Anda di halaman 1dari 21

 

 
Reading Assignment Acc Supervisor

Div. Nefrologi Hipertensi

Presentator: dr. Ananda W. Ginting Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD KGH

HIPOTENSI INTRADIALISIS
Ananda Wibawanta Ginting
Divisi Nefrologi Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RSUP H. Adam Malik/RSU. Dr Pirngadi Medan
I. PENDAHULUAN
Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari
hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH masih merupakan
masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti mual, dan kram, memiliki
pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis. Sebagai tambahan, IDH sering
membutuhkan cairan, atau penghentian dialisis lebih awal, yang kedua hal tersebut dapat
menyebabkan pembuangan cairan tidak adekuat. Pasien dengan IDH, sering mengalami
keadaan kelebihan cairan (volume overload) dan dialisis sering tidak adekuat.2,3,4
Patogenesis dari hipotensi intradialisis multifaktor, namun secara umum disebabkan
sebagai hasil dari gangguan tiga faktor utama yang memainkan peran dalam stabilitas
hemodinamik selama hemodialisis: pertama, refilling volume darah dari interstisial ke dalam
kompartemen vaskular, sehingga disebut preservasi volume darah; kedua, konstriksi dari
resistance vessels seperti arteri yang kecil dan arteriol, dan ketiga, mempertahankan output
jantung, melalui peningkatan kontraktilitas miokardium, heart rate, dan konstriksi dari
capacitance vessels seperti venula dan vena.12,13
Banyak intervensi/cara untuk mencegah IDH seperti: penggunaan dialisis temperatur
dingin, pengaturan profil natrium, peningkatan kadar kalsium dialisat, dan beberapa
penggunaan pressor agents seperti midodrine. 1,2,3
Berikut ini akan dibahas mengenai hipotensi intradialisis, mengenai definisi,
patogenesis, pencegahan, dan penatalaksanaan pasien dengan hipotensi intradialisis.

1  
 
II. DEFINISI
Pada beberapa literatur, pengertian intradialytic hypotension (IDH) tidak memiliki
standardisasi dan beberapa studi memiliki definisi yang berbeda. Namun kebanyakan
mendefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai munculnya gejala spesifik.
Penurunan tekanan darah bisa relatif atau absolut. Sampai saat ini, belum ada evidence based
yang merekomendasikan pengertian IDH. Manifestasi dari IDH bervariasi mulai dari
asimptomatik sampai dengan syok. The EBPG working group menekankan bahwa
menurunnya tekanan darah, disertai dengan munculnya gejala klinis yang membutuhkan
intervensi medis harus dipikirkan kemungkinan munculnya IDH. Beberapa literatur
mengemukakan bahwa IDH ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik ≥ 30 atau
tekanan darah sistolik absolut dibawah 90 mmHg. Hipotensi pada dialisis bisa muncul
dengan beberapa gambaran klinis: (i) akut (episodik) hipotensi, didefinisikan sebagai
penurunan tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah 90 mmHg atau paling tidak 20
mmHg diikuti dengan gejala klinis, (ii) Rekuren (berulang), secara definisi sama seperti yang
sebelumnya, namun hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis, dan (iii) kronik, yaitu
hipotensi persisten yang didefinisikan sebagai tekanan darah interdialisis tetap dalam kisaran
90-100 mmHg. Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan hipotensi intradialisis
(Intradialytic hypotension) sebagai suatu penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau
penurunan Mean arterial pressure (MAP) >10 mmHg dan menyebabkan munculnya gejala-
gejala seperti: perasaan tidak nyaman pada perut (abdominal discomfort); menguap
(yawning); sighing; mual; muntah; otot terasa kram (muscle cramps), gelisah, pusing, dan
kecemasan. Hal ini mengganggu kenyamanan pasien, dan dapat mencetuskan aritmia jantung,
dan sebagai faktor predisposisi untuk penyakit jantung koroner, infark miokard (Burton et al.,
2009) dan/atau kejadian iskemia otak (Mizumasa et al., 2004). Selain itu, IDH menyebabkan
terhalangnya dosis dialisis yang adequat (adequate dose of dialysis), dimana episode
hipotensi menyebabkan efek kompartemen dan menghasilkan Kt/Vurea suboptimal.1,2,3,4
Komplikasi kardiovaskular dari IDH termasuk: kejadian iskemia (kardiak atau
neurologis); trombosis vaskular; disritmia; dan infark vena mesenterika. Efek IDH jangka
panjang termasuk; kelebihan cairan dikarenakan ultrafiltrasi yang suboptimal dan pemberian
bolus cairan resusitasi, pembesaran ventrikel jantung kanan, yang berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas; serta hipertensi interdialisis.2
III. Insidensi dari IDH
Pada 10 tahun terakhir, meskipun teknologi dari dialisis mengalami peningkatan,
frekuensi dari IDH masih tetap tidak berubah, yaitu sekitar 20-25% dari semua sesi
hemodialisis. Pada beberapa literatur insidensinya mencapai 30% dari terapi dialisis
konvensional, dan 35% dari tekhnik ekstrakorporeal. Di USA, insidensi IDH pada akhir
tahun 2000 bervariasi dari 15%-50% dan sekitar 23% pada unit hemodialisis RS. Dr.
Soetomo, Surabaya, dimana 80% merupakan pasien diabetes mellitus. Daugirdas dkk,
mengemukakan bahwa IDH merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai pada pasien
Hemodialisis, dan kejadiannya mencapai 20 sampai 33%. Pada beberapa studi cohort
insidensi IDH bervariasi dari 10%-13%. Sebagai tambahan, insidensi dari IDH akan terus
menerus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah pasien dengan usia tua yang
mengalami CKD, pasien dengan keadaan penyakit yang semakin berat, dan juga dikarenakan
peningkatan jumlah pasien diabetes dengan CKD yang progresif. Pada keadaan ini insidensi
IDH bisa smencapai 50%. 1,2,6

IV. Faktor Resiko IDH


Beberapa subgrup pasien yang mempunyai kecenderungan terjadinya IDH antara lain
pasien dengan diabetes CKD, penyakit kardiovaskular, status nutrisi yang jelek, dan
hipoalbuminemia, uremic neuropathy atau disfungsi autonomik, anemia yang berat, usia ≥ 65
tahun, dan tekanan darah sistolik predialisis < 100 mmHg. Namun demikian belum ada
penelitian epidemiologis dalam jumlah skala besar untuk mendefinisikan faktor-faktor resiko
yang berhubungan dengan kejadian IDH, walaupun IDH muncul lebih sering pada pasien
dengan diabetes dan hipotensi predialisis. Walaupun pasien dialisis memiliki tensi yang
normal (normotensi) atau hipertensi, dapat mengalami IDH. Derajat beratnya IDH pada satu
pasien mungkin bisa bervariasi dari waktu ke waktu. Insidensi IDH sangat bervariasi selama
periode 24 bulan. Selain itu, ada variasi tekanan darah pada pasien hemodialisis.1
Studi penelitian multi-centre cohort yang besar, telah dilaporkan oleh Tisler et al. Dari
penelitian kohort 958 pasien, bersumber dari 11 pusat hemodialisis, dijumpai 226 pasien
dengan IDH. Usia, jenis kelamin wanita, diabetes melitus, hiperfosfatemia, penyakit arteri
koroner, dan penyakit ginjal selain glomerulonefritis, dan penggunaan obat-obat golongan
nitrat, menyebabkan angka kejadian IDH lebih tinggi. Analisis multivariat, menyimpulkan
bahwa usia, hiperfosfatemia dan penggunaan obat-obatan nitrat merupakan faktor resiko
independen untuk terjadinya IDH. Pada studi lain, episode hipotensi muncul pada 44% pasien
dialisis dengan usia ≥ 65 tahun dan 32% pada pasien dengan usia yang lebih muda.
Nakamoto H dkk mengemukakan bahwa kadar albumin yang rendah merupakan faktor resiko
untuk IDH.1
Abnormalitas dari jantung dapat meningkatkan resiko terjadinya IDH. Pada studi
observasional 15 pasien dialisis, penurunan tekanan darah lebih tinggi pada pasien dengan
disfungsi sistolik, dibandingkan dengan pasien dengan fungsi sistolik yang normal. Dan juga,
disfungsi diastolik bisa meningkatkan resiko IDH. Pada suatu studi observational, pasien
dengan IDH mempunyai hipertrofi ventrikel kiri yang lebih berat dengan tekanan darah pre-
dialisis yang lebih rendah, dan terganggunya pengisian diastolik ventrikel kiri. Walaupun
anemia dipertimbangkan sebagai faktor resiko untuk terjadinya IDH, belum ada studi yang
membahas hubungan anemia terhadap terjadinya IDH.1,7
Neuropati saraf autonom juga ditemukan sebagai salah satu faktor resiko untuk IDH
pada sebagian banyak penelitian, namun tidak pada semua penelitian.1

Berikut ini adalah subgrup pasien dengan hemodialisis kronik yang harus dievaluasi
dengan hati-hati karena memiliki faktor resiko untuk terjadinya IDH:1,2

• Pasien dengan diabetes CKD stadium 5

• Pasien dengan Penyakit kardiovaskular: LVH dan disfungsi diastolik dengan atau
tanpa CHF; Pasien dengan penyakit katup jantung; Pasien dengan penyakit
perikardium (perikarditisi konstriktif atau efusi perikardium)

• Pasien dengan status nutrisi yang buruk, dan hipoalbuminemia

• Pasien dengan uremic neuropathy atau disfungsi autonomik dikarenakan penyebab


lain

• Pasien dengan anemia yang berat

• Pasien yang membutuhkan volume ultrafiltrasi yang lebih besar; misal pada pasien
dengan berat badan yang melebihi interdialytic weight gain

• Pasien dengan usia 65 tahun atau usia yang lebih tua

• Pasien dengan tekanan darah sistolik predialisis < 100 mmHg


V. Patofisiologi IDH
Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab dari IDH adalah multifaktorial.
Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan darah selama
hemodialisis: umur, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia, large interdialytic
weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat antihipertensi. Pada sisi lain, faktor-faktor yang
berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat berkontribusi terhadap instabilitas
hemodinamik: sesi hemodialisis yang pendek, laju ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat
yang tinggi, konsentrasi sodium dialisat yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari
membran dan lain-lain. Faktor yang kelihatannya paling dominan dari kejadian IDH ini
adalah berkurangnya volume sirkulasi darah yang agresif, dikarenakan ultrafiltrasi,
penurunan osmolalitas ekstraselular dengan cepat yang berhubungan dengan perpindahan
sodium, dan ketidakseimbangan antara ultrafiltrasi dan plasma refilling. Dari segi pandangan
fisiologi, IDH dapat dipandang sebagai suatu keadaan ketidakmampuan dari sistem
kardiovaskular dalam merespon penurunan volume darah secara adequat. Respon adequat
dari sistem kardiovaskular termasuk refleks aktivasi sitem saraf simpatetik, termasuk
takikardia dan vasokonstriksi arteri dan vena yang merupakan respon dari cardiac
underfilling dan hipovolemia. Mekanisme kompensasi ini dapat terganggu pada beberapa
pasien, yang akan menyebabkan mereka mempunyai faktor resiko terjadinya IDH.
Bagaimanapun, hal-hal seperti ini sulit untuk diukur dan untuk dimodifikasi. Suatu studi
komprehensif mengenai regulasi volume darah selama HD, dapat menolong kita untuk
mengerti tentang kemungkinan IDH pada individu pasien.1,2,3,4

Regulasi Volume Darah


Konsep Plasma Refilling
Volume darah tergantung dari dua faktor utama; kapasitas plasma refilling dan laju
ultrafiltrasi. Selama sesi HD, cairan dipindahkan langsung dari kompartemen intravaskular.
Jumlah total cairan tubuh (TBW), sekitar 60% dari berat badan, didistribusikan di intraseluler
(40% BW) dan sebagian lagi di kompartemen ekstraselular (20% BW). Ekstraselular dapat
dibagi lagi menjadi interstisial (15% BW) dan intravaskular (5% BW). Sehingga hanya
sekitar 5-8% dari TBW yang dapat diultrafiltrasi. Sehingga untuk memindahkan sejumlah
cairan substansial dalam jangka waktu tertentu, kompartemen vaskular harus melakukan
refilling secara terus menerus dari ruangan interstisial. Dalam lingkaran fisiologis, penurunan
volume darah akan menginisiasi peningkatan resistensi vaskular perifer, dikarenakan
vasokonstriksi, dan mempertahankan cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate
dan kontraktilitas miokard dan konstriksi dari capacitance vessels. Orang sehat dapat
mentoleransi penurunan volume sirkulasi darah sampai 20% sebelum munculnya hipotensi.
Namun, pada pasien dengan HD, hipotensi dapat muncul hanya dengan penurunan volume
darah dalam jumlah yang lebih sedikit. Terganggunya respon kardiak berupa peningkatan
heart rate dan kontraktilitas miokardium dapat mencetuskan terjadinya IDH. Telah
dikemukakan sebelumnya bahwa adanya penyakit jantung, yang menyebabkan disfungsi
sistolik atau diastolik meningkatkan resiko terjadinya IDH. Penurunan tekanan darah lebih
besar pada pasien dengan disfungsi sistolik dibandingkan denga fungsi sistolik normal.
Hipertrofi ventrikel kiri yang lebih berat dan diastolic filling yang terganggu juga dijumpai
pada pasien IDH.1,2
Plasma refill sebagian besar diperankan oleh tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik.
Selama sesi HD awal, tekanan onkotik vaskular meningkat dan tekanan hidrostatik menurun
sebagai hasil dari ultrafiltrasi yang progresif. Perubahan gradien tekanan menyebabkan cairan
bergerak ke dalam vaskular sampai keseimbangan tercapai. Begitu seterusnya sampai sesi
HD berakhir (Santoro et al., 1996). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi laju plasma
refilling adalah: status hidrasi kompartemen interstisial, osmolalitas plasma, dan konsentrasi
plasma protein, konsentrasi sodium dialisat, permeabilitas vaskular, dan venous compliance.
Sehingga, IDH dapat muncul ketika terjadinya ketidakseimbangan diantara laju ultrafiltrasi
dan kapasitas plasma refilling yang tidak bisa diatur oleh refleks kompensasi
kardiovaskular.1,2
Cardiac underfilling terutama ventricular underfilling merupakan salah satu
mekanisme akibat terganggunya mekanisme kompensasi kardiovaskular yang dapat memicu
sympatico-inhibitory cardiodepressor Bezold-Jarish reflex. Refleks ini berupa suatu keadaan
bradikardia akibat gangguan respon simpatik yang terganggu. Beberapa penelitian telah
menunujukkan bahwa gangguan fungsi simpatik, dapat ditunjukkan dengan beberapa
manifestasi, seperti berkurangnya frekuensi heart rate. Berkurangnya resistensi dan
kapasitansi pembuluh darah selama penurunan volume darah dapat memicu IDH.
Berkurangnya konstriksi dari arteriolar dapat mengganggu respon fisiologis terhadap keadaan
hipovolemia. Berkurangnya konstriksi aktif dan pasif dari venula dan vena, yang
menyebabkan berkurangnya venous return selama hipovolemia.1,2,7,15
Telah lama diketahui sebelumnya bahwa iskemia miokardium dapat disebabkan oleh
HD. Sesi HD yang singkat saja dapat berpengaruh secara signifikan terhadap hemodinamik,
dan 20-30% kejadian ini menyebabkan IDH. Pasien HD lebih rentan terhadap kejadian
iskemia miokardium. Dengan bertambah tingginya kejadian ateroma arteri koroner, pasien
diabetes dengan HD, mengalami suatu keadaan yaitu berkurangnya aliran koroner walaupun
tidak dijumpai lesi di pembuluh darah koroner. Pasien HD juga cenderung mengalami LVH,
berkurangnya compliance arteri perifer, gangguan mikrosirkulasi, dan inefektif
mikrosirkulasi, dan inefektif vasoregulasi. Seluruh faktor ini akan mempredisposisi terjadinya
iskemia jantung. Diabetes dapat menyebabkan komplikasi sistemik seperti neuropati
autonom, dan perifer, makroangiopati, dan progresifitas dari aterosklerosis dan dapat
memperberat atau bahkan meningkatkan kejadian IDH. Salah satu juga yang harus
diperhitungkan bahwa uremia sendiri dapat menyebabkan disfungsi autonom.1,2,7,15
Zat-zat Vasoaktif
Beberapa penulis mengindikasikan mengenai mengenai pengaruh dari beberapa
substansi vasoaktif yang disintesis atau dilepaskan selama sesi dialisis berlangsung. Seperti
yang telah diketahui sebelumnya, disfungsi endotel mempunyai peran penting dalam
instabilitas hemodinamik selama dialisis berlangsung. Sebagai respon mekanis dan kimia, sel
endotel akan merespon dengan memproduksi substansi biologis aktif, yaitu: endothelial
derived relaxing factor, NO, endothelin-1. Sebagai contoh, zat-zat cardiodepressive dan
vasodilative adenosine atau nitric oxide (NO) yang mengalami produksi berlebihan oleh
inducible synthase. Adenosin, suatu nukleosida purin endogen, dilepaskan oleh sel endotel
dan miosit vaskular selama terjadinya iskemia jaringan. Konsentrasi adenosin yang tinggi dan
metabolitnya telah banyak dijumpai pada pasien hemodialisis. Substansi ini bekerja dengan
menstimulasi reseptor spesifik dan efek yang ditimbulkannya adalah supresi dari
kontraktilitas jantung, dan berkurangnya heart rate, relaksasi arteri, dan juga menurunnya
pelepasan katekolamin dan renin. Akumulasi dari adenosin mungkin terjadi karena dipicu
oleh IDH yang mencetuskan iskemia, dan hal ini sepertinya tidak merupakan pemeran utama
dari patogenesis terjadinya hipotensi intradialisis. NO, merupakan zat kimia yang labil,
disintesa dari asam amino L-arginine (L-arg) oleh enzim NOS (Nitric Oxide synthase), studi
invitro mengemukakan bahwa aktivitas dari NO synthase meningkat ketika darah terekspos
oleh material membran hemodialisis. Pada pasien dengan hemodialisis, aktivasi dari sitokin
selama hemodialisis meningkatkan kadar NO, dan uremic milieu telah dilaporkan
meningkatkan sintesis dari NO dengan meningkatkan aktivitas dari NO synthase (NOS).
Sebenarnya ada zat yang menghambat sintesa dari NO, zat ini disebut Asymmetric
dimethyarginine (ADMA). Inhibitor ini bersifat dialyzable. Sehingga, gangguan
keseimbangan kadar NO dan ADMA selama proses HD, dapat mencetuskan instabilitas
hemodinamik. Endothelin-1 (ET-1) dapat memodulasi respon vaskular, dan menentukan
respon hemodinamik terhadap perubahan volume intravaskular selama hemodialisis
terjadi.1,2,14

Komposisi Cairan Dialisat


Dialisat Sodium
Kadar sodium pada cairan dialisat memainkan peranan penting dalam refill volume
darah dari kompartemen interstisial. Pengembalian volume darah dari interstisial ke dalam
kompartemen intravaskular akan rendah bila status hidrasi dari interstisial juga rendah.
Semakin tinggi konsentrasi sodium pada cairan dialisat, maka cairan akan bergerak dari
kompartemen intraselular, sedangkan konsentrasi sodium yang rendah, disequilibrium antara
kompartemen intraselular dan ekstraselular akan terjadi. Oleh karena itu, dialisis dengan
kadar sodium yang rendah, pengembalian volume darah dari kompartemen interstisial akan
terganggu, oleh karena normalnya cairan akan bergerak dari interstisial kedalam
kompartemen intraselular, sementara dengan kadar sodium dalam dialisat, cairan akan
bergerak dari intraselular ke dalam kompartemen interstisial, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi pengembalian volume darah dari interstisial kedalam kompartemen
intravaskular.1,2,3,4,8,18
Beberapa studi, menemukan adanya penurunan insidensi IDH atau insidensi
penurunan tekanan darah pada pasien yang diterapi dengan konsentrasi sodium dialisat
konvensional (138-140 mmol/L) dibandingkan dengan konsentrasi sodium dialisat yang
rendah (≤135 mmol/L). Namun tidak semua studi berpendapat sama seperti yang diatas.2,3,4
Kadar sodium dialisat yang tinggi (>140 mmol/L) telah dikemukakan dapat mencegah
terjadinya IDH. Walaupun kadar sodium dialisat yang tinggi dapat digunakan dalam
pencegahan IDH, hal ini tidak sepenuhnya bisa diterima, karena beberapa studi
menyimpulkan bahwa dengan kadar sodium dialisat yang tinggi berhubungan dengan kontrol
tekanan darah yang buruk selama sesi dialisis (intradialytic), terutama pada pasien hipertensi
atau peningkatan IDWG. Penggunaan cairan dialisat dengan kadar sodium yang lebih
tinggi(> 140 mEq/L) efektif untuk memastikan adequatnya vascular refilling dan telah
terbukti sebagai salah satu terapi yang efikasi dan toleransinya paling baik untuk hipotensi
episodik.2,3,4,5,8,10
Kadar sodium pada cairan dialisat dapat dimodifikasi selama hemodialisa dengan
tujuan mengurangi penurunan volume darah yang terlalu agresif selama ultrafiltrasi. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara memodifikasi konsentrasi sodium selama proses hemodialisis.
Pada umumnya, konsentrasi tinggi sodium dialisat digunakan pada awal sesi HD, sehingga
akan menyebabkan influx dari Na lebih awal untuk mencegah penurunan osmolalitas plasma
yang agresif. Banyak penelitian, mengemukakan bahwa dialisis dengan kadar sodium tinggi,
berhubungan dengan peningkatan rasa haus, IDWG, dan peningkatan level tekanan darah
predialisis.2,3,5,18
Buffer Dialisat
Asetat, pada dekade sebelumnya digunakan sebagai buffer dialisat, mempunyai efek
vasodilatasi, dan efek kardiodepresan. Pada beberapa studi cross over yang kecil. Penurunan
tekanan darah yang lebih besar atau insidensi IDH yang lebih tinggi dijumpai pada
penggunaan asetat dibandingkan dengan bikarbonat. Suatu studi mengemukakan bahwa
toleransi ultrafiltrasi lebih baik dan signifikan dengan menggunakan bikarbonat dibandingkan
dengan penggunaan asetat. Ada dua studi yang mencoba efek dari perubahan buffer asetat
menjadi bikarbonat. Pada salah satu dari kedua studi tersebut, merupakan non-randomized
cross-over trial, menyimpulkan terjadinya penurunan insidensi IDH sebesar 50%. Dan juga
selama proses hemodiafiltrasi, sedikit terjadi instabilitas hemodinamik pada penggunaan
bikarbonat versus asetat sebagai buffer dialisat.1,2,3,6
Lebih jauh, diperkirakan bahwa, konsentrasi bikarbonat pada dialisat mempengaruhi
stabilitas hemodinamik. Pada studi randomized cross-over trial, insidensi IDH secara
signifikan lebih rendah dengan menggunakan dialisat bikarbonat. Bagaimanapun, pada
percobaan ini, juga menggunakan konsentrasi kalsium pada dialisat yang rendah (1.25
mmol/l). Pada beberapa penelitian randomized cross-over, tidak ada perbedaan instabilitas
hemodinamik atau penurunan tekanan darah yang ditemukan selama penggunaan dialisat
bikarbonat dengan konsentrasi 26 atau 32 mmol/L, walaupun dengan konsentrasi kalsium
pada cairan dialisat rendah (1.25 mmol/L). Pada percobaan ini, insidensi IDH lebih rendah
ketika pasien diberikan konsentrasi bikarbonat dialisat. 32 mmol/L dan konsentrasi kalsium
dialisat 1.50 mmol/L.1,2,3,6
Konsentrasi bikarbonat dialisat yang rendah kemungkinan akan menyebabkan
insuffisiensi koreksi asidosis dan menyebabkan efek samping pada metabolisme tulang dan
status nutrisi pasien.2
Sebagai kesimpulan, penurunan tekanan darah dan insidensi IDH lebih tinggi pada
penggunaan asetat sebagai buffer dialisat. Konsentrasi bikarbonat standar tidak menyebabkan
instabilitas hemodinamik jika dibandingkan dengan konsentrasi bikarbonat dialisat yang
rendah dengan konsentrasi kalsium 1.50 mmol/L.2
Dialisat kalsium
Perubahan kalsium terionisasi memainkan peranan penting dalam kontraktilitas
miokardium selama hemodialisis berlangsung. Beberapa studi menunjukkan penurunan
kontraktilitas miokardium diantara pasien yang mendapat konsentrasi kalium rendah (1.25
mmol/L) dibandingkan dengan pasien yang mendapat konsentrasi kalium yang tinggi (1.75
mmol/L). Perubahan tekanan arterial rata-rata selama hemodialisis berbanding terbalik
dengan kadar kalsium terionisasi, sedangkan pada dua studi, yang mana salah satunya
dilakukan pada pasien dengan gangguan jantung disimpulkan bahwa penurunan tekanan
darah lebih sedikit pada pasien dengan konsentrasi kalsium dialisat 1.75 mmol/L
dibandingkan dengan 1.25 mmol/L. Pada studi lain, tidak ada perbedaan respon tekanan
darah dijumpai diantara konsentrasi kalsium rendah ataupun tinggi. Dengan kata lain, dialisat
tinggi kalsium menyebabkan keseimbangan kalsium positif selama dialisis, sementara
keseimbangan kalsium cenderung negatif dengan kadar dialisat rendah kalsium. Dialisat
tinggi kalsium mungkin memiliki efek jangka pendek yang merugikan berupa kekakuan
arteri, dan relaksasi jantung, walaupun penelitan lain tidak menemukan efek peningkatan
kadar kalsium terionisasi dengan penggunaan dialisis tinggi kalsium pada fungsi diastolik
jantung. Hubungan antara konsentrasi kalsium dialisat dan kalsifikasi vaskular belum
sepenuhnya dipelajari.2
Suatu studi randomized cross-over menemukan insidensi IDH yang lebih rendah dan
penurunan tekanan darah yang lebih rendah dengan penggunaan konsentrasi kalsium 1.50
mmol/L dibandingkan dengan dialisis rendah kalsium. Pada studi ini, konsentrasi bikarbonat
dialisat adalah 26 mmol/L (dialisis rendah kalsium) dan 32 mmol/L (konsentrasi kalsium 1.50
mmol/L).2
Studi randomized cross-over menilai efek dari kalsium yang diprofil pada stabilitas
hemodinamik pada 18 pasien hemodialisis. Selama periode 9 minggu, terdapat tiga terapi
dengan konsentrasi dialisat kalsium yang berbeda diterapkan, masing-masing 1.25 mmol/L,
dan 1.50 mmol/L dan terapi diprofil dengan konsentrasi kalsium 1.25 mmol/L selama 2 jam
pertama, dan 1.75 mmol selama 2 jam selanjutnya. Dengan terapi seperti itu, kejadian IDH
dapat dikurangi dibandingkan dengan konsentrasi dialisat 1.25 mmol/L dan 1.50 mmol/L.2
Sebagai kesimpulan, hampir kebanyakan studi menunjukkan efek positif dialisat
tinggi kalsium pada stabilitas hemodinamik selama dialisis dibandingkan dengan dialisat
rendah kalsium. Namun, dialisat tinggi kalsium menyebabkan keseimbangan kalsium positif
pada jangka pendek dan jangka panjang, mempunyai potensi efek yang merugikan.1,2
Dialisat dan Temperatur tubuh
Selama hemodialisis dengan suhu dialisis standar (≥ 37oC), suhu inti meningkat
walaupun terjadi kehilangan energi melalui sistem ekstrakorporeal. Hal ini dapat
meningkatkan resiko terjadinya IDH. Fenomena ini tidak sepenuhnya dimengerti. Ada yang
mengemukakan oleh karena heat load dari sistem ekstrakorporeal, ataupun proses sekunder
dari perpindahan cairan. Perpindahan cairan berasosiasi dengan peningkatan metabolic rate
dan berkurangnya kehilangan panas dari kulit yang disebabkan oleh vasokonstriksi perifer
sebagai respon dari penurunan volume darah. Peningkatan suhu inti tubuh menyebabkan
dilatasi dari pembuluh darah di kulit, hal ini berlawanan dengan respon fisiologis dari
hipovolemia. Namun hipotesis ini baru-baru ini ditentang. Agar mencegah peningkatan suhu
inti ini, sejumlah energi panas signifikan, sebesar 30% dari daily resting energy expenditure,
harus dikeluarkan oleh sirkuit ekstrakorporeal dengan mendinginkan dialisat. Berbagai
percobaan randomized cross-over menunjukkan bahwa dialisis dengan temperatur dialisat
lebih dingin (pada kebanyakan studi 35oC) dikaitkan dengan peningkatan reaktivitas dari
resistensi perifer dan kapasitansi pemubuluh darah, meningkatkan kontraktilitas miokardium,
mengurangi penurunan tekanan darah, dan mengurangi frekuensi IDH dibandingkan dengan
temperatur dialisat 37-37.5oC. Dialisis dengan suhu yang lebih dingin dapat menyebabkan
gemetar (keringat dingin), namun tidak semua studi. Penurunan volume darah signifikan
lebih tinggi dengan menggunakan dialisis temperatur dingin, kemungkinan dikarenakan
berkurangnya refill volume darah dari interstisial dikarenakan vasokonstriksi perifer.
Walaupun pada studi dimana penurunan volume darah lebih besar dengan dialisis temperatur
dingin, stabilitas hemodinamik meningkat jika dibandingkan dengan temperatur dialisis
standar. Oleh karena dialisis temperatur dingin terkadang dapat menyebabkan gemetar
(keringat dingin), the working group menyarankan untuk menurunkan suhu dialisat secara
bertahap, dari 36.5oC kebawah selama sesi dialisis yang berbeda agar mencapai hasil klinis
yang terbaik pada individu pasien. Agar mengurangi efek samping dan dikarenakan
pengalaman yang terbatas, serta tidak adanya bukti mengenai manfaat dari suhu dialisat <
35oC, the working group menyarankan bahwa suhu dialisat < 35oC tidak boleh
digunakan.1,2,3,4,5,10,12,13,16
Sebagai kesimpulan, dialisis temperatur dingin efektif dalam mencegah IDH tanpa
efek samping yang merugikan. Agar dapat mengurangi efek samping seperti shivering, maka
dianjurkan penurunan temperatur dialisat secara bertahap mulai dari 36.5oC sampai
didapatkan efek optimal. Sangat sedikit bukti dan keuntungan tambahan dengan penurunan
suhu dialisat < 35oC. Perlu diingat bahwa monitoring temperatur sulit pada pasien dialisis,
dikarenakan variasi suhu ruangan, suhu inti tubuh, dan temperatur dialisat, serta kurangnya
sensitivitas alat untuk memantau gradien suhu dialisat-darah.1,2,3,4

Pencegahan IDH
Berat Badan Kering (Dry body weight)
Perhitungan dry body weight yang tidak tepat dapat menyebabkan underhydration
atau overhydration pasien dialisis. Studi-studi sebelumnya menunjukkan jumlah signifikan
dari pasien tidak stabil yang pada awalnya normohidrasi atau underhidrasi, menjadi
underhydrated pada akhir sesi dialisis. Pada pasien underhydrated, volume interstisial sangat
kurang, dan terganggunya refill dari volume darah, sehingga menyebabkan penurunan
volume darah yang lebih besar. Dengan kata lain, overestimasi berat badan kering dapat
menyebabkan hipertensi dan meningkatkan resiko terjadinya dilatasi jantung, dan edema
paru. Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk menilai keadaan pasien apakah pasien
kemungkinan underhydrated atau overhydrated. Beberapa metode non-invasif telah
dikembangkan. Cardiothoracic ratio dengan X-ray bisa mendeteksi pasien overhydrated,
tetapi tidak dapat digunakan sebagai alat untuk pencegahan terjadinya IDH. Diameter vena
cava inferior, dapat diukur dengan ekokardiografi, berhubungan dengan volume darah, dan
tekanan atrium kanan dan dapat memprediksi perubahan hemodinamik selama proses dialisis.
Analisis Multifrequency bioimpedance dapat digunakan untuk memprediksi instabilitas
hemodinamik pada beberapa studi. Alat ini juga sangat sensitif dalam mendeteksi perubahan
status cairan. Marker biokimia seperti cGMP, tetapi bukan ANP, dapat memprediksi
perubahan hemodinamik selama dialisis berlangsung. Baik cGMP dan ANP dilepaskan
sebagai respon terhadap peregangan atrium kiri. cGMP ditemukan dan dianggap
kemungkinan berguna untuk diagnosis overhydration, namun tidak dapat memprediksi
underhydration. Dan juga BNP, yang dilepaskan sebagai respon terhadap peregangan
terhadap ventrikel kiri, dapat memprediksi overhidration, tetapi tidak underhydration.
Sebagai kesimpulan, melalui beberapa metode objektif dapat digunakan untuk memprediksi
perubahan tekanan darah dan parameter hemodinamik yang lain selama hemodialisis, pada
saat ini penggunaan ekokardiografi vena kava telah menunjukkan hasil yang memuaskan
dalam pengurangan terjadinya IDH. Bagaimanapun, tekhnik ini tergantung operator, dan
mungkin sulit diinterpretasikan pada pasien gagal jantung. Penggunaan bioimpedance tidak
menunjukkan pencegahan terjadinya IDH, namun tekhnik ini mungkin bermanfaat untuk
mendeteksi perubahan status hidrasi.2
Tekanan darah dan frekuensi heart rate
Tekanan darah dan frekuensi heart rate harus diukur rutin selama hemodialisis untuk
mengantisipasi IDH. Dua tipe episode hipotensi dapat dibedakan selama hemodialisis, yaitu
bradikardia dan takikardia. Kebanyakan, episode IDH dikarakteristikkan dengan penurunan
tekanan darah bertahap dan peningkatan heart rate. Alternatif, episod IDH dapat muncul tiba-
tiba dan berhubungan dengan respon bradikardia (Bezold Jarish Reflex), yang berasal dari
aktivasi mekanoreseptor ventrikel kiri dikarenakan underfilling ventrikel berat. Pada IDH tipe
takikardi, diperkirakan bahwa IDH mungkin dapat dicegah dengan pengaturan ultrafiltrasi,
walaupun belum ada studi yang membuktikan hal ini.2
Evaluasi jantung harus dilakukan pada pasien dengan frekuensi IDH yang sering.
Keadaan penyakit jantung, menyebabkan disfungsi sistolik dan disfungsi diastolik dari
jantung dapat meningkatkan resiko terjadinya IDH. Peningkatan kontraktilitas miokardium
merupakan respon fisiologik terhadap penurunan volume darah, dimana respon ini dapat
terganggu oleh disfungsi sistolik dari jantung. Diastolic filling terganggu pada pasien IDH,
dan disfungsi diastolik biasanya berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri, namun bisa
juga karena iskemia miokardium atau fibrosis.2,15
Intervensi Pola hidup
Dalam rangkan mengontrol IDWG, dan mengurangi resiko IDH, asupan garam harus
diperhatikan dan tidak boleh melebihi 6 gram/hari. Restriksi garam menurunkan IDWG dan
meningkatkan kontrol tekanan darah interdialisis. Dua penelitian menilai efek dari batasan
asupan garam terhadap kontrol tekanan darah interdialisis dan insidensi IDH. IDWG
menurun secara signifikan dengan batasan asupan garam, dan insidensi IDH: 0.71±0.8
(asupan garam biasa) vs 0.18±0.5 (asupan garam dibatasi). Pada studi lain, insiden IDH
bulanan menurun dari 22% menjadi 7% setelah membatasi asupan garam. Pada pasien
diabetes, hiperglikemia dapat mencetuskan perasaan haus, dan menstimulasi haus dan
meningkatkan IDWG, sehingga diperkirakan kontrol glukosa yang ketat dapat mengurangi
IDWG, namun belum ada data mengenai kontrol glukosa dan IDWG pada pasien dialisis.
Kesimpulan, mengurangi asupan garam (2 gram/90 mmol Na atau 6 gram NaCl) dapat
mengurangi IDWG dan dapat mempunyai peranan dalam pencegahan IDH.2
Asupan makanan selama dialisis dapat menyebabkan vasodilatasi splachnic, dan
dapat mencetuskan IDH. Tiga studi menunjukkan penurunan tekanan darah yang lebih besar
dan insidensi IDH lebih besar setelah asupan makanan. Kafein tidak terbukti dapat mencegah
kejadian IDH.2
Durasi Dialisis dan Frekuensi
Pemanjangan waktu dialisis atau peningkatan frekuensi dialisis harus
dipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami IDH. Pemanjangan waktu dialisis dapat
mengurangi laju ultrafiltrasi, sehingga penurunan volume darah tidak agresif. Suatu studi
membandingkan toleransi intradialisis dengan membandingkan dialisis selama 4 jam dan 5
jam, dengan hasil penurunan episode hipotensi pada pasien yang menjalani dialisis selama 5
jam. Lebih jauh, efek dari pengurangan laju ultrafiltrasi, hanya dapat dicapai dengan
memperpanjang waktu dialisis, dan ini telah dilakukan pada pasien dengan gangguan jantung.
Pada studi ini, penurunan tekanan darah sistolik lebih sedikit pada pasien dengan laju
ultrafiltrasi 500 dibandingkan dengan laju ultrafiltrasi 1000. Pada DOPPS, insidensi IDH
lebih sedikit 30% pada pasien dengan laju ultrafiltrasi < 11ml/kg/jam dibandingkan dengan
laju ultrafiltrasi standar. Dan mortalitas lebih rendah pada pasien dengan laju ultrafiltrasi < 10
ml/kg/jam. Pada pasien yang menjalani dialisis 8 jam sebanyak 3 x seminggu, insidensi
hipotensi sangat rendah. Dengan frekuensi hemodialisis yang lebih sering, seperti quotidian
dialysis atau short daily dialysis, kontrol tekanan darah lebih bagus, dan masa ventrikel kiri
juga berkurang. Karena frekuensinya lebih sering, volume ultrafiltrasi dikurangi. Suatu studi
menunjukkan pengurangan insidensi IDH dengan mengganti frekuensi HD dari 3-4 kali
seminggu menjadi 6 kali, 2 jam per sesi dialisis. Suatu studi menunjukkan pengurangan
kebutuhan infus salin setelah konversi frekuensi hemodialisis dari 3x seminggu menjadi 6x
seminggu. Pada studi kohort, 23 pasien (11 pasien, short daily dialysis; 12 pasien, long
nocturnal dialysis) dibandingkan dengan 22 HD konvensional (3x seminggu) sebagai kontrol.
Terjadi pengurangan insidensi dialysis-related symptoms pada short daily dialysis. Namun
studi oleh Fagugli et al pada pasien yang stabil, tidak ada perbedaan IDH diantara short daily
dialysis dan dialisis standar 3x seminggu. Sebagai kesimpulan, ada bukti yang menunjukkan
bahwa memperpanjang waktu dialisis dapat menurunkan kejadian IDH, dengan penurunan
laju ultrafiltrasi sehingga penurunan tekanan darah sistolik tidak terlalu agresif pada pasien
dengan fungsi jantung terganggu.2
Penatalaksanaan IDH
Pendekatan Lini Pertama2
. Konseling asupan makanan (restriksi garam)
. Menghindari asupan makanan selama dialisis
. Pengukuran berat badan kering
. Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialisis
. Penggunaan temperatur dialisat 36.5oC
. Periksa dosis dan waktu pemberian obat antihipertensi
Pendekatan Lini kedua2
. Evaluasi performa jantung
. Penurunan temperatur dialisat secara berkala mulai dari 36.5oC sampai 35oC
. Memperpanjang waktu dialisis dan/atau frekuensi dialisis
. Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1.50 mmol/l
Pendekatan Lini Ketiga2
. Pertimbangan pemberian midodrine
. Pertimbangkan suplementasi L-carnitine
Posisi Trendelenburg2,3,4
Posisi trendelenburg harus dipertimbangkan pada penatalaksanaan IDH. Namun
efikasi masih terbatas. Posisi ini sering digunakan pada penatalaksanaan IDH, dengan
penerapan manuver ini, volume aliran darah berkurang di perifer dan lebih tersentralisasi.
Namun, hanya sedikit studi yang menilai efikasi posisi ini. Pada suatu studi, peningkatan
volume darah hanya sekitar 0.4%. Tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan dalam
perubahan tekanan darah selama dialisis setelah menerapkan posisi terndelenburg. Sebagai
kesimpulan, efek dari posisi trendelenburg pada volume darah sangat kecil.
Stop Ultrafiltrasi2,3,4
Ultrafiltrasi harus dihentikan selama episode IDH. Menghentikan ultrafiltrasi, akan
mencegah penurunan volume darah lebih jauh, dan akan memfasilitasi refill volume darah
dari kompartemen intrestisial. Memperlambat laju aliran darah terkadang dapat digunakan
dalam pengobatan IDH.
Pemberian Cairan2,9
Salin isotonik harus diinfuskan, pada pasien yang tidak respon dengan penghentian
ultrafiltrasi dan posisi trendelenburg selama episode IDH. Pemberian cairan ini paling sering
diberikan untuk meningkatkan volume darah selama kejadian IDH. Baik kristaloid dan koloid
telah dipelajari dalam pengobatan IDH. Beberapa studi telah menilai efek dari salin isotonik,
glukosa hipertonik, manitol, dan larutan koloid. Pada studi tersebut membandingkan efek dari
isovolumetrik infus glukosa 5 dan 20%, salin 0.9% dan 3.0% dan manitol 20% dalam volume
darah selama ultrafiltrasi, peningkatan volume darah paling besar selama pemberian larutan
glukosa hipertonik. Pada studi lain, peningkatan volume darah lebih besar setelah pemberian
infus 100 ml plasma ekspander gelofusin dibandingkan dengan 100 cc salin isotonik. Pada
studi lain, tidak ada perbedaan signifikan antara pemberian albumin dibandingkan salin
isotonik untuk penatalaksanaan IDH. Sebagai kesimpulan baik salin isotonik dan larutan
albumin sama-sama efektif pada pengobatan IDH. Salin hipertonik tidak lebih superior dari
salin isotonik, dan albumin tidak lebih superior dari albumin atau HES pada penatalaksanaan
IDH.
Intervensi farmakologis1,2,17
Midrodin merupakan suatu obat alpha-1 agonist oral. Metabolit dari midodrine,
desglymidodrine, menyebabkan konstriksi dari resistance dan capacitance vessels.
Midrodrine mencegah IDH dengan mempertahankan volume darah sentral dan cardiac
output, dan peningkatan resistensi vaskular perifer. Midodrin efektif diekskresikan melalui
hemodialisis, dan waktu paruh berkurang sampai 1.4 jam dengan hemodialisis. Midodrine
memiliki efek jantung yang minimal, dan efek susunan saraf pusat, dikarenakan spesifisitas
terhadap reseptor α1, dan tidak melewati BBB. Pemberian dosis tunggal midodrine (5 mg)
30 menit sebelum sesi dialisis berhubungan dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan
diastolik dan MAP intradialisis dan pos dialisis, dibandingkan dengan sesi dialisis tanpa
penggunaan midodrine. Penelitian lain menunjukkan efikasi dari penggunaan midodrine
berketerusan (8 bulan) dan tidak ada tanda-tanda efek samping yang berkembang. Namun
beberapa literatur pernah menemukan komplikasinya berupa supine systolic hypertension.
Beberapa studi mengemukakan efek samping yang dijumpai antara lain scalp paresthesias,
heartburn, flushing, nyeri kepala, nyeri leher, dan kelemahan tungkai, urinary urgency, dan
gangguan tidur. Pasien juga harus dimonitor untuk kemungkinan bradikardia, oleh karena
midodrine dapat menstimulasi refleks parasimpatis. Midodrin harus digunakan secara hati-
hati pada pasien CHF dan obat-obat kronotropik negatif seperti beta-bloker, digoksin, dan
CCB nondihidropiridin. Penggunaan bersama-sama dengan obat α-adrenergik yang lain
seperti efedrin, pseudoefedrin, dan phenylpropanolamin harus dihindari, oleh karena akan
mencetuskan supine hypertension. Suatu studi membandingkan efektivitas dari midodrine
dan dialisis temperatur dingin. Baik dialisis temperatur dingin, dan midodrine sama-sama
efektif dalam pencegahan IDH, dan tidak ada perbedaan respon tekanan darah dan insidensi
IDH diantara kedua terapi tersebut. Efektivitas dari beberapa obat vasoaktif dalam
pencegahan IDH telah dilaporkan. Data mengenai efektivitas dan keamanan dari lisin
vasopresin, ergotamin, metilen blue, sertralin dan dobutamin sangat terbatas dan tidak bisa
dijadikan rekomendasi. Pada beberapa literatur menyimpulkan bahwa dosis awal midodrine
adalah 2.5 mg, dimakan 30 menit sebelum dialisis, dengan dosis maksimal 10 mg, efektif dan
mungkin aman dalam pencegahan IDH, walaupun data tentang keamanan dalam penggunaan
jangka panjang masih terbatas. Namun, superioritas dari midodrine dibandingkan dari
intervensi lain belum dapat dibandingkan.
L-carnitine, suplementasi zat golongan ini harus dipertimbangkan dalam pencegahan
IDH jika pengobatan standar lainnya gagal. Pada pasien hemodialisis, kadar L-carnitine
menjadi rendah oleh karena berkurangnya biosintesis oleh ginjal, dan kehilangan dari cairan
dialisat. Defisiensi l-carnitine dapat menyebabkan berkurangnya fungsi sistolik dari jantung.
Pemberian l-carnitine juga meningkatkan fraksi ejeksi dari ventrikel kiri. Suatu penelitian
dengan pemberian infus L-carnitin 20 mg/kg pada setiap sesi dialisis mengurangi frekuensi
IDH dan kram otot (44% banding 18% dan 36% banding 13%) dibandingkan dengan plasebo.
Mengenai alasan atas keuntungan ini belum jelas, namun kemungkinan dikarenakan
peningkatan fungsi otot polos vaskular dan fungsi otot jantung. Namun, masih sedikit bukti
mengenai suplementasi l-carnitine berguna dalam pencegahan IDH.1,2,3
Dopamin, merupakan katekolamin yang memproduksi efek ionotropik dan
kronotropik pada miokardium, sehingga meningkatkan heart rate dan kontraktilitas jantung.
Onset kerja dopamin adalah 5 menit setelah pemberian intravena, dan waktu paruh sekitar 2.5
menit. Efek predominan dopamin sangat tergantung dosis. Pada dosis infus rendah (0.5-2
µg/kg/menit) dopamin menyebabkan vasodilatasi. Pada dosis infus sedang (2-10
µg/kg/menit) dopamin bekerja merangsang β1-adrenoreseptor, menyebabkan peningkatan
kontraktilitas miokardium. Pada dosis infus tinggi (10-20 µg/kg/menit) menyebabkan efek
pada α-adrenoreseptor, dengan efek vasokonstriktor dan peningkatan tekanan darah. Suatu
penelitian oleh Wen-Yuan Chiu et al, mengemukakan bahwa pemberian dopamin selama sesi
dialisis dapat diterapi dan efektif untuk grup pasien IDH simptomatik. Pada penelitiannya,
penggunaan infus dopamin pada dosis 20 µg/kg/meenit, dan tidak melebihi dosis tersebut
karena dosis tersebut tidak memberikan efek yang lebih baik untuk miokardium namun
meningkatkan resiko vasokonstriksi dan iskemia.1,2,11

KESIMPULAN

Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari
hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH masih merupakan
masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti mual, dan kram, memiliki
pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis. Sebagai tambahan, IDH sering
membutuhkan cairan, atau penghentian dialisis lebih awal, yang kedua hal tersebut dapat
menyebabkan pembuangan cairan tidak adekuat.            
  Patogenesis dari hipotensi intradialisis multifaktor, namun secara umum disebabkan
sebagai hasil dari gangguan tiga faktor utama.            
  Banyak intervensi/cara untuk mencegah IDH seperti: penggunaan dialisis temperatur
dingin, pengaturan profil natrium, peningkatan kadar kalsium dialisat, dan beberapa
penggunaan pressor agents  
DAFTAR PUSTAKA

1. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Cardiovascular Disease in Dialysis patients:


NKF KDOQI Guidelines, National Kidney Foundation Inc 2005

2. Kooman Jeroen et al, European Best Practice Guidelines (EBPG) Guideline on


haemodynamic instability: Nephrology Dialysis Transpant (2007); Oxford University
Press, pg ii22-ii44

3. W Sulowicz et al, Pathogenesis and treatment of dialysis hypotension: International


Society of Nephrology 2006, pg s36-s39

4. Biff F. Palmer et al, Recent Advances in the Prevention and Management of


Intradialytic Hypotension: J Am Soc Nephrol 19: 8–11, 2008. doi:
10.1681/ASN.2007091006

5. Sunita Dheenan et al, Preventing dialysis hypotension: A comparison of usual


protective maneuvers: Kidney International, Vol. 59 (2001) , pp. 1175-1181

6. M Thaha et al, Correlation Between Intradialytic Hypotension in Patients Undergoing


Routine Hemodialysis and Use of Acetate Compared to Bicarbonate Dialysate: Acta
Med Indones-Indones J Intern Med, Division of Nephrology and Hypertension-
Department of Internal Medicine, Dr Soetomo Hospital-School of Medicine
Airlangga University, Surabaya

7. Christopher W. McIntrye, Effects of Hemodialysis on cardiac function: International


Society of Nephrology 2009, pg 371-375

8. Nahid Shahgholian et al, Impact of two types of sodium and ultrafiltration profiles on
dialytic hypotension in hemodialysis patients: IJNMR Autumn 2008; Vol 13, No 4

9. GrefA. Knoll et al, Randomized, Controlled Trial of Albumin versus Saline for the
treatment of Intradialytic Hypotension: Journal of the American Society of
Nephrology 15: 487-492, 2004

10. Salim Mujais et al, Complications during Hemodialysis: Clinical Nephrology,


Dialysis and Transplantation-II-4

11. Wen-Yuan Chiu et al, Intradialytic Dopamine Therapy in Maintenance Hemodialysis


Patients with Persistent Hypotension: Acta Nephrologica Vol. 21, No 1, 2007

12. Frank M. Van der Sande, Management of Hypotension in Dialysis Patients: Role of
Dialysate Temperature Control, Departement of Nephrology, University Hospital
Maastricht, The Netherlands: Saudi J Kidney Dis Transplant 2001;12(3):382-386

13. H. Rezki et al, Comparison of Prevention methods of intradialytic hypotension:


Nephrology Department, UHC Ibn Rochd, Casablanca, Morocco: Saudi J Kidney Dis
Transplant 2007; 18(3):361-364
14. Dominic S.C et al, Hemodynamic changes during hemodialysis: Role of Nitric oxide
and endothelin: Kidney International, Vol 61 (2002), pp. 697-704

15. Guy Rostoker et al, Left Ventricular Diastolic Dysfunction as a risk factor for Dialytic
Hypotension, Division of Nephrology and Dialysis Centre Hospitalier Privé Claude
Galien, Quincy-sous-Sénart , France: Cardiology 2009;114:142–149

16. R.Ramos et al, How can symptomatic hypotension be improved in hemodialysis


patients: cold dialysis vs isothermal dialysis, 1Hemodialysis Unit. Serveis d’Ajut.
Hospital St. Antoni Abat. Vilanova i la Geltrú. Barcelona: NEFROLOGÍA. Volumen
27. Número 6. 2007

17. Paik Seong lim et al, Midrodrine for the treatment of intradialytic hypotension,
Division of Nephrology, Department of Medicine, Kuang Tien General Hispital,
Shalu Chen, Taichung, Taiwan/ROC: Nephron 1977;77:279-283

18. Biff F. Palmer, Dialysate Composition in Hemodialysis and Peritoneal Dialysis:


Dialysis as Treatment of End-Stage Renal Disease, Chapter 2

Anda mungkin juga menyukai