Anda di halaman 1dari 3

Media Sosial Berujung Petaka

Pada era ini, media sosial marak digunakan di kalangan masyarakat. Mulai dari pelajar,
pebisnis, pegawai kantoran, hingga orang tua pun dapat memiliki akun di media sosial. Saat
ini berbagai jenis media sosial tersedia dengan mudah. Dari tahun ke tahun pun media sosial
ini semakin beragam, canggih, dan banyak menyediakan fitur-fitur yang menarik. Seperti
instagram, facebook, twitter, dan lain-lain. Semakin canggih media sosial semakin haus dan
penasaran orang terhadap info-info yang ada di media sosial