Anda di halaman 1dari 2

PUTRI SALJU

Kalian telah mengetahui bahwa kisah “Putri Salju” memiliki akhir yang bahagia.
Seorang putri yang teramat cantik, diusir dari istananya, nyaris ditikam, bertemu para kurcaci,
ditipu oleh nenek tua yang menawarkan apel, mati keracunan, dan akhirnya hidup karena ciuman
dari pangeran.
Tapi itu bukan kisah “Putri Salju” yang sebenarnya.
Sama sepertiku, sebagai pemilik julukan “Putri Salju”, kisahku tidak seperti tipuan itu maupun
kisah sebenarnya. Aku memiliki kisah “Putri Salju” sendiri, dan mungkin saja berbeda jauh dari
apa yang diketahui banyak orang.
Aku tidak memiliki seorang pangeran.
Aku hidup ketika kakak-kakakku, Dexter dan Megan, bertengkar memperebutkan kekuasaan.
“Pinocchio”, adikku yang paling kecil, tidak ada bersama denganku. “Alice”, sahabatku, tidak ada
di sisiku untuk menghiburku. Begitu pula dengan “Cinderella”, “Gretel”, dan “Putri Kaguya” tidak
ada yang ada untukku selama konflik berlangsung.
Pernahkah kamu mendengar bahwa sang “Putri Salju” diperintah untuk membunuh para
pengkhianat? Mungkin yang ada, kamu mendengar bahwa justru “Putri Salju” dikejar-kejar untuk
dibunuh. Aku tidak dihasut oleh siapapun, aku hanya menjalankan perintah kakakku.
Menggunakan pedangnya yang besar dan tajam, banyak potongan mayat dan darah menghiasi
jalan. Tidak ada perlawanan sedikitpun dari mereka, karena mereka pantas mendapatkan
hukuman yang setara dengan perbuatan mereka. Mereka berontak bukan karena kakakku, tetapi
mengerjakan misi yang telah diberikan dengan asal-asalan.
Pedang itupun menjadi saksi bisu kematian “Cinderella” yang kulakukan. Aku membunuhnya
tanpa mempedulikannya memanggil namaku berkali-kali dengan histeris. Mungkin saat itu
“Cinderella” nyaris memutuskan pita suaranya hanya karena supaya mata pedangku tidak
mengambil nyawanya.
Aku hanya mendengarkan dia meneriakkan namaku tepat saat kulit dan mata pedangku
bersentuhan. Setelah itu, suaranya ditenggelamkan oleh bunyi pedangku memut*lasinya.
Aku tidak punya waktu untuk menahan air mataku dan mengucapkan kalimat, “Tolong jangan
buat peristiwa ini sebagai perusak relasi kita.”
Aku hanya mengingat kata terakhirnya sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, yaitu “Et tu,
‘Snow White’?”
Aku terkesan seperti “Putri Salju” yang kejam…
Tetapi, ada saatnya sang “Putri Salju” keluar dari istananya. Bukan karena sang ratu berniat
membunuh “Putri Salju”, tetapi karena mencari ‘kebebasan’. Meskipun banyak suara yang
mendukungku, dan kali ini “Pinocchio” ikut terlibat, namun ibuku tetap tidak mau aku keluar.
Mau kabur diam-diampun, aku tidak berani.
Aku saja bisa keluar dari sangkar karena bantuan dari Megan dan Dexter. Kakak-kakak pandai
berbicara, membuat ibuku yakin dengan argument yang dilontarkan mereka. Sampai sekarang,
aku belum sempat untuk berterima kasih pada mereka karena mau repot membantuku. Tapi jika
aku bertemu dengannya sekarang, mungkin hanya Megan telah melupakannya.
Di lingkungan baru, “Putri Salju” masih membawa kenangan mengerikan. Hanya karena
kehilangan relasi dengan teman-temannya dan kematian “Cinderella” masih terekam di
kepalanya, “Putri Salju” menghindari kerumunan orang. Banyak wajah baru yang menyerupai
wajah teman-temannya, namun itu tidak menyembuhkan luka hatinya.
“Jangan sampai sejarah terulang lagi,” itu yang dipikirnya.
Diantara mereka, sang “Putri Salju” menemukan sosok pangerannya. Pangeran yang tidak seperti
di dongeng-dongeng sebelum tidur, tetapi memiliki kelas yang sama sepertinya. Entah “Putri
Salju” itu tepat memilih ‘pangeran’nya dengan benar atau tidak. Dia memiliki perasaan yang
berbeda ketika kedua netra abu-abunya menatap sosok sang ‘pangeran’.
Itupun dia juga harus mengulangi kejadian yang sama seperti dahulu kala. Tetapi dia tidak
menyaksikannya dari jauh. Dia sendiri yang terlibat, merasakan apa yang pernah dirasakan
teman-temannya saat itu.
Mungkin saja, “Putri Salju” akan mendapatkan kisah akhir yang bahagia…

NAMA : ILMIAH
KELAS : VII E

Anda mungkin juga menyukai