Anda di halaman 1dari 19

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data rekam medik pada pasien

dewasa di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta diperoleh

sebanyak 150 pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi dari 156 pasien.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersifat non eksperimental yang

dilakukan secara prospektif. Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti

penggunaan obat pada pasien epilepsi.

Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Menurut

Sugiyono (2008) yang dimaksud dengan purposive sampling adalah teknik

pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang

diperlukan. Data yang diambil sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga data

tersebut akan dikumpulkan dan dianalisis sesuai dengan teori-teori yang ada

kemudian akan ditarik kesimpulan.

commit to user

25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

A. Gambaran Distribusi Pasien

1. Distribusi Pasien Berdasarkan Usia

Menurut Dipiro dkk (2008) pasien dewasa adalah pasien yang berumur >

18 tahun sampai < 65 tahun.

Berdasarkan perbedaan usia dapat dilihat pada gambar 6 di bawah ini.

23% 18% Usia 18-24


Usia 25-40
Usia 41-65
59%

Gambar 6. Distribusi Pasien Berdasarkan Usia

Berdasarkan gambar 6 di atas persentase tertinggi adalah usia 25-40 tahun.

Hal ini dipicu oleh faktor pencetus epilepsi yaitu stres, kelelahan dan faktor

kecelakaan. Persentase tertinggi kedua yaitu usia 41-65 tahun, hal ini dipicu oleh

adanya penyakit metabolik seperti hipoglikemia, hiponatremia selain itu penyakit

cerebrovaskuler seperti stroke.

Menurut Brodie (2001), pada usia dewasa kejadian epilepsi menurun.

Epilepsi pada kelompok usia ini biasanya dikarenakan cedera otak akut.. Kajian

retrospektif Hiyoshi dan Yagi (2000) pada 190 pasien kelompok usia dewasa

menunjukan bahwa resiko terkena dan mengalami kembali epilepsi pada

kelompok usia ini tinggi. Resiko tersebut meningkat seiring bertambahnya usia.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

2. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Penyakit epilepsi dapat menyerang semua orang baik perempuan maupun

laki-laki. Berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada gambar 7 di bawah ini.

Laki-laki
41%
59% Perempuan

Gambar 7. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan gambar 7 di atas dapat dilihat persentase pasien

epilepsi lebih banyak pada laki-laki 59,3% sedangkan perempuan 40,7%.

Menurut Hauser (2006), pria lebih banyak terkena epilepsi dibandingkan

wanita. Hal ini sejalan dengan data epidemiologis dari WHO (2001).

Pada penelitian Husam (2008) di RSUP dr. Kariadi ditemukan pria

(60,6%) lebih banyak dibandingkan wanita (39,4%). Penelitian Mustika

RSUP Fatmawati Jakarta pada Tahun 2004 - 2008 diperoleh persentase

laki – laki sebesar (51,3%) dan perempuan sebesar (48,7%). Dari

beberapa penelitian menunjukkan laki-laki lebih besar persentasenya

namun dari hasil penelitian tersebut masih memerlukan penelitian lebih

lanjut mengenai faktor jenis kelamin.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

3. Distribusi pasien berdasarkan status kontrol

Pasien epilepsi tidak dapat sembuh total melainkan harus dengan kontrol

obat agar pasien tidak mengalami serangan kejang lagi. Berdasarkan status pasien

kontrol dapat dilihat pada gambar 8 di bawah ini.

15%
Kontrol

85% Tidak Kontrol

Gambar 8. Distribusi Pasien Berdasarkan Status Kontrol

Berdasarkan gambar 8 di atas pasien yang melakukan kontrol lebih banyak

yaitu 85%. Pasien yang melakukan kontrol adalah pasien yang masih mengalami

serangan kejang. Pasien yang tidak melakukan kontrol diperkirakan sudah tidak

mengalami serangan kejang.

Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat

merupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada

penderita epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12

bulan dan 24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka yang tidak patuh

minum obat. Remisi adalah hilangnya secara lengkap atau parsial dari tanda-tanda

dan gejala penyakit sebagai respon terhadap pengobatan, masa penyakit berada di

bawah kontrol. Kriteria kepatuhan minum obat menurut Ley (1997) adalah

penderita dikatakan patuh minum obat apabila memenuhi 4 hal berikut : dosis
commit
yang diminum sesuai dengan yang to userdurasi waktu minum obat, jumlah
dianjurkan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

obat yang diambil sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti dengan obat lain

yang tidak dianjurkan. Pada penelitian ini peneliti tidak dapat memonitoring

pasien dalam pemakaian obat.

