Penanganan Komplikasi On Dialisis
Penanganan Komplikasi On Dialisis
Ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih
kembali . Pada pasien gagal ginjal kronik mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak
transplantasi ginjal dan rawat jalandalam jangka waktu yang lama (Black & Hawks, 2014) .
Hemodialisis (HD) adalah pengobatan dengan alat yaitu Dialyzer, tujuan utama dari
hemodialisis yaitu menyaring dan membuang sisa produk metabolism toksik yang seharusnya
ditangani oleh ginjal dan di buang atau di saring oleh ginjal (Rahman, Rudiansyah, &
Triawanti, 2013).
Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2013) dan Burden of disease,
Gagal Ginjal Kronik telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia. Penyakit ginjal dan
saluran kemih telah menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini
menunjukan bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi angka kematian. Angka
kejadian gagal ginjal di dunia secara global lebih dari 500 juta orang dan yang harus
menjalani hidup dengan bergantung pada cuci darah (hemodialisa) sebanyak 1,5 juta orang
dengan insidensi pertumbuhan 8% per tahun (WHO, 2013).Gagal ginjal kronik memiliki
prevalensi global yang tinggi dengan prevalensi GGK global yang konsisten antara (11%)
Di Amerika Serikat angka kejadian penyakit ginjal meningkat tajam dalam 10 tahun,
dari data tahun 2002 terjadi 34.500 kasus, tahun 2007 menjadi 80.000 kasus, dan pada tahun
2010 mengalami peningkatan yaitu 2 juta orang yang menderita penyakit ginjal. Dari data
tersebut pravelensi penyakit ginjal kronik meningkat hingga 43% selama decade tersebut
(Lukman et al., 2011 ). Pada Desember 2014, terdapat 678.383 kasus ESRD, berdasarkan
prevalensi yang tidak disesuaikan (proporsi kasar) terdapat 2.067 orang per sejuta penduduk
Amerika Serikat. (United State Renal Data System [USRDS], 2016). Pada akhir tahun 2013,
ada sekitar 3,2 juta pasien yang dirawat karena penyakit ginjal stadium akhir yang secara
signifikan lebih tinggi dari pada tingkat pertumbuhan penduduk. Dari 3,2 juta pasien tersebut,
sekitar 2,5 juta orang menjalani perawatan dialisis (baik hemodialisis atau dialisis peritoneal),
dan sekitar 678.000 orang hidup dengan transplantasi ginjal (Fresenius Medical Care [FMC],
2014).
Hemodialisa merupakan terapi yang paling sering dilakukan oleh pasien gagal ginjal (
Son et al., 2009 ) menurut data IRR ( Indonesia Renal Regristry ) pada tahun 2015 mencatat
sebanyak 30.554 pasien PGK stadium V aktif menjalani dialisis. Pada bulan November 2011
dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah berkerjasama dengan Rumah Sakit Umum pusat
dr.Kariardi Semarang melakukan penelitian dengan hasil penderita gagal ginjal kronik
terbesar adalah kabupaten Surakarta dengan 54,2% dari jumlah total 56 ribu penderita.
Diperkirakan tiap tahun ada 2000 pasien baru. Berdasarkan data tersebut sekitar 60%-70%
dari pasien tersebut berobat dalam kondisi sudah masuk tahap gagal ginjal terminal.
Sedangkan untuk kabupaten Kebumen prevelensinya mencapai 3% atau sekitar 456
penderita (Dinkes Jateng, 2011).
Tujuan utama hemodialisa yaitu untuk mengendalikan uremia , kelebihan cairan dan
harapan hidup pasien PGK stadium V ( Nurcahyanti 2016 ).Nasional Institut of diabetes and
digestive and kidney disesases ( NIDDKD ) mencatat tingkat kelangsungan hidup pasien
menjalani hemodialisis selama satu tauhun berada pada angka 80 %, sedangkan selama dua
kemajuan teknologi. Sangat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi terutama di masa
awal hemodialisis dan komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Beberapa komplikasi
mungkin tidak mengancam kehidupan pasien tetapi memperburuk kualitas hidup pasien.
