Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN.

Ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih

kembali . Pada pasien gagal ginjal kronik mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak

bisa disembuhkan dan memerlukan pengobatan berupa hemodialisis, dialisis peritoneal,

transplantasi ginjal dan rawat jalandalam jangka waktu yang lama (Black & Hawks, 2014) .

Hemodialisis (HD) adalah pengobatan dengan alat yaitu Dialyzer, tujuan utama dari

hemodialisis yaitu menyaring dan membuang sisa produk metabolism toksik yang seharusnya

ditangani oleh ginjal dan di buang atau di saring oleh ginjal (Rahman, Rudiansyah, &

Triawanti, 2013).

Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2013) dan Burden of disease,

Gagal Ginjal Kronik telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia. Penyakit ginjal dan

saluran kemih telah menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini

menunjukan bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi angka kematian. Angka

kejadian gagal ginjal di dunia secara global lebih dari 500 juta orang dan yang harus

menjalani hidup dengan bergantung pada cuci darah (hemodialisa) sebanyak 1,5 juta orang

dengan insidensi pertumbuhan 8% per tahun (WHO, 2013).Gagal ginjal kronik memiliki

prevalensi global yang tinggi dengan prevalensi GGK global yang konsisten antara (11%)

sampai (13%) dengan mayoritas stadium tiga (Hill dkk., 2016).

Di Amerika Serikat angka kejadian penyakit ginjal meningkat tajam dalam 10 tahun,

dari data tahun 2002 terjadi 34.500 kasus, tahun 2007 menjadi 80.000 kasus, dan pada tahun

2010 mengalami peningkatan yaitu 2 juta orang yang menderita penyakit ginjal. Dari data

tersebut pravelensi penyakit ginjal kronik meningkat hingga 43% selama decade tersebut

(Lukman et al., 2011 ). Pada Desember 2014, terdapat 678.383 kasus ESRD, berdasarkan

prevalensi yang tidak disesuaikan (proporsi kasar) terdapat 2.067 orang per sejuta penduduk

Amerika Serikat. (United State Renal Data System [USRDS], 2016). Pada akhir tahun 2013,

ada sekitar 3,2 juta pasien yang dirawat karena penyakit ginjal stadium akhir yang secara

signifikan lebih tinggi dari pada tingkat pertumbuhan penduduk. Dari 3,2 juta pasien tersebut,

sekitar 2,5 juta orang menjalani perawatan dialisis (baik hemodialisis atau dialisis peritoneal),
dan sekitar 678.000 orang hidup dengan transplantasi ginjal (Fresenius Medical Care [FMC],

2014).

Hemodialisa merupakan terapi yang paling sering dilakukan oleh pasien gagal ginjal (
Son et al., 2009 ) menurut data IRR ( Indonesia Renal Regristry ) pada tahun 2015 mencatat
sebanyak 30.554 pasien PGK stadium V aktif menjalani dialisis. Pada bulan November 2011
dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah berkerjasama dengan Rumah Sakit Umum pusat
dr.Kariardi Semarang melakukan penelitian dengan hasil penderita gagal ginjal kronik
terbesar adalah kabupaten Surakarta dengan 54,2% dari jumlah total 56 ribu penderita.
Diperkirakan tiap tahun ada 2000 pasien baru. Berdasarkan data tersebut sekitar 60%-70%
dari pasien tersebut berobat dalam kondisi sudah masuk tahap gagal ginjal terminal.
Sedangkan untuk kabupaten Kebumen prevelensinya mencapai 3% atau sekitar 456
penderita (Dinkes Jateng, 2011).

Tujuan utama hemodialisa yaitu untuk mengendalikan uremia , kelebihan cairan dan

keseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien PGK ( Kallenbach et al.,2015 ).

Hemodialisa terbukti meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan memperpanjang

harapan hidup pasien PGK stadium V ( Nurcahyanti 2016 ).Nasional Institut of diabetes and

digestive and kidney disesases ( NIDDKD ) mencatat tingkat kelangsungan hidup pasien

menjalani hemodialisis selama satu tauhun berada pada angka 80 %, sedangkan selama dua

tahun 64 %, lima tahun 33 % , dan sepuluh tahun 10 %.

Hemodialisis masih menyebabkan banyak komplikasi meskipun sudah diikuti oleh

kemajuan teknologi. Sangat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi terutama di masa

awal hemodialisis dan komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Beberapa komplikasi

mungkin tidak mengancam kehidupan pasien tetapi memperburuk kualitas hidup pasien.

Manajemen yang tepat terhadap komplikasi ini akan memberikan kehidupan yang lebih

panjang dan kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien. Komplikasi akut hemodialisis

didefinisikan sebagai adanya manifestasi klinis terkait dengan hemodialisa yang terjadi

selama sesi dialisis atau dalam 24 jam pertama setelah dialisis. Komplikasi kardiovaskular

merupakan komplikasi akut yang paling umum dari hemodialisis saat ini.

Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal.

Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK) stadium V atau

gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang
cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani

HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan

hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan

cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HD

reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi

ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (HID) (Agarwal dan Light,

2010). Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik

(Daurgirdas et al., 2007).

Meskipun hemodialisis aman dan menjadikan pilihan bagi pasien gagal ginjal kronik

selain CAPD dan Tranplatansi , namun bukan berarti tanpa efek samping. Berbagai

komplikasi dapat terjadi saat pasien menjalani hemodialisis. Komplikasi intradialisis

merupakan kondisi abnormal yang terjadi saat pasien menjalani hemodialisis. Komplikasi

intradialisis yang umum dialami pasien antara lain hipotensi (Barkan, Mirimsky,

Katzir&Ghicavii, 2006). Daugirdas, et al (2007) dan Teta (2008) menyebutkan bahwa

frekwensi hipotensi intradialisis terjadi pada 20-30% dialisis. Komplikasi lainnya yang dapat

terjadi selama pasien menjalani hemodialisis adalah hipertensi intradialisis (Daugirdas, Blake

& Ing, 2007).

Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung.


Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala, sakit
dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan
Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik,
baik hipotensi maupun hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah
sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial,
kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas
et al., 2007).

Tabel 1. Komplikasi Akut Hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)

Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi,
infark jantung, tamponade, reaksi anafilaksis
Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak adekuat
Hipertensi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu
Reaksi Alergi cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
Aritmia Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
Udara memasuki sirkuit darah
Kram Otot Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel
Emboli Udara menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral
Dialysis disequilibirium Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat
.

Masalah pada dialisat / kualitas air


Chlorine Hemolisis oleh karena menurunnya kolom charcoal
Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus, gejala
neurologi, aritmia
Kontaminasi bakteri / Demam, mengigil, hipotensi oleh karena kontaminasi dari
endotoksin dialisat maupun sirkuit air

Tabel 2.10th Report Of Indonesian Renal Registry 2017

Insidensi penyulit pada saat HD di Indonesia Tahun 2017

Penyulit On HD 2015 2016 2017

Masalah Akses 4800 6121 11496


Pendarahan 808 1669 2258
First Use Syndrom 121 353 398
Alergi Thd Dialiser 98 72 586
Sakit
Kepala 4147 6850 11299
Mual& Muntah 3898 5761 8651
Kram otot 5581 8940 10348
Hipotensi 12507 16576 21412
Hipertensi 33400 42369 55533
Nyeri Dada 1134 2172 3009
Aritmia 399 570 612
Gatal-gatal 2798 5054 9448
Demam 1753 5054 4450
Menggigil 3990 2808 9286
Lain-lain 3003 5248 4189

Dari laporan IRR 2017 diatas bahya komplikasi kardiovaskuler menduduki urutan pertama

dan kedua yaitu hipertensi dan hipotensi, Melihat data diatas dan berdasarkan beberapa

penelitian yang dilakukan oleh Inrig et al.(2009) hipertensi intradialisis yaitu peningkatan

tekanan darah sistolik pasca dialysis dan predialisis dari Sistolik Blood Presure ( SBP ) > 10

mmhg . Menurur Penelitian yang dilakukan oleh Armiyati (2012 ) tentang komplikasi

intradialisis yang dialami pasien penyakit ginjal kronik saat menjalani hemodialisis

menunjukan bahwa 70 % pasien mengalami komplikasi berupa hipertensi.

METODE

Literatur review didapatkan referensi dengan menelusuri online jurnal ,halaman resmi

milik pemerintah atau halaman resmi tentang ilmu pengetahuan .pencarian literatur atau

artikel dengan mengumpulkan tema tentang hemodialisa dan factor factor yang berhubungan

dengan hemodialisa. Sumber literatur berbahasa inggris dan Indonesia dari tahun 2005

sampai 2019 analisa menggunakan Analisa populasi ,intervention, Berdasarkan

analisaditemukan tema antara lain yaitu : pencegahan,penyebab, pencegahan dan

penanganan

Hipertensi intradialisis

hipertensi intradialisis yaitu peningkatan tekanan darah sistolik pasca dialysis dan

predialisis dari Sistolik Blood Presure ( SBP ) > 10 mmhg menurut Inrig et al.(2009)

Sedangkan pengertian lain ,Hipertensi intradialisis adalah apabila tekanan darah saat dialisis

140/90 mmHg atau terjadi peningkatan tekanan pada pasien yang sudah mengalami

hipertensi pradialisis. Pasien juga dikatakan mengalami hipertensi intradialisis jika nilai

tekanan darah rata-rata (Mean Blood Pressure/ MBP) selama hemodialisis 107 mmHg atau

terjadi peningkatan MBP pada pasien yang nilai MBP pradialisis diatas norma. Hipertensi

intradialisis bukan common complication saat pasien menjalani hemodialisis (Daugirdas,


Blake, & Ing,2007; Teta, 2008). Namun penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda

karena hipertensi intradialisis banyak dialami pasien.

Kelebihan cairan pradialisis kemungkinan juga menjadi pemicu tingginya kejadian

intradialisis hipertensi. Kelebihan cairan memegang peranan penting dalam kejadian

hipertensi pada pasien hemodialisis (Schimdt, 2002; Tomson, 2009). Frekwensi hipertensi

intradialisis mengalami peningkatan dari jam pertama sampai jam ke empat. Kelebihan cairan

pada pasien HD dapat menimbulkan komplikasi lanjut, seperti hipertensi, aritmia,

kardiomiopati, uremic pericarditis, efusi perikardial, gagal jantung, serta edema pulmonal,

nyeri pleura, efusi pleura, uremic pleuritis, uremic lung, dan sesak nafas (Prabowo & Pranata,

2014). IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh tidak lebih dari 3% berat badan kering. Berat

badan kering ialah berat badan dimana tidak ada tanda-tanda klinis retensi cairan (Linberg,

2010). Semakin tinggi IDWG maka semakin besar jumlah kelebihan cairan dalam tubuh

pasien dan semakin tinggi risiko komplikasi. Penelitian Istanti (2014). Menurut Kanyar dan

Kalantar (2009) menambahkan IDWG antara 1,5-2,0 kg berpotensi 25% peningkatan risiko

kematian, lebih dari 4,0 kg berpotensi 28% peningkatan risiko kematian dan IDWG dibawah

1,5 kg berpotensi 26%-33% mengalami penurunan risiko kematian., hasil penelitian

(Gamayana,2014 )menunjukkan kejadian hipertensi intradialisis lebih banyak pada pasien

dengan hasil IDWG ≥ 1,6 kg.

Hipertensi paling banyak dialami pada jam ke empat sebanyak 70% yaitu 30%

responden mengalaminya selalu, 26% mengalaminya kadang-kadang, dan 14%

mengalaminya sering. Gambaran nilai tekanan darah sistolik, diastolik dan MBP pasien yang

hanya mengalami penurunan jam pertama dan meningkat bertahap mulai jam ke dua dan

mencapai nilai tertinggi pada jam ke empat yaitu tekanan sistolik sebesar 167,8 mmHg dan

diastolik sebesar 97,36 mmHg. MBP juga mengalami peningkatan pada jam ke empat, yaitu

terjadi peningkatan 9,53% dibandingkan jam sebelumnya. Penarikan cairan menyebabkan

turunnya volume cairan. Penelitian Zhou, et al (2006) menunjukkan bahwa nilai relative

blood volume (RBV) mengalami penurunan paling tinggi pada jam terakhir hemodialisis.

Penurunan RBV dan Total Body Volume (TBV) menurunkan aliran darah ke ginjal dan
menstimulasi pelepasan renin dan menyebabkan hipertensi karena renin merubah angiotensin

I menjadi angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi dan sekresi aldosteron (Smeltzer, et al,

2008).

Hubungan yang bermakna pada penelitian ini sesuai dengan penelitian Dewi (2010)

yang menyatakan bahwa semakin tinggi QB akan membuat ambilan darah yang semakin

cepat, sehingga akan berdampak pada terjadinya komplikasi intra maupun post HD. Pada

pasien PGK, ginjal tidak bisa mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan, dan

elektrolit, sehingga menyebabkan uremia (Padila, 2012). Hal ini yang harus dihindari dari

pasien PGK dengan menggunakan terapi hemodialisis. Pada terapi hemodialisis terdapat nilai

QB yang apabila nialinya semakin tinggi, maka bersihan ureumnya juga akan semakin tinggi

pula. Namun nilai QB harus diatur sesuai hasil konsensus Pernefri (2016) yang menyarankan

agar QB yang baik pada orang indonesia adalah <200 ml/menit.

Meskipun penelitan ini hasilnya berbeda dengan penelitian K/DOQI (2015), yang

menyatakan bahwa nilai QB yang baik dalam rentang 300-500 ml/menit, namun hal yang

menyebabkan perbedaan tersebut bukanlah kesalahan dalam penelitian, melainkan perbedaan

metode penelitian serta lokasi pengambilan datanya. Pengambilan data di RSD dr. Soebandi

pada sampel yang telah dilakukan hemodialisis selama empat jam, namun pada penelitian

K/DOQI sampel dilakukan hemodialisis minimal lima jam. Selain itu juga, perbedaan gen,

kekuatan jantung, dan gaya hidup pasien RSD dr. Soebandi Jember diduga berpengaruh pada

penelitian ini. Apabila nilai QB tinggi dan tidak diimbangi oleh kekuatan jantung, maka akan

mengakibatkan komplikasi intradialisis salah satunya hipertensi intradialisis. Hal ini

diakibatkan oleh adanya gap yang jauh antara tekanan darah pasien dengan QB, sehingga

tekanan darah pasien akan mencoba meneyesuaikan dengan nilai QB. Penelitian ini juga

memiliki hasil yang sesuai dengan peneltian Anggry (2016) yang menyimpulkan bahwa QB

merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kejadian hipertensi intradialisis.

Dari uraian diatas bahwa kelebihan cairan salah satu pemicu adanya komplikasi intra

dialysis terutama hipertensi intra dialysis.Rasa haus adalah keinginan yang disadari terhadap

kebutuhan akan cairan. Rasa haus biasa muncul apabila osmolalitas plasma mencapai 295
mOsm/kgr. Rasa haus pada pasien PGK juga terjadi akibat pembatasan cairan. Rasa haus

memang merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien yang menjalani hemodialisa

dengan pembatasan cairan (Mubarak & Chayatin, 2008, hlm. 73).

Kita sebagai perawat alangkah baiknya melakukan Eviden Base Praktis dari beberapa

penelitian yang ada salah satunya adalah penelitian Arfany (2014) menunjukkan bahwa

mengulum es batu lebih efektif dibanding dengan mengunyah permen karet. Es batu

memberikan sensasi dingin begitu juga jika pasien berkumur dengan obat kumur rasa mint

yang memberikan sensasi rasa dingin yang bisa disamakan dengan es batu..

Permasalahan yang akan timbul akibat peningkatan rasa haus adalah peningkatan

intake cairan dengan minum. Akibat peningkatan intake cairan tersebut akan timbul

kelebihan cairan sehingga terjadi berbagai komplikasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan

manajemen rasa haus. Manajemen rasa haus dapat dilakukan salah satunya dengan cara

berkumur menggunakan obat kumur dengan rasa mint. Daun mint atau nama latinnya adalah

mentha arvensis L mempunyai kandungan kimia antara lain: minyak atsiri 12%, mentol 80-

90%, menthon, d-piperition, heksanolfenil-asetat, etil amil karbinol, dan neomentol (Lukas,

2007). Sensasi dingin dari daun mint akan memberikan rasa nyaman serta membuat nafas

menjadi lebih segar. Kandungan antiseptik daun mint merupakan anti bakteri yang alami

sehingga daun mint dijadikan bahan obat kumur (Laseduw, 2014).

Kolaburasi managemen pemberian obat anti hipertensi, Berd asar kan Nati onal Kidn

ey Foun dation (2015) untuk mencapai target tekanan darah kurang kurang dari 130/80

mmHg yaitu mengkombinasi ≥ 2 jumlah obat antihipertensi.Patofisiologi terjadinya

hipertensi saat hemodialisis lebih sering terjadi akibat peningkatan tahanan perifer, Penelitian

yang dilakukan oleh Laudri, Oliver,Chou,Lee,Hsu,Chung,Liu & Fang ( 2006 ) menunjukan

bahwa pada pasien yang mengalami intradialysis terjadi peningkaytan tahanan perifer /

perifer vascular resistensi ( PVR ) yang signifikan. Peningkatan resistensi vaskuler dapat

dipicu oleh kelebihan cairan pradialisis juga akan meningkan tekanan darah selama dialysis.
Hiperternsi intradialisis dapat dicegah dengan edukasi tentang modifikasi gaya hidup

seperti penurunan berat badan,modifikasi diit,pembatasan garam dan cairan.Pengaturan QB

dan menghindari pemakaian dialiser dengan permukaan kecil juga mencegah hipertensi (

FMNCA,2007 ) ,Kallenbach et al,2005 ) management hipertensi intradialisis adalah observasi

tekanan darah dan nadi secara berkala , mengatur ulang Qb ,UFR dan TMP.

Hipotensi Intradialytic Hypotension (IDH)

Hipotensi Intradialytic Hypotension (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang

paling sering dari hemodialisis, mencapai 21412 kejadian ( Pernefri,2017) dari komplikasi

hemodialisis. IDH didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai munculnya

gejala spesifik mulai dari asimptomatik sampai dengan syok sehingga perlu penanganan tim

Medis/Perawat. Kebanyakan mendefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan

disertai munculnya gejala spesifik mulai dari asimptomatik sampai dengan syok. The EBPG

working group menekankan bahwa menurunnya tekanan darah, disertai dengan munculnya

gejala klinis yang membutuhkan intervensi medis harus dipikirkan kemungkinan munculnya

IDH. Beberapa literatur mengemukakan bahwa IDH ditandai dengan penurunan tekanan

darah sistolik ≥ 30 atau tekanan darah sistolik absolut dibawah 90 mmHg. Gambaran klinis

Hipotensi pada dialysis adalah: (i) akut (episodik) hipotensi, didefinisikan sebagai penurunan

tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah 90 mmHg atau paling tidak 20 mmHg diikuti

dengan gejala klinis, (ii) Rekuren (berulang), secara definisi sama seperti yang sebelumnya,

namun hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis, dan (iii) kronik, yaitu hipotensi persisten

yang didefinisikan sebagai tekanan darah interdialisis tetap dalam kisaran 90-100 mmHg.

Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan hipotensi intradialisis (Intradialytic hypotension)

sebagai suatu penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau penurunan Mean arterial

pressure (MAP) >10 mmHg dan menyebabkan munculnya gejala- gejala seperti: perasaan

tidak nyaman pada perut (abdominal discomfort); menguap (yawning); mual; muntah; otot

terasa kram (muscle cramps), gelisah, pusing, dan kecemasan. Penyebab dari IDH adalah

multifaktorial. Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan darah
selama hemodialisis: umur, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia, large

interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat antihipertensi. Penyebab IDH yang

berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat terjadi akibat instabilitas hemodinamik yaitu

sesi hemodialisis yang pendek, laju ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi,

konsentrasi sodium dialisat yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari membran

dan lain-lain.

IDH dapat dipandang sebagai suatu keadaan ketidakmampuan dari sistem

kardiovaskular dalam merespon penurunan volume darah secara adekuat. Respon adekuat

dari sistem kardiovaskular termasuk refleks aktivasi sitem saraf simpatetik, termasuk

takikardia dan vasokonstriksi arteri dan vena yang merupakan respon dari cardiac

underfilling dan hipovolemia. Adanya gangguan dalam mekanisme kompensasi ini akan

menyebabkan terjadinya IDH. Dalam konsep Plasma Refilling, Volume darah tergantung

dari dua faktor utama, yaitu kapasitas plasma refilling dan laju ultrafiltrasi. Selama sesi HD,

cairan dipindahkan langsung

dari kompartemen intravaskular. Jumlah total cairan tubuh (TBW), sekitar 60% dari

berat badan, didistribusikan di intraseluler (40% BW) dan sebagian lagi di kompartemen

ekstraselular (20% BW). Ekstraselular dapat dibagi lagi menjadi interstisial (15% BW) dan

intravaskular (5% BW). Sehingga hanya sekitar 5-8% dari TBW yang dapat diultrafiltrasi.

Sehingga untuk memindahkan sejumlah cairan substansial dalam jangka waktu tertentu,

kompartemen vaskular harus melakukan refilling secara terus menerus dari ruangan

interstisial. Dalam lingkaran fisiologis, penurunan volume darah akan menginisiasi

peningkatan resistensi vaskular perifer, dikarenakan vasokonstriksi, dan mempertahankan

cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate dan kontraktilitas miokard dan konstriksi

dari capacitance vessels. Orang sehat dapat mentoleransi penurunan volume sirkulasi darah

sampai 20% sebelum munculnya hipotensi. Namun, pada pasien dengan HD, hipotensi dapat

muncul hanya dengan penurunan volume darah dalam jumlah yang lebih sedikit.

Terganggunya respon kardiak berupa peningkatan heart rate dan kontraktilitas miokardium

dapat mencetuskan terjadinya IDH. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa adanya penyakit
jantung, yang menyebabkan disfungsi sistolik atau diastolik meningkatkan resiko terjadinya

IDH. Penurunan tekanan darah lebih besar pada pasien dengan disfungsi sistolik

dibandingkan dengan fungsi sistolik normal. Hipertrofi ventrikel kiri yang lebih berat dan

diastolic filling yang terganggu juga dijumpai pada pasien IDH. Plasma refill sebagian besar

diperankan oleh tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik. Selama sesi HD awal, tekanan

onkotik vaskular meningkat dan tekanan hidrostatik menurun sebagai hasil dari ultrafiltrasi

yang progresif. Perubahan gradien tekanan menyebabkan cairan bergerak ke dalam vaskular

sampai keseimbangan tercapai. Begitu seterusnya sampai sesi HD berakhir. Beberapa faktor

yang dapat mempengaruhi laju plasma refilling adalah: status hidrasi kompartemen

interstisial, osmolalitas plasma, dan konsentrasi plasma protein, konsentrasi sodium dialisat,

permeabilitas vaskular, dan venous compliance. Sehingga, IDH dapat muncul ketika

terjadinya ketidakseimbangan diantara laju ultrafiltrasi dan kapasitas plasma refilling yang

tidak bisa diatur oleh refleks kompensasi kardiovaskular. Cardiac underfilling terutama

ventricular underfilling merupakan salah satu mekanisme akibat terganggunya mekanisme

kompensasi kardiovaskular yang dapat memicu sympaticoinhibitory cardiodepressor Bezold-

Jarish reflex. Refleks ini berupa suatu keadaan bradikardia akibat gangguan respon simpatik

yang terganggu. Beberapa penelitian telah menunujukkan bahwa gangguan fungsi simpatik,

dapat ditunjukkan dengan beberapa manifestasi, seperti berkurangnya frekuensi heart rate.

Berkurangnya resistensi dan kapasitansi pembuluh darah selama penurunan volume darah

dapat memicu IDH. Berkurangnya konstriksi dari arteriolar dapat mengganggu respon

fisiologis terhadap keadaan hipovolemia. Berkurangnya konstriksi aktif dan pasif dari venula

dan vena, yang menyebabkan berkurangnya venous return selama hipovolemia. Dalam

tindakan prevensi dan penatalaksanaan hipotensi intradialisis dapat dilakukan hal sebagai

berikut :

- Edukasi asupan makanan (restriksi garam)

- interdialytik gain kurang dari 1 kg/hari


- Menghindari asupan makanan selama dialisis

- Gunakan mesin HD yang dapat mengendalikan UF

- Pengukuran berat badan kering

- Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialisis

- Penggunaan temperatur dialisat 35-36.5°C

- Periksa dosis dan waktu pemberian obat antihipertensi

- Evaluasi performa jantung (kolaborasi) - Memperpanjang waktu dialisis dan/atau

frekuensi dialisis

- Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1.50 mmol/L dan Na >140 mmol

Aritmia

Aritmia saat hemodialisis perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan disfungsi

miokard yang akan membahayakan pasien, bahkan mengakibatkan kematian. Aritmia

dikarakteristikkan dengan adanya perubahan pola denyut jantung dalam frekwensi, kekuatan

dan atau iramanya (Potter & Perry, 2005; Smeltzer, et al, 2008). Aritmia adalah komplikasi

intradialisis yang jarang dialami (Daugirdas, Blake & Ing, 2007; Teta, 2008).

Aritmia saat hemodialisis dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu: adanya

hipertensi, penyakit jantung (LVH, gagal jantung, Ischemic heart disease), penarikan kalium

yang berlebihan dan terapi digoxin (Thomas, 2003; FMNCA, 2007). Lebih lanjut FMNCA

(2007) menyebutkan bahwa faktor lain yang dapat meningkatkan resiko terjadinya aritmia

saat hemodialisis adalah usia lanjut, penarikan volume cairan ekstraseluler yang berlebihan,

ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, serta adanya disfungsi miokard. Aritmia juga

bisa meningkat pada kondisi cemas (Smeltzer, et al, 2008).

Aritmia adalah komplikasi yang sering diamati pada pasien hemodialisis yang

umumnya terjadi selama dan setelah dialisis. Etiologi dari aritmia terkait hemodialisis adalah

multi-faktorial. Terapi dialisis itu sendiri dapat menyebabkan perubahan yang menimbulkan
rangsangan pada miokardium. Hal ini terjadi karena perubahan komposisi cairan dalam

tubuh, PH dan konsentrasi panas dan elektrolit. Pasien dengan penyakit ginjal kronis yang

menjalani terapi dialisis rentan terhadap aritmia karena mereka biasanya memiliki pemberat

iskemik penyakit jantung, hipertrofi ventrikel kiri atau neuropati otonom. Obat-obat anti

aritmia yang digunakan oleh pasien mungkin juga terdialisis sehingga rentan terhadap aritmia

selama atau setelah hemodialisis. Prevalensi fibrilasi atrium sebagai salah satu jenis aritmia

dilaporkan sekitar 27% Dua jenis aritmia yaitu kompleks aritmia ventrikel dan kompleks

ventrikel prematur, meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas. NKF-DOQI

merekomendasikan bahwa karena kerentanan pasien hemodialisis untuk terjadi aritmia, maka

setiap pasien dialisis harus menjalani 12-lead EKG terlepas dari usianya. Dalam hal atrial

fibrilasi, penggunaan B blockers, calcium channel blockers dan amiodaron dapat bermanfaat

untuk mengontrol rate. Sedangkan indikasi menggunakan antikoagulan dalam mencegah

stroke pada pasien dengan fibrilasi atrium masalah dalam kontroversial karena kelompok

pasien HD rentan terhadap perdarahan. Saat ini, terapi antikoagulan dapat diterapkan dengan

cara yang sama seperti pada normal populasi, tetapi kerentanan pasien terhadap perdarahan

dan reaksi dengan obat lain yang mereka gunakan harus diingat dan dimonitor. Dosis harus

disesuaikan tergantung apakah obat yang digunakan dalam pengobatan adalah dialyzable dan

memiliki potensi efek samping yang harus dihindari.

Aritmia dapat dicegah dengan menggunakan dialisat yang rendah natrium,

menghentikan terapi digoksin pada saat hemodialisis dan mengendalikan penyakit jantung.

Aritmia yang terjadi saat hemodialisis perlu datasi dengan: memonitor EKG secara berkala,

monitor nilai kalium, kalsium dan magnesium, serta memberikan terapi anti aritmia

(Kallenbach, et al, 2005)

Kram otot

Kram otot dan nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan
ruang ekstrasel dan juga mencerminkan pergerakan elektrolit melewati membran otot
(Sudoyo, 2009). Meskipun penyebabnya tidak jelas, kram otot selama hemodialisis dilakukan
biasanya dapat terjadi. Pemanasan atau pemberian kompres hangat di area tersebut, dapat
dilakukan untuk membantu melancarkan sirkulasi darah dan meredam kram otot yang
dirasakan.Sedangkan pada metode cuci darah dialisis peritoneal, dapat dilakukan di rumah
dengan pengawasan dan arahan dari dokter. Hanya saja, metode cuci darah ini harus
dilakukan setiap hari secara rutin. Sebagaimana hemodialisis, cuci darah dialisis peritoneal
juga memiliki efek samping, meski berbeda.
Kram otot disebabkan adanya peningkatan kecepatan kontraksi atau penipisan otot
yang tidak dapat dikontrol, terjadi beberapa detik sampai menit dan menimbulkan rasa sakit.
Intradialytic muscle cramping, biasa terjadi pada ekstrimitas bawah (CAHS, 2008). Holley,
Berns dan Post (2007) serta Daugirdas, Blake dan Ing (2007) serta Teta (2008) menyebutkan
bahwa frekwensi kram saat hemodialisis 5-20% dari keseluruhan prosedur hemodialisis.
Penyebab kram otot selama hemodialisis tidak diketahui dengan pasti. Penelitian
dilakukan untuk mencari penyebabnya. Beberapa faktor resiko diantaranya: rendahnya
volume darah akibat penarikan cairan dalam jumlah banyak selama dialisis, perubahan
osmolaritas, ultrafiltrasi tinggi dan perubahan keseimbangan kalium dan kalsium intra atau
ekstrasel (Brass, et all, 2002; Thomas, 2003; Kallenbach, et al, 2003; FMCNA, 2007; CAHS,
2008). Garam yang berlebihan di dalam darah juga bisa menjadi faktor yang berhubungan
dengan terjadinya kram saat hemodialisis (CAHS, 2008). Kram juga bisa menyertai
komplikasi hemolisis (Kallenbach, et al, 2005).
Pada pasien hemodialisis karena ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik maka
terjadilah penumpukan asam sisa metabolisme, yang dapat mengganggu fungsi otot yaitu
asam laktat (Kitaoka, 2014; Zang, et al., 2015). Satu sampai dengan dua jam pertama proses
hemodialisis, terjadi pemecahan sel darah dalam jumlah besar sehingga terjadi kondisi stres
oksidatif untuk sementara pada setiap sel otot, yang dapat menyebabkan asam laktat
meningkat dan terjadilah kram (Mori, et al., 2014).
Pemanasan atau pemberian kompres hangat di area tersebut, dapat dilakukan untuk
membantu melancarkan sirkulasi darah dan meredam kram otot yang dirasakan. Pencegahan
kram otot saat hemodialisis dapat dilakukan dengan mengkaji berat badan kering secara tepat,
menghitung UFR secara tepat, menjaga suhu dialisat dan kolaborasi pemberian Quinine
Sulphate atau 400 unit vitamin E sebelum hemodialisis, serta memberikan edukasi tentang
penurunan berat badan. Namun bila kram sudah terjadi manajemen yang dilakukan adalah:
memberikan infus NaCl 0,9% bolus, menurunkan UFR, Quick of blood (Qb) dan TMP,
memberikan kompres hangat dan pemijatan serta memberikan Nefidipin 10 mg (Thomas,
2003; Daugirdas, Blake & Ing, 2007).

Mual dan Muntah


Mual dan muntah ditemui pada pasien hemodialisis sekitar 10%. Mual dan muntah
dapat menjadi komplikasi terkait dengan dialisis seperti sindrom disequilibrium, hipotensi,
reaksi alergi dan ketidakseimbangan elektrolit, mereka juga dapat menyertai sindrom koroner
akut, cerebrovascular event dan infeksi. Pasien dengan mual dan muntah harus dicari
penyebabnya. keluhan dispepsia dan gastritis, duodenitis, ulkus peptikum dan colelithiasis
juga meningkat pada kelompok pasien dialisis. Oleh karena itu, komplikasi mual muntah
terkait hemodialisis harus disisihkan pada pasien hemodialisis. Jika penyebab ini tidak hadir,
gejala gastrointestinal harus dinilai dan gastroskopi harus dilakukan. Mual dan muntah tidak
terkait dengan hemodinamik dapat membaik dengan pemberian 5 sampai 10 mg
metoclopramide sebelum dialisis. Penanganan terkait hemodialisis dan jika penyebabnya
hipotensi : turunkan Qb dan UF, bantu keperluan pasien seperti pemberian minyak gosok
pada daerah epigastrik, berikan kantong plastik muntah. Jika TD turun guyur NaCl 0,9% 100
ml sampai keadaan umum membaik.

Nyeri Kepala

The International Headache Society ICHD tahun 2004 memasukkan nyeri kepala
hemodialisis dalam klasifikasi sakit kepala. Untuk dapat disebut sebagai sakit kepala
hemodialisis, sakit kepala harus muncul setidaknya setengah dari sesi hemodialisis, terdapat 3
serangan sakit kepala akut saat sesi hemodialisa dan sakit kepala harus lega dalam waktu 72
jam setelah hemodialisis.35 Meskipun data prevalensi tidak pasti, namun ditemukan 30%
oleh Goksel35 dan Jesus AC et al9, menemukan prevalensi lebih rendah dari 6,7% pada
tahun 2009. Patofisiologi sepenuhnya tidak jelas dan faktor pemicu sakit kepala mungkin
disebabkan hipertensi, hipotensi, tingkat rendah natrium, penurunan osmolaritas serum,
tingkat rendah rennin plasma, sebelum dan sesudah dialisis kadar Bun dan rendahnya tingkat
magnesium Setelah memastikan bahwa tidak ada migrain, serebrovaskular event atau massa
intrakranial, langkah pertama dalam pengobatan adalah menyelidiki apakah ada sakit kepala
hemodialisis atau tidak. Jika diduga hemodialisis sakit kepala, faktor-faktor yang diduga
memicu sakit kepala harus dicari dan penggantian elektrolit diperlukan.
Penanganan sakit kepala terkait hemodialisis
- Kecilkan QB
- Observasi TTV terutama TD dan Nadi
- Kolaburasi dengan medik jika tekanan darah tinggi atau hipertensi emergensi
- Massage ringan area leher dan kepala.
- Mencari penyebab lain sakit kepala untuk intervensi sedlanjutnya.

Gatal

Gatal adalah salah satu gejala yang sering dijumpai pada penyakit ginjal kronis.
Keluhan gatal ditemukan di 50 sampai 60% dari pasien dengan gagal ginjal stadium akhir
yang sedang menjalani terapi dialisis.42 Meskipun etiologi uremik gatal tidak sepenuhnya
diklarifikasi, faktor bertanggung jawab adalah xerosis, neuropati perifer, peningkatan ion
divalen seperti kalsium,magnesium dan fosfor, peningkatan kadar hormon paratiroid, dan
histamin.1 Dalam mendiagnosis uremik gatal, pertama penyebab lain gatal harus
dikesampingkan. Berbagai terapi topikal dan sistemik telah dicoba dalam mengobati itu
selama bertahun-tahun, tapi ada pasien yang tidak mendapatkan keuntungan dari setiap terapi
tersebut. Untuk alasan ini, baik patogenesis dan pengobatan gatal terus diteliti hari ini.
Direkomendasikan terapi topical saat ini berupa krim pelembab dan krim yang mengandung
capsaicin. Metode pengobatan lainnya termasuk fototerapi, akupunktur, diet low protein,
lidocaine, arang aktif, cholestramine, efisien dialisis, heparin, antagonis opioid,
erythropoietin, paratiroidektomi, serotonin antagonis, thalidomide, anthistamin dan
nicergoline.

Demam menggigil

Demam disertai menggigil sering ditemukan pada pasien intradialisis, ini dapat
disebabkan akibat reaksi pirogen, reaksi tranfusi intradialisis, kontaminasi bakteri pada
sirkulasi darah. Bila demam ditemukan selama dirumah dan intradialisis bisa dimungkinkan
adanya infeksi lain seperti infeksi CDL, thrombosis AV Fitula, TB Paru, efusi pleura,
diferkulitis, dll. Penanganan yang dapat dilakukan : observasi TTV, berikan
selimut/penghangat, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi, pengaturan suhu
ruangan.

Dialysis disequilibirium

Sindrom disequilibrium dimanifestasikan oleh sekelompok gejala yang diduga terjadi


karena adanya disfungsi serebral. Kumpulan gejala disfungsi serebral terdiri dari sakit kepala
berat, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran yaitu disorientasi sampai koma (Thomas,
2003). Sindrom disequilibrium tidak banyak dialami pasien saat hemodialisis. Sindrom
disequilibrium saat hemodialisis biasa terjadi pada pasien dengan kondisi tertentu yaitu: 1)
Pertama memulai dialisis; 2) Usia lanjut dan anak-anak; 3) Adanya lesi saraf pusat (akibat
stroke atau trauma) atau kondisi yang meningkatkan edema serebral (hipertensi berat,
hiponatremi, dan ensefalopati hepatik); 4) Kadar ureum pradialisis yang tinggi, dan 5)
Asidosis metabolic yang berat (Lopezalmaraz, 2008; Mailloux, Bern & Post, 2007; FMNCA,
2007). Disfungsi serebral ini terjadi akibat edema serebral karena dialysis yang cepat dan
perubahan pH serta osmolalitas cairan (Lopezalmaraz, 2008).
Saat dialisis terjadi proses difusi salut melalui membran semipermeabel dialiser dan
dalam membran semipermeabel pada seluruh kompartemen tubuh dari kompartemen
intraseluler, interstistial dan intravaskuler. Proses difusi ini seharusnya sama agar terjadi
keseimbangan. Penarikan ureum yang terlalu cepat dari tubuh mengakibatkan plasma darah
menjadi lebih hipotonik dari pada cairan di dalam sel. Akibatnya akan meningkatkan tekanan
osmotik. Hal ini mengakibatkan perubahan signifikan pada cairan cerebrospinal dan sel otak.
Perubahan tekanan osmotik menyebabkan pergerakan air kedalam sel otak sehingga terjadi
edema serebral. Perubahan gradient CO2 antara cairan serebrospinal dan plasma juga
menyebabkan penurunan pH intraseluler dalam serebral dan jaringan otak. Perubahan ini
meningkatkan osmolalitas sel otak karena peningkatan konsentrasi H+. Edema otak akhirnya
akan menyebabkan disfungsi serebral (Thomas, 2003; Mailloux, Bern & Post, 2007;
Lopezalmaraz, 2008)
Untuk mencegah sindrom Dialisis Disequilibrium, sesi dialisis awal mungkin
dilakukan dengan aliran lambat dan dalam waktu yang lebih singkat, kadar natrium dapat
dinaikkan pada dialisat. Dalam aliran lambat dan singkat dialisis, mungkin berguna untuk
membatasi waktu sampai 2 jam dan laju aliran darah ke 200 ml / menit serta menggunakan
dialyzer dengan luas permukaan kecil. Tujuan dalam meningkatkan tingkat Na di dialisat
adalah untuk mengurangi perbedaan osmolaritas yang dihasilkan dari penghapusan urea cepat
dengan meningkatkan Na plasma. Penggunaan profil Na dan fixed high-Na dialisat dapat
digunakan dalam hal ini, tetapi tetap tidak terbukti efektif secara evidence. Oleh karena itu,
penggunaan dialisat mengandung 143-146 mmmol / L dianjurkan pada pasien dengan risiko
DDS. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perubahan osmolaritas dan DDS dapat
dikurangi dengan pemberian dialisat dengan kadar glukosa yang tinggi dan pemberian 1 gr /
kg manitol.
Pencegahan DDS juga bisa dengan cara menggunakan Dialyzer dengan luas
permukaan yang kecil, Quick of blood rendah dan Waktu dialisis yang pendek (Bagshaw,
Peets, Hameed, Boiteau, Laupland, & Doig, 2004). Pengaturan proses dialisis agar penurunan
ureum perlahan-lahan, dengan target penurunan 40% selama 2 jam bisa dilakukan pada saat
pertama dilakukan dialisis untuk mencegah DDS (Patel, Dalal, & Paneser, 2008) Pemberian
monitol, glukosa, fruktosa dan memakai dialysate tinggi sodium saat dialisis bisa digunakan
untuk mencegah terjadinya DDS ((Nicholls, 2001).
Adapun penatalaksanaan DDS Bila terjadi DDS laju aliran darah (QB) diturunkan
atau bila tidak membaik proses dialisis harus dihentikan, Berikan natrium klorida atau
glukosa atau larutan hipertonik, Jaga jalan nafas agar selalu lancar dan monitol intravena
segera diberikan untuk mengurangi edema serebral (Daugirdas, Blake, & Ing, 2007).

KESIMPULAN

Hipertensi menjadi menururt Pernefri menjadi penyulit saat menjalanihemodialisa ,Salah

satu penyebabnya adalah kenaikan cairan yang berlebih , dengan managemen cairan yang

baik akan mengurangi resiko hipertensi saat Hemodialisa ,Komplikasi akut pada pasien
hemodialis merupakan adanya manifestasi klinis terkait dengan hemodialisa yang terjadi

selama sesi dialisis atau dalam 24 jam pertama setelah dialisis. Hemodialisis masih

menyebabkan banyak komplikasi meskipun sudah diikuti oleh kemajuan teknologi. Sangat

penting untuk mencegah terjadinya komplikasi terutama di masa awal hemodialisis dan

komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Beberapa komplikasi mungkin tidak mengancam

kehidupan pasien tetapi memperburuk kualitas hidup pasien.

Seiring dengan kemajuan pengembangan ilmu keperawatan dan jurnal jurnal terbaru

tentang keperawatan terutama tentang hemodialisa . kita sebagai perawat yang menpunyai

fungsi penelitian, dengan mengaplikasikan jurnal jurnal yang ada atau Aplikasi Evidence

Based Practise untuk pengembangan pelayanan di unit hemodialisa. Aplikasi ini bisa

menjadikan solusi permasalahan yang ada selama ini.


DAFTAR PUSTAKA
Armiyati, Y. (2012). Komplikasi Intradialisis yang dialami Pasin CKD Saat Menjalani Hemo
dialisis di RSPKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Alwi Thamrin Nasution, Radar Radius Tarigan, Joshua Patrick Divisi Nefrologi-Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
KOMPLIKASI AKUT INTRADIALISIS
Anis Ardiyanti,Yunie Armiyati,M syamsul Arif, Pengaruh Kumur Dengan Obat Kumur
Terhadap Rasa Haus Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani
Hemodialisa Di SMC RS Telogorejo

Cahyono cucu, 2015, Komplikasi Intradialisis pada Pasien yang Menjalani Hemodialisa.
https://www.scribd.com/doc/253854758/Komplikasi-Intradialisis-Pada-Pasien-Yang-
Menjalani-Hemodialisis-1

Herlan Suherman, Penatalaksanaan Komplikasi Akut Pasien Hd,di sampaikan pada


pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional ( PITNAS ke 25

Jennifer Reilly Lukela, MD General Medicine, Management of Chronic Kidney Disease

Noval Alif Muharom, Suryono,Cicih Komariah, Hubungan Quick Blood dengan Kejadian
Hipertensi Intradialis Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium V di RSUD
Soebandi Jember

PERNEFRI, 2003, Konsensus dialisis. Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi–Bagian Ilmu
Penyakit dalam. FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta.

Tisher, C. C. & Wilcox, C. S., 1997, Buku saku nefrologi. Edisi 3. EGC, Jakarta
Yohanes Gamayana Trimawang Aji, GAMBARAN KEJADIAN HIPERTENSI
INTRADIALISIS PADA PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSAU DR.
ESNAWAN ANTARIKSA
Yuwono Imam Hadi, 2016. Penatalaksanaan Komplikasi Selama Dialisis: Dialysis
Disequilibrium syndrome ( DDS).
http://ipdi.or.id/data/PENATALAKSANAAN%20KOMPLIKASI%20SELAMA%20D
IALISIS.pdf

Anda mungkin juga menyukai