Anda di halaman 1dari 14

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Definisi
DDH atau disebut Developmental displasia of the Hip, dahulu lebih populer dengan nama
CDH (Congenital Dislocation of the Hip) atau yang dalam bahasa Indonesia adalah Dislokasi
Panggul Kongenital. DDH merupakan kelainan kongenital dimana terjadi dislokasi pada panggul
karena acetabulum dan capur femur tidak berada pada tempat seharusnya. (Wong,2014)

Congenital Dislocation Of The Hip (CDH) adalah deformitas ortopedik yang didapat segera
sebelum atau pada saat kelahiran. Congenital dislocatoin of hip atau biasa disebut pergeseran
sendi atau tulang semenjak lahir. Suatu bentuk kelainan pada persendian yang ditemukan pada
bayi baru lahir.Congenital dislocatoin of hip terjadi dengan kejadian 1,5 per 1.000 kelahiran dan
lebih umum terjadi pada anak perempuan dibanding anak laki-laki. penyebab hal ini belum
diketahui tapi diduga melibatkan faktor genetik. (Wong,2014)
2.2 Etiologi
Kebanyakan bayi yang lahir dengan Congenital dislocatoin of hip memiliki orang tua
yang jelas-jelas tidak memiliki gangguan kesehatan maupun faktor resiko. Seorang wanita
hamil yang telah mengikuti semua nasihat dokternya agar kelak melahirkan bayi yang sehat,
mungkin saja nanti melahirkan bayi yang memiliki kelainan bawaan. 60% kasus kelainan
bawaan penyebabnya tidak diketahui; sisanya disebabkan oleh faktor lingkungan atau genetik
atau kombinasi dari keduanya. (Erika dkk, 2008)
1. Teratogenik
Teratogen adalah setiap faktor atau bahan yang bisa menyebabkan atau meningkatkan
resiko suatu kelainan bawaan. Radiasi, obat tertentu dan racun merupakan teratogen.
2. Gizi
Menjaga kesehatan janin tidak hanya dilakukan dengan menghindari teratogen, tetapi
juga dengan mengkonsumsi gizi yang baik. Salah satu zat yang penting untuk
pertumbuhan janin adalah asam folat. Kekurangan asam folat bisa meningkatkan resiko
terjadinya spina bifida atau kelainan tabung saraf lainnya. Karena spina bifida bisa terjadi
sebelum seorang wanita menyadari bahwa dia hamil, maka setiap wanita usia subur
sebaiknya mengkonsumsi asam folat minimal sebanyak 400 mikrogram/hari.
3. Faktor fisik pada rahim
Di dalam rahim, bayi terendam oleh cairan ketuban yang juga merupakan pelindung
terhadap cedera. Jumlah cairan ketuban yang abnormal bisa menyebabkan atau
menunjukkan adanya kelainan bawaan. Cairan ketuban yang terlalu sedikit bisa
mempengaruhi pertumbuhan paru-paru dan anggota gerak tubuh atau bisa menunjukkan
adanya kelainan ginjal yang memperlambat proses pembentukan air kemih. Penimbunan
cairan ketuban terjadi jika janin mengalami gangguan menelan, yang bisa disebabkan
oleh kelainan otak yang berat (misalnya anensefalus atau atresia esofagus).
4. Faktor genetik dan kromosom
Genetik memegang peran penting dalam beberapa kelainan bawaan. Beberapa kelainan
bawaan merupakan penyakit keturunan yang diwariskan melalui gen yang abnormal dari
salah satu atau kedua orang tua. Gen adalah pembawa sifat individu yang terdapat di
dalam kromosom setiap sel di dalam tubuh manusia. Jika 1 gen hilang atau cacat, bisa
terjadi kelainan bawaan. Faktor genetik pasti berperan pada etiologi, karena dislokasi
kongenital cenderung berlangsung dalam keluarga dan bahkan dalam seluruh populasi
(misalnya orang Italia Utara). Wynne- Davies (1970) menemukan dua ciri warisan yang
dapat mempengaruhi ketidakstabilan pinggul yakni sendi yang longgar merata, suatu sifat
yang dominan dan displasia acetabulum, suatu sifat poligenik yang ditemukan pada
kelompok yang lebih kecil (terutama gadis) yang menderita ketidakstabilan yang
menetap. Tetapi ini bukan keterangan satu- satunya karena pada 4 dari 5 kasus hanya 1
yang mengalami dislokasi.
5. Faktor hormonal
Yaitu tingginya kadar estrogen, progesteron dan relaksin pada ibu dalam beberapa
minggu terakhir kehamilan, dapat memperburuk kelonggaran ligamentum pada bayi. Hal
ini dapat menerangkan langkanya ketidakstabilan pada bayi prematur, yang lahir sebelum
hormon- hormon mencapai puncaknya. Ditambahkan adalah pengamatan bahwa selama
periode neonatal, bayi relatif membawa estrogen dari ibunya. Hal ini menenangkan
ligamen di dalam tubuh. Beberapa bayi sangat sensitif terhadap estrogen, sehingga
menyebabkan ligament panggul menjadi terlalu lemah, dan panggul tidak stabil.
6. Malposisi intrauterin
Terutama posisi bokong dengan kaki yang berekstensi, dapat mempermudah terjadinya
dislokasi, ini berhubungan dengan lebih tingginya insidensi pada bayi yang merupakan
anak sulung, dimana versi spontan lebih sedikit kemungkinannya untuk terjadi. Dislokasi
unilateral biasanya mempengaruhi pinggul kiri, ini sesuai dengan presentasi verteks biasa
(occiput anterior kiri) dimana pinggul kiri agak beradduksi.
7. Faktor pascakelahiran
Dapat membantu menetapnya ketidakstabilan neonatal dan gangguan perkembangan
acetabulum. Dislokasi sering kali ditemukan pada orang Lapps dan orang Indian Amerika
Utara yang membedong bayinya dan menggendongnya dengan kaki merapat, pinggul dan
lutut sepenuhnya berekstensi, dan jarang pada orang Cina Selatan dan Negro Afrika yang
membawa bayi pada punggungnya dengan kedua kaki berabduksi lebar- lebar. Ada juga
bukti dari percobaan bahwa ekstensi lutut dan pinggul secara serentak mengakibatkan
dislokasi panggul selama perkembangan awal (Yamamuro dan Ishida, 1984).
2.3 Manifestasi Klinis

