Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

LIMFADENITIS TUBERCULOSIS

1.1.Pengertian
Limfadenitis adalah peradangan pada kelenjar getah bening yang
terjadi akibatterjadinya infeksi dari suatu bagian tubuh maka terjadi pula
peradangan pada kelenjar getah bening regioner dari lesi primer.
limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe
atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009).
Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan
scrofula (Dorland, 1998). Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah
yang biasanya paling sering terjadi (Kumar, 2004).

1.2.Etiologi
Limfadenitis TB disebabkan oleh M.tuberculosis complex, yaitu
M.tuberculosis (padamanusia), M.bovis (pada sapi), M.africanum, M.canetti
dan M.caprae. Secara mikrobiologi,M.tuberculosis merupakan basil tahan
asam yang dapat dilihat dengan pewarnaan Z iehl- Neelsen atau Kinyoun-
Gabbett .M.tuberculosis dapat tumbuh dengan energi yang diperoleh dari
oksidasi senyawakarbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang
pertumbuhan. M.tuberculosis merupakanmikroba kecil seperti batang yang
tahan terhadap desinfektan lemah dan bertahan hidup padakondisi yang
kering hingga berminggu-minggu, tetapi hanya dapat tumbuh di
dalamorganisme hospes. Kuman akan mati pada suhu 600C selama 15-20 menit,
Pada suhu 300atau400-450C sukar tumbuh atau bahkan tidak dapat tumbuh.
Pengurangan oksigen dapatmenurunkan metabolisme kuman.Daya tahan kuman
M.tuberculosis lebih besar dibandingkan dengan kuman lainnyakarena sifat
hidrofobik pada permukaan selnya. Kuman ini tahan terhadap asam, alkali
danzat warna malakit. Pada sputum yang melekat pada debu dapat tahan hidup selama 8-
10 hari.M.tuberculosis dapat dibunuh dengan pasteurisasi
1.3.Patofisiologi
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi
TB pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan
menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB
primer sering terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type
tuberculosis, sedangkan TB post-primer (sekunder) disebut juga adult-type
tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB
primer dapat juga terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010). Basil
tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut
sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ
ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar
getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan
perikardium.
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap
basil tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan
cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh
makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan
mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup
dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar
secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen.
Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar
limfe regional di hilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan
menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan
kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada
orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4 minggu setelah infeksi
akan terbentukimunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi
penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag
membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon
bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan
kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal
penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat
imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon
merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam
keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa
tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah
memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya
imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada
TB primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama
seperti pada TB primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar
terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ.
Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat
penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru.
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah
basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan
difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke
kelenjar limfe di leher
1.4.Manifestasi Klinis
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB
ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal
dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran
kelenjar getah bening yang lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan
HIV-negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang paling
sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga pasien. Oleh karena itu, infeksi
mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding dari
pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang endemis.
Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai
beberapa bulan.
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening
servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar
mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan
kelenjar inguinalis (Mohapatra, 2004).. Menurut Sharma (2004), pada
pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-positif, kelenjar limfe servikalis
adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan
inguinalis.
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau
bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri
dan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan
paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di
regio supraklavikular (Mohapatra, 2004). Keterlibatan multifokal ditemukan
pada 39% pasien HIV-negatif dan pada 90% pasien HIV-positif. Pada
pasien HIV-positif, keterlibatan multifokal, limfadenopati intratorakalis dan
intraabdominal serta TB paru adalah sering ditemukan (Sharma, 2004).
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik
yaitu seperti demam,
penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari 57%
pasien tidak menunjukkan gejala sistemik (Mohapatra, 2004). Terdapat
riwayat kontak terhadap penderita TB pada 21,8% pasien, dan terdapat TB
paru pada 16,1% pasien (Mohapatra, 2004).
Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2004)
limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima
stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan
diskret.
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke
jaringan sekitar oleh karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening)
akibat pembentukan abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit.
Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali terjadi infeksi
sekunder bakteri, pembesaran kelenjar yang cepat atau koinsidensi dengan
infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-
kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan
pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadenitis
TB servikalis (Mohapatra, 2004).
Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak.
Pada dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala.
Manifestasi yang jarang terjadi pada pasien dengan keterlibatan kelenjar
limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula oesophagomediastinal, dan
fistula tracheo-oesophageal. Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan
abdomen atas juga dapat menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan
chylothorax, chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu,
obstruksi biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan
obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah dilaporkan terjadi
akibat limfadenitis mediastinal (Mohapatra, 2004).
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran = 2 cm
biasanya disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran <
2 cm biasanya disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup
kemungkinan pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis
(Narang, 2005).

1.5.Pemeriksaan Diagnostik
Untuk mendiagnosa limfadenitis TB diperlukan tingkat kecurigaan
yang tinggi, dimana hal ini masih merupakan suatu tantangan diagnostik
untuk banyak klinisi meskipun dengan kemajuan teknik laboratorium.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pewarnaan BTA,
pemeriksaan radiologis, dan biopsi aspirasi jarum halus dapat membantu
dalam membuat diagnosis awal yang dapat digunakan sebagai pedoman
dalam memberikan pengobatan sebelum diagnosis akhir dapat dibuat
berdasarkan biopsi dan kultur (Bayazit, 2004). Juga penting untuk
membedakan infeksi mikobakterium tuberkulosis dengan non-tuberkulosis.
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa
limfadenitis TB :

a. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan
mikroskopis dan kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan
pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh
dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat
memastikan adanya basil mikobakterium pada spesimen, diperlukan
minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif (Mohapatra,
2009; Bayazit, 2004). Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3
cukup untuk membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif hanya
pada 10-69% kasus (Mohapatra, 2009). Berbagai media dapat
digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB.
Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur.
Pada adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab tersering,
diikuti oleh M.bovis (Bayazit, 2004).

b. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk
menunjukkan adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk
antigen mikobakterium pada seseorang. Reagen yang digunakan
adalah protein purified derivative (PPD). Pengukuran indurasi
dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi. Dikatakan positif apabila
terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9
mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm (Mohapatra, 2009).

c. Pemeriksaan Sitologi
Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan
menggunakan biopsi aspirasi kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas
pemeriksaan sitologi dengan biopsi aspirasi untuk menegakkan
diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99% (Kocjan, 2001). CT
scan dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan biopsi aspirasi
kelenjar limfe intratoraks dan intraabdominal (Sharma, 2004). Pada
pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell, granuloma
epiteloid, nekrosis kaseosa. Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan
apabila gambaran konvensional seperti sel epiteloid atau Langhans
giant cell tidak ditemukan pada aspirat. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Lubis (2008), bahwa gambaran sitologi bercak gelap
dengan materi eusinofilik dapat digunakan sebagai tambahan
karakteristik tuberkulosis selain gambaran epiteloid dan Langhans
giant cell. Didapati bahwa aspirat dengan gambaran sitologi bercak
gelap dengan materi eusinofilik, dapat memberikan hasil positif
tuberkulosis apabila dikultur.

d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan
untuk membantu diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat
menunjukkan kelainan yang konsisten dengan TB paru pada 14-20%
kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus (Bayazit, 2004). USG
kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular
atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal (Bayazit,
2004). Pemeriksaan dengan USG juga dapat dilakukan untuk
membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik,
lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar yang
disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency,
peripheral halo, dan internal echoes (Khanna, 2011). Pada CT scan,
adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral, adanya
cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas
didalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi
inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan pada
limfadenitis TB (Bayazit, 2004). Pada MRI didapatkan adanya massa
yang diskret, konglumerasi, dan konfluens. Fokus nekrotik, jika ada,
lebih sering terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal
ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak membedakannya
dengan kelenjar metastatik (Bayazit, 2004).

1.6.Rencana Asuhan Keperawatan


PENGKAJIAN

1. Identitas klien: selain nama klien, juga orangtua; asal kota dan daerah,
jumlah keluarga.
2. Keluhan: penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit.
3. Riwayat penyakit sekarang:
Tanda dan gejala klinis TB serta terdapat benjolan/bisul pada tempat-
tempat kelenjar seperti: leher, inguinal, axilla dan sub mandibula.

4. Riwayat penyakit dahulu:


- Pernah sakit batuk yang lama dan benjolan bisul pada leher serta
tempat kelenjar yang lainnya dan sudah diberi pengobatan
antibiotik tidak sembuh-sembuh?
- Pernah berobat tapi tidak sembuh?
- Pernah berobat tapi tidak teratur?
- Riwayat kontak dengan penderita TBC.
- Daya tahan yang menurun.
- Riwayat imunisasi/vaksinasi.
- Riwayat pengobatan.
5. Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan.
- Riwayat keluarga.
- Biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit yang sama.
- Aspek psikososial.
- Merasa dikucilkan.
- Tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri.
- Biasanya pada keluarga yang kurang mampu.
- Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh
perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak.
- Tidak bersemangat dan putus harapan.
Lingkungan:

- Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman yang padat,


ventilasi rumah yang kurang, jumlah anggota keluarga yang
banyak.
6. Pola fungsi kesehatan.
1) Pola persepsi sehat dan penatalaksanaan kesehatan.
Keadaan umum: alergi, kebiasaan, imunisasi.

2) Pola nutrisi - metabolik.


Anoreksia, mual, tidak enak diperut, BB turun, turgor kulit
jelek, kulit kering dan kehilangan lemak sub kutan, sulit dan
sakit menelan, turgor kulit jelek.

3) Pola eliminasi
Perubahan karakteristik feses dan urine, nyeri tekan pada
kuadran kanan atas dan hepatomegali, nyeri tekan pada kuadran
kiri atas dan splenomegali.

4) Pola aktifitas – latihan


Sesak nafas, fatique, tachicardia,aktifitas berat timbul sesak
nafas (nafas pendek).

5) Pola tidur dan istirahat


Iritable, sulit tidur, berkeringat pada malam hari.

6) Pola kognitif – perseptual


Kadang terdapat nyeri tekan pada nodul limfa, nyeri tulang
umum, takut, masalah finansial, umumnya dari keluarga tidak
mampu.

7) Pola persepsi diri


Anak tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah.

8) Pola peran – hubungan


Anak menjadi ketergantungan terhadap orang lain
(ibu/ayah)/tidak mandiri.

9) Pola seksualitas/reproduktif
Anak biasanya dekat dengan ibu daripada ayah.

10) Pola koping – toleransi stres


Menarik diri, pasif.
Pemeriksaan Fisik

1. - Demam: sub fibril, fibril (40 – 41oC) hilang timbul.


- Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini
membuang/ mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering
sampai batuk purulen (menghasilkan sputum).
- Sesak nafas: terjadi bila sudah lanjut, dimana infiltrasi radang
sampai setengah paru.
- Nyeri dada: ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang
sampai ke pleura.
- Malaise: ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit
kepala, nyeri otot dan kering diwaktu malam hari.
- Pada tahap dini sulit diketahui.
- Ronchi basah, kasar dan nyaring.
- Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada
auskultasi memberi suara limforik.
- Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis.
- Bila mengenai pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan
suara pekak)
2. Pembesaran kelenjar biasanya multipel.
3. Benjolan/pembesaran kelenjar pada leher (servikal), axilla, inguinal
dan sub mandibula.
4. Kadang terjadi abses.

Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya faktor resiko :


- Berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis
- Kerusakan membran alveolar kapiler
- Sekret yang kental
- Edema bronchial
2. Resiko infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan :
- Daya tahan tubuh menurun, fungsi silia menurun, sekret yang
menetap
- Kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar
- Malnutrisi
- Terkontaminasi oleh lingkungan
- Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman
3. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang kondisi, pengobatan,
pencegahan, berhubungan dengan :
- Tidak ada yang menerangkan
- Interpretasi yang salah, tidak akurat
- Informasi yang didapat tidak lengkap
- Terbatasnya pengetahuan / kognitif
4. Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan :
- Kelelahan
- Batuk yang sering, adanya produksi sputum
- Dyspnoe
- Anoreksia
- Penurunan kemampuan finansial (keluarga).
Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA KEPERAWATAN NOC DAN INDIKATOR URAIAN AKTIVITAS RENCANA TINDAKAN
NO DITEGAKKAN / KODE SERTA SKOR AWAL DAN SKOR (NIC)
DIAGNOSA KEPERAWATAN TARGET
1 Ketidakefektifan kebersihan jalan Tujuan : Manajemen Jalan Napas ()
nafas yang berhubungan dengan Setelah diakukan asuhan keperawatan selama Aktivitas :
sekresi yang tertahan 2 x 24 jam, Ketidakefektifan kebersihan jalan 1. Posisikan pasien untuk meminimalisir
nafas teratasi ventilasi
Kode Diagnosa 2. Identifikasi pasien pasien perlunya
Keperawatan : 00031 Kriteria Hasil : peasangan alat bantu buatan
1) Kontrol Nyeri (1605) 3. Keluarkan secret dengan batuk atau
Kode Indikator S.A S.T suction
041502 Irama 3 4 4. Auskultasi suara napas, apakah ada
bernapasan suara napas tabahan atau tidak
041504 Suara auskutlasi 2 5
napas
041523 Gangguan 2 5
ekspirasi

Keterangan :
1 = Deviasi berat dar kisaran normal
2 = Deviasi cukup berat dari kisaran
normal
3 = Deviasi sedang dari kisaran normal
4 = Deviasi ringan dari kisaran normal
5 = Tidak ada deviasi kisaran normal
DAFTAR PUSTAKA

Ioachim HarryL, Medeiros. Lymph Node Pathology, Fourth Edition, Lippincot

Wiilliam & Wilkins ;2003: 294-303

Kumar Vinay, Cotran S. Ramzi, Robbins L. Stanley. Robbins Basic Pathology.


8th

Edition. W.B Saunders Company. Philadelphia. Pennsylvania. 2007.p.667-686

Sharma, Sangeeta, dkk. 2009.Clinical Profile And Treatment Outcome


Of Tuberculous Lymphadenitis In Children Using Dots Strategy.Available
from: http://medind.nic.in/ibr/t10/i1/ibrt10i1p4.pdf

Carpenito, Lynda Juall, (2000). Buku saku Diagnosa Keperawatan. Alih bahasa.
Edisi 8. Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Depkes RI : Jakarta.

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2001. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.

Tambayong, J. 2003. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai