Anda di halaman 1dari 12

ORDE LAMA (1950 – 1965 )

1. Demokrasi Liberal (1950 – 1959)

Dalam proses pengakuan kedaulatan dan pembentukan kelengkapan negara, ditetapkan


pula sistem demokrasi yang dipakai yaitun sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi ini
presiden hanya bertindak sebagai kepala negara. Presiden hanya berhak mengatur formatur
pembentukan kabinet. Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah ada pada kabinet. Presiden
tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh perdana
menteri.

Dalam sistem demokrasi ini, partai-partai besar seperti Masyumi,Pni,dan PKI mempunyai
partisipasi yang besar dalam pemerintahan. Dibentuklah kabinet-kabinet yang bertanggung
jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat ) yang merupakan kekuatan-kekuatan
partai besar berdasarkan UUDS 1950.

Setiap kabinet yang berkuasa harus mendapat dudkungan mayoritas dalam parlemen
(DPR pusat). Bila mayoritas dalam parlemen tidak mendukung kabinet, maka kabinet harus
mengemblikan mandat kepada presiden. Setelah itu, dibentuklah kabinet baru untuk
mengendalikan pemerintahan selanjutnya. Dengan demikian satu ciri penting dalam penerapan
sistem Demokrasi Liberal di negara kita adalah silih bergantinya kabinet yang menjalankan
pemerintahan.

Kabinet yang pertama kali terbentuk pada tanggal 6 september 1950 adalah kabinet
Natsir. Sebagai formatur ditunjuk Mohammad Natsir sebagai ketua Masyumi yang menjadi
partai politik terbesar saat itu. Program kerja Kabinet Natsir pada masa pemerintahannya secara
garis besar sebagai berikut ;

a. Menyelenggarakan pemilu untuk konstituante dalam waktu singkat.

b. Memajukan perekonomian, keeshatan dan kecerdasan rakyat.

c. Menyempurnakan organisasi pemerintahan dan militer.

d. Memperjuangkan soal Irian Barat tahun 1950.

e. Memulihkan keamanan dan ketertiban.

Dalam menjalankan kebijakannya, kabinet ini banyak memenuhi hambatan terutama dari
tubuh parlemen sendiri. Bentuk negara yang belum sempurna dengan beberapa daerah masih
berada ditangan pemerintahan Belanda memperuncing masalah yang ada dalam kabinet
tersebut. Perbedaan politik antara presiden dan kabinet tersebut menyebabkan kedekatan
antara presiden dengan golongan oposisi (PNI). Hal itu menentang sistem politik yang telah
berlaku sebelumnya, bahwa presiden seharusnya memiliki sikap politik yang sealiran dengan
parlemen. Secara berturut-turut setelah kejatuhan kabinet Natsir, selama berlakunya sistem
Demokrasi Liberal, presiden membentuk kabinet-kabinet baru hingga tahun 1959.

Pada masa Demokrasi Liberal ini juga berhasil menyelenggarakan pemilu I yang dilakukan
pada 29 september 1955 dengan agenda pemilihan 272 anggota DPR yang di lantik pada 20
Maret 1956. Pemilu pertama tersebut juga telah berhasil badan konstituante (sidang pembuat
UUD). Selanjutnya badan konstituante memiliki tugas untuk merumuskan UUD baru. Dalam
badan konstituante sendiri, terdiri berbagai macam partai, dengan dominasi partai-partai besar
seperti NU,PKI,Masyumi dan PNI. Dari nama lembaga tersebut dapatlah diketahui bahwa
lembaga tersebut bertugas untuk menyusun konstitusi. Konstituante melaksanakan tugasnya
ditengah konflik berkepanjangan yang muncul diantara pejabat militer, pergolakan daerah
melawan pusat dan kondisi ekonomi tak menentu.

2.Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)

a. Sistem politik Demokrasi Terpimpinat

Kekacauan terus menerus dalam kesatuan negara Republik Indonesia yang disebabkan
oleh begitu banyaknya pertentangan terjadi dalam sistem kenegaraan ketika diberlakukannya
sistem demokrasi liberal. Pergantian dan berbagai respon dari dari daerah dalam kurun waktu
tersebut memaksa untuk dilakukannya revisi terhadap sistem pemerintahan. Ir.Soekarno selaku
presiden memperkenalkan konsep kepemimpinan baru yang dinamakan demokrasi
terpimpin. Tonggak bersejarah di berlakukannya sistem demokrasi terpimpin adalah
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Peristiwa tersebut mengubah tatanan kenegaraan yang telah terbentuk sebelumya. Satu
hal pokok yang membedakan antara sistem Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin

adalah kekuasaan Presiden. Dalam Demokrasi Liberal, parlemen memiliki kewenangan yang
terbesar terhadap pemerintahan dan pengambilan keputusan negara. Sebaliknya, dalam sistem
Demokrasi Terpimpin presiden memiliki kekuasaan hampir seluruh bidang pemerintahan.

Dengan diberlakukannya Dekrit Presiden 1959 terjadi pergantian kabinet dari Kabinet
Karya (pimpinan Ir.Djuanda) yang dibubarkan pada 10 juli 1959 dan digantikan dengan
pembentukan Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Ir.Soekarno sebagai perdana menteri dan
Ir.Djuanda sebagai menteri pertama. Kabinet ini yang memiliki program khusus yang
berhubungan dengan masalah keamanan,sandang pangan, dan pembebasan Irian Barat.
Pergantian institusi pemerintahan anatara lain di MPR (pembentukan MPRS), pemebntukan
DPR-GR dan pembentukan DPA.

Perkembangan dalam sistem pemerintahan selanjutnya adalah pernetapan GBHN


pertama. Pidato Presiden pada acara upacara bendera tanggal 17 agustus 1959
berjudu”Penemuan Kembali Revolusi Kita”dinamakan Manifestasi Politik Republik
Indonesia(Manipol),yang berintikan USDEK (UUD 1945,Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Institusi negara selanjutnya adalah mengitegrasikan
sejumlah badan eksekutif seperti MPRS, DPRS, DPA, Depernas, dan Front Nasional dengan
tugas sebgai menteri dan ikut serta dalam sidang-sidang kabinet tertentu yang selanjutnya ikut
merumuskan kebijaksanaan pemerintahan dalam lembaga masing-masing.

Dalam Demokrasi Terpimpin presiden mendapat dukungan dari tiga kekuatan besar
yaitu Nasionalis, Agama dan Komunis. Ketiganya menjadi kekuatan presiden dalam
mempertahankan kekuasaannya. Kekuasaan mutlak presiden pada masa itu telah menjadikan
jabatan tersebut sebagai pusat legitimasi yang penting bagi lainnya. Presiden sebagai penentu
kebijakan utama terhadap masalah-masalah dalam negeri maupun luar negeri .

b. Gerakan 30 September 1965

Salah satu momen sejarah yang mungkin paling membekas dalam perjalanan sejarah
Indonesia adalah Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa tersebut sampai saat ini masih
menimbulkan kontrofersi dalam pengungkapan fakta yang sebenarnya. Berbagai versi tentang
gerakan 30 S tersebut telah dikemukakan diantaranya;

Peristiwa G 30 S versi Pemerintah Orde Baru yakni peristiwa 30 S merupan suatu tindakan
makar yang dilakukan oleh PKI terhadap pemerintah Indonesia yang sah. Tindakan kudeta
tersebut dilakukan untuk merebut kekuasaan dari Ir.Soekarno selaku Penguasa Tertinggi

Angkatan Bersenjata dan Presiden seumur hidupberdasarkan konsep Demokrasi Terpimpin.

Cara penggulingan tahun 1965 tersebut adalah dengan menyatukan sejumlah organisasi
onderbouw yang masih tersisa pascaperistiwa 1948.

c. Dampak G 30 S dan Proses Peralihan Kekuasaan Politik

Adapun dampak dari peristiwa G 30 S adalah :

- Demostrasi menentang PKI


Penyelesaian aspek politik terhadap para pelaku G 30 S 1965/PKI akan di putuskan dalam
sidang Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 dan belum terlihat adanyaa tanda-tanda akan
dilaksanakan. Berbagai aksi digelar untuk menuntut pemeritah agar segera menyelesaikan
masalah tersebut dengan seadil-adilnya. Aksi dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda
dan pelajar-pelajar Indonesia seperti KAPPI,KAMI dan KAPI. Mucul pula kasi yang dilakukan
oleh KABI,KAWI yang membulatkan tekad dalam Front Pancasila.

- Mayjen Soeharto menjadi Pangad

Sementara itu untuk mengisi kekosongan pimpinan AD, pada tanggal 14 oktober 1965
Panglima Kostrad/Pangkopkamtib Mayjen Soeharto diangkat menjadi Menteri/Panglima AD.
Bersamakan itu diadakan tindakan-tindakan pembersihan terhadap unsur-unsur PKI dan
ormasnya.

- Kedaan ekonomi yang buruk

Sementara itu kedaan ekonomi semakin memburuk. Pada saat itu politik sebagai panglima,
akibatnya masalah lain terabaikan. Akibatnya di daerah muncul berbagai gejolak sosial yang
pada puncaknya menimbulakan pemberontakan.

- Tri Tuntutan Rakyat

Pada tanggal 12 januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
tersebut berkumpul di halaman gedung DPR-GR untuk mengajukan Tritura yang isinya :

a. Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.

b. Pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.

c. Penurunan harga barang-barang.

Aksi Tritura berlangsung selama 60 hari sampai dikeluarkannya surat perintah 11 Maret
1966.

- Kabinet seratus menteri

Pada tanggal 21 februari 1966 presiden Soekarno mengumumkan perubahan kabinet


9(reshuffle). Kabinet baru ini diberi nama kabinet Dwikora yang disempurnakan.

Adapun proses peraliahan kekuasaan politik dari orde lama ke orde baru adalah sebagai
berikut ;

- Tanggal 16 Oktober 1966 Mayjen Soeharto telah dilantik menjadi Menteri Panglima Angkatan
Darat dan dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Pada awalnya untuk menghormat
presiden AD tetap mendukungnya. Namun presiden enggan mengutuk G 30 S AD mulai
mengurangi dukungannya dan lebih muali tertarik bekerja sam dengan KAMI dan KAPPI.
- Keberanian KAMI dan KAPPI terutam karena merasa mendapat perlindungan dari AD.
Kesempatan ini digunakan oleh Mayjen Soeharto uintuk menawarkan jasa baik demi pulihnya
kemacetan roda pemerintahan dapat diakhiri. Untuk itu ia mengutus tiga Jenderal yaitu
M.Yusuf, Amir macmud dan Basuki Rahmat oleh Soeharto untuk menemui presiden guna
menyampaikan tawaran itu pada tanggal 11 Maret 1966. Sebagai hasilnya lahirlah surat perintah
11 Maret 1966 .

- Pada tanggal 7 februari 1967, jenderal Soeharto menerima surat rahasia dari Presiden melalui
perantara Hardi S.H. Pada surat tersebut di lampiri sebuah konsep surat penugasan mengenai
pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang Supersemar.

- Pada 8 Februari 1967 oleh Jenderal Soeharto konsep tersebut dibicarakan bersama empat
panglima angkatan bersenjata.

- Disaat belum tercapainya kesepakatan antara pemimpin ABRI, masalah pelengkap Nawaksara
dan semakin bertambah gawatnya konflik, pada tanggal 9 Februari 1967 DPR-GR
mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar sidang Istimewa dilaksanakan.

- Tanggal 10 Februari 1967 Jend. Soeharto menghadap kepad presiden Soekarno untuk
membicarakan masalah negara.

- Pada tanggal 11 Februari 1967 Jend.Soharto mengajukan konsep yang bisa digunakan untuk
mempermudah penyelesaian konflik. Konsep ini berisi tentang pernyataan presiden
berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pemegang Supersemar
sesuai dengan ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966, presiden kemudian meminta waktu untuk
mempelajarinya.

- Pada tanggal 12 Februari 1967, Jend.Soeharto kemudian bertemu kembali dengan presiden,
presiden tidak dapat menerima konsep tersebut karena tidak menyetujui pernyataan yang
isinya berhalangan.

- Pada tanggal 13 Februari 1967, para panglima berkummpul kembali untuk membicarakan
konsep yang telah telah disusun sebelum diajukan kepada presiden6

- Pada tanggal 20 Februari 1967 ditandatangani konsep ini oleh presiden setelah diadakan sedikit
perubahan yakni pada pasal 3 di tambah dengan kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi.

- Pada tanggal 23 Februari 1967, pukul 19.30 bertempat di Istana Negara presiden /Mendataris
MPRS/ Panglima tertinggi ABRI dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada
pengemban Supersemar yaitu Jend.Soeharto.

- Pada bulan Maret 1967, MPRS mengadakan sidang istimewa dalam rangka mengukuhkan
pengunduran diri Presiden Soekarno sekaligus mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat
presiden RI.
ORDE BARU

1. Lahirnya Orde Baru

Akibat adanya pemberontakan Gerakan 30 September timbullah reaksi dari berbagai


Parpol,Ormas,Mahasiswa dan kalangan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober 1965 partai politik
seperti IPTKI, NU, Partai Kristen Indonesia, dan organisasi massa lainnya melakukan apel
kebulatan tekad untuk mengamankan Pancasila dan menuntut pembubaran PKI serta ormas-
ormasnya. Pada tanggal 23 Oktober 1965 parpol yang anti komunis membentuk Front
Pancasila dan diikuti oleh pembentukan KAMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ), KAPI (
Ksatuan Aksi Pelajar Indonesia ), dan lain-lain. Pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI mencetuskan
TRITURA ( Tiga Tuntutan Rakyat ) “Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya,Bersihkan kabinet dari
unsur PKI,dan turunkan harga-harga”

2. Kebijakan Politik Orde Baru

Rezim Orde Baru memiliki kekuasaan penuh mengendalikan kehidupan politik masa itu.
Kebijakan politik yang diterapkan dalam masa Orde Baru dapat dilihat dari awal lahirnya Orde
Baru. Pemberangusan hak-hak berpolitik bagi eks anggota PKI dan keluarganya, merupakan
salah satu kebijakan yang mengundang kontroversi dari masyarakat. Pemerintah Orde Baru
memberikan kesempatan politik hanya kepada golongan tertentu saja. Menjelang
dilaksanakannya pemilu pada tahun 197, jumlah partai yang menjadi peserta, tidak sebanyak
partai politik di tahun 1955. Dari hasil pemilu tersebut para wakil-wakil partai menduduki 360
kursi ditambah 100 kursi lagi yang anggota-anggotanya diangkat oleh Presiden sehingga
anggota DPR berjumlah 460 orang. Dari susunan kursi DPR yang semacam ini maka DPR selalu
mendukung kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Untuk pemiliu-pemilu selanjutnya
7

tahun 1977,1982,1987,1992, hingga 1997 pemerintah menyederhanakan jumlah partai politik


yang ada. Hal ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 1975 . Partai
Persatuan Pembangunan merupakan fusi dari partai-partai islam seperti NU, Parmusi, PSSI, dan
PERTI. Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia adalah fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba,
IPKI, dan Parkindo, hanya Golkar yang tidak mempunyai fusi partai manapun.

3. Menguatnya Peran Negara dan Dampaknya


Pemegang pemerintahan di Orde Baru adalah kalangan militer. Kekuasaan sentralistik
yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru menunjukkan berbagai akibatnya di akhir
pemerintahan Orde Baru. Kekuasaan militer hampir di seluruh bidang pembangunan.

Pada akhir tahu 90-an dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan seiring dengan era
reformasi terbuka kesempatan bagi rakyat untuk menentanng kekuasaan yang otoriter itu .
operasi militer mengerikan yang selam 10 tahun tertutup rapat dari pengetahuan publikpun
terbongkar. Presiden Soeharto dan rezimnya menyadari bahwa, kemenangan mereka dapat
tercapai antara lain berkat dukungan tokoh-tokoh islam termasuk ormas-ormasnya simpatisan
masyumi. Tetapi ketika muncul tuntutan dari tokoh-tokoh masyumi yang baru bebas dari
tahanan rezim Orde Lama, untuk merehabilitasi partainya, Soeharto tegas menolak dengan
alasan ”yuridis, ketatanegaraan, dan psikologi “. Bahkan Soeharto dengan nada yang agak
marah, mengaskan, Ia menolak setiap keagamaan dan akan menindak setiap usaha eksploitasi
masalah agama untuk maksud-maksud kegiatan politik yang tidak pada tempatnya. Dalam kata
lain, pemerintahan Orde Baru yang didominasi militer tidak menyukai kebangkitan politik
islam.

4. Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru.

Pemerintah Orde Baru selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen terhadap
tekad awalnyamuncul Orde Baru. Pada awalnya Orde Baru bertekad melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan bermasyarakat, berbangsa, dan
bertanah air. Latar belakang munculnya tuntutan Soeharto agar mundur dari jabatannya atau
yang menjadi titik awal berakhirnya Orde Baru.

- Adanya krisis politik di mana setahun sebelum pemilu 1997, kehidupan politik Indonesia mulai
memanas. Pemerintah yang didukung Golkar berusaha memepertahankan kemenangan mutlak
yang telah dicapai dalam lima pemilu sebelumnya. PPP begitupun PDI ataupun Golkar
dianggapa tidak mampu lagi memenuhi aspirasi politik masyarakat.

- Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan Juli 1997. Sebenarnya krisis
8

ini juga terjadi dibeberapa negara di Asia namun Indonesialah yang merasakan dampak yang paling
buruk. Hal ini disebabkan karena pondasi perekonomian Indonesia rapuh, praktik KKN, dan
monopoli ekonomi mewarnai pembangunan ekonomi Indonesia.

- Adanya krisis Sosial, bersamaan dengan krisis ekonomi kekerasan di masyarakat semakin
meningkat. Melonjaknya angka pengangguran. Kesenjangan ekonomi menyebabkan
kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Gerakan moral dalam aksi damai menuntut reformasi
mulai ditunggangi berbagai kepentingan individu dan kelompok.
- Pelaksanaan hukum di masa Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Misalnya kekuasaan
kehakiman yang dinyatakan dalam pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memilik kekuasaan
yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintahan. Namun pada kenyataannya
kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif.

Kronologi jatuhnya pemerintahan Orde Baru berawal dari terpilihnya kembali Soeharto
sebagai presiden melalui sidang umum MPR yang berlangsung tanggal 1 – 11 Maret 1998,
ternyata tidak menimbulkan dampak positif yang berarti bagi upaya pemulihan kondisi
ekonomi bangsa justeru memperparah gejolak krisis. Dan gelombang aksi mahasiswa silih
berganti menyuarakan beberapa agenda reformasi.
Keberhasilan Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan
ekonomi, harus diakui sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Di
tambah dengan meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat
dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Namun, keberhasilan ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi


dengan pembangunan mental ( character building ) para pelaksana pemerintahan
(birokrat), aparat keamanan maupun pelaku ekonomi (pengusaha / konglomerat).
Kalimaksnya, pada pertengahan tahun 1997, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
yang sudah menjadi budaya (bagi penguasa, aparat dan penguasa)

Faktor Penyebab Munculnya Reformasi

Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde
Baru, terutama terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum.
Tekad Orde Baru pada awal kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

1. Krisis Politik

Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan


permasalahan

politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu,


bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2
telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan
sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de jore (secara hukum) kedaulatan
rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara
de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa,
sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan
kekeluargaan (nepotisme).
Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi
pemerintah, DPR, dan MPR. Ketidak percayaan itulah yang menimbulkan
munculnya gerakan reformasi. Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan
reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dam MPR yang
dipandang sarat dengan nuansa KKN.

Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima


paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di
antaranya :

 UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum


 UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang
DPR / MPR
 UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
 UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
 UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah menimbulkan
ketimpangan ekonomi yang lebih besar. Monopoli sumber ekonomi oleh kelompok
tertentu, konglomerasi, tidak mempu menghapuskan kemiskinan pada sebagian
besar masyarakat Indonesia. Kondisi dan situasi Politik di tanah air semakin
memanas setelah terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa
ini muncul sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal Partai Demokrasi
Indonesia (PDI).

Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, bukan
hanya menyangkut masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi masyarakat menuntut
adanya reformasi baik didalam kehidupan masyarakat, maupun pemerintahan
Indonesia. Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan
pemerintah pada pihak oposisi sangat besar, terutama terlihat pada perlakuan
keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau memberikan
kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah.
Selain itu, masyarakat juga menuntut agar di tetapkan tentang pembatasan masa
jabatan Presiden.

Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun 1997 telah


memicu

10

munculnya kerusuhan baru yaitu konflik antar agama dan etnik yang berbeda.
Menjelang akhir kampanye pemilihan umum tahun 1997, meletus kerusuhan di
Banjarmasin yang banyak memakan korban jiwa.
Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan Golkar secara mutlak.
Golkar yang meraih kemenangan mutlak memberi dukungan terhadap pencalonan
kembali Soeharto sebagai Presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 – 2003.
Sedangkan di kalangan masyarakat yang dimotori oleh para mahasiswa
berkembang arus yang sangat kuat untuk menolak kembali pencalonan Soeharto
sebagai Presiden.

Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai Presiden
Republik Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden. Timbul tekanan pada
kepemimpinan Presiden Soeharto yang dating dari para mahasiswa dan kalangan
intelektual.

2. Krisis Hukum

Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak


ketidakadilan. Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan
mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat
menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan
masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya.

3. Krisis Ekonomi

Krisi moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli
1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi
Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi krisi global tersebut. Krisi
ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat.

Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi


Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah
lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan
dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara itu untuk
membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan
pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank
bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan
begitu saja.

Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga
telah menghancurkan keuangan nasional. Faktor lain yang menyebabkan krisis
ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar negeri.
Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu
faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia
tidak sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi merupakan
utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari 1998
mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai
73,962 miliar dollar Amerika Serikat. Akibat dari utang-utang tersebut maka
kepercayaan luar
11

negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi
oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat karena adanya
kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.

Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan


menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak
mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan
sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang masih rendah.

Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru


sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33
UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh
semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota
masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa
pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para
konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan
korupsi dan kolusi.

Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh


pemerintah Orde Baru bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola
pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara
diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta.

Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada bidang


ekonomi. Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah diangkut
ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah
terhadap pemerintah pusat. Politik sentralisasi ini juga dapat dilihat dari pola
pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris, karena pemberitaan yang
berasala dari Jakarta selalu menjadi berita utama. Namun peristiwa yang terjadi
di daerah yang kurang kaitannya dengan kepentingan pusat biasanya kalah
bersaing dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalam merebut ruang,
halaman, walaupun yang memberitakan itu pers daerah.

4. Krisis Kepercayaan

Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah


pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos Elang Mulia
Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.

Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus
dan masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak
demokratis dan tidak merakyat.
Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat agar Presiden
Soeharto mengundurkan diri semakin banyak disampaikan. Rencana kunjungan
mahasiswa ke Gedung

12

DPR / MPR untuk melakukan dialog dengan para pimpinan DPR / MPR akhirnya
berubah menjadi mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal di
gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya.
Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat demontrasinya agar presiden Soeharto
mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan
DPR / MPR. Maka pada tanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan
pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-


tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang
pembentukan Dewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet, segera
melakukan Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai
Presiden.

Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan


kabinet tidak dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden
Soeharto menyatakan mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden Republik
Indonesia dan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden Republik
Indonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung
sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana.

Anda mungkin juga menyukai