4. Distribusi pasien berdasarkan tipe kejang

Epilepsi memiliki beberapa klasifikasi tersendiri, setiap penderita mungkin

tidak sama tipe kejang yang dialami. Pada RSJD Surakarta ada beberapa tipe

kejang yang dialami pasien epilepsi. Berdasarkan tipe kejang pasien dapat dilihat

pada tabel VII di bawah ini.

Tabel VI. Distribusi Pasien Berdasarkan Tipe Kejang

Jenis Bangkitan Tipe Kejang Jumlah Persentase % (*) Total (%)


Pasien
Tonik-klonik 44 30,67

Absence/ Petit
17 11,34
Mall/ Lena

Umum klonik 17 11,34 65,34

Atonik 11 7,33

Tonik 5 3,33

Mioklonik 2 1,33

Parsial kompleks 26 17,33

Parsial Umum sekunder 21 14 34,66

Parsial sederhana 5 3,33

Jumlah 150 100 % 100 %

* Persentase dihitung dari jumlah pasien tipe kejang dibagi total pasien dikalikan 100 %

Berdasarkan tabel VI di atas dapat dilihat tipe kejang yang banyak dialami

pasien dewasa adalah tipe kejang tonik-klonik. Penelitian Suwarba (2011) di

RSUP Sanglah Denpasar selama commit


Januari to
2007-Desember
user 2010 memperoleh hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

jenis epilepsi berdasarkan tipe kejang ditemukan sebagian besar adalah kejang

umum tonik-klonik (62,0%), tipe tonik (12,3%), tipe absence (4,3%) dan tipe

parsial (12,6%).

Penelitian Husam (2008) pada kelompok usia dewasa didapatkan

perbedaan kedua jenis epilepsi tidak terlalu tinggi. Epilepsi umum banyak terjadi

pada awal usia dewasa, selanjutnya epilepsi parsial lebih banyak muncul.

Kejadian epilepsi parsial pada kelompok ini sering dihubungkan dengan etiologi

seperti post stroke, trauma kepala, tumor dan post operasi. Sedangkan kebanyakan

epilepsi umum pada awal usia dewasa adalah idiopatik.

5. Distribusi Pasien Berdasarkan Riwayat Pasien

Pasien epilepsi memiliki riwayat masing-masing, riwayat ini dapat

digunakan sebagai penegak diagnosis epilepsi berdasar anamnesis. Riwayat

pasien dapat dilihat pada gambar 9.

74.66
(%) 80
70
60
50
40
30 17.33
20 3.33 2.67
10 0.67 0.67 0.67
0

Riwayat pasien

Gambar 9. Distribusi Pasien Berdasarkan Riwayat Pasien

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

Berdasarkan gambar 9 dapat dilihat riwayat epilepsi sejak kecil paling

banyak yaitu 74,66 %. Epilepsi pada usia ini sering dikaitkan dengan faktor

prenatal seperti umur ibu saat hamil, kehamilan dengan hipertensi. Selain itu ada

faktor natal yaitu asfiksia dan berat badan lahir rendah (Ali, 2001).

Epilepsi pada kelompok usia dewasa biasanya dikarenakan cedera otak

akut dan penyebab kejang usia dewasa adalah idiopatik. Hal ini sering

dihubungkan dengan etiologi seperti post stroke, trauma kepala, tumor dan post

operasi (Brodie, 2001).

Dari riwayat di atas terdapat faktor resiko dari epilepsi seperti trauma

kepala, kejang demam dan faktor keturunan. Trauma kepala memberikan dampak

pada jaringan otak yang dapat bersifat akut dan kronis. Menurut Willmore (2008)

bila seseorang mengalami cedera di kepala seperti tekanan fraktur pada tengkorak,

maka ia memiliki resiko tinggi terkena bangkitan epilepsi. Selain itu ada kejang

demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal

di atas 380C) kejang demam sering di alami anak usia 6 bulan sampai 5 tahun tapi

berapa batas umur kejang demam tidak ada kesepakatan (Ali, 2001).

Faktor keturunan memiliki pengaruh yang penting terhadap beberapa

kasus epilepsi. Bila orang tua dan salah satu anaknya sama-sama mengidap

epilepsi primer, maka anak yang lain berpotensi terkena epilepsi sebesar 10%

(Ali, 2001). Studi kasus kontrol di India yang dilakukan oleh Sawhney (1999),

mendapatkan sebanyak 51 anak yang mempunyai orang tua penyandang epilepsi

mempunyai resiko 5 kali lebih besar dari anak yang orang tuanya bukan

penyandang epilepsi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

B. Gambaran Penggunaan Obat pada Pasien Epilepsi

1. Distribusi Penggunaan Obat pada Pasien Epilepsi

Golongan obat yang digunakan oleh subjek penelitian meliputi barbiturat,

hidantoin, dibenzazepin, valproat, benzodiazepin, butirofenon, anti kolinergik,

phenotiazin, benzioxazole, nootropik, trisiklik, dan vitamin. Penggunaan obat

disesuaikan dengan kondisi yang dialami oleh pasien selama di rumah sakit.

Golongan obat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel VIII berikut.

Tabel VII. Distribusi Penggunaan Obat pada Pasien Epilepsi

Frekuensi
Persentase
No. Golongan Obat Nama Obat penggunaan
(%)*
/pasien
1 Barbiturat Phenobarbital 230 19,96
2. Hidantoin Phenitoin 222 19,27
3. Antikolinergik Triheksilpenidil 204 17,71
4. Butirofenon Haloperidol 116 10,07
5. Phenotiazin CPZ, TFP 94 8,16
6. Benzioxazol Risperidon 86 7,46
B1, B6, BComplex,
7. Vitamin 70 6,07
Mersibion®, Neurodex®
8. Dibenzazepin Carbamazepin, Clozapin 64 5,56
9. Nootropik Piracetam 26 2,26
10. Trisiklik Amitriptilin 14 1,22
11. Valproat Ikalep®, Depakote® 14 1,22
12. Benzodiazepin Diazepam, Clobazam 12 1,04

Total 1152 100


* Persentase dihitung dari jumlah penggunaan obat dibagi total penggunaan obat dikalikan 100 %

Dari tabel VII di atas dapat dilihat golongan obat yang paling banyak

digunakan adalah barbiturat (phenobarbital) sebanyak 19, 96 %. Golongan

hidantoin merupakan golongan obat anti epilepsi terbanyak kedua yaitu 19,27 %.

Phenobarbital dan phenitoin merupakan obat pilihan kedua dalam terapi epilepsi,

obat pilihan kedua menurut tata laksana pengobatan epilepsi dapat diberikan

commitefek.
apabila obat first line tidak memberikan to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

Golongan obat terbanyak ketiga adalah anti kolinergik (THP) sebanyak

17,71 %. Golongan obat ini muncul karena pasien epilepsi menerima obat anti

psikotik yang digunakan untuk pengobatan efek samping dari penggunaan obat

anti epilepsi yaitu salah satunya pemburukan kognitif dan pasien juga mengalami

komorbiditas karena efek bangkitan yang terlalu sering.

Karbamazepin dan valproat pada Consensus Guidelines on the

Management of Epilepsy 2010 merupakan obat first line namun pada kasus ini

diberikan dalam jumlah sedikit, hal ini dikarenakan pasien epilepsi sebagian besar

juga mendapat obat antipsikotik. Karbamazepin jika dikombinasikan dengan

semua obat antipsikotik akan menginduksi enzim CYP sehingga dosis antipsikotik

harus dinaikkan (Syarif, 2005).

Valproat tidak diberikan karena pasien yang berobat ke Rumah Sakit Jiwa

Surakarta didominasi oleh pasien tidak mampu dan harga obat valproat cukup

mahal. Sementara valproat tidak masuk dalam daftar formularium nasional

sehingga dalam sistem BPJS biaya pengobatan tidak dapat ditanggung oleh

pemerintah (Hardaetha, 2014).

Golongan obat anti epilepsi yang digunakan di RSJD Surakarta yaitu

golongan barbiturat, hidantoin, dibenzazepin, dan valproat hal ini dikarenakan

persediaan obat yang ada di RSJD Surakarta hanya obat tersebut (Hardaetha,

2014).

2. Kombinasi Obat

Kebanyakan dari pasien epilepsi yang melakukan pemeriksaan di

instalasi rawat jalan RSJD Surakarta periode Februari-Maret 2014 datang dengan

keluhan kejang tak sadarkan diricommit to user


sehingga pengobatan utama adalah mengatasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

kejang yang dialami oleh pasien. Mayoritas pasien menerima lebih dari satu

macam obat yang diberikan antara lain hidantoin, barbiturat, valproat dan

penunjang. Kombinasi obat yang digunakan pada pasien dapat dilihat pada tabel

VIII di bawah ini.

Tabel VIII. Kombinasi Obat Anti Epilepsi

Obat Tunggal Jumlah Persentase Jumlah


Pasien (%) persentase
(%)
Penunjang 14 9,32
• Diazepam
• Clobazam
• Haloperidol
• Trihexilpenidil
• Clorpromazin
• Trifluoperazin
12,66
• Risperidon
• Piracetam
• Amitriptilin
• Vitamin (B1, B6, B complex, ,
Mersibion®, Neurodex®)
Dibenzazepin 4 2,67
Hidantoin 1 0,67
Obat Kombinasi Jumlah Persentase Jumlah
Pasien (%) persentase
(%)
Hidantoin, Barbiturat, Penunjang 80 53,33
Hidantoin, Penunjang 9 6
Dibenzazepin, Barbiturat, Penunjang 8 5,33
Hidantoin, Barbiturat, Dibenzazepin, 7 4,67
Penunjang
Hidantoin, Barbiturat 6 4
Barbiturat, Penunjang 5 3,33
Hidantoin, Dibenzazepin, Penunjang 4 2,67
Hidantoin, Barbiturat, Valproat, 4 2,67 87,34
Penunjang
Dibenzazepin, Barbiturat 3 2
Dibenzazepin, Penunjang 2 1,33
Hidantoin, Barbiturat, Dibenzazepin 1 0,67
Hidantoin, Barbiturat, Dibenzazepin, 1 0,67
Valproat
Dibenzazepin, Barbiturat, Valproat, 1 0,67
Penunjang
Total 150 100 100
* Persentase dihitung dari jumlah pasien dibagi total pasien dikalikan 100 %
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

Berdasarkan tabel VIII, penggunaan obat anti epilepsi lebih di dominasi

oleh obat kombinasi yaitu 87,34 %. Penggunaan obat kombinasi yang paling

banyak adalah golongan hidantoin, barbiturat dan penunjang sebanyak 53,33 %.

Hal ini dikarenakan pasien epilepsi yang mendapatkan obat kombinasi merupakan

pasien lama yang mengalami epilepsi. Golongan hidantoin, barbiturat dan

penunjang paling banyak digunakan karena 66 % pasien epilepsi disertai dengan

penyakit penyerta skizofrenia dan 4,66 % disertai dengan penyakit depresi.

Politerapi tidak selalu merugikan, Goldsmith dan de Biitencourt (1995)

mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik dan

sedikit interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Fong (1995) mengatakan

bahwa kombinasi obat hanya dipakai apabila semua upaya monoterapi telah

dicoba dan apabila kombinasi dua macam obat lini pertama tidak menolong, obat

yang mempunyai efek lebih besar dan efek samping lebih kecil tetap diteruskan,

sementara obat yang lain diganti dengan obat dari kelompok lini kedua. Apabila

obat lini kedua tersebut efektif, dipertimbangkan untuk menarik obat pertama.

Sebaliknya, obat lini kedua tersebut harus dihentikan apabila ternyata tidak juga

efektif dan lakukan rekonfirmasi diagnosis dan pertimbangkan pembedahan. Hal

tersebut sesuai dengan algoritma tatalaksana epilepsi dapat di lihat pada gambar 4.

Penggunaan obat tunggal pada tabel VIII sebanyak 12,66 %. Hal ini

dikarenakan pasien merupakan pasien baru sehingga sesuai dengan tatalaksananya

pasien mendapat pengobatan monoterapi. Pada tabel VIII terdapat 9,32 % pasien

hanya mendapat obat penunjang saja tanpa OAE, hal ini karena pasien sudah

bebas dari kejang. Menurut tatalaksana epilepsi pasien yang bebas kejang selama

commitdapat
lebih dari 2 tahun pengobatan epilepsi to user
dihentikan. Pasien hanya menerima
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

obat penunjang yang sebagian besar merupakan obat anti psikotik, pasien

menerima obat tersebut karena efek samping dari penggunaan OAE yaitu

phenobarbital yang menyebabkan 66% pasien mengalami skizofrenia.

C. Evaluasi Penggunaan Obat Anti Epilepsi

1. Tepat Obat

Tepat obat ini termasuk dalam ketepatan pemilihan golongan obat dan

jenis obatnya dengan gejala yang dirasakan oleh penderita epilepsi. Rincian

penggunaan obat yang diberikan untuk pasien epilepsi dapat dilihat pada Tabel IX

di bawah ini.

Tabel IX. Ketepatan Obat

Kesesuaian
dengan
Penggunaan Consensus Persentase
Golongan Nama obat
obat Guidelines on the (%)
Management of
Epilepsy 2010
Barbiturat phenobarbital 230 Sesuai 40,63
Hidantoin Phenytoin 222 Sesuai 39,23
Dibenzazepin Karbamazepin 62 Sesuai 10,95
Nootropic agent Piracetam 26 Sesuai 4,57
Ikalep® 10 Sesuai 1,76
Valproat
Depakote® 4 Sesuai 0,70
1,07
Diazepam 6 Sesuai
Benzodiazepin 1,07
Clobazam 6 Sesuai

Total 566 100%


* Persentase dihitung dari jumlah penggunaan obat dibagi total penggunaan obat dikalikan 100 %

a. Penggunaan Barbiturat

Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy 2010

merekomendasikan penggunaan obat anti epilepsi golongan barbiturat yaitu

phenobarbital. Phenobarbital digunakan sebagai obat anti epilepsi lini kedua, obat

anti epilepsi lini kedua dapat digunakan apabila obat lini pertama tidak berefek.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

Phenobarbital digunakan untuk terapi tambahan dalam pengobatan epilepsi,

sehingga dapat dikombinasikan dengan obat anti epilepsi lain.

b. Penggunaan Hidantoin

Golongan hidantoin sangat sering digunakan untuk pengobatan epilepsi.

Golongan hidantoin yang digunakan dalam terapi epilepsi menurut Consensus

Guidelines on the Management of Epilepsy 2010 yaitu phenitoin. Phenitoin

direkomendasikan sebagai obat anti epilepsi lini kedua. Obat ini dapat digunakan

sebagai monoterapi maupun terapi tambahan epilepsi.

c. Penggunaan Dibenzazepin

Golongan obat dibenzazepin yang digunakan adalah karbamazepin dan

klozapin. Karbamazepin menurut Consensus Guidelines on the Management of

Epilepsy 2010 direkomendasikan sebagai pilihan obat anti epilepsi lini pertama.

Karbamazepin dapat digunakan sebagai monoterapi maupun terapi tambahan

epilepsi, karbamazepin digunakan sebagai terapi epilepsi partial dan umum.

Sedangkan klozapin merupakan obat antipsikosis yang digunakan untuk

pengobatan skizofrenia penyakit penyerta epilepsi.

d. Penggunaan Valproat

Menurut Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy 2010 obat

anti epilepsi yang direkomendasikan adalah golongan valproat. Golongan valproat

yang digunakan adalah ikalep® dan depakote®. Golongan valproat

direkomendasikan sebagai obat pilihan lini pertama pada bebagai tipe epilepsi.

Golongan valproat dapat digunakan sebagai monoterapi dan terapi tambahan obat

anti epilepsi lain.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38

e. Penggunaan Nootropic Agent

Berdasarkan Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy 2010

golongan nootropic agent yang digunakan adalah piracetam. Piracetam dapat

digunakan untuk meningkatkan efektifitas dari fungsi kognitif otak. Piracetam

digunakan sebagai obat lini kedua dan merupakan terapi tambahan.

Dari evaluasi kesesuaian pengobatan epilepsi dengan Consensus

Guidelines on the Management of Epilepsy 2010 diperoleh hasil 100% sesuai.

2. Tepat Dosis

Ketepatan dosis merupakan salah satu yang menentukan keberhasilan

terapi. Pemberian dosis maupun frekuensi yang berlebihan khususnya untuk obat

yang dengan rentang terapi yang sempit akan beresiko dapat menyebabkan kadar

obat dalam darah meningkat sehingga dapat menyebabkan toksisitas. Sebaliknya

dosis dan frekuensi obat terlalu kecil tidak menjamin tercapainya kadar terapi

yang diharapkan karena kadar obat dalam tubuh terlalu kecil (Katzung, 2007).

Dosis dan aturan pakai obat anti epilepsi jika dibandingkan dengan

guideline lain, dapat dilihat pada Tabel X berikut.

Tabel X. Hasil Evaluasi Aturan Pakai dan Dosis

Aturan pakai dan


Kesesuaian dengan
dosis menurut Aturan pakai Kesesuaian
Consensus
Aturan pakai dan Consensus dan dosis dengan MIMS
Nama Obat Guidelines on the
potensi Guidelines on the menurut MIMS Indonesia
Management of
Management of Indonesia 2012 2012
Epilepsy 2010
Epilepsy 2010
(30 mg) 3x30 mg Sesuai - -

3x60 mg Sesuai - -
Awal : 30 mg
3x90 mg Tidak Sesuai - -
Phenobarbital Pemeliharaan : 30-
180 mg
2x30 mg Sesuai - -

2x60 mg Sesuai - -
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39

Tabel X. Lanjutan...

2x90 mg Sesuai - -

1x30 mg Sesuai - -

4x30 mg Sesuai - -
(100 mg) 1x100 mg Tidak Sesuai - -
Awal : 200-300 mg
Phenitoin 2x100 mg Pemeliharaan :300- Sesuai - -
400 mg
3x100 mg Sesuai - -
(200 mg) 1x200 mg Sesuai - -

2x50 mg Sesuai - -
Awal : 100 mg
Karbamazepin 2x100 mg Pemeliharaan : 400- Sesuai - -
1600 mg
2x200 mg Sesuai - -

3x100 mg Sesuai - -
(500 mg) 1x500 mg Sesuai - -

3x500 mg Awal : 400-600 mg Sesuai - -


Valproat Pemeliharaan : 400-
(250 mg) 1x250 mg 2500 mg Sesuai - -

2x250 mg Sesuai - -
(10 mg) 1x10 mg - - Sesuai
Dewasa : 20-30
Klobazam
mg/ Hari
2x10 mg - - Sesuai
(5 mg) 2x2,5 mg -
-
2x5 mg - Dewasa : gejala
-
sedang 0,5-2 Sesuai
3x5 mg - mg/hari ; gejala
-
Haloperidol sedang 3-5 Sesuai
(1,5 mg) 2x1,5 mg - mg/hari ; gejala
-
berat 6-15 mg/ Sesuai
3x1,5 mg - Hari
-

(100 mg) 1x50 mg - - Sesuai

1x100 mg - - Sesuai
Dewasa : 10-25
2x50 mg - - Sesuai
mg /6 jam ;
Chlorpromazin
psikosis 200-
2x100 mg - - Sesuai
600 mg/hari
3x100 mg - - Sesuai

(25 mg) 1x25 mg - - Sesuai

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40

Tabel X. Lanjutan...
(2 mg) 1x2 mg - - Sesuai

2x1 mg - - Sesuai
Dewasa : 2-10
Trihexyphenidyl
2x2 mg - - mg/hari Sesuai

3x2 mg - - Sesuai

(5 mg) 1x5 mg - - Dewasa : 4-10 Sesuai


mg/hari
2x5 mg - - Sesuai
Trifluoperazin
3x5 mg - - Tidak Sesuai

(2 mg) 1x2 mg - -
Sesuai
2x1 mg - -
Sesuai
Dewasa : 2-8
Risperidon
2x2 mg - - mg/hari
Sesuai
3x2 mg - -
Sesuai
(2 mg) 1x2 mg - - Sesuai
Dewasa : 2-5
Diazepam
3x2 mg - - mg 3x/hari Sesuai

(25 mg) 2x25 mg


Dewasa : 25-50
Clozapin - - Sesuai
mg/ hari
(25 mg) 1x12,5 mg - -
Sesuai
1x25 mg - -
Sesuai
Dewasa : 25-
Amitriptilin
2x12,5 mg - - 100 mg/hari
Sesuai
2x25 mg - -
Sesuai
(400 mg) 1x400 mg - - Sesuai

2x 400 mg - - Dewasa : 400- Sesuai


Piracetam
2400 mg/hari
3x400 mg - - Sesuai

Dewasa : 2-3
Neurodex 2x1 - - Sesuai
x/hari
Dewasa : 1x 1
Mersibion 1x1 - - Sesuai
tab/hari
2x1 - - Sesuai
Dewasa :1- 3x1
Vit B1
tab/ hari
3x1 - - Sesuai
1x1 - - Sesuai
Dewasa :1- 3x1
Vit B6 2x1 - - Sesuai
tab/ hari
3x1 - - Sesuai
Vit B Com 1x1 commit
- to user - Dewasa :1- 3x1 Sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41

Tabel X. Lanjutan...

tab/ hari
2x1 - - Sesuai

3x1 - - Sesuai

A. Penggunaan Barbiturat

Golongan obat anti epilepsi barbiturat yang digunakan adalah

phenobarbital. Phenobarbital memiliki potensi sediaan 30 mg. Berdasarkan

Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy 2010 merekomendasikan

phenobarbital sebagai OAE lini kedua pada epilepsi parsial maupun umum. Dosis

yang sering diresepkan yaitu 3x30 mg ; 3x60 mg ; 3x90 mg ; 2x30 mg ; 2x60 mg ;

2x90 mg ; 1x30 mg ; 4x30 mg. Menurut Consensus Guidelines on the

Management of Epilepsy 2010 dosis sudah sesuai hanya terdapat satu dosis yang

tidak sesuai yaitu 3x90 mg dosis tersebut melebihi rentang dosis yang ada pada

pembanding.

B. Penggunaan Hidantoin

Golongan hidantoin yang digunakan adalah phenitoin. Consensus

Guidelines on the Management of Epilepsy 2010 merekomendasikan phenitoin

sebagai OAE lini kedua yang digunakan untuk terapi epilepsi parsial maupun

umum. Phenitoin memiliki potensi sediaan 100 mg. Dosis yang sering diresepkan

adalah 1x100 mg ; 2x100 mg dan 3x100 mg. Menurut Consensus Guidelines on

the Management of Epilepsy 2010 dosis sudah sesuai hanya terdapat satu dosis

yang tidak sesuai yaitu 1x100 mg dosis tersebut kurang dari rentang dosis yang

ada pada pembanding .

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

C. Penggunaan Dibenzazepin

Golongan dibenzazepin yang digunakan adalah karbamazepin. Consensus

Guidelines on the Management of Epilepsy 2010 merekomendasikan

karbamazepin untuk pilihan terapi pertama yang digunakan untuk epilepsi parsial

maupun umum. Karbamazepin memiliki potensi sediaan 200 mg. Dosis yang

sering diresepkan yaitu 1x200 mg ; 2x50 mg ; 2x100 mg ; 2x200 mg dan 3x100

mg. Menurut Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy 2010 dosis

sudah sesuai.

D. Penggunaan Valproat

Golongan valproat yang digunakan adalah ikalep dan depakote. Golongan

valproat direkomendasikan Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy

2010 sebagai obat pilihan lini pertama pada epilepsi parsial maupun umum.

Depakote memiliki potensi sediaan 250 mg dan 500 mg sedangkan ikalep

memiliki potensi sediaan 250 mg. Dosis yang sering diresepkan yaitu 1x500 mg ;

3x500 mg ; 1x250 mg dan 2x250 mg. Menurut Consensus Guidelines on the

Management of Epilepsy 2010 dosis sudah sesuai.

E. Penggunaan Obat Penunjang

Obat penunjang digunakan sebagai terapi tambahan pasien epilepsi yang

memiliki penyakit penyerta lain seperti skizofrenia dan depresi. Obat-obat

penunjang yang digunakan adalah obat anti psikotik, anti depresan, anti kolinergik

nootropic dan vitamin. Dosis yang diberikan pada pasien bervariasi tetapi setelah

dibandingkan dengan pembanding MIMS Indonesia 2012 dosis sebagian besar

sesuai.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43

D. Keterbatasan Penelitian

Penelitian dilakukan secara prospektif, pada saat pengambilan data peneliti

kesulitan untuk mengikuti perkembangan kepatuhan pasien dalam frekuensi

mengkonsumsi obat dan ketepatan penggunaan obat. Peneliti juga tidak dapat

menggali informasi dari pasien mengenai efek samping dan perkembangan

kesehatan pasien.

Penggunaan Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy 2010

yang dipilih oleh peneliti masih ditemukannya ketidaktepatan dosis, sehingga

peneliti perlu menambahkan penelitian tentang dosis obat anti epilepsi lainnya

untuk mengevaluasi hasil penelitian sebagai pembanding.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai