Anda di halaman 1dari 11

TRAFFICKING DI TINJAU DARI KUHP

SERTA PERANAN PEMERINTAH


DALAM MENGANTISIPASI HUMAN
TRAFFICKING

Perdagangan anak dan perempuan (trafficking) di Indonesia sedang mengalami


masalah yang cukup serius.Secara objektif kondisi buruk anak anak Indonesia masih belum
teratasi secara utuh .Masalah anak sangat mmbutuhkan perhatian dan perlindungan hukum
secara khusus (children in need special protection) yang sudah ada sebelum krisis ekonomi
melanda bangsa ini .Buruh anak ,anak jalanan,anak yang di lacurkan,perdagangan anak ,anak
berkonflik dengan hukum dan beragam macam eksplotasi hak anak lainnya masih
mengelantung dalam totalitas pencideraan Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Salah satu isu penting yang belum mendapat perhatian serius dari pemerintah adalah
masalah perlindungan hokum bagi korban trafficking.Kendatipun sejumlah instrument
internasional telah di adopsi ,diratifikasi atau ditandatangani,namun sampai saat ini isu child
trafficking masih belum memperoleh intervensi yang signifikan.

Selama ini ,perdagangan anak dan perempuan dianggap sebatas bentuk prostitusi,namun
kenyataannya banyak hal dan bentuk bentuk lain diantaranya kerja paksa,perdagangan obat
terlarang ,perdagangan organ tubuh ,buruh migrant,anak jalanan dan pekerja anak di jermal
baik untuk konsumsi dalam negeri bahkan mencakup lintas transnasional.

Didalam konteks hukum nasional unsur unsur tindak pidana trafficking mengacu kepada
protocol PBB sebagai norma yang baru maka batasan dan rumusan delik trafficking menurut
protocol belum di temukan secarah utuh didalam ketentuan hukum nasional.

Berdasarkan pengertian protokol,maka trafficking mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. Adanya perbuatan perlintasan terhadap orang ,yakni :

a. Perekrutan (recruitmen)
b. Pengangkutan (transportation)

c. Pemindahan (transfer)

d. Melabuhkan (harbouring)

e. Menerima (receipt)

2. Adanya modus perbuatan yang di larang,yakni :

a. Penggunaan ancaman (use of force)

b. Penggunaan bentuk tekanan lain (other formsof coercion)

c. Penculikan

d. Kecurangan

e. penipuan

f. Penyalahgunaan kekuasaan

g. Kedudukan bersiko (a position of vulnerability)

3. Adanya tujuan atau akibat dari perbuatan yakni eksploitasi manusia,seperti eksploitasi
protitusi,eksploitasi seksual,kerja paksa,perbudakan,praktek serupa
perbudakan,perhambahan,peralihan organ tubuh dan lainnya.

Secara yuridis,rumusan delik trafficking in person ke dalam undang undang mutlak di


perlukan untuk kriminalisasi perbuatan.Rumusan delik ini belum ada dalam hukum nasional
sehingga bagi para penegak hukum yang menganut paham legalistic dan formalistic sulit
menemukan hukum (rechvinding)dan membentuk hukum (rechvorming) yang baru terhadap
peristiwa yang konkrit melalui mekanisme pengadilan.Padahal,hakim berwenang untuk
menggali nilai nilai sosiologi yang aktul dalam masyarakat.Kendatipun UU No.23 Tahun
2003 tentang Perlindungan Anak sudah mengkriminalisasi kejahatan perdagangan anak
,namu progresivitas norma UU No.23/2002 masih setengah hati“,yang melahirkan multi
ininterpretasi yang menyisakan kekosongan hokum (recht vacuum).Hal ini dikarenakan
secara legalitik belum mengatur rumus delik,ruang lingkup perlindungan ,serta bentuk bentuk
rehabilitasi ,pemulihan ,dan repatriasi saksi dan korban.

Mengingat kompleksnya masalah kejahatan trafficking,maka diperlukana adanya peraturan


perundang undangan yang mengatur secara khusus tentang kejahatan ini.