Manajemen yang tepat terhadap komplikasi ini akan memberikan kehidupan yang lebih
panjang dan kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien. Komplikasi akut hemodialisis
didefinisikan sebagai adanya manifestasi klinis terkait dengan hemodialisa yang terjadi
selama sesi dialisis atau dalam 24 jam pertama setelah dialisis. Komplikasi kardiovaskular
merupakan komplikasi akut yang paling umum dari hemodialisis saat ini.
Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK) stadium V atau
gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang
cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani
HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan
cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HD
reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi
ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (HID) (Agarwal dan Light,
2010). Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik
Meskipun hemodialisis aman dan menjadikan pilihan bagi pasien gagal ginjal kronik
selain CAPD dan Tranplatansi , namun bukan berarti tanpa efek samping. Berbagai
merupakan kondisi abnormal yang terjadi saat pasien menjalani hemodialisis. Komplikasi
intradialisis yang umum dialami pasien antara lain hipotensi (Barkan, Mirimsky,
frekwensi hipotensi intradialisis terjadi pada 20-30% dialisis. Komplikasi lainnya yang dapat
terjadi selama pasien menjalani hemodialisis adalah hipertensi intradialisis (Daugirdas, Blake
Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi,
infark jantung, tamponade, reaksi anafilaksis
Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak adekuat
Hipertensi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu
Reaksi Alergi cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
Aritmia Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
Udara memasuki sirkuit darah
Kram Otot Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel
Emboli Udara menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral
Dialysis disequilibirium Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat
.
Dari laporan IRR 2017 diatas bahya komplikasi kardiovaskuler menduduki urutan pertama
dan kedua yaitu hipertensi dan hipotensi, Melihat data diatas dan berdasarkan beberapa
penelitian yang dilakukan oleh Inrig et al.(2009) hipertensi intradialisis yaitu peningkatan
tekanan darah sistolik pasca dialysis dan predialisis dari Sistolik Blood Presure ( SBP ) > 10
mmhg . Menurur Penelitian yang dilakukan oleh Armiyati (2012 ) tentang komplikasi
intradialisis yang dialami pasien penyakit ginjal kronik saat menjalani hemodialisis
METODE
Literatur review didapatkan referensi dengan menelusuri online jurnal ,halaman resmi
milik pemerintah atau halaman resmi tentang ilmu pengetahuan .pencarian literatur atau
artikel dengan mengumpulkan tema tentang hemodialisa dan factor factor yang berhubungan
dengan hemodialisa. Sumber literatur berbahasa inggris dan Indonesia dari tahun 2005
penanganan
Hipertensi intradialisis
hipertensi intradialisis yaitu peningkatan tekanan darah sistolik pasca dialysis dan
predialisis dari Sistolik Blood Presure ( SBP ) > 10 mmhg menurut Inrig et al.(2009)
Sedangkan pengertian lain ,Hipertensi intradialisis adalah apabila tekanan darah saat dialisis
140/90 mmHg atau terjadi peningkatan tekanan pada pasien yang sudah mengalami
hipertensi pradialisis. Pasien juga dikatakan mengalami hipertensi intradialisis jika nilai
tekanan darah rata-rata (Mean Blood Pressure/ MBP) selama hemodialisis 107 mmHg atau
terjadi peningkatan MBP pada pasien yang nilai MBP pradialisis diatas norma. Hipertensi
hipertensi pada pasien hemodialisis (Schimdt, 2002; Tomson, 2009). Frekwensi hipertensi
intradialisis mengalami peningkatan dari jam pertama sampai jam ke empat. Kelebihan cairan
kardiomiopati, uremic pericarditis, efusi perikardial, gagal jantung, serta edema pulmonal,
nyeri pleura, efusi pleura, uremic pleuritis, uremic lung, dan sesak nafas (Prabowo & Pranata,
2014). IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh tidak lebih dari 3% berat badan kering. Berat
badan kering ialah berat badan dimana tidak ada tanda-tanda klinis retensi cairan (Linberg,
2010). Semakin tinggi IDWG maka semakin besar jumlah kelebihan cairan dalam tubuh
pasien dan semakin tinggi risiko komplikasi. Penelitian Istanti (2014). Menurut Kanyar dan
Kalantar (2009) menambahkan IDWG antara 1,5-2,0 kg berpotensi 25% peningkatan risiko
kematian, lebih dari 4,0 kg berpotensi 28% peningkatan risiko kematian dan IDWG dibawah
Hipertensi paling banyak dialami pada jam ke empat sebanyak 70% yaitu 30%
mengalaminya sering. Gambaran nilai tekanan darah sistolik, diastolik dan MBP pasien yang
hanya mengalami penurunan jam pertama dan meningkat bertahap mulai jam ke dua dan
mencapai nilai tertinggi pada jam ke empat yaitu tekanan sistolik sebesar 167,8 mmHg dan
diastolik sebesar 97,36 mmHg. MBP juga mengalami peningkatan pada jam ke empat, yaitu
turunnya volume cairan. Penelitian Zhou, et al (2006) menunjukkan bahwa nilai relative
blood volume (RBV) mengalami penurunan paling tinggi pada jam terakhir hemodialisis.
Penurunan RBV dan Total Body Volume (TBV) menurunkan aliran darah ke ginjal dan
menstimulasi pelepasan renin dan menyebabkan hipertensi karena renin merubah angiotensin
2008).
Hubungan yang bermakna pada penelitian ini sesuai dengan penelitian Dewi (2010)
yang menyatakan bahwa semakin tinggi QB akan membuat ambilan darah yang semakin
cepat, sehingga akan berdampak pada terjadinya komplikasi intra maupun post HD. Pada
pasien PGK, ginjal tidak bisa mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan, dan
elektrolit, sehingga menyebabkan uremia (Padila, 2012). Hal ini yang harus dihindari dari
pasien PGK dengan menggunakan terapi hemodialisis. Pada terapi hemodialisis terdapat nilai
QB yang apabila nialinya semakin tinggi, maka bersihan ureumnya juga akan semakin tinggi
pula. Namun nilai QB harus diatur sesuai hasil konsensus Pernefri (2016) yang menyarankan
Meskipun penelitan ini hasilnya berbeda dengan penelitian K/DOQI (2015), yang
menyatakan bahwa nilai QB yang baik dalam rentang 300-500 ml/menit, namun hal yang
metode penelitian serta lokasi pengambilan datanya. Pengambilan data di RSD dr. Soebandi
pada sampel yang telah dilakukan hemodialisis selama empat jam, namun pada penelitian
K/DOQI sampel dilakukan hemodialisis minimal lima jam. Selain itu juga, perbedaan gen,
kekuatan jantung, dan gaya hidup pasien RSD dr. Soebandi Jember diduga berpengaruh pada
penelitian ini. Apabila nilai QB tinggi dan tidak diimbangi oleh kekuatan jantung, maka akan
diakibatkan oleh adanya gap yang jauh antara tekanan darah pasien dengan QB, sehingga
tekanan darah pasien akan mencoba meneyesuaikan dengan nilai QB. Penelitian ini juga
memiliki hasil yang sesuai dengan peneltian Anggry (2016) yang menyimpulkan bahwa QB
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kejadian hipertensi intradialisis.
Dari uraian diatas bahwa kelebihan cairan salah satu pemicu adanya komplikasi intra
dialysis terutama hipertensi intra dialysis.Rasa haus adalah keinginan yang disadari terhadap
kebutuhan akan cairan. Rasa haus biasa muncul apabila osmolalitas plasma mencapai 295
mOsm/kgr. Rasa haus pada pasien PGK juga terjadi akibat pembatasan cairan. Rasa haus
memang merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien yang menjalani hemodialisa
Kita sebagai perawat alangkah baiknya melakukan Eviden Base Praktis dari beberapa
penelitian yang ada salah satunya adalah penelitian Arfany (2014) menunjukkan bahwa
mengulum es batu lebih efektif dibanding dengan mengunyah permen karet. Es batu
memberikan sensasi dingin begitu juga jika pasien berkumur dengan obat kumur rasa mint
yang memberikan sensasi rasa dingin yang bisa disamakan dengan es batu..