1. Bayi
a) Kemungkinan tidak ada bukti gejala karena bayi dapat mengalami kesalahan tempat
femur minimal
b) Lipatan gluteal yang tidak sejajar (posisi pronasi)
c) Pemendekan ekstremitas pada tempat yang terkena
d) Abduksi terbatas pada pinggul sisi yang terkena
e) Adanya tanda-tanda Galeazzi
f) Temuan positif saat dilakukan Manuver Barlow
g) Temuan positif saat dilakukan maneuver ortolani

2. Toddler dan anak yang lebih tua


a) Gaya berjalan seperti bebek (dislokasi pinggul bilateral)
b) Peningkatan lordosis lumbal (punggung cekung) saat berdiri (dislokasi pinggul
bilateral)
c) Tungkai yang terkena lebih pendek dari yang lain
d) Temuan positif pada uji trendeelenburg
e) Pincang.
2.4 Patofisiologi
Dysplasia perkembangan pinggul (developmental dysplasia of the hip, DDH) atau
congenital dislocation of the hip, merupakan ketidaknormalan perkembangan antara kaput
femur dan asetabulum. Pinggul merupakan suatu bonggol (kaput femur) dan mangkuk
(asetabulum) sendi yang memberikan gerakan dan stabilitas pinggul. Terdapat tiga pola
dalam CDH :
1. Dysplasia asetabular (perkembangan tidak normal) keterlambatan dalam perkembangan
asetabulum sehingga lebih dangkal dari normal, kaput femur tetap dalam asetabulum
2. Subluksasi – dislokasi pinggul yang tidak normal ; kaput femur tidak sepenuhnya keluar
dari asetabulum dan dapat berdislokasi secara parsial
3. Dislokasi – pinggul berada pada posisi dislokasi, dan kaput femur tidak bersentuhan
dengan asetabulum. DDH pada akhirnya dapat berkembang menjadi reduksi permanen,
dislokasi lengkap, atau dysplasia akibat perubahan adaptif yang terjadi pada jaringan dan
tulang yang berdekatan.

2.5 Pemeriksaan Klinik


Untuk mengetahui dislokasi panggul kongenital pada bayi baru lahir adalah:
1. Uji Ortolani

Dalam uji Ortolani, bagian medial paha bayi dipegang dengan ibu jari dan jari – jari
diletakkan pada trokanter mayor; pinggul difleksikan sampai 90o dan diabduksi perlahan
– lahan. Biasanya abduksi berjalan lancar sampai hampir 90o. Pada dislokasi kongenital
biasanya gerakan terhalang, tetapi kalau tekanan diberikan pada trokanter mayor akan
terdapat suatu bunyi halus sementara dislokasi tereduksi, dan kemudian panggul
berabduksi sepenuhnya (sentakan ke dalam). Kalau abduksi berhenti di tengah jalan dan
tidak ada sentakan ke dalam, mungkin ada suatu dislokasi yang tak dapat direduksi.

2. Uji Barlow
Uji Barlow dilakukan dengan cara yang sama, tetapi di sini ibu jari pemeriksa di
tempatkan pada lipatan paha dan dengan memegang paha bagian atas, diusahakan
mengungkit caput femoris ke dalam dan keluar acetabulum selama abduksi dan adduksi.
Kalau caput femoris normalnya berada pada posisi reduksi, tetapi dapat keluar dari sendi
dan kembali masuk lagi, panggul itu digolongkan sebagai dapat mengalami dislokasi
(yaitu tak stabil).
3. Tanda Galeazzi

Pada pemeriksaan ini kedua lutut bayi dilipat penuh dengan panggul dalam keadaan fleksi
900 serta kedua paha saling dirapatkan. Keempat jari pemeriksa memegang bagian
belakang tungkai bawah dengan ibu jari di depan. Dalam keadaan normal kedua lutut
akan sama tinggi dan bila terdapat dislokasi panggul kongenital maka tungkai yang
mengalami dislokasi, lututnya akan terlihat lebih rendah dan disebut sebagai tanda
Galeazzi/ Allis positif.

Setiap panggul yang memiliki tanda – tanda ketidakstabilan walaupun sedikit diperiksa
dengan ultrasonografi. Cara ini memperlihatkan bentuk acetabulum dan posisi caput femoris.
Kalau terdapat kelainan, bayi itu dibebat dengan panggul yang berfleksi dan berabduksi dan
diperiksa kembali 6 minggu kemudian. Pada saat itu mungkin perlu dinilai apakah panggul
berhasil direduksi dan stabil, tereduksi tetapi tak stabil, mengalami subluksasi atau dislokasi.
Di tangan ahli yang berpengalaman, skrining pada neonatus sangat efektif untuk menurunkan
insidensi dislokasi yang muncul belakangan (Hadlow,1988)
2.6 Penatalaksanaan
Penanganan bervariasi sesuai keparahan manifestasi klinis, usia anak, dan tingkat
dysplasia. Jika dislokasi terkoreksi pada pada beberapa hari pertama sampai beberapa
minggu kehidupan, kesempatan untuk berkembangnya pinggul normal akan lebih besar.
Selama periode neonatal, pengaturan posisi dan mempertahankan pinggul tetap fleksi dan
abduksi dapat dicapai dengan menggunakan alat bantu pengoreksi. Antara usia 6 dan 18
bulan, traksi digunakan diikuti dengan imobilisasi gips. Jika jaringan lunak menghalangi dan
menyulitkan penurunan dan perkembangan sendi, dilakukan reduksi tertutup maupun terbuka
(bergantung pada apakah ada atau tidak kontraktur otot-otot adductor dan kesalahan letak
kaput femur yang terjadi) dan gips spika pinggul di pasang

2.7 Asuhan Keperawatan


A. PENGKAJIAN
Anamnesis biasanya dilakukan dengan wawancara secara tatap muka, dan
keberhasilannya untuk sebagian besar bergantung pada kepribadian, pengalaman, dan
kebijakan pemeriksa. Langkah – langkah dalam pembuatan anamnesis :
1. Identitas pasien.
identitas ini diperlukan untuk memastikan bahwa yang diperiksa benar- benar anak yang
dimaksud, dan tidak keliru dengan anak lain. Adapun yang harus ada dalam identitas,
yaitu :
a. Nama
b. Umur
Umur sebaiknya didapat dari tanggal lahir. Usia anak juga diperlukan untuk
menginterpretasi apakah data pemeriksaan klinis anak tersebut normal sesuai
dengan umumnya
c. Jenis kelamin
d. Nama orang tua (ayah, ibu)
e. Alamat (lengkap)
f. Umur dan Pendidikan Orang tua
g. Pekerjaan Orang tua
h. Suku bangsa
2. Riwayat penyakit
a. Keluhan Utama
1) Keluhan yang menyebabkan anak dibawa berobat
2) Tidak selalu keluhan yang pertama diucapkan orang tua/pengantar
3) Keluhan utama harus sejalan dengan kondisi pasien dan kemungkinan
diagnosis.
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Disusun cerita yang kronologis terinci dan jelas. Dimulai dengan perincian keluhan
utama. Diperinci mengenai gejala sebelum keluhan utama sampai anak berobat.
Perlu ditanyakan perkembangan penyakit, kemungkinan terjadinya komplikasi,
adanya gejala sisa, bahkan juga kecacatan. Dari riwayat ini diharapkan dapat
diperoleh gambaran kearah kemungkinan diagnosis dan diagnosis banding.
c. Perincian gejala mencakup
Lamanya keluhan, Terjadinya gejala-gejala mendadak, terus menerus, hilang
timbul, Berat ringannya keluhan menetap, bertambah berat Keluhan baru pertama
atau pernah sebelumnya. Apakah ada saudara/serumah yang mempunyai keluhan
sama. Upaya pengobatan yang dilakukan dan obat yang diberikan.

3. Riwayat kehamilan
Berikut adalah hal – hal yang perlu ditanyakan, mengenai :
a. Kesehatan Ibu selama hamil
b. Kunjungan antenatal
c. Imunisasi TT
d. Obat yang diminum
e. Makanan ibu
f. Kebiasaan merokok, minuman keras

4. Riwayat kelahiran
kelahiran pasien harus ditanyakan dengan teliti, termasuk tanggal dan tempat kelahiran,
siapa yang menolong, masa kehamilan, cara kelahiran, keadaan setelah lahir (nilai
APGAR), BB & Panjang badan Lahir, keadaan anak minggu I setelah lahir.
a. Riwayat makanan
Pada anamnesis tentang riwayat makanan diharapkan dapat diperoleh keterangan
tentang makanan yang dikonsumsi oleh anak, baik dalam jangka pendek, maupun
jangka panjang. Kemudian dinilai apakah kualitas dan kuantitasnya, yaitu
memenuhi angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan. Pada bayi perlu diketahui
susu apa yang diberikan : ASI ataukah pengganti air susu ibu, atau keduanya.
b. Riwayat imunisasi
Status imunisasi pasien, baik imunisasi dasar maupun imunisasiulangan (booster)
harus secara rutin ditanyakan, khususnya imunisasi BCG, DPT, polio, campak, dan
Hepatitis-B dan lain-lain.

5. Riwayat pertumbuhan
Dilihat kurva BB terhadap Umur (KMS), dapat mendeteksi riwayat penyakit kronik.

6. Riwayat perkembangan
Ditanyakan patokan dalam perkembangan (Milestones) motorik kasar, motorik halus,
sosial, bahasa.

7. Riwayat penyakit keluarga


Penting untuk mendeteksi penyakit keturunan atau penyakit menular

8. Riwayat sosio ekonomi keluarga


a. Penghasilan Orang tua
b. Jumlah keluarga
c. Keadaan perumahan dan lingkungan
d. Kebersihan diri dan lingkungan

pengkajian muskuloskletal anak:


1. Pengkajian muskuloskeletal
a. Fungsi motorik kasar
1) Ukuran otot : adanya atrofi atau hipertrofi otot ; kesimetrisan massa otot
2) Tonus otot : spastisitas, kelemahan, rentang gerak terbatas
3) Kekuatan
4) Gerakan abnormal : tremor, distonia, atetosis
b. Fungsi motorik halus
1) Manipulasi mainan
2) Menggambar
c. Gaya berjalan : ayunan lengan dan kaki, gaya tumit – jari.
d. Pengendalian postur
1) Mempertahankan posisi tegak
2) Adanya ataksia
3) Bergoyang-goyang
e. Persendian
1) Rentang gerak
2) Kemerahan, edema, nyeri
3) Kontraktur
4) Tonjolan abnormal
f. Tulang belakang
a. Lengkung tulang belakang : skoliosis, kifosis
b. Adanya lesung pilonidal
g. Pinggul
1) Abduksi
2) Adduksi
2. Criteria pengkajian
a. Maneuver ortolani
b. Maneuver barlow
c. Tanda galeazzi
d. Uji trendelenburg
3. Kaji tanda – tanda iritasi kulit
4. Kaji respon anak terhadap traksi dan imobilisasi dengan adanya gips spika
5. Kaji tingkat perkembangan anak
6. Kaji kemampuan pasien untuk mengelola perawatan gips spika di rumah

B. DIAGNOSA
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dislokasi
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri saat mobilisasi dan kelainan
perubahan bentuk tubuh,gangguan muskuloskletal
3. Gangguan konsep diri (citra tubuh) berhubungan dengan perubahan bentuk
tubuh,kelainan kongenital
4. Resiko cedera (Injury) berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skletal dan
ketidakseimbangan tubuh
5. Resiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan kelainan kongenital
6. Kurang pengetahuan mengenai program terapi dan perawatan