Perdagangan anak dan perempuan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia


(HAM),fenomenaperdagangan manusia di seluruh dunia ,terus berkembang dan berubah
dalam bentuk dan kompleksitasnya,yang tetap hanyalah kondisi eksploitatifnya yang
ditujukan kepada manusia ,karena agen,kolektor dan sindikat perdagangan manusia sudah
semakin canggih dan terorganisir secara rapi.

Pada saat ini,belum ada definisi hukum yang baku tentang perdagangan anak di Indonesia
baik dalam KUHP maupun Peraturan perundang undangan lainnya.Perdagangan manusia
telah dinyatakan secara eksplisit dalam KHUP dan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.

Pasal 297 KHUP menyatakan bahwa :”perdagangan wanita dan perdagangan anak laki laki
yang belum dewasa,diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.

Pasal 65 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa : “setiap
anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan
seksual,penculikan,perdagangan ank,serta berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika
,psikotropika,dan zat adiktif lainnya.

Pasal 297 KHUP diatas tidak menjelaskan batasan usia bagi anak anak dan definisi
perdagangan anak secara jelas serta unsur unsur yang terkait kedalam kejahatan
trafficking.Sedangkan Pasal 65 UU 39 Tahun 1999 tidak menjelaskan sanksi hukum bagi
pelaku kejahatan trafficking ,disamping itu tidak menjelaskan perlindungan hukum bagi
korban atau saksi saksi ,konfensasi untuk korban serta aspek aspek penting dari
penanggulangan perdagangan anak yang direkomendasikan oleh konvensi
internasional.Sehingga dalam prakteknya ,pasal pasal ini sulit digunakan untuk menjerat para
pelaku kejahatan kemanusiaan ini.
Banyak undang –undang yang dapat digunakan untk menjerat para pelaku perdagangan anak
dan kejahatan eksploitasi seksual anak di bawah umur.Hal ini bertujuan untuk melindungi
hak-hak anak ,antara lain :

1. Kitab Undang Undang Hukum Pidana

a. Pasal 285 KUHP : “barabg siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan,diancam melakukan
pemerkosaan dengan pidanan penjara paling lama dua belas tahun.

b. Pasal 287 KUHP : “barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar
perkawinan,padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya
belum 15 (lima belas) tahun,atau kalau umurnya tidak jelas ,bahwa belum waktunya
di kawini,diamcam dengan penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Pasal 287 ayat (2) KUHP : “penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan,jika umur
wanita belum sampai 12 (dua belas)tahun,atau jika salah satu hal berdasarkan pasal
291 dan pasal 294”.

c. Pasal 288 KHUP (1) : “barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan wanita yang
diketahuinya atau sepatutnya diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya
untuk di kawini,apabila perbuatan mengakibatkan luka luka diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun”.

Ayat (2) : :jika perbuatan mengakibatkan luka luka berat,dijatuhkan pidanan paling
lama delapan tahun”.

Ayat (3) : “jika mengakibatkan mati,dijatuhi pidana penjara paling lama dua belas
tahun”.

d. Pasal 289 KUHP : “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul,diancam karena
perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun”.
e. Pasal 290 Ayat (2) : “barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya,bahwa umurnya belum lima
belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas ,yang bersangkutan belum waktunya
dikawini

Ayat (3) : “barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau harus
sepatutunya diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya
tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawini,untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul,atau bersetubuh di luar perkawinan dengan
orang lain”.

f. Pasal 291 KUHP (1) : “jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 286,287,289 dan
290 mengakibatkan luka luka berat,dijatuhkan pidanan penjara paling lama dua belas
tahun”.

Ayat (2) : “jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 285,286,287,289 dan 290
mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

g. Pasal 292 KUHP : “orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
sesame kelamin,yang diketahuionya atau sepatutnya harus diduganya belum
dewasa,diancam hukuman dengan pidana penjara paling lama liam tahun”.

h. Pasal 293 Ayat (1) KUHP : “ barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau
barang,menyalahgunakan pembawa yang dari hubungan keadaan,atau dengan
penyesatan sengaja menggerakkan seseorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia ,padahal
belum kedewasaannya diketahui atau selayaknya harus diduga,diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun”.

Ayat (2) : “penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang terhadap dirinya
dilakukan kejahatan”.

Ayat (3) : “tenggang waktu tersebut dalam Pasal 74 bagi pengadu ini adalah masing
masing sembilan bulan dan dua belas tahun”.
i. Pasal 294 Ayat (1) KUHP : “barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan
anaknya,anak tiri,anak angkat,anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa,atau
orang yang belum dewasayang pemeliharaannya,pendidikan atau penjagaannya
diserahkan kepadanya atau dengan bujangnya atau bawahannya yang belum
dewasa,diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Ayat (2) : “diancam dengan pidana yang sama:

1. “pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena


jabatannya adalah bawahannya,atau dengan orang yang penjagaannya
dipercayakan atau diserahkan kepadanya”.

2. pengurus,dokter,guru,pegawai,pengawas,atau pesuruh dalam


penjara,tempat pekerjaan Negara,tempat pendidikan,rumah piatu,rumah
sakit,rumah sakit jiwa atau lembaga social,yang melakukan perbuatan
cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya”

j. Pasal 295 (1:1) KUHP : “diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahunbarang
siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannay perbuatan cabul
oleh anaknya,anak tirinya,anak angkatnya,atau anak di bawah pengawasannya yang
belum dewasa atau oleh orang yang belum dewasa yang
pemeliharaannya,pendidikannya atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun
oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur dengan orang lain”.

Ayat (1:2): “dengan pidana penjara paling lama empat tahun ,barang siapa dengana
sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul,kecuali yang tersebut
dalam butir (1) diatas,yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa
atau sepatutunya harus diduganya demikian,dengan orang lain

Pasal 295 Ayat (2): “jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencarian
atau kebiasaan,maka pidana dapat di tambah sepertiga”.

k. Pasal 296 KUHP : “barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan
perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain,dan menjadikannya sebagai mata
pencarian atau kebiasaan,diancam hukuman pidana penjara paling lama satu tahun
atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
l. Pasal 297 KUHP: “perdagangan wanita dan perdagangan anak laki laki yang belum
dewasa,diancam dengan pidana paling lama enam tahun”.

m. Pasal 298 KUHP: “ dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam
Pasal 281,284 s/d 290 dan Pasal 292 s/d 297,pencabuitan hak hak berdasarkan Pasal
35No.1 s/d 5 dapat dinyatakan”.

Ayat (2): “ kjika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 292
s/d 297 dalam melakukan pencariannya,maka untuk melakukan pencarian itu ada”.

n. Pasal 506 KUHP: “barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang
wanita dan menjadikannya sebagai pencarian,diancam dengan pidana kurungan paling
lama satu tahun”.

Beberapa pasal-pasal KUHP diatas merupakan delik aduan yang mengatur batasan umur
lima belas tahun sebagai syarat untuk memenuhi unsur kejahatan ini,dengan
pengecualiaan anak dibawah umur lima belas tahun dapat dipidana jika terbukti
melakukan kejahatan trafficking.Pasal ini juga kontradiktif jika dibandingkan batas umur
anak yang diatur dalam peraturan perundang undangan lain.Batasan usia anak dalam
pengertian pidana dirumuskan dengan jelas dalam pasal 1 ayat (1) UU No.3 1977 Tentang
Peradilan Anak “ Anak adalah orang yang dalam perkara anaka anakala telah mencapai 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun,dan belum pernah kawin”.Batasan
usia anak pada hakikatnya mempunyai keaneka ragaman bentuk dan
spesifikasi.maksudnaya,pengelompokan batas usia maksimum anak sangat tergantung
dari kepentingan hukum anak bersangkutan,yang terpenting adalah : “seseorang dapat
digolongkan dalam usia anak minimum,yaitu nol (0) tahun batas penuntutan 8 (delapan)
tahun sampai dengan batas 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.Batasaan
usia anak sebagai salah satu unsur yang menetukan sesorang dianggap melakukan
kejahatan pidana menjadi polemic bagi hakim untuk menerapkan atau menjatuhkan
hukuman bagi pelaku kejahatan,hal ini disebabkan perbedaan batas usia yang berbeda
beda menurut peraturan perundang undangan yang berbeda pula.Sehingga penjatuhan
putusan oleh majelis hakim sering mengacu kepada tuntutan yang diajukan Jaksa
Penuntut Umum.
Lemahnya perangkat hukum untuk mkenjerat actor kejahatan trafficking banyak
disebabkan oleh sanksi hukum yang diterapkan oleh hakim berdasarkan KUHP dan
tuntutan Jaksa Penuntut Umum semata,selain minimnya pasal pasal yang ada,KUHP
menganut system pengancaman maksimal tanpa batasan ancaman minimal .Seperti Pasal
297 KUHP yang berbunyi : “memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki-laki
belum dewasa dihukum penjara selama-lamanya enam tahun”.Jika kita bandingkan
dengan UU Perlindungan anak,maka ketentuan ketentuan tentang tindak pidananya lebih
tepat untuk diterapkan bagi actor pelaku kejahatan trafficking,karena selain menganut
sisitem ppemidanaan maksimal juga mengatur hukuman minimal dan ancaman pidananya
juga berat,seperti yang diatur dalam pasal 83 UU No.23 tahun 2002 sebagai berikut :
“setiap orang yang memeperdagangakan,menjual,atau menculik anak untuk diri sendiri
atau dijual dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahundan paling singkat 3 (tiga)
tahun,denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.

Pada dasarnya Pasal 297 KUHP telah mengatur secara umum larangan perdagangan anak
dan perempuan dibawah umur yang merupakan kwalifikasi kejahatan,karena tindakan
tersebut tidak manusiawi dan layak mendapat sanksi pidana yang sesuai.Namun
ketentuan Pasal 297 KUHP tersebut,pada saat ini tidak dapat diterapkan secara lintas
negara sebagai kejahatan internasional.Demian juga dengan pasal 324 KUHP yang
subtansinya tidak memadai lagi.

Selain KUHP,perlindungan terhadap perdagangan orang dibawah umur juga telah diatur
di dalam UU No.39 tahun 1999 tentang HAM.Undang undang ini merupoakan payung
hukum (umbrella act) bagi seluruh peraturan perundang undanganyang secara
subtansinya melindungi hak asasi manusia.Karena sifatnya umum,undang undang ini
belum bisa direrapkan secara langsung untuk menjerat pelaku kejahatan
trafficking,sehingga perlu suatu undang undang yang dapat melaksanakan undang undang
tersebut khususnya mengenai larangan dan perlindungan hukum bagi kejahatan
perdagangan perempuan dan anak.
Urgensi RUU

Program ekonomi, penyebarluasan informasi, dan akses pendidikan di wilayah rentan


perlu dilancarkan untuk pencegahan perdagangan manusia. Program ini juga lebih
berorientasi pada korban dan masyarakat agar lebih kebal dari jebakan perdagangan. Di
samping pemberdayaan korban, pelaku perdagangan manusia harus pula diberantas. Untuk
tujuan ini, kita memerlukan instrumen hukum yang memadai. Ternyata, materi hukum yang
kita punya sekarang tidak cukup untuk menanggapi kompleksitas kejahatan perdagangan
manusia. Beberapa aspek penting yang tidak memadai dalam perundang-undangan kita
meliputi definisi, sistem pembuktian kejahatan, dan perlindungan korban.

a. Problem definisi

Ada dua UU yang paling relevan dalam kejahatan ini, yaitu UU KUHP Pasal 297 dan
UU Perlindungan Anak tahun 2002 Pasal 83. Hanya saja kedua UU ini tidak memberi
definisi perdagangan manusia. Ketiadaan definisi ini membawa masalah serius dalam
penerapan kedua UU itu dalam kasus yang seharusnya dikategorikan sebagai perdagangan
manusia.

Problem ini ditemukan, misalnya, dalam kasus sindikat perdagangan perempuan di


bawah umur asal Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
(www.liputan6.com, 12/05). Dalam kasus ini ternyata pelaku hanya dituntut dengan tuduhan
mempekerjakan anak di bawah umur, menipu data tenaga kerja, atau menganiaya calon
TKW. Ancaman hukumannya 2,8 tahun penjara. Hukuman ini terlampau ringan
dibandingkan bila menggunakan Pasal 297 KUHP yang memiliki ancaman hingga 6 tahun
penjara.

Hal yang sama juga dialami untuk kasus penari telanjang ke Jepang atas nama jasa
impresariat yang terjadi baru-baru ini. Pihak kejaksaan menolak menggunakan Pasal 297
KUHP atas dasar korban sudah dewasa.

b. Kejahatan terorganisir

Pemidanaan praktik serupa perdagangan manusia dalam UU yang ada lebih fokus
pada kejahatan perorangan. Padahal nyata sekali praktik perdagangan manusia dilakukan
secara terorganisir. Secara teknis hukum, penyelidikan dan penyidikan kejahatan perorangan
dan teorganisir seharusnya berbeda. Demikian juga definisi hukum tentang kejahatan
terorganisir harus diuraikan jelas sebab kejahatan ini bisa berbasis pada hubungan
perkomplotan yang “kuat” ataupun “longgar”. Umumnya organisasi kejahatan perdagangan
manusia dilakukan sindikat dengan organisasi tanpa struktur, tetapi melibatkan beberapa
orang, termasuk bekerja sama dengan aparat yang menyalahgunakan wewenangnya.

3. Perlindungan korban

Korban perdagangan manusia menderita secara jasmani dan batin. Ternyata, UU yang
ada tidak menyediakan bantuan yang memadai bagi korban.

Seharusnya ada bantuan untuk korban yang wajib diberikan menurut UU. Bantuan
bisa meliputi penanganan luka jasmani dan trauma, klaim atas hak sebagai pekerja, dan
kemudahan berurusan dengan proses hukum sebagai korban tindak pidana. Yang terakhir ini
adalah kunci keberhasilan penuntutan hukum perdagangan manusia.

Ketiga aspek penting ini merupakan argumentasi dasar mengapa kita memerlukan UU
baru tentang pemberantasan perdagangan manusia. Untuk itu, DPR dan pemerintah perlu
bekerja keras agar Indonesia memiliki UU antiperdagangan manusia yang komprehensif dan
memadai diterapkan.

PERANAN PEMERINTAH DALAM MENGANTISIPASI BAHAYA HUMAN TRAFFICKING :

Trafficking adalah tindakan perekrutan, penampungan,pemindahan atau penerimaan


seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan,penipuan,penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Bentuk-bentuk Human Trafficking:

1. Kerja paksa seks dan eksploitasi seks

2. Pembantu Rumah Tangga (PRT)

3. Bentuk lain dari kerja migran

4. Penari, penghibur dan pertukaran budaya (terutama di luar negeri)

5. Pengantin pesanan, terutrama di luar negeri

6. Beberapa bentuk buruh/pekerja anak

7. Penjualan bayi melalui peerkawinan palsu, terutama di luar negeri.

Upaya Pemerintah Dalam Upaya Pencegahan dan Mengatasi Human Trafficking:

1. Berpedoman pada UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang (PTPPO).

2. Memperluas sosialisasi UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO.

3. Perlindungan anak (UU No. 23 Tahun 2003).

4. Pembentukkan Pusat Pelayanan Terpadu (PP No. 9 Tahun 2008 tentang tata cara dan
mekanisme pelayanan terpadu bagi saksi atau korban TPPO).
5. Pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak
(Kepres No. 88/2002).

6. Pembentukkan Gugus Tugas PTPPO terdiri dari berbagai elemen pemerintah dan
masyarakat (PERPRES No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan TPPO).

7. Penyusunan draft Perda Trafficking.

Upaya yang dilakukan kedepan untuk pencegahan Human Trafficking

1. Penyadaran masyarakat untuk mencegah trafficking melalui sosialisasi kepada berbagai


kalangan (Camat, Kepala Desa/Lurah,Guru, Anak Sekolah).

2. Memperluas peluang kerja melalui pelatihan keterampilan kewirausahaan, pemberdayaan


ekonomi dan lain-lain.

3. Peningkatan partisipasi pendidikan anak-anak baik formal maupun informal.

4. Kerjasama lintas kabupaten/provinsi dalam rangka pencegahan dan penanganan


trafficking.

Kewajiban masyarakat dalam mencegah human trafficking yaitu wajib berperan serta
membantu upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang
dengan memberikan informasi/laporan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada
pihak berwajib. Dan dalam melakukan hal tersebut masyarakat berhak memperoleh
perlindungan hukum.

Anda mungkin juga menyukai