Permasalahan yang akan timbul akibat peningkatan rasa haus adalah peningkatan
intake cairan dengan minum. Akibat peningkatan intake cairan tersebut akan timbul
kelebihan cairan sehingga terjadi berbagai komplikasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan
manajemen rasa haus. Manajemen rasa haus dapat dilakukan salah satunya dengan cara
berkumur menggunakan obat kumur dengan rasa mint. Daun mint atau nama latinnya adalah
mentha arvensis L mempunyai kandungan kimia antara lain: minyak atsiri 12%, mentol 80-
90%, menthon, d-piperition, heksanolfenil-asetat, etil amil karbinol, dan neomentol (Lukas,
2007). Sensasi dingin dari daun mint akan memberikan rasa nyaman serta membuat nafas
menjadi lebih segar. Kandungan antiseptik daun mint merupakan anti bakteri yang alami
Kolaburasi managemen pemberian obat anti hipertensi, Berd asar kan Nati onal Kidn
ey Foun dation (2015) untuk mencapai target tekanan darah kurang kurang dari 130/80
hipertensi saat hemodialisis lebih sering terjadi akibat peningkatan tahanan perifer, Penelitian
bahwa pada pasien yang mengalami intradialysis terjadi peningkaytan tahanan perifer /
perifer vascular resistensi ( PVR ) yang signifikan. Peningkatan resistensi vaskuler dapat
dipicu oleh kelebihan cairan pradialisis juga akan meningkan tekanan darah selama dialysis.
Hiperternsi intradialisis dapat dicegah dengan edukasi tentang modifikasi gaya hidup
dan menghindari pemakaian dialiser dengan permukaan kecil juga mencegah hipertensi (
tekanan darah dan nadi secara berkala , mengatur ulang Qb ,UFR dan TMP.
paling sering dari hemodialisis, mencapai 21412 kejadian ( Pernefri,2017) dari komplikasi
hemodialisis. IDH didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai munculnya
gejala spesifik mulai dari asimptomatik sampai dengan syok sehingga perlu penanganan tim
disertai munculnya gejala spesifik mulai dari asimptomatik sampai dengan syok. The EBPG
working group menekankan bahwa menurunnya tekanan darah, disertai dengan munculnya
gejala klinis yang membutuhkan intervensi medis harus dipikirkan kemungkinan munculnya
IDH. Beberapa literatur mengemukakan bahwa IDH ditandai dengan penurunan tekanan
darah sistolik ≥ 30 atau tekanan darah sistolik absolut dibawah 90 mmHg. Gambaran klinis
Hipotensi pada dialysis adalah: (i) akut (episodik) hipotensi, didefinisikan sebagai penurunan
tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah 90 mmHg atau paling tidak 20 mmHg diikuti
dengan gejala klinis, (ii) Rekuren (berulang), secara definisi sama seperti yang sebelumnya,
namun hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis, dan (iii) kronik, yaitu hipotensi persisten
yang didefinisikan sebagai tekanan darah interdialisis tetap dalam kisaran 90-100 mmHg.
sebagai suatu penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau penurunan Mean arterial
pressure (MAP) >10 mmHg dan menyebabkan munculnya gejala- gejala seperti: perasaan
tidak nyaman pada perut (abdominal discomfort); menguap (yawning); mual; muntah; otot
terasa kram (muscle cramps), gelisah, pusing, dan kecemasan. Penyebab dari IDH adalah
multifaktorial. Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan darah
selama hemodialisis: umur, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia, large
interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat antihipertensi. Penyebab IDH yang
berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat terjadi akibat instabilitas hemodinamik yaitu
sesi hemodialisis yang pendek, laju ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi,
konsentrasi sodium dialisat yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari membran
dan lain-lain.
kardiovaskular dalam merespon penurunan volume darah secara adekuat. Respon adekuat
dari sistem kardiovaskular termasuk refleks aktivasi sitem saraf simpatetik, termasuk
takikardia dan vasokonstriksi arteri dan vena yang merupakan respon dari cardiac
underfilling dan hipovolemia. Adanya gangguan dalam mekanisme kompensasi ini akan
menyebabkan terjadinya IDH. Dalam konsep Plasma Refilling, Volume darah tergantung
dari dua faktor utama, yaitu kapasitas plasma refilling dan laju ultrafiltrasi. Selama sesi HD,
dari kompartemen intravaskular. Jumlah total cairan tubuh (TBW), sekitar 60% dari
berat badan, didistribusikan di intraseluler (40% BW) dan sebagian lagi di kompartemen
ekstraselular (20% BW). Ekstraselular dapat dibagi lagi menjadi interstisial (15% BW) dan
intravaskular (5% BW). Sehingga hanya sekitar 5-8% dari TBW yang dapat diultrafiltrasi.
Sehingga untuk memindahkan sejumlah cairan substansial dalam jangka waktu tertentu,
kompartemen vaskular harus melakukan refilling secara terus menerus dari ruangan
cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate dan kontraktilitas miokard dan konstriksi
dari capacitance vessels. Orang sehat dapat mentoleransi penurunan volume sirkulasi darah
sampai 20% sebelum munculnya hipotensi. Namun, pada pasien dengan HD, hipotensi dapat
muncul hanya dengan penurunan volume darah dalam jumlah yang lebih sedikit.
Terganggunya respon kardiak berupa peningkatan heart rate dan kontraktilitas miokardium
dapat mencetuskan terjadinya IDH. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa adanya penyakit
jantung, yang menyebabkan disfungsi sistolik atau diastolik meningkatkan resiko terjadinya
IDH. Penurunan tekanan darah lebih besar pada pasien dengan disfungsi sistolik
dibandingkan dengan fungsi sistolik normal. Hipertrofi ventrikel kiri yang lebih berat dan
diastolic filling yang terganggu juga dijumpai pada pasien IDH. Plasma refill sebagian besar
diperankan oleh tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik. Selama sesi HD awal, tekanan
onkotik vaskular meningkat dan tekanan hidrostatik menurun sebagai hasil dari ultrafiltrasi
yang progresif. Perubahan gradien tekanan menyebabkan cairan bergerak ke dalam vaskular
sampai keseimbangan tercapai. Begitu seterusnya sampai sesi HD berakhir. Beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi laju plasma refilling adalah: status hidrasi kompartemen
interstisial, osmolalitas plasma, dan konsentrasi plasma protein, konsentrasi sodium dialisat,
permeabilitas vaskular, dan venous compliance. Sehingga, IDH dapat muncul ketika
terjadinya ketidakseimbangan diantara laju ultrafiltrasi dan kapasitas plasma refilling yang
tidak bisa diatur oleh refleks kompensasi kardiovaskular. Cardiac underfilling terutama
Jarish reflex. Refleks ini berupa suatu keadaan bradikardia akibat gangguan respon simpatik
yang terganggu. Beberapa penelitian telah menunujukkan bahwa gangguan fungsi simpatik,
dapat ditunjukkan dengan beberapa manifestasi, seperti berkurangnya frekuensi heart rate.
Berkurangnya resistensi dan kapasitansi pembuluh darah selama penurunan volume darah
dapat memicu IDH. Berkurangnya konstriksi dari arteriolar dapat mengganggu respon
fisiologis terhadap keadaan hipovolemia. Berkurangnya konstriksi aktif dan pasif dari venula
dan vena, yang menyebabkan berkurangnya venous return selama hipovolemia. Dalam
tindakan prevensi dan penatalaksanaan hipotensi intradialisis dapat dilakukan hal sebagai
berikut :
frekuensi dialisis
Aritmia
dikarakteristikkan dengan adanya perubahan pola denyut jantung dalam frekwensi, kekuatan
dan atau iramanya (Potter & Perry, 2005; Smeltzer, et al, 2008). Aritmia adalah komplikasi
intradialisis yang jarang dialami (Daugirdas, Blake & Ing, 2007; Teta, 2008).
Aritmia saat hemodialisis dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu: adanya
hipertensi, penyakit jantung (LVH, gagal jantung, Ischemic heart disease), penarikan kalium
yang berlebihan dan terapi digoxin (Thomas, 2003; FMNCA, 2007). Lebih lanjut FMNCA
(2007) menyebutkan bahwa faktor lain yang dapat meningkatkan resiko terjadinya aritmia
saat hemodialisis adalah usia lanjut, penarikan volume cairan ekstraseluler yang berlebihan,
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, serta adanya disfungsi miokard. Aritmia juga
Aritmia adalah komplikasi yang sering diamati pada pasien hemodialisis yang
umumnya terjadi selama dan setelah dialisis. Etiologi dari aritmia terkait hemodialisis adalah
multi-faktorial. Terapi dialisis itu sendiri dapat menyebabkan perubahan yang menimbulkan
rangsangan pada miokardium. Hal ini terjadi karena perubahan komposisi cairan dalam
tubuh, PH dan konsentrasi panas dan elektrolit. Pasien dengan penyakit ginjal kronis yang
menjalani terapi dialisis rentan terhadap aritmia karena mereka biasanya memiliki pemberat
iskemik penyakit jantung, hipertrofi ventrikel kiri atau neuropati otonom. Obat-obat anti
aritmia yang digunakan oleh pasien mungkin juga terdialisis sehingga rentan terhadap aritmia
selama atau setelah hemodialisis. Prevalensi fibrilasi atrium sebagai salah satu jenis aritmia
dilaporkan sekitar 27% Dua jenis aritmia yaitu kompleks aritmia ventrikel dan kompleks
merekomendasikan bahwa karena kerentanan pasien hemodialisis untuk terjadi aritmia, maka
setiap pasien dialisis harus menjalani 12-lead EKG terlepas dari usianya. Dalam hal atrial
fibrilasi, penggunaan B blockers, calcium channel blockers dan amiodaron dapat bermanfaat
stroke pada pasien dengan fibrilasi atrium masalah dalam kontroversial karena kelompok
pasien HD rentan terhadap perdarahan. Saat ini, terapi antikoagulan dapat diterapkan dengan
cara yang sama seperti pada normal populasi, tetapi kerentanan pasien terhadap perdarahan
dan reaksi dengan obat lain yang mereka gunakan harus diingat dan dimonitor. Dosis harus
disesuaikan tergantung apakah obat yang digunakan dalam pengobatan adalah dialyzable dan
menghentikan terapi digoksin pada saat hemodialisis dan mengendalikan penyakit jantung.
Aritmia yang terjadi saat hemodialisis perlu datasi dengan: memonitor EKG secara berkala,
monitor nilai kalium, kalsium dan magnesium, serta memberikan terapi anti aritmia
Kram otot
Kram otot dan nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan
ruang ekstrasel dan juga mencerminkan pergerakan elektrolit melewati membran otot
(Sudoyo, 2009). Meskipun penyebabnya tidak jelas, kram otot selama hemodialisis dilakukan
biasanya dapat terjadi. Pemanasan atau pemberian kompres hangat di area tersebut, dapat
dilakukan untuk membantu melancarkan sirkulasi darah dan meredam kram otot yang
dirasakan.Sedangkan pada metode cuci darah dialisis peritoneal, dapat dilakukan di rumah
dengan pengawasan dan arahan dari dokter. Hanya saja, metode cuci darah ini harus
dilakukan setiap hari secara rutin. Sebagaimana hemodialisis, cuci darah dialisis peritoneal
juga memiliki efek samping, meski berbeda.
Kram otot disebabkan adanya peningkatan kecepatan kontraksi atau penipisan otot
yang tidak dapat dikontrol, terjadi beberapa detik sampai menit dan menimbulkan rasa sakit.
Intradialytic muscle cramping, biasa terjadi pada ekstrimitas bawah (CAHS, 2008). Holley,
Berns dan Post (2007) serta Daugirdas, Blake dan Ing (2007) serta Teta (2008) menyebutkan
bahwa frekwensi kram saat hemodialisis 5-20% dari keseluruhan prosedur hemodialisis.
Penyebab kram otot selama hemodialisis tidak diketahui dengan pasti. Penelitian
dilakukan untuk mencari penyebabnya. Beberapa faktor resiko diantaranya: rendahnya
volume darah akibat penarikan cairan dalam jumlah banyak selama dialisis, perubahan
osmolaritas, ultrafiltrasi tinggi dan perubahan keseimbangan kalium dan kalsium intra atau
ekstrasel (Brass, et all, 2002; Thomas, 2003; Kallenbach, et al, 2003; FMCNA, 2007; CAHS,
2008). Garam yang berlebihan di dalam darah juga bisa menjadi faktor yang berhubungan
dengan terjadinya kram saat hemodialisis (CAHS, 2008). Kram juga bisa menyertai
komplikasi hemolisis (Kallenbach, et al, 2005).
Pada pasien hemodialisis karena ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik maka
terjadilah penumpukan asam sisa metabolisme, yang dapat mengganggu fungsi otot yaitu
asam laktat (Kitaoka, 2014; Zang, et al., 2015). Satu sampai dengan dua jam pertama proses
hemodialisis, terjadi pemecahan sel darah dalam jumlah besar sehingga terjadi kondisi stres
oksidatif untuk sementara pada setiap sel otot, yang dapat menyebabkan asam laktat
meningkat dan terjadilah kram (Mori, et al., 2014).
Pemanasan atau pemberian kompres hangat di area tersebut, dapat dilakukan untuk
membantu melancarkan sirkulasi darah dan meredam kram otot yang dirasakan. Pencegahan
kram otot saat hemodialisis dapat dilakukan dengan mengkaji berat badan kering secara tepat,
menghitung UFR secara tepat, menjaga suhu dialisat dan kolaborasi pemberian Quinine
Sulphate atau 400 unit vitamin E sebelum hemodialisis, serta memberikan edukasi tentang
penurunan berat badan. Namun bila kram sudah terjadi manajemen yang dilakukan adalah:
memberikan infus NaCl 0,9% bolus, menurunkan UFR, Quick of blood (Qb) dan TMP,
memberikan kompres hangat dan pemijatan serta memberikan Nefidipin 10 mg (Thomas,
2003; Daugirdas, Blake & Ing, 2007).
Nyeri Kepala
The International Headache Society ICHD tahun 2004 memasukkan nyeri kepala
hemodialisis dalam klasifikasi sakit kepala. Untuk dapat disebut sebagai sakit kepala
hemodialisis, sakit kepala harus muncul setidaknya setengah dari sesi hemodialisis, terdapat 3
serangan sakit kepala akut saat sesi hemodialisa dan sakit kepala harus lega dalam waktu 72
jam setelah hemodialisis.35 Meskipun data prevalensi tidak pasti, namun ditemukan 30%
oleh Goksel35 dan Jesus AC et al9, menemukan prevalensi lebih rendah dari 6,7% pada
tahun 2009. Patofisiologi sepenuhnya tidak jelas dan faktor pemicu sakit kepala mungkin
disebabkan hipertensi, hipotensi, tingkat rendah natrium, penurunan osmolaritas serum,
tingkat rendah rennin plasma, sebelum dan sesudah dialisis kadar Bun dan rendahnya tingkat
magnesium Setelah memastikan bahwa tidak ada migrain, serebrovaskular event atau massa
intrakranial, langkah pertama dalam pengobatan adalah menyelidiki apakah ada sakit kepala
hemodialisis atau tidak. Jika diduga hemodialisis sakit kepala, faktor-faktor yang diduga
memicu sakit kepala harus dicari dan penggantian elektrolit diperlukan.
Penanganan sakit kepala terkait hemodialisis
- Kecilkan QB
- Observasi TTV terutama TD dan Nadi
- Kolaburasi dengan medik jika tekanan darah tinggi atau hipertensi emergensi
- Massage ringan area leher dan kepala.
- Mencari penyebab lain sakit kepala untuk intervensi sedlanjutnya.
Gatal
Gatal adalah salah satu gejala yang sering dijumpai pada penyakit ginjal kronis.
