ketiga harus berada di

anterior arteri ini untuk menghindari kerusakan. Dalam keadaan dimana

pemeriksaan MRI merupakan kontraindikasi, computed tomography (CT) scan

direkomendasikan dan bermanfaat untuk menentukan apakah pasien adalah

kandidat yang baik untuk prosedur endoskopi. Dalam beberapa kasus, navigasi

saraf intraoperatif mungkin bermanfaat untuk ETV yang sukses. Prosedur tersebut

digunakan secara rutin pada kasus ventrikel terisolasi, penetrasi septum

pellucidum, dan foraminoplasty, atau penetrasi kista yang mungkin menyertai

ETV. Namun, ahli bedah harus mewaspadai bahwa setelah memasuki ventrikel,
12

navigasi saraf mungkin menjadi sangat tidak akurat karena otak bergeser setelah

pelepasan CSF.2

G. Alat dan Prosedur ETV

1. Alat

Peralatan endoskopi yang umumnya digunakan untuk ETV terdiri atas:

endoskop, panel kontrol, pompa irigasi, dengan cairan Ringer sedikit hangat laju

aliran kurang dari 15 mL / menit, kanula ventrikel (biasanya nomor 14 France),

alat untuk membuat penetrasi di lantai ventrikel ketiga, dan alat seperti kateter

balon untuk membantu dalam pembesaran stoma (dianjurkan menggunakan

Fogarty Perancis No. 3). Jika menggunakan kateter balon, juga disarankan agar

ahli bedah memastikan bahwa balon dapat mengembang dengan baik sebelum

memulai prosedur.7

2. Prosedur

Setelah pasien selesai diinduksi dengan anestesi general, pasien ditidurkan

terlentang dengan kepala pada posisi netral di atas bantal donat. Kepala kemudian

dielevasikan sekitar 30° untuk meminimalkan hilangnya CSF berlebihan dan

masuknya udara (pneumocephalus). Sebuah lubang dibuat dengan proyeksi 3 cm

lateral dari linea sagitalis dan 8 mm anterior dari sutura koronal. Duramater

dibuka dengan incisi ross-like dan tepinya dikoagulasikan. Lubang bor

berdiameter 6 sampai 10 mm, dibuat di sisi proyeksi letak foramen Monro.

Kemudian dengan 14-French peel-away sheet catheter, operator mengkanulasi

cornu frontalis ventrikel lateral. Stilet kemudian ditarik untuk memastikan

penempatan yang tepat ke dalam sistem ventrikel. Manfaat dari sheet/selubung ini
13

adalah sebagai jalur jalan keluar untuk cairan irigasi atau CSF, serta agar tidak

terjadi traksi atau cedera otak pada saat masuknya endoskop.7

Setelah dipastikan pada posisi yang benar, endoskopi mulai dioperasikan.

Untuk mencapai ventrikel ketiga, harus menemukan foramen Monro terlebih

dahulu. Foramen Monro berjarak kira-kira 6 cm dari duramater melalui lubang

koronal pada orang dewasa, dan kurang dari 6 cm pada anak-anak. Endoskopi

melewati selubung kanula akan memvisualisasikan ventrikel lateral. Dari

ventrikel lateral untuk menuju foramen Monro, endoskopi diarahkan mengikuti

plexus choroideus. Foramen Monro biasanya akan membesar pada pasien

hidrosefalus sehingga endoskop dapat melewati foramen dengan mudah tanpa

melukai fornix. Setelah foramen Monro teridentifikasi dan dilewati, maka akan

terlihat ventrikel ketiga. Dengan mengikuti fornix, endoscop akan mencapai lantai

ventrikel ketiga. Lantai ventrikel ketiga kira-kira berjarak 9 cm dari dura mater,

tetapi ini sangat bervariasi tergantung pada usia dan tingkat hidrosefalus. Dari

lantai ventrikel ketiga yang tipis ini, dapat terlihat corpus mamilaris, recesus

infundibulum serta arteri basilaris. Normalnya jarak antara recessus infundibulum

dengan corpus mamilaris sekitar 6 mm. Jarak rata-rata antara

arteri basilaris dan recesus infundibulum pada setting normal adalah 10,5 mm,

sedangkan pada pasien hidrosefalus jaraknya sekitar 12 mm. Dengan visualisasi

ini, ahli bedah harus yakin bahwa fenestrasi yang akan dilakukan nantinya berada

di anterior dari arteri basilaris. Fenestrasi juga sebaiknya dilakukan mendekati

garis tengah untuk menghindari trauma nervus III. Fenestrasi lantai ventrikel

ketiga dapat dilakukan dengan probe tumpul, kateter Fogarty, alat endoskopi itu
14

sendiri, koagulator atau dengan instrument yang lain. Namun, paling aman

fenestrasi menggunakan probe tumpul, contohnya kawat Bugbee. Sebuah kawat

Bugbee, tanpa elektrokoagulasi, digunakan untuk melubangi secara tumpul lantai

tengah ventrikel ketiga antara corpus mammillaris dan recessus infundibulum.

Kemudian dengan 3-French Fogarty ballon catheter yang diisi 0,2 ml cairan

sehingga balon mengembang digunakan untuk memperluas lubang/stoma yang

baru saja dibuat. Manuver ini memperluas lubang mencapai sekitar 5 mm.7

Endoskop kemudian dipandu menuju cisterna interpedunkularis, membrane

Liliequest yang tepat berada di depan lubang/stoma diablasi, untuk mencegah

terjadinya penyumbatan cairan serebrospinal di ruang subarachnoid. Setelah itu

dilakukan observasi untuk melihat adanya pergerakan masuk dan keluarnya

cairan serebrospinal melalui stoma yang baru saja dibuat. Bila ada pergerakan, hal

ini menunjukkan berhasilnya pembuatan komunikasi antara ventrikel ketiga dan

ruang subarachnoid. Selama prosedur operasi, irigasi secara terus-menerus

dilakukan dengan cairan ringer lactat bersuhu 37°C untuk mencegah terjadinya

ventrikel kolaps.7

Setelah itu, endoskop dan selubung kateter dikeluarkan, lubang bor cranium

ditutup dengan Gelfoam, dan lapisan scalp dijahit. Apabila terjadi perdarahan,

dapat meninggalkan ventricular drain yang biasanya akan dilepas setelah 1-2

hari.7

H. Perawatan Postoperatif

Pasien dibawa ke ruang unit perawatan intensif (ICU) untuk diawasi selama

24 jam. Jika drain dibiarkan tetap terpasang pasca operasi untuk menampung
15

perdarahan, direkomendasikan dilakukan drainase CSF agresif selama periode

waktu ini untuk membersihkan cairan dan meminimalkan risiko pembentukan

bekuan intraventrikular. Pasien yang telah terpasang shunt sebelum operasi harus

diperhatikan dengan seksama selama ETV berlangsung untuk memastikan shunt

terpisah. Pada pasien tersebut, drainase ventrikel harus dipisahkan dengan hati-

hati dari shunt berdasarkan beberapa laporan yang menyatakan bahwa perlu waktu

hingga 10 hari bagi pasien untuk mentolerir jalur penyerapan baru. Setelah saluran

pembuangan diangkat, pasien harus terus diamati selama kurang lebih 24 jam

untuk memastikan patensi ETV. Sebelum keluar dari ICU, pasien harus dirawat

jalan dan mentoleransi diet. Dia juga harus bebas dari sakit kepala, mual, atau

muntah. Pada bayi, ubun-ubun harus lunak dan cekung saat dalam posisi tegak.2

Pencitraan pasca operasi termasuk CT scan dilakukan sebelum pasien keluar

rumah sakit. Meskipun perubahan awal ukuran ventrikel mungkin tidak tampak,

ruang subarachnoid dan sisterna sering tampak tidak terpengaruh. Pencitraan MRI

biasanya dilakukan dalam waktu 2 bulan sejak dilakukan prosedur. Hasil

pemeriksaan ini mungkin akan menunjukkan ukuran ventrikel yang lebih kecil

dan penurunan edema transependymal. Pemeriksaan cine-MRI dapat membantu

dalam menunjukkan keberhasilan ETV dengan lebih baik.2

I. Komplikasi

Dalam literatur, tingkat komplikasi untuk ETV bervariasi dari 6% hingga

20%. Salah satu alasan utama penyebab komplikasi adalah kesalahan penempatan

fenestrasi. Komplikasi berupa cedera vaskular juga dilaporkan termasuk trauma

pada arteri basilar atau salah satu cabangnya, pembentukan pseudoaneurysm di


16

ujung arteri basilar, perdarahan subarachnoid, intraventrikular atau intraserebral,

serta infark arteri atau infark vena. Komplikasi intraoperatif dapat berupa

bradikardia simptomatik. Hal ini mungkin disebabkan oleh mekanisme yang

melibatkan distorsi hipotalamus posterior. Komplikasi lainnya yang lebih jarang

yaitu pneumoencephalus simtomatik, diabetes insipidus sementara, overdrainage

menghasilkan hygroma subdural atau hematoma, dan gangguan memori yang

mungkin disebabkan oleh kerusakan pada fornix dan koneksinya ke hippocampus

dan corpus mamillary. Tingkat kematian ETV terbilang rendah dan biasanya

terkait dengan perdarahan subaraknoid yang fatal atau kegagalan ventrikulostomi

ketiga onset lambat.2,6

J. Skoring Kesuksesan Prosedur ETV

Terdapat metode prediktif untuk meramalkan hasil dilakukannya prosedur

ETV, yakni Endoscopic Third Ventriculostomy Succes Score (ETVSS).

Skor Usia Etiologi Riwayat shunt

0 1 Pasca-infeksi ya

10 1 bln - < 6 bln tidak

20 Myelomeningocele, IVH,
nontectal brain tumor

30 6 bln - < 1 thn Aqueductal stenosis, tectal


tumor, other

40 1 th - < 10 thn

50 ≥ 10 thn
17

Skor total ≥ 80 dikatakan tingkat keberhasilan ETV tinggi, skor 50 – 70

tingkat keberhasilan sedang, dan skor ≤ 40 tingkat keberhasilan rendah.9

K. Perbadingan ETV dan VP shunt

Jika dibandingkan dengan ventriculoperitoneal shunt, ETV mempunyai

beberapa keunggulan di antaranya :

 Tidak ada benda asing yang diimplankan (selang shunt dan katup), sehingga

mencegah komplikasi yang berhubungan dengan selang, seperti sumbatan,

infeksi, over drainase, dan komplikasi abdomen.

 Luka operasi lebih kecil

 Tidak perlu melakukan revisi selang seiring bertambahnya usia yang biasanya

dilakukan pada VP shunt. Berarti tidak memerlukan perawatan lebih lanjut,

biaya murah dan sederhana, sangat ideal untuk penderita di Indonesia.

 Setelah dilakukan ETV, cairan serebrospinal hampir mendekati sirkulasi

fisiologis, sehingga dapat dilakukan prosedur lainnya apabila diperlukan

seperti pellucid septostomy, aqueductoplasty dan lain-lain.

 Komplikasi post operasi lebih sedikit disbanding shunt sehingga tidak perlu

adanya operasi ulang untuk revisi.

Anda mungkin juga menyukai