C. RENCANA TINDAKAN
NO DIAGNOSA NOC NIC
1. Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji nyeri secara
nyaman nyeri keperawatan selama….jam komprehensif termasuk
berhubungan dengan 1. Tingkat kenyamanan lokasi, karakteristik, durasi,
dislokasi 2. Pengendalian nyeri frekuensi, kualitas, skala
gangguan mobilitas fisik nyeri (1-5) dan faktor
teratasi dengan kriteria presipitasi
hasil: 2. Observasi reaksi nonverbal
1. Mampu dari ketidaknyamanan
memperlihatkan 3. Bantu pasien dan keluarga
pengendalian nyeri untuk mencari dan
2. Melaporka menemukan dukungan
n nyeri dapat 4. Kontrol lingkungan yang
dikendalikan dapat mempengaruhi nyeri
3. Melaporka seperti suhu ruangan,
n bahwa nyeri berkurang pencahayaan dan kebisingan
dengan menggunakan 5. Tingkatkan istirahat tidur
manajemen nyeri yang adekuat untuk
4. Mengenali menfasilitasi peredaan nyeri
faktor-faktor yang 6. Ketika mendiskusikan
meningkat nyeri dan tentang nyeri pastikan pasien
melakukan tindakan dapat mendengar suara dan
pencegahan nyeri melihat tulisan yang ada di
skala
7. Kolaborasikan dengan
petugas kesehatan lain
seperti pemberian analgetik
untuk mengurangi nyeri.
8. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi: napas dalam,
relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
9. Informasikan kepada pasien
tentang prosedur yang dapat
meningkatkan nyeri, dan
tawarkan strategi koping
yang di sarankan
2. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kemampuan pasien
fisik berhubungan keperawatan selama….jam dalam mobilisasi
2. Monitoring vital sign
dengan nyeri saat 1. Joint Movement : Active
1. Mobility Level sebelum/sesudah latihan
mobilisasi dan
2. Self care : ADL
dan lihat respon pasien saat
kelainan perubahan
gangguan mobilitas fisik
latihan
bentuk
teratasi dengan kriteria 3. Berikan alat Bantu jika
tubuh,gangguan
hasil: klien memerlukan
muskuloskletal 4. Bantu klien untuk
1. Klien meningkat dalam
menggunakan tongkat saat
aktivitas fisik
2. Mengerti tujuan dari berjalan dan cegah
peningkatan mobilitas terhadap cedera
3. Memverbalisasikan 5. Pantau pemasangan alat
perasaan dalam traksi yang benar, bila ada
6. Latih pasien dalam
meningkatkan kekuatan
pemenuhan kebutuhan
dan kemampuan
ADLs secara mandiri
berpindah
sesuai kemampuan
7. Dampingi dan bantu pasien
saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs
8. Konsultasikan dengan
terapi fisik tentang rencana
ambulasi sesuai dengan
kebutuhan
9. Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
10. Ajarkan pasien dan
keluarga tentang tentang
teknik ambulasi
3. Gangguan konsep diri Setelah dilakukan tindakan 1. Anjurkan klien untuk
(citra tubuh) keperawatan selama….jam melaksanakan anjuran
berhubungan dengan 1. Body image yang telah diberikan
2. Self esteem
perubahan bentuk (kompres hangat dan
diharapkan pasien dapat
tubuh,kelainan penggunaan antibiotika)
memahami persepsi atau
kongenital secara teratur.
gagasan tentang diri yang 2. Ajarkan keterampilan baru
memadai, Kriteria Hasil : sesuai kebutuhan
3. Dorong interaksi dengan
1. Mengekspresikan
pasien lain untuk
kepercayaan diri dalam
menghindari isolasi
kemampuan
4. Bantu pasien dan orang
2. Mengekspresikan
terdekatnya dalam
kepuasan dengan citra
mengatur ADL
tubuh
5. Ajarkan keterampilan baru
3. Menunjukkan respon
sesuai kebutuhan
adaptif terhadap
6. Dorong interaksi dengan
gangguan citra tubuh
pasien lain
7. Rujuk ke lembaga
perawatan kesehatan atau
organisasi gangguan
muskuloskletal
8. Kolaborasi dengan dokter
melapor setiap perubahan
kondisi
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily Lynn dan Linda A.Sowden. 2009 . Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi
5.Jakarta : EGC

Doenges, Marilynn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta EGC.

Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta : EGC

Wilkinson,Judith M. 2011. Buku Saku diagnosa keperawatan:diagnosa NANDA,intervensi


NIC,kriteria hasil NOC. Alih bahasa Esty Wahyuningsih. Edisi 9. EGC. Jakarta

Erika, Kadek Ayu, dkk. 2008. Keperawatan Anak. Makasar : SIK UNHAS

Anda mungkin juga menyukai