Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN TBC

(TUBERCULOSIS)

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Anatomi Fisiologi

Gambar 1.1 : Anatomi sistem respiratori

a. Anatomi
1) Saluran Pernafasan Bagian Atas
Saluran pernafasan bagian atas terdiri atas hidung, faring, laring, dan
epiglotis, yang berfungsi menyaring menghangatkan, dan melembabkan
udara yang dihirup
a) Hidung
Bagian ini terdiri atas nares anterior (saluran di dalam lubang hidung)
yang memuat kelenjar sebaseus dengan di tutupi bulu kasar yang
bermuara ke rongga hidung. Bagian hidung lainnya adalah rongga hidung
yang dilapisi oleh selaput lendir yang mengandung pembuluh darah.
Proses oksigenasi diawali dari sini. Pada saat udara masuk melalui hidung,

1
udara akan disaring oleh bulu-bulu yang ada di dalam vestibulum (bagian
rangga hidung), kemudian dihangatkan serta dilembabkan.
b) Faring
Faring merupakan pipa yang memiliki otot, memanjang muli dari dasr
tenggorokan sampai dengan esofagus yang terletak dibelakang naso
faring (di belakang hidung), orofaring (di belakang mulut), dan larino
faring (di belakang faring).
c) Laring
Laring merupakan saluran pernafasan setelah faring yang terdiri atas
bagian tulang rawan yang diikat bersama ligamen dan membran, yang
terdiri atasdua lamina yang bersambung di garis tengah.
d) Epiglotis
Epiglotis merupakan katup tulang rawqan yang berfungsi membantu
menutup laringketika orang sedang menelan.

2) Saluran Pernafasan Bagian Bawah


Saluran pernafasan bagian bawah terdiri atas trakea, tendon bronchus,
segmen bronchus, dan bronkhiolus yang berfungsi mengalirkan udara dan
memproduksi surfaktan.
a) Trakea
Trakhea atau disebut juga sebagi batang tenggorok yang memiliki
panjang kurang lebih 9 cm dimulai dari laring sampai kira-kira setinggi
vertebra thorakalis kelima. Trakhea tersebut tersusun atas enam belas
dampai dua piluh lingkaran toidak lengkap yang berupa cincin. Trakhea
ini dilapisi oleh selaput lender yang terdiri atas epithelium bersilia yang
dapat mengeluarkan debu atau benda asing.
b) Bronkhus
Bentuk percabangan atau kelanjutan dari trakhea yang terdiri atas dua
percabangan yaitu kanan dan kiri. Pada bagian kanan lebih pendek dan
lebar dari pada bagian kiri yang memiliki tiga lobus atas, tengah, dan
bawah; sedangkan bronkus kiri lebih panjang dari bagian kanan yang
berjalan dalam lobus atas dan bawah, Kemudian saluran setelah bronkhus
adalah bagian percabangan yang disebut sebagai bronkhiolus.

2
c) Paru-paru
Merupakan organ utama dalam sistem pernafasan. Letak pari itu sendiri
di dalam rongga thoraks sehingga tulang selangka sampai dengan
diafragma. Paru terdiri atas beberapa lobus yang diselaputi oleh pleura
yaitu pleura parietalis dan pleura viseralis, kemudian juga dilindungi oleh
cairan pleura yang berisi cairan surfaktan

Dalam setiap paru-paru terdapat sekitar 300 juta alveolus, karena


alveolus pada hakikatnya merupakan suatu gelembung gas yang
dikelilingi oleh jalinan kapiler, maka batas antara cairan dan gas
membentuk suatu tegangan permukaan yang cenderung mencegah
pengembangan pada waktu ekspirasi. Tetapi untunglah alveolus dilapisi
oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan, yang dapat mengurangi
tegangan permukaan dan mengurangi resistensi terdapat pengembangan
pada waktu inspirasi, dan mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi.
Defisiensi surfaktan dianggap sebagai faktor penyaring pada patogenesis
sejumlah penyakit paru-paru

b. Fisiologis Sistem Pernapasan


a) Ventilasi
Proses ini merupakan proses keluar dan masuknya oksigen dari atmosfer ke
dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer, dalam proses ventilasi ini
terdapat beberapa hal yang mempengaruhi, diantaranya adalah perbedaan
tekanan antara atmosfer dengan paru. Semakin tinggi tempat maka tekanan
udara semakin rendah. Demikian sebaliknya, semakin rendah tempat maka
tekana udara semakin tinggi. Hal ini mempengaruhi proses ventilasi
kemampuan thorak dan paru pada alveoli dalam melaksanakan ekspansi atau
mengembang dan mengempisnya, adanya jalan nafas yang dimulai dari
hidung hingga alveoli yang terdiri dari berbagai otot polos yang kerjanya
sangat dipengaruhi oleh sistem saraf otonom, terjadinya rangsangan simpatis
dapat menyebabkan relaksasi sehingga dapat terjadi vasodilatasi, kemudian
kerja saraf parasimpatis dapat menyebabkan kontriksi sehingga dapat
menyebabkan vasokntriksi atau proses penyempitan, dan adanya reflek
batuk serta muntah juga dapat mempengaruhi adanya proses ventilasi.
3
Adanya peran mukus ciliaris sebagai penangkal benda asing yang
mengandung interveron dapat mengikat virus. Pengaruh proses ventilasi
selanjutnya adalah komplians (complience) dan recoil yaitu kemampuan
paru untuk berkembang yang dapat dipengaruhi oleh surfaktan yang terdapat
pada lapisan alveoli yang berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan
dan masih ada sisa udara sehingga tidak terjadi kolaps dan gangguan thorak
atau keadaan paru itu sendiri. Surfaktan diproduksi saat terjadi peregangan
sel alveoli, surfaktan disekresi saat klien menarik napas; sedangkan recoil
adalah kemampuan untuk mengeluarkan CO₂ atau kontraksi atau
menyempitnya paru. Apabila complience baik akan tetapi recoil terganggu
maka CO₂ tidak dapat keluar secara maksimal.

b) Difusi Gas
Merupakan pertukaran antara oksigen alveoli dengan kapiler paru dan CO₂
kapiler dengan alveoli. Dalam proses pertukaran ini terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi, yaitu:
 Luas permukaan paru.
 Tebal membran respirasi/ permeabilitas yang terdiri dari epitel alveoli dan
interstisial keduanya.
 Perbedaaan tekanan dan konsentrasi O₂, hal ini dapat terjadi seperti O₂
dari alveoli masuk ke dalam darah oleh tekanan O₂ dalam rongga alveoli
lebih tinggi dari tekanan O₂ darah vena pulmonalis (masuk dalam darah
secara berdifusi) dan pCO₂ dalam arteri pulmonalis juga akan berdifusi
ke dalam alveoli.
 Afinitas fas yaitu kemampuan untuk menembus dan saling mengikat Hb.

c) Transportasi Gas
Merupakan transportasi antara O₂ kapiler ke jaringan tubuh dan CO₂
jaringan tubuh ke kapiler. Pada proses transportasi O₂ akan berikatan
dengan Hb membentuk oksihemoglobin (97%) dan larutan dalam plasma
(5%). Kemudian transportasi CO₂ akan berikatan dengan Hb membentuk
karbominohemoglobin (30%), dan larutan dalam plasma (5%), kemudian
sebagian menjadi HCO₃ berada pada darah (65%). Pada transportasi gas

4
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, diantaranya: curah jantung
(cardiac output) yang dapat dinilai melalui isi sekuncup dan frekuensi
denyut jantung. Isi sekuncup ditentukan oleh kemampuan otot jantung
berkontraksi dan volume cairan. Frekuensi denyut jantung dapat ditentukan
oleh keadaan seperti over load atau beban yang dimiliki pada akhir diastol.
Faktor lain dalam menentukan proses transportasi adalah kondisi pembuluh
darah, latihan/ olag raga (exercise), hematokrit (perbandingan antara sel
darah dengan darah secara keseluruhan atau HCT/PCV), eritosit, dan Hb.

2. Definisi
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang tahan aerobic dan tahan asam ini dapat
merupakan organism patogen maupun saprofit (Silvia A Price, 2005).
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium tuberculosis
(Smeltzer & Bare, 2001).
Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yaitu suatu bakteri yang tahan asam (Suriadi, 2001).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Tuberculosis
Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis
suatu basil yang tahan asam yang menyerang parenkim paru atau bagian lain dari
tubuh manusia.

3. Etiologi
Penyebab dari penyakit tuberculosis adalah Mycobacterium Tuberculosis
adalah kuman berbentuk batang aerobik tahan asam yang tumbuh dengan lambat
dan sensitive terhadap panas dan sinar ultraviolet (Smelzer, 2001: 5584). Sifat ini
yang menunjukkan kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya, sehingga paru-paru merupakan tempat prediksi penyakit tuberculosis.
Kuman ini juga terdiri dari asal lemak (lipid) yang membuat kuman lebih tahan
terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Penyebaran
mycobacterium tuberculosis yaitu melalui droplet nukles, kemudian dihirup oleh
manusia dan menginfeksi (Depkes RI, 2002).

5
Gambar 3.1 : Mycobacterium Tuberkulosis

4. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberculosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun
2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002,
dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada
satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia
telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia
tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah
pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali
lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk Diperkirakan
terdapat 2 juta kematian akibat tuberculosis pada tahun 2002. Jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi
terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang
cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab
kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001
menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian ada golongan

6
penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL
Departemen Kesehatan tahun ,2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif yang
diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat dari
kasus TB ini berusia 15 – 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap
tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif)
pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di
dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.

5. Patofisiologi
Tempat masuk kuman mycobacterium adalah saluran pernafasan, infeksi
tuberculosis terjadi melalui (airborn) yaitu melalui instalasi dropet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil M.Tuberculosis. bakteri
menyebar melalui jalan nafas menuju alveoli lalu berkembang biak dan terlihat
bertumpuk. Selanjutnya system kekebalan tubuh memberikan respon dengan
melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis
(menelan bakteri), sementara limfosit spesifik tuberculosis menghancurkan
(melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan
terakumulasinya eksudat dalam alveoli yang menyebabkan bronchopneumonia.
Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri.
Interaksi antara M. tuberculosis dan system kekebalan tubuh pada masa awal
infeksi membentuk sebuah masa jaringan baru yang disebut granuloma. Granuloma
terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh makrofag seperti
dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa.
Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas
makrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang
penampakannya seperti keju (necrotizing caseosa) hal ini kan menjadi kalsifikasi
dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri menjadi non aktif.
Setelah infeksi awal, jika respon system imun tidak adekuat maka penyakit
akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi
ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada kasus
ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing caseosa
didalam bronkhus. Tubercle yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan
membentuk jaringan parut.
7
PATOFISIOLOGI PENYAKIT TBC PARU

Mycobacterium
Respons Inflamasi (Fagosit oleh
Tuberculosa Alveolus Jaringan granulomas
Neutropil,Makrofag. Limfosit melisiskan)

Masa Fibrosa (bag sentral


= Tuberkel ghon)

Bakteri
Sembuh dengan fokus
Dormant ghon

Kurang Pengobatan
Sistem imun Bakteri muncul beberapa
pengetahuan lama menurun
tahun kemudian

TBC aktif

Reaksi
Pembentukan Reaksi sistemis :
infeksi/inflamasi, Hipotalamus
secret Anoreksia, mual, demam,
membentuk kavitas terangsang
(sputum) penurunan berat badan, dan
dan merusak
kelemahan
parenkim paru
Droplet Batuk

Penurunan jaringan
Risiko Ketidakseimbanga
efektif paru, atelektasis,
Penularan kerusakan membrane n nutrisi : kurang
alveolar-kapiler, dari kebutuhan
merusak pleura tubuh

Risiko terhadap
transmisi infeksi
Sesak napas,
Hipertermia
penggunaan otot
bantu, pola napas
Penurunan tidak efektif
kemampuan Kerusakan pertukaran gas
batuk efektif

Ganggguan pemenuhan
Ketidakefektifan kebutuhan tidur
bersihan jalan napas

8
6. Tanda dan Gejala
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik.

Gejala sistemik/umum:
o Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk radang. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non
produktif). Keadaan setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum atau dahak). Keadaan yang lanjut berupa batuk
darah haematoemesis karena terdapat pembuluh darah yang cepat.
o Demam yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai
keringat malam. Kadang-kadang serangan demam bersifat hilang timbul.
Umumnya subfebris, kadang-kadang 40-410C, keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi
kuman tuberculosis yang masuk.
o Perasaan tidak enak (malaise), lemah
Penyakit TBC paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan anoreksia, berat badan makin menurun, sakit kepala, meriang,
nyeri otot dan keringat malam. Gejala semakin lama semakin berat dan
hilang timbul secara tidak teratur. Malaise ini terjadi karena organ
respiratori yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis
melemahkan sistem imun yang berfungsi untuk menjaga kekebalan tubuh.

Gejala khusus :
o Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”,
suara nafas melemah yang disertai sesak.
o Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.

9
o Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit
diatasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
o Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

7. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk
menetapkan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan
sebelum pengobatan dimulai. Klasifikasi penyakit ini adalah sebagai berikut :
A. Tuberculosis Paru
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
(+).
 Satu spesimen dahak SPS hasilnya (+) dan foto rontgen dada
menunjukan gambaran tuberculosis aktif.
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
Pemeriksaan tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-) dan foto
rontgen dada menunjukan gambaran tuberculosis aktif. TBC Paru BTA
(-), rontgen (+) dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgan
dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas.

2. Berdasarkan Tipe Penderita


Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a) Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis
harian)

10
b) Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan
perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif
kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan Infeksi sekunder,
Infeksi jamur, TB paru kambuh.
c) Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah
d) Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif
e) Kasus Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan). Kasus gagal adalah penderita dengan hasil BTA
negatifgambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir
bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya
perburukan

B. Tuberculosis Ekstra Paru


TBC ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
1) TBC ekstra-paru ringanMisalnya :
TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2) TBC ekstra-paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran kencing dan alat
kelamin.
11
8. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan Tuberkulosis yaitu :
a. Uji Tuberkulin
Uji tuberculin dilakukan dengan tes kulit (mantoux, potongan vollmer): reaksi
positif (area indurasi 10 mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi
intra dermal antigen) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi
tetapi tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif. Penilaian uji tuberkulin
dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak
ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa
karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau
pasca vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis :
sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

Gambar 8.1 Hasil Mantoux test

b. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologis TB sering dapat menegakkan diagnosis TB meskipun
diagnosis pastinya adalah dari pemeriksaan bakteriologis (Karnadihardja,
2004). Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks.
Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai
dengan indikasi sebagai berikut:

12
 Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB
paru BTA positif.
 Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
 Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis
eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang
mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau
aspergiloma).
Rontgen dada menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian
atas, timbunan kalsium dari lesi primer atau penumpukan cairan. Perubahan
yang menunjukkan perkembangan tuberkulosis meliputi adanya kavitas dan
area fibrosa.

Gambar 8.2. Hasil rontgen dada pasien dengan TBC

c. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
 S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

13
 P (Pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas
di UPK.
 S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.

d. Pemeriksaan histopatologi jaringan


Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsy paru dengan
trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru
terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain
diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsy aspirasi dengan jarum halus (BJH
=biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsy dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru Diagnosis pasti
infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan paru atau
jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan.

e. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi merupakan satu-satunya pembuktian mutlak akan
adanya TB. Sediaan apus untuk identifikasi kuman TB dapat dilakukan
dengan pewarnaan Ziehl Nielsen atau KenyonGabet-Tan. Biakan kuman
dilakukan dengan medium L’weinstein Jensen atau Middlebrook 7H-11.
Bahan yang diperiksa adalah sputum, cairan lambung, air kemih, cairan
sinovium, atau debris bergantung pada letak penyakit (Karnadihardja, 2004).
Oleh karena basil TB sangat lambat berkembang biak, diperlukan waktu enam
sampai delapan minggu untuk mengetahui hasil biakan. Marmut dapat dipakai
untuk biakan binatang. Hasil pemeriksaan ini dapat diperoleh setelah enam
minggu. Pembelahan sel memerlukan waktu 20-24 jam (Karnadihardja, 2004).

f. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat
dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan
keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan

14
untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan
sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar
limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu
dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi
laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun
kurang spesifik.

g. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)


Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon
humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam
teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu
yang cukup lama.

h. Pemeriksaan fungsi paru


penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara
dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap
infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (TB
paru kronis luas) (Doengoes, 2000)

9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Tujuan pemberian obat pada penderita tuberculosis adalah
menyembuhkan, mencegah kematian,dan kekambuhan, menurunkan tingkat
penularan (Depkes RI. 2002).
TB Paru diobati dengan obat anti tuberkulosis selama periode 6 -8 bulan.
Lima medikasi garis depan : Isoniasid (H), Ripamfisin (R), Streptomisin (S),
Etambutol (E) dan Pirazinamid (Z). Pengobatan diberikan dalam 2 tahap :
tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan tahap lanjutan
penderita minum obat 3 kali seminggu. Panduan obat yang ada di Indonesia
meliputi :
a. Kategori 1 ; tahap intensif terdiri dari HRZE selama 2 bulan dan tahap
lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan. Panduan ini diberikan pada
penderita baru BTA positif, BTA negatif rontgen positif yang sakit berat
dan TBC ekstra paru berat.
15
b. Kategori 2 ; tahap intensif diberikan selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan
dengan HRZE dan suntikan Streptomisin setiap hari, 1 bulan dengan HRZE.
Untuk tahap lanjutan penderita diberi HRE selama 5 bulan. Panduan ini
untuk penderita kambuh,gagal atau setelah lalai (after default).
c. Kategori 3 ; tahap intensif dengan HRZ selama 2 bulan dan tahap lanjutan
dengan HR selama 4 bulan. Panduan ini untuk penderita BTA negative
rontgen positif sakit ringan, ekstra paru ringan.
d. Kategori IV ; ditujukan terhadap kasus TB kronik. Prioritas pengobatan
disini rendah, terdapat resistensi terhadap obat-obat anti TB (sedikitnya R
dan H), sehingga masalahnya jadi rumit. Pasien mungkin perlu dirawat
beberapa bulan dan diberikan obat-obat anti TB tingkat dua yang kurang
begitu efektif, lebih mahal dan lebih toksis.
Departemen Kesehatan RI dalam program baru pemberantasan TB paru
telah mulai dengan paduan obat : 2RHZE/4R3HE (kategori I), 2 RHZSE / 1
RHZE / 5 R3H3E3 (kategori II), 2 RHZ/2 R3H3 (kategori IV).

b. Penatalaksanaan Keperawatan
Tentukan apakah pasien pernah terpajan pada individu dengan TB atau
tidak. Sering kali “sumber” dari infeksi tidak diketahui dan mungkin tidak
pernah ditemukan.
Data yang harus dikumpulkan untuk mengkaji pasien dengan TB mencakup
batu produktif, kenaikan suhu tubuh , reaksi tuberkulin dengan indurasi 10
mm atau lebih dan rotgen dada yang menunjukkan infiltrat pulmonal (Niluh
dan Christie, 2003).

10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat tuberkulosis terjadi pada sistem
pernafasan dan di luar sistem pernafasan. Pada sistem pernafasan antara lain
menimbulkan pneumothoraks, efusi pleural, dan gagal nafas, sedang diluar sistem
pernafasan menimbulkan tuberkulosis usus, meningitis serosa, dan tuberkulosis
milier.

16
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas
Mengkaji identitas pasien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, status
pernikahan, agama, pekerjaan, alamat.

b) Keluhan Utama
Tuberkulosis sering dijuluki the great imitatorr, yaitu suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan
gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah klien gejala yang
timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang – kadang
asimptomatik. Keluhan yang sering menyebabkan klien TB meminta
pertolongan tim kesehatan dibagi menjadi 2 golongan :
1. Keluhan respiratoris
 Batuk
Perawat menanyakan apakah batuk bersifat produktif atau non-
produktif
 Batuk Darah
Perawat harus menanyakan seberapa banyak darah yang keluar
serta bentuk dari darah yang keluar apakah berupa bercak-bercak
darah atau blood streak
 Sesak Napas
 Nyeri Dada

2. Keluhan sistemis
 Demam
 Keluhan sistemis lain (anoreksia, malaise, penurunan berat badan)

c) Riwayat Penyakit Saat Ini


Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Pengkajian
dilakukan secara rinci dan aktual mulai dari awal gejala penyakit dirasakan
sampai akhirnya memilih tim kesehatan untuk memeriksakan keadaannya.

17
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya
klien pernah menderita TBC serta menanyakan mengenai obat – obatan
yang klien minum pada masa lalu

e) Riwayat Penyakit Keluarga


secara patologi TBC tidak diturunkan, namun perawat perlu menanyakan
apakah penyakit ini pernah di alami oleh anggota keluarga lainnya sebagai
faktor presdisposisi penularan di dalam keluarga

f) Pengkajian Bio-Psiko-Sosio-Spiritual (Pola Fungsi Gordon)


1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang berdesak –
desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan tinggal
dirumah yang sumpek. (dr. Hendrawan Nodesul, 1996)
2. Pola nutrisi dan metabolic
Pada klien dengan TB paru biasanya mengeluh anoreksia, nafsu makan
menurun. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
3. Pola eliminasi
Klien TB paru tidak mengalami perubahan atau kesulitan dalam miksi
maupun defekasi
4. Pola aktivitas dan latihan
Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan menganggu
aktivitas. (Marilyn. E. Doegoes, 1999)
5. Pola tidur dan istirahat
Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita TB paru
mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan istirahat. (Marilyn.
E. Doenges, 1999)
6. Pola hubungan dan peran
Klien dengan TB paru akan mengalami perasaan asolasi karena penyakit
menular. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
7. Pola sensori dan kognitif
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan
pendengaran) tidak ada gangguan.
18
8. Pola persepsi dan konsep diri
Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan emosi dan
rasa kawatir klien tentang penyakitnya. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
9. Pola reproduksi dan seksual
Pada penderita TB paru pada pola reproduksi dan seksual akan berubah
karena kelemahan dan nyeri dada.
10. Pola penanggulangan stress
Dengan adanya proses pengobatan yang lama maka akan
mengakibatkan stress pada penderita yang bisa mengkibatkan penolakan
terhadap pengobatan. (dr. Hendrawan Nodesul, 1996. Hal 23)
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Karena sesak napas, nyeri dada dan batuk menyebabkan terganggunya
aktifitas ibadah klien.

g) Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum dan Tanda –tanda vital
Keadaan umum pada klien dengan TBC dapat dilakukan secara
selintas pandang dengan menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain
itu, perlu dinilai secara umum tentang kesadaran klien yang terdiri atas
compos mentis, apatis, somnolen, spoor, atau koma. Seorang perawat
perlu mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang konsep anatomi
fisiologi umum sehingga dengan cepat dapat menilai keadaan umum,
kesadaran dan pengukuran GCS bila kesadaran klien menurun yang
memerlukan kecepatan dan ketepatan penilaian.
Hasil pemeriksaan tanda- tanda vital pada klien dengan TBC
biassanya disapatkan peningkatan suhu tubuh secara, frekuensi napas
meningkat apabila disertai dengan sesak napas, denyut nadi biasanya
meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi
pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyakit
penyulit seperti hipertensi.

2. Pemeriksaan fisik

19
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien TBC sama halnya dengan
pemeriksaan fisik pada oasien lainnya yakni berdasarkan sistem –
sistem tubuh.
a. Sistem integument
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit menurun

b. Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai
Inspeksi : adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma,
pergerakan napas yang tertinggal, suara napas melemah.
(Purnawan Junadi DKK, th 1982, hal 213)
Palpasi : Fremitus suara meningkat. (Hood Alsogaff, 1995. Hal
80)
Perkusi : Suara ketok redup. (Soeparman, DR. Dr. 1998. Hal 718)
Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah,
kasar dan yang nyaring. (Purnawan. J. dkk, 1982, DR.
Dr. Soeparman, 1998. Hal 718)

c. Sistem pengindraan
Pada klien TB paru untuk pengindraan tidak ada kelainan

d. Sistem kordiovaskuler
Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 syang mengeras.
(DR.Dr. Soeparman, 1998. Hal 718)

e. Sistem gastrointestinal
Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun.
(DR.Dr. Soeparman, 1998. Hal 718)

f. Sistem musculoskeletal
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur dan
keadaan sehari – hari yang kurang meyenangkan. (Hood Al Sagaff,
1995. Hal 87)

20
g. Sistem neurologis
Kesadaran penderita yaitu komposmentis dengan GCS : E4V5M6

h. Sistem genetalia
Biasanya klien tidak mengalami kelainan pada genitalia

h) Pemeriksaan Diagnostik
 Pemeriksaan Radiologi
Tuberkulosis paru mempunyai gambaran patologis, manifestasi dini
berupa suatu koplek kelenjar getah bening parenkim dan lesi resi TB
biasanya terdapat di apeks dan segmen posterior lobus atas paru – paru
atau pada segmen superior lobus bawah. (Dr. dr. Soeparman. 1998). Hal
719)

 Pemeriksaan laboratorium
(1) Darah
Adanya kurang darah, ada sel – sel darah putting yang
meningkatkan serta laju endap darah meningkat terjadi pada proses
aktif. (Head Al Sagaff. 1995. Hal 91)

(2) Sputum
Ditemukan adanya Basil tahan Asam (BTA) pada sputum
yang terdapat pada penderita tuberkulosis paru yang biasanya
diambil pada pagi hari. (DR. Dr. Soeparman dkk, 1998. Hal 719,
Barbara. T. long. Long. Hal 447, th 1996)

(3) Test Tuberkulosis


Test tuberkulosis memberikan bukti apakah orang yang dites
telah mengalami infeksi atau belum. Tes menggunakan dua jenis
bahan yang diberikan yaitu : Old tuberkulosis (OT) dan Purifled
Protein Derivative (PPD) yang diberikan dengan sebuah jarum
pendek (1/2 inci) no 24 – 26, dengan cara mecubit daerah lengan
atas dalam 0,1 yang mempunyai kekuatan dosis 0,0001 mg/dosis

21
atau 5 tuberkulosis unit (5 TU). Reaksi dianggap bermakna jika
diameter 10 mm atau lebih reaksi antara 5 – 9 mm dianggap
meragukan dan harus di ulang lagi. Hasil akan diketahui selama 48
– 72 jam tuberkulosis disuntikkan. (DR. Dr. Soeparman, 1998, hal
721, Sylvia. A. price, 1995, hal 755, Barbara. C. long, 1996, hal
446)

2. Diagnosa
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekresi mucus
yang berlebihan, dan kurangnya upaya batuk
2. Hipertermia berhubungan dengan infeksi oleh mycobacterium tuberculosa
3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan keletihan, anorerksia atau dispnea
4. Risiko terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan tentang resiko patogen.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan dirumah.
6. Kerusakan pertukaran gas sehubungan dengan penurunan permukaan
efektif proses dan kerusakan membran alveolar – kapiler.
7. Ganggguan pemenuhan kebutuhan tidur sehubungan daerah sesak napas
dan nyeri dada.

3. Intervensi
Setelah mengumpulkan data, mengelompokan dan menentukan Diagnosa
keperawatan, maka tahap selanjutnya adalah menyusun perencaan. Dalam
tahap perencanaan ini meliputi 3 menentukan prioritas Diagnosa keperawatan,
menentukan tujuan merencanakan tindakan keperawatan.
Diagnosa keperawatan diatas dapat disusun rencana keperawatan sebagai
berikut :
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekresi
mucus yang berlebihan, dan kurangnya upaya batuk
1) Tujuan : jalan nafas efektif
2) Kriteria hasil :
 klien dapat mengeluarkan sekret tanpa bantuan
22
 klien dapat mempertahankan jalan nafas
 pernafasan klien normal (16 – 20 kali per menit)
3) Rencana tindakan :
a. Kaji fungsi pernafasan seperti, bunyi nafas, kecepatan, irama, dan
kedalaman penggunaan otot aksesori
b. Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa / batuk efektif.
c. Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi, bantu klien untuk
batuk dan latihan untuk nafas dalam.
d. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea.
e. Pertahanan masukan cairan seditnya 2500 ml / hari, kecuali ada
kontraindikasi.
f. Lembabkan udara respirasi.
g. Berikan obat-obatan sesuai indikasi : agen mukolitik, bronkodilator ,
dan kortikosteroid.
4) Rasional.
a. Penurunan bunyi nafas dapat menunjukan atelektasis, ronkhi,
mengi menunjukkan akumulasi sekret / ketidakmampuan untuk
membersihkan jalan nafas yang dapat menimbulkan penggunaan
otot aksesori pernafasan dan peningkatan kerja penafasan.
b. Pengeluaran sulit jika sekret sangat tebal sputum berdarah kental
diakbatkan oleh kerusakan paru atau luka brongkial dan dapat
memerlukan evaluasi lanjut.
c. Posisi membatu memaksimalkan ekspansi paru dan men urunkan
upaya pernapasan. Ventilasi maksimal meningkatkan gerakan
sekret kedalam jalan napas bebas untuk dilakukan.
d. Mencegah obstruksi /aspirasi penghisapan dapat diperlukan bila
klien tak mampu mengeluaran sekret.
e. Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengecerkan sekret
membuatnya mudah dilakukan.
f. Mencegah pengeringan mambran mukosa, membantu
pengenceran sekret.

23
g. Menurunkan kekentalan dan perlengketan paru, meningkatkan
ukuran kemen percabangan trakeobronkial berguna padu adanya
keterlibatan luas dengan hipoksemia.

2. Hipertermia berhubungan dengan infeksi oleh mycobacterium


tuberculosa
1) Tujuan : Suhu tubuh kembali normal
2) Kriteria hasil : Suhu tubuh dalam rentang normal (360 C - 370C)
3) Intervensi
a. Pantau suhu tubuh
b. Anjurkan untuk mempertahanan masukan cairan adekuat untuk
mencegah dehidrasi
c. Berikan kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur
d. Anjurkan pasin untuk memakai pakaian yang menyerap keringat
e. Kolaborasi pemberian antipiretik
4) rasional :
a. Sebagai indikator untk mengetahui status hipertermi
b. Dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang memicu
timbulnya dehidrasi
c. Menghambat pusat simpatis dan hipotalamus sehingga terjadi
vasodilatasi kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk
mengurangi panas tubuh melalui penguapan
d. Kondisi kulityang mengalami lembab memicu timbulnya
pertumbuhan jamur. Juga akan mngurangi kenyamanan pasien.
e. Mengurangi panas dengan farmakologis

3. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan


dengan keletihan, anorerksia atau dispnea
1) Tujuan : terjadi peningkatan nafsu makan, berat badan yang stabil dan
bebas tanda malnutrisi
2) Kriteria hasil
 Klien dapat mempertahankan status malnutrisi yang adekuat
 Berat badan stabil dalam batas yang normal

24
3) Rencana tindakan
a. Mencatat status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, integritas
mukosa oral, riwayat mual / muntah atau diare.
b. Pastikan pola diet biasa klien yang disukai atau tidak
c. Mengkaji masukan dan pengeluaran dan berat badan secara periodic
d. Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan
e. Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein
dan karbohidrat.
f. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetukan komposisi diet.
4) Rasional
a. Berguna dalam mendefenisikan derajat / wasnya masalah dan
pilihan indervensi yang tepat.
b. Membantu dalam mengidentifukasi kebutuhan / kekuatan khusus.
Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masakan
diet.
c. Berguna dalam mengukur keepektifan nutrisi dan dukungan cairan
d. Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputun atau obat untuk
pengobatan respirasi yang merangsang pusat muntah.
e. Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tak perlu
/ legaster.
f. Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi
adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diet.

4. Risiko terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan kurangnya


pengetahuan tentang resiko patogen.
1) Tujuan : klien mengalami penurunan potensi untuk menularkan
penyakit seperti yang ditunjukkan oleh kegagalan kontak klien untuk
mengubah tes kulit positif.
2) Kriteria hasil : klien mengalami penurunan potensi menularkan
penyakit yang ditunjukkan oleh kegagalan kontak klien.
3) Rencana tindakan.
a. Identifikasi orang lain yang berisiko. Contah anggota rumah,
sahabat.

25
b. Anjurkan klien untuk batuk / bersin dan mengeluarkan pada tisu
dan hindari meludah serta tehnik mencuci tangan yang tepat.
c. Kaji tindakan. Kontrol infeksi sementara, contoh masker atau
isolasi pernafasan.
d. Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengatifan berulang
tuberkulasis.
e. Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
f. Kolaborasi dan melaporkan ke tim dokter dan Depertemen
Kesehatan lokal.
4) Rasional
a. Orang yang terpajan ini perlu program terapi obat intuk mencegah
penyebaran infeksi
b. Perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi
c. Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi klien dengan
membuang stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular
d. Pengetahuan tentang faktor ini membantu klien untuk mengubah
pola hidup dan menghindari insiden eksaserbasi
e. Periode singkat berakhir 2 sampai 3 hari setelah kemoterapi awal,
tetapi pada adanya rongga atau penyakit luas, sedang resiko
penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan
f. Membantu mengidentifikasi lembaga yang dapat dihubungi untuk
menurunkan penyebaran infeksi

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi


tentang proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan dirumah.
1) Tujuan : klien mengetahui pengetahuan imformasi tentang penyakitnya
2) Kriteria hasil : Klien memperlihatkan peningkatan tingkah
pengetahuan mengenai perawatan diri.
3) Rencana tindakan
a. Kaji kemampuan klien untuk belajar mengetahui masalah,
kelemahan, lingkungan, media yang terbaik bagi klien.
b. Identifikasi gejala yang harus dilaporkan keperawatan, contoh
hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas.

26
c. Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan
dan alasan pengobatan lama,kaji potensial interaksi dengan obat
lain.
d. Kaji potensial efek samping pengobatan dan pemecahan masalah.
e. Dorong klien atau orang terdekat untuk menyatakan takut atau
masalah, jawab pertanyaan secara nyata.
f. Berikan intruksi dan imformasi tertulis khusus pada klien untuk
rujukan contoh jadwal obat.
g. Evaluasi kerja pada pengecoran logam / tambang gunung,
semburan pasir.
4) Rasional
a. Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan
pada tahapan individu.
b. Dapat menunjukkan kemajuan atau pengaktifan ulang penyakit
atau efek obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
c. Meningkatkan kerjasama dalam program pengobatan dan
mencegah penghentian obat sesuai perbaikan kondisi klien.
d. Mencegah dan menurunkan ketidaknyamanan sehubungan dengan
terapi dan meningkatkan kerjasama dalam program.
e. Memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan konsepsi /
peningkatan ansietas.
f. Informasi tertulis menurunkan hambatan klien untuk mengingat
sejumlah besar informasi. Pengulangan penguatkan belajar.
Terpajan pada debu silikon berlebihan dapat meningkatkan resiko
silikosis, yang dapat secara nagatif mempengaruhi fungsi
pernafasan.

6. Kerusakan pertukaran gas sehubungan dengan penurunan


permukaan efektif proses dan kerusakan membran alveolar – kapiler.
1) Tujuan : Pertukaran gas berlangsung normal
2) Kriteria hasil :
 Melaporkan penurunan/ tak adanya dispnea
 Klien menunjukan tidak ada gejala distres pernapasan

27
 Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat
dengan GDA dalam rentang normal
3) Rencana tindakan
a. Kaji dispnea, takipnea, menurunya bunyi napas, peningkatan
upaya pernapasan terbatasnya ekspansi dinding dada
b. Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat sionosis
perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa
c. Tujukkan / dorong bernapas bibir selama ekshalasi
d. Tngkatkan tirah bang / batasi aktivitas dan bantu aktivitas
perawatan diri sesuai keperluan
e. Awasi segi GDA / nadi oksimetri
f. Berikan oksigen tambahan yang sesuai
4) Rasional
a. TB paru menyebabkan efek luas dari bagian kecil bronko
pneumonia sampai inflamasidifus luas. Efek pernapasan dapat dari
ringan sampai dispnea berat sampai distress pernapasan
b. Akumulasi sekret . pengaruh jalan napas dapat menganggu
oksigenasi organ vital dan jarigan
c. Membuat, sehingga tahanan melawan udara luar, untuk mencegah
kolaps membantu menyebabkan udara melalui paru dan
menghilangkan atau menurtunkan napas pendek
d. Menurunkan konsumsi oksigen selama periode menurunan
pernapasan dapat menurunkan beratnya gejala
e. Penurunan kandungan oksigen (PaO2) dan atau saturasi atau
peningkatan PaCO2 menunjukan kebutuhan untuk intervensi /
perubahan program terapi
f. Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder
terhadap penurunan ventilasi atau menurunya permukaan alveolar
paru.

7. Ganggguan pemenuhan kebutuhan tidur sehubungan daerah sesak


napas dan nyeri dada.
1) Tujuan : kebutuhan tidur terpenuhi
2) Kriteria hasil :
28
 Memahami faktor yang menyebabkan gangguan tidur
 Dapat menangani penyebab tidur yang tidak adekuat
 Tanda – tanda kurang tidur dan istirahat tidak ada
3) Rencana tindakan
a. kaji kebiasaan tidur penderita sebelum sakit dan saat sakit
b. Observasi efek abot – obatan yang dapat di derita klien
c. Mengawasi aktivitas kebiasaan penderita
d. Anjurkan klien untuk relaksasi pada waktu akan tidur.
e. Ciptakan suasana dan lingkungan yang nyaman
4) Rasional
a. Untuk mengetahui sejauh mana gangguan tidur penderita
b. Gangguan psikis dapat terjadi bila dapat menggunakan
kartifosteroid temasuk perubahan mood dan uisomnia
c. Untuk mengetahui apa penyebab gangguan tidur penderita
d. Memudahkan klien untuk bisa tidur
e. Lingkungan dan siasana yang nyaman akan mempermudah
penderita untuk tidur.

4. Implementasi
Pada implementasi, perawat melakukan tindakan berdasarkan perencanaan
mengenai diagnosa yang telah dibuat sebelumnya.

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan. Semua tahap
proses keperawatan (Diagnosa, tujuan untervensi) harus di evaluasi, dengan
melibatkan klien, perawatan dan anggota tim kesehatan lainnya dan bertujuan
untuk menilai apakah tujuan dalam perencanaan keperawatan tercapai atau
tidak untuk melakukan perkajian ulang jika tindakan belum hasil.
Ada tiga alternatif yang dipakai perawat dalam menilai suatu tindakan berhasil
atau tidak dan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai dalam
jangka waktu tertentu sesuai dengan rencana yang ditentukan, adapun alternatif
tersebut adalah :
1. Tujuan tercapai

29
2. Tujuan tercapai sebagian
3. Tujuan tidak tercapai (Budi Anna Keliat, SKP, th 1994, hal 69)

Sesuai dengan rencana tindakan yang telah di berikan, dilakukan penilaian


untuk melihat keberhasilannya. Bila tidak/belum berhasil perlu disusun
rencana baru yang sesuai. Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP
secara operasional.

30
DAFTAR PUSTAKA

Mutaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika

Mansjoer,Arif. Kapita Selekta.Edisi III.Jilid I.jakarta.media Aesculapius. 2001.

Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Anynomous. 2013. Asuhan Keperawatan Klien Tuberculosis (TBC). Diunduh di


http://indonesiannursing.com/asuhan-keperawatan-klien-tuberkulosistbc/ pada tanggal 3
September 2014

31

Anda mungkin juga menyukai