Reading Assignment Acc Supervisor
Presentator: dr. Ananda W. Ginting Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD KGH
HIPOTENSI INTRADIALISIS
Ananda Wibawanta Ginting
Divisi Nefrologi Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RSUP H. Adam Malik/RSU. Dr Pirngadi Medan
I. PENDAHULUAN
Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari
hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH masih merupakan
masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti mual, dan kram, memiliki
pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis. Sebagai tambahan, IDH sering
membutuhkan cairan, atau penghentian dialisis lebih awal, yang kedua hal tersebut dapat
menyebabkan pembuangan cairan tidak adekuat. Pasien dengan IDH, sering mengalami
keadaan kelebihan cairan (volume overload) dan dialisis sering tidak adekuat.2,3,4
Patogenesis dari hipotensi intradialisis multifaktor, namun secara umum disebabkan
sebagai hasil dari gangguan tiga faktor utama yang memainkan peran dalam stabilitas
hemodinamik selama hemodialisis: pertama, refilling volume darah dari interstisial ke dalam
kompartemen vaskular, sehingga disebut preservasi volume darah; kedua, konstriksi dari
resistance vessels seperti arteri yang kecil dan arteriol, dan ketiga, mempertahankan output
jantung, melalui peningkatan kontraktilitas miokardium, heart rate, dan konstriksi dari
capacitance vessels seperti venula dan vena.12,13
Banyak intervensi/cara untuk mencegah IDH seperti: penggunaan dialisis temperatur
dingin, pengaturan profil natrium, peningkatan kadar kalsium dialisat, dan beberapa
penggunaan pressor agents seperti midodrine. 1,2,3
Berikut ini akan dibahas mengenai hipotensi intradialisis, mengenai definisi,
patogenesis, pencegahan, dan penatalaksanaan pasien dengan hipotensi intradialisis.
1
II. DEFINISI
Pada beberapa literatur, pengertian intradialytic hypotension (IDH) tidak memiliki
standardisasi dan beberapa studi memiliki definisi yang berbeda. Namun kebanyakan
mendefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai munculnya gejala spesifik.
Penurunan tekanan darah bisa relatif atau absolut. Sampai saat ini, belum ada evidence based
yang merekomendasikan pengertian IDH. Manifestasi dari IDH bervariasi mulai dari
asimptomatik sampai dengan syok. The EBPG working group menekankan bahwa
menurunnya tekanan darah, disertai dengan munculnya gejala klinis yang membutuhkan
intervensi medis harus dipikirkan kemungkinan munculnya IDH. Beberapa literatur
mengemukakan bahwa IDH ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik ≥ 30 atau
tekanan darah sistolik absolut dibawah 90 mmHg. Hipotensi pada dialisis bisa muncul
dengan beberapa gambaran klinis: (i) akut (episodik) hipotensi, didefinisikan sebagai
penurunan tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah 90 mmHg atau paling tidak 20
mmHg diikuti dengan gejala klinis, (ii) Rekuren (berulang), secara definisi sama seperti yang
sebelumnya, namun hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis, dan (iii) kronik, yaitu
hipotensi persisten yang didefinisikan sebagai tekanan darah interdialisis tetap dalam kisaran
90-100 mmHg. Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan hipotensi intradialisis
(Intradialytic hypotension) sebagai suatu penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau
penurunan Mean arterial pressure (MAP) >10 mmHg dan menyebabkan munculnya gejala-
gejala seperti: perasaan tidak nyaman pada perut (abdominal discomfort); menguap
(yawning); sighing; mual; muntah; otot terasa kram (muscle cramps), gelisah, pusing, dan
kecemasan. Hal ini mengganggu kenyamanan pasien, dan dapat mencetuskan aritmia jantung,
dan sebagai faktor predisposisi untuk penyakit jantung koroner, infark miokard (Burton et al.,
2009) dan/atau kejadian iskemia otak (Mizumasa et al., 2004). Selain itu, IDH menyebabkan
terhalangnya dosis dialisis yang adequat (adequate dose of dialysis), dimana episode
hipotensi menyebabkan efek kompartemen dan menghasilkan Kt/Vurea suboptimal.1,2,3,4
Komplikasi kardiovaskular dari IDH termasuk: kejadian iskemia (kardiak atau
neurologis); trombosis vaskular; disritmia; dan infark vena mesenterika. Efek IDH jangka
panjang termasuk; kelebihan cairan dikarenakan ultrafiltrasi yang suboptimal dan pemberian
bolus cairan resusitasi, pembesaran ventrikel jantung kanan, yang berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas; serta hipertensi interdialisis.2
III. Insidensi dari IDH
Pada 10 tahun terakhir, meskipun teknologi dari dialisis mengalami peningkatan,
frekuensi dari IDH masih tetap tidak berubah, yaitu sekitar 20-25% dari semua sesi
hemodialisis. Pada beberapa literatur insidensinya mencapai 30% dari terapi dialisis
konvensional, dan 35% dari tekhnik ekstrakorporeal. Di USA, insidensi IDH pada akhir
tahun 2000 bervariasi dari 15%-50% dan sekitar 23% pada unit hemodialisis RS. Dr.
Soetomo, Surabaya, dimana 80% merupakan pasien diabetes mellitus. Daugirdas dkk,
mengemukakan bahwa IDH merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai pada pasien
Hemodialisis, dan kejadiannya mencapai 20 sampai 33%. Pada beberapa studi cohort
insidensi IDH bervariasi dari 10%-13%. Sebagai tambahan, insidensi dari IDH akan terus
menerus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah pasien dengan usia tua yang
mengalami CKD, pasien dengan keadaan penyakit yang semakin berat, dan juga dikarenakan
peningkatan jumlah pasien diabetes dengan CKD yang progresif. Pada keadaan ini insidensi
IDH bisa smencapai 50%. 1,2,6
Berikut ini adalah subgrup pasien dengan hemodialisis kronik yang harus dievaluasi
dengan hati-hati karena memiliki faktor resiko untuk terjadinya IDH:1,2
• Pasien dengan Penyakit kardiovaskular: LVH dan disfungsi diastolik dengan atau
tanpa CHF; Pasien dengan penyakit katup jantung; Pasien dengan penyakit
perikardium (perikarditisi konstriktif atau efusi perikardium)
• Pasien yang membutuhkan volume ultrafiltrasi yang lebih besar; misal pada pasien
dengan berat badan yang melebihi interdialytic weight gain
Pencegahan IDH
Berat Badan Kering (Dry body weight)
Perhitungan dry body weight yang tidak tepat dapat menyebabkan underhydration
atau overhydration pasien dialisis. Studi-studi sebelumnya menunjukkan jumlah signifikan
dari pasien tidak stabil yang pada awalnya normohidrasi atau underhidrasi, menjadi
underhydrated pada akhir sesi dialisis. Pada pasien underhydrated, volume interstisial sangat
kurang, dan terganggunya refill dari volume darah, sehingga menyebabkan penurunan
volume darah yang lebih besar. Dengan kata lain, overestimasi berat badan kering dapat
menyebabkan hipertensi dan meningkatkan resiko terjadinya dilatasi jantung, dan edema
paru. Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk menilai keadaan pasien apakah pasien
kemungkinan underhydrated atau overhydrated. Beberapa metode non-invasif telah
dikembangkan. Cardiothoracic ratio dengan X-ray bisa mendeteksi pasien overhydrated,
tetapi tidak dapat digunakan sebagai alat untuk pencegahan terjadinya IDH. Diameter vena
cava inferior, dapat diukur dengan ekokardiografi, berhubungan dengan volume darah, dan
tekanan atrium kanan dan dapat memprediksi perubahan hemodinamik selama proses dialisis.
Analisis Multifrequency bioimpedance dapat digunakan untuk memprediksi instabilitas
hemodinamik pada beberapa studi. Alat ini juga sangat sensitif dalam mendeteksi perubahan
status cairan. Marker biokimia seperti cGMP, tetapi bukan ANP, dapat memprediksi
perubahan hemodinamik selama dialisis berlangsung. Baik cGMP dan ANP dilepaskan
sebagai respon terhadap peregangan atrium kiri. cGMP ditemukan dan dianggap
kemungkinan berguna untuk diagnosis overhydration, namun tidak dapat memprediksi
underhydration. Dan juga BNP, yang dilepaskan sebagai respon terhadap peregangan
terhadap ventrikel kiri, dapat memprediksi overhidration, tetapi tidak underhydration.
Sebagai kesimpulan, melalui beberapa metode objektif dapat digunakan untuk memprediksi
perubahan tekanan darah dan parameter hemodinamik yang lain selama hemodialisis, pada
saat ini penggunaan ekokardiografi vena kava telah menunjukkan hasil yang memuaskan
dalam pengurangan terjadinya IDH. Bagaimanapun, tekhnik ini tergantung operator, dan
mungkin sulit diinterpretasikan pada pasien gagal jantung. Penggunaan bioimpedance tidak
menunjukkan pencegahan terjadinya IDH, namun tekhnik ini mungkin bermanfaat untuk
mendeteksi perubahan status hidrasi.2
Tekanan darah dan frekuensi heart rate
Tekanan darah dan frekuensi heart rate harus diukur rutin selama hemodialisis untuk
mengantisipasi IDH. Dua tipe episode hipotensi dapat dibedakan selama hemodialisis, yaitu
bradikardia dan takikardia. Kebanyakan, episode IDH dikarakteristikkan dengan penurunan
tekanan darah bertahap dan peningkatan heart rate. Alternatif, episod IDH dapat muncul tiba-
tiba dan berhubungan dengan respon bradikardia (Bezold Jarish Reflex), yang berasal dari
aktivasi mekanoreseptor ventrikel kiri dikarenakan underfilling ventrikel berat. Pada IDH tipe
takikardi, diperkirakan bahwa IDH mungkin dapat dicegah dengan pengaturan ultrafiltrasi,
walaupun belum ada studi yang membuktikan hal ini.2
Evaluasi jantung harus dilakukan pada pasien dengan frekuensi IDH yang sering.
Keadaan penyakit jantung, menyebabkan disfungsi sistolik dan disfungsi diastolik dari
jantung dapat meningkatkan resiko terjadinya IDH. Peningkatan kontraktilitas miokardium
merupakan respon fisiologik terhadap penurunan volume darah, dimana respon ini dapat
terganggu oleh disfungsi sistolik dari jantung. Diastolic filling terganggu pada pasien IDH,
dan disfungsi diastolik biasanya berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri, namun bisa
juga karena iskemia miokardium atau fibrosis.2,15
Intervensi Pola hidup
Dalam rangkan mengontrol IDWG, dan mengurangi resiko IDH, asupan garam harus
diperhatikan dan tidak boleh melebihi 6 gram/hari. Restriksi garam menurunkan IDWG dan
meningkatkan kontrol tekanan darah interdialisis. Dua penelitian menilai efek dari batasan
asupan garam terhadap kontrol tekanan darah interdialisis dan insidensi IDH. IDWG
menurun secara signifikan dengan batasan asupan garam, dan insidensi IDH: 0.71±0.8
(asupan garam biasa) vs 0.18±0.5 (asupan garam dibatasi). Pada studi lain, insiden IDH
bulanan menurun dari 22% menjadi 7% setelah membatasi asupan garam. Pada pasien
diabetes, hiperglikemia dapat mencetuskan perasaan haus, dan menstimulasi haus dan
meningkatkan IDWG, sehingga diperkirakan kontrol glukosa yang ketat dapat mengurangi
IDWG, namun belum ada data mengenai kontrol glukosa dan IDWG pada pasien dialisis.
Kesimpulan, mengurangi asupan garam (2 gram/90 mmol Na atau 6 gram NaCl) dapat
mengurangi IDWG dan dapat mempunyai peranan dalam pencegahan IDH.2
Asupan makanan selama dialisis dapat menyebabkan vasodilatasi splachnic, dan
dapat mencetuskan IDH. Tiga studi menunjukkan penurunan tekanan darah yang lebih besar
dan insidensi IDH lebih besar setelah asupan makanan. Kafein tidak terbukti dapat mencegah
kejadian IDH.2
Durasi Dialisis dan Frekuensi
Pemanjangan waktu dialisis atau peningkatan frekuensi dialisis harus
dipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami IDH. Pemanjangan waktu dialisis dapat
mengurangi laju ultrafiltrasi, sehingga penurunan volume darah tidak agresif. Suatu studi
membandingkan toleransi intradialisis dengan membandingkan dialisis selama 4 jam dan 5
jam, dengan hasil penurunan episode hipotensi pada pasien yang menjalani dialisis selama 5
jam. Lebih jauh, efek dari pengurangan laju ultrafiltrasi, hanya dapat dicapai dengan
memperpanjang waktu dialisis, dan ini telah dilakukan pada pasien dengan gangguan jantung.
Pada studi ini, penurunan tekanan darah sistolik lebih sedikit pada pasien dengan laju
ultrafiltrasi 500 dibandingkan dengan laju ultrafiltrasi 1000. Pada DOPPS, insidensi IDH
lebih sedikit 30% pada pasien dengan laju ultrafiltrasi < 11ml/kg/jam dibandingkan dengan
laju ultrafiltrasi standar. Dan mortalitas lebih rendah pada pasien dengan laju ultrafiltrasi < 10
ml/kg/jam. Pada pasien yang menjalani dialisis 8 jam sebanyak 3 x seminggu, insidensi
hipotensi sangat rendah. Dengan frekuensi hemodialisis yang lebih sering, seperti quotidian
dialysis atau short daily dialysis, kontrol tekanan darah lebih bagus, dan masa ventrikel kiri
juga berkurang. Karena frekuensinya lebih sering, volume ultrafiltrasi dikurangi. Suatu studi
menunjukkan pengurangan insidensi IDH dengan mengganti frekuensi HD dari 3-4 kali
seminggu menjadi 6 kali, 2 jam per sesi dialisis. Suatu studi menunjukkan pengurangan
kebutuhan infus salin setelah konversi frekuensi hemodialisis dari 3x seminggu menjadi 6x
seminggu. Pada studi kohort, 23 pasien (11 pasien, short daily dialysis; 12 pasien, long
nocturnal dialysis) dibandingkan dengan 22 HD konvensional (3x seminggu) sebagai kontrol.
Terjadi pengurangan insidensi dialysis-related symptoms pada short daily dialysis. Namun
studi oleh Fagugli et al pada pasien yang stabil, tidak ada perbedaan IDH diantara short daily
dialysis dan dialisis standar 3x seminggu. Sebagai kesimpulan, ada bukti yang menunjukkan
bahwa memperpanjang waktu dialisis dapat menurunkan kejadian IDH, dengan penurunan
laju ultrafiltrasi sehingga penurunan tekanan darah sistolik tidak terlalu agresif pada pasien
dengan fungsi jantung terganggu.2
Penatalaksanaan IDH
Pendekatan Lini Pertama2
. Konseling asupan makanan (restriksi garam)
. Menghindari asupan makanan selama dialisis
. Pengukuran berat badan kering
. Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialisis
. Penggunaan temperatur dialisat 36.5oC
. Periksa dosis dan waktu pemberian obat antihipertensi
Pendekatan Lini kedua2
. Evaluasi performa jantung
. Penurunan temperatur dialisat secara berkala mulai dari 36.5oC sampai 35oC
. Memperpanjang waktu dialisis dan/atau frekuensi dialisis
. Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1.50 mmol/l
Pendekatan Lini Ketiga2
. Pertimbangan pemberian midodrine
. Pertimbangkan suplementasi L-carnitine
Posisi Trendelenburg2,3,4
Posisi trendelenburg harus dipertimbangkan pada penatalaksanaan IDH. Namun
efikasi masih terbatas. Posisi ini sering digunakan pada penatalaksanaan IDH, dengan
penerapan manuver ini, volume aliran darah berkurang di perifer dan lebih tersentralisasi.
Namun, hanya sedikit studi yang menilai efikasi posisi ini. Pada suatu studi, peningkatan
volume darah hanya sekitar 0.4%. Tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan dalam
perubahan tekanan darah selama dialisis setelah menerapkan posisi terndelenburg. Sebagai
kesimpulan, efek dari posisi trendelenburg pada volume darah sangat kecil.
Stop Ultrafiltrasi2,3,4
Ultrafiltrasi harus dihentikan selama episode IDH. Menghentikan ultrafiltrasi, akan
mencegah penurunan volume darah lebih jauh, dan akan memfasilitasi refill volume darah
dari kompartemen intrestisial. Memperlambat laju aliran darah terkadang dapat digunakan
dalam pengobatan IDH.
Pemberian Cairan2,9
Salin isotonik harus diinfuskan, pada pasien yang tidak respon dengan penghentian
ultrafiltrasi dan posisi trendelenburg selama episode IDH. Pemberian cairan ini paling sering
diberikan untuk meningkatkan volume darah selama kejadian IDH. Baik kristaloid dan koloid
telah dipelajari dalam pengobatan IDH. Beberapa studi telah menilai efek dari salin isotonik,
glukosa hipertonik, manitol, dan larutan koloid. Pada studi tersebut membandingkan efek dari
isovolumetrik infus glukosa 5 dan 20%, salin 0.9% dan 3.0% dan manitol 20% dalam volume
darah selama ultrafiltrasi, peningkatan volume darah paling besar selama pemberian larutan
glukosa hipertonik. Pada studi lain, peningkatan volume darah lebih besar setelah pemberian
infus 100 ml plasma ekspander gelofusin dibandingkan dengan 100 cc salin isotonik. Pada
studi lain, tidak ada perbedaan signifikan antara pemberian albumin dibandingkan salin
isotonik untuk penatalaksanaan IDH. Sebagai kesimpulan baik salin isotonik dan larutan
albumin sama-sama efektif pada pengobatan IDH. Salin hipertonik tidak lebih superior dari
salin isotonik, dan albumin tidak lebih superior dari albumin atau HES pada penatalaksanaan
IDH.
Intervensi farmakologis1,2,17
Midrodin merupakan suatu obat alpha-1 agonist oral. Metabolit dari midodrine,
desglymidodrine, menyebabkan konstriksi dari resistance dan capacitance vessels.
Midrodrine mencegah IDH dengan mempertahankan volume darah sentral dan cardiac
output, dan peningkatan resistensi vaskular perifer. Midodrin efektif diekskresikan melalui
hemodialisis, dan waktu paruh berkurang sampai 1.4 jam dengan hemodialisis. Midodrine
memiliki efek jantung yang minimal, dan efek susunan saraf pusat, dikarenakan spesifisitas
terhadap reseptor α1, dan tidak melewati BBB. Pemberian dosis tunggal midodrine (5 mg)
30 menit sebelum sesi dialisis berhubungan dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan
diastolik dan MAP intradialisis dan pos dialisis, dibandingkan dengan sesi dialisis tanpa
penggunaan midodrine. Penelitian lain menunjukkan efikasi dari penggunaan midodrine
berketerusan (8 bulan) dan tidak ada tanda-tanda efek samping yang berkembang. Namun
beberapa literatur pernah menemukan komplikasinya berupa supine systolic hypertension.
Beberapa studi mengemukakan efek samping yang dijumpai antara lain scalp paresthesias,
heartburn, flushing, nyeri kepala, nyeri leher, dan kelemahan tungkai, urinary urgency, dan
gangguan tidur. Pasien juga harus dimonitor untuk kemungkinan bradikardia, oleh karena
midodrine dapat menstimulasi refleks parasimpatis. Midodrin harus digunakan secara hati-
hati pada pasien CHF dan obat-obat kronotropik negatif seperti beta-bloker, digoksin, dan
CCB nondihidropiridin. Penggunaan bersama-sama dengan obat α-adrenergik yang lain
seperti efedrin, pseudoefedrin, dan phenylpropanolamin harus dihindari, oleh karena akan
mencetuskan supine hypertension. Suatu studi membandingkan efektivitas dari midodrine
dan dialisis temperatur dingin. Baik dialisis temperatur dingin, dan midodrine sama-sama
efektif dalam pencegahan IDH, dan tidak ada perbedaan respon tekanan darah dan insidensi
IDH diantara kedua terapi tersebut. Efektivitas dari beberapa obat vasoaktif dalam
pencegahan IDH telah dilaporkan. Data mengenai efektivitas dan keamanan dari lisin
vasopresin, ergotamin, metilen blue, sertralin dan dobutamin sangat terbatas dan tidak bisa
dijadikan rekomendasi. Pada beberapa literatur menyimpulkan bahwa dosis awal midodrine
adalah 2.5 mg, dimakan 30 menit sebelum dialisis, dengan dosis maksimal 10 mg, efektif dan
mungkin aman dalam pencegahan IDH, walaupun data tentang keamanan dalam penggunaan
jangka panjang masih terbatas. Namun, superioritas dari midodrine dibandingkan dari
intervensi lain belum dapat dibandingkan.
L-carnitine, suplementasi zat golongan ini harus dipertimbangkan dalam pencegahan
IDH jika pengobatan standar lainnya gagal. Pada pasien hemodialisis, kadar L-carnitine
menjadi rendah oleh karena berkurangnya biosintesis oleh ginjal, dan kehilangan dari cairan
dialisat. Defisiensi l-carnitine dapat menyebabkan berkurangnya fungsi sistolik dari jantung.
Pemberian l-carnitine juga meningkatkan fraksi ejeksi dari ventrikel kiri. Suatu penelitian
dengan pemberian infus L-carnitin 20 mg/kg pada setiap sesi dialisis mengurangi frekuensi
IDH dan kram otot (44% banding 18% dan 36% banding 13%) dibandingkan dengan plasebo.
Mengenai alasan atas keuntungan ini belum jelas, namun kemungkinan dikarenakan
peningkatan fungsi otot polos vaskular dan fungsi otot jantung. Namun, masih sedikit bukti
mengenai suplementasi l-carnitine berguna dalam pencegahan IDH.1,2,3
Dopamin, merupakan katekolamin yang memproduksi efek ionotropik dan
kronotropik pada miokardium, sehingga meningkatkan heart rate dan kontraktilitas jantung.
Onset kerja dopamin adalah 5 menit setelah pemberian intravena, dan waktu paruh sekitar 2.5
menit. Efek predominan dopamin sangat tergantung dosis. Pada dosis infus rendah (0.5-2
µg/kg/menit) dopamin menyebabkan vasodilatasi. Pada dosis infus sedang (2-10
µg/kg/menit) dopamin bekerja merangsang β1-adrenoreseptor, menyebabkan peningkatan
kontraktilitas miokardium. Pada dosis infus tinggi (10-20 µg/kg/menit) menyebabkan efek
pada α-adrenoreseptor, dengan efek vasokonstriktor dan peningkatan tekanan darah. Suatu
penelitian oleh Wen-Yuan Chiu et al, mengemukakan bahwa pemberian dopamin selama sesi
dialisis dapat diterapi dan efektif untuk grup pasien IDH simptomatik. Pada penelitiannya,
penggunaan infus dopamin pada dosis 20 µg/kg/meenit, dan tidak melebihi dosis tersebut
karena dosis tersebut tidak memberikan efek yang lebih baik untuk miokardium namun
meningkatkan resiko vasokonstriksi dan iskemia.1,2,11
KESIMPULAN
Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari
hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH masih merupakan
masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti mual, dan kram, memiliki
pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis. Sebagai tambahan, IDH sering
membutuhkan cairan, atau penghentian dialisis lebih awal, yang kedua hal tersebut dapat
menyebabkan pembuangan cairan tidak adekuat.
Patogenesis dari hipotensi intradialisis multifaktor, namun secara umum disebabkan
sebagai hasil dari gangguan tiga faktor utama.
Banyak intervensi/cara untuk mencegah IDH seperti: penggunaan dialisis temperatur
dingin, pengaturan profil natrium, peningkatan kadar kalsium dialisat, dan beberapa
penggunaan pressor agents
DAFTAR PUSTAKA
8. Nahid Shahgholian et al, Impact of two types of sodium and ultrafiltration profiles on
dialytic hypotension in hemodialysis patients: IJNMR Autumn 2008; Vol 13, No 4
9. GrefA. Knoll et al, Randomized, Controlled Trial of Albumin versus Saline for the
treatment of Intradialytic Hypotension: Journal of the American Society of
Nephrology 15: 487-492, 2004
12. Frank M. Van der Sande, Management of Hypotension in Dialysis Patients: Role of
Dialysate Temperature Control, Departement of Nephrology, University Hospital
Maastricht, The Netherlands: Saudi J Kidney Dis Transplant 2001;12(3):382-386
15. Guy Rostoker et al, Left Ventricular Diastolic Dysfunction as a risk factor for Dialytic
Hypotension, Division of Nephrology and Dialysis Centre Hospitalier Privé Claude
Galien, Quincy-sous-Sénart , France: Cardiology 2009;114:142–149
17. Paik Seong lim et al, Midrodrine for the treatment of intradialytic hypotension,
Division of Nephrology, Department of Medicine, Kuang Tien General Hispital,
Shalu Chen, Taichung, Taiwan/ROC: Nephron 1977;77:279-283