Keluhan gatal ditemukan di 50 sampai 60% dari pasien dengan gagal ginjal stadium akhir
yang sedang menjalani terapi dialisis.42 Meskipun etiologi uremik gatal tidak sepenuhnya
diklarifikasi, faktor bertanggung jawab adalah xerosis, neuropati perifer, peningkatan ion
divalen seperti kalsium,magnesium dan fosfor, peningkatan kadar hormon paratiroid, dan
histamin.1 Dalam mendiagnosis uremik gatal, pertama penyebab lain gatal harus
dikesampingkan. Berbagai terapi topikal dan sistemik telah dicoba dalam mengobati itu
selama bertahun-tahun, tapi ada pasien yang tidak mendapatkan keuntungan dari setiap terapi
tersebut. Untuk alasan ini, baik patogenesis dan pengobatan gatal terus diteliti hari ini.
Direkomendasikan terapi topical saat ini berupa krim pelembab dan krim yang mengandung
capsaicin. Metode pengobatan lainnya termasuk fototerapi, akupunktur, diet low protein,
lidocaine, arang aktif, cholestramine, efisien dialisis, heparin, antagonis opioid,
erythropoietin, paratiroidektomi, serotonin antagonis, thalidomide, anthistamin dan
nicergoline.
Demam menggigil
Demam disertai menggigil sering ditemukan pada pasien intradialisis, ini dapat
disebabkan akibat reaksi pirogen, reaksi tranfusi intradialisis, kontaminasi bakteri pada
sirkulasi darah. Bila demam ditemukan selama dirumah dan intradialisis bisa dimungkinkan
adanya infeksi lain seperti infeksi CDL, thrombosis AV Fitula, TB Paru, efusi pleura,
diferkulitis, dll. Penanganan yang dapat dilakukan : observasi TTV, berikan
selimut/penghangat, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi, pengaturan suhu
ruangan.
Dialysis disequilibirium
KESIMPULAN
satu penyebabnya adalah kenaikan cairan yang berlebih , dengan managemen cairan yang
baik akan mengurangi resiko hipertensi saat Hemodialisa ,Komplikasi akut pada pasien
hemodialis merupakan adanya manifestasi klinis terkait dengan hemodialisa yang terjadi
selama sesi dialisis atau dalam 24 jam pertama setelah dialisis. Hemodialisis masih
menyebabkan banyak komplikasi meskipun sudah diikuti oleh kemajuan teknologi. Sangat
penting untuk mencegah terjadinya komplikasi terutama di masa awal hemodialisis dan
komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Beberapa komplikasi mungkin tidak mengancam
Seiring dengan kemajuan pengembangan ilmu keperawatan dan jurnal jurnal terbaru
tentang keperawatan terutama tentang hemodialisa . kita sebagai perawat yang menpunyai
fungsi penelitian, dengan mengaplikasikan jurnal jurnal yang ada atau Aplikasi Evidence
Based Practise untuk pengembangan pelayanan di unit hemodialisa. Aplikasi ini bisa
Cahyono cucu, 2015, Komplikasi Intradialisis pada Pasien yang Menjalani Hemodialisa.
https://www.scribd.com/doc/253854758/Komplikasi-Intradialisis-Pada-Pasien-Yang-
Menjalani-Hemodialisis-1
Noval Alif Muharom, Suryono,Cicih Komariah, Hubungan Quick Blood dengan Kejadian
Hipertensi Intradialis Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium V di RSUD
Soebandi Jember
PERNEFRI, 2003, Konsensus dialisis. Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi–Bagian Ilmu
Penyakit dalam. FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta.
Tisher, C. C. & Wilcox, C. S., 1997, Buku saku nefrologi. Edisi 3. EGC, Jakarta
Yohanes Gamayana Trimawang Aji, GAMBARAN KEJADIAN HIPERTENSI
INTRADIALISIS PADA PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSAU DR.
ESNAWAN ANTARIKSA
Yuwono Imam Hadi, 2016. Penatalaksanaan Komplikasi Selama Dialisis: Dialysis
Disequilibrium syndrome ( DDS).
http://ipdi.or.id/data/PENATALAKSANAAN%20KOMPLIKASI%20SELAMA%20D
IALISIS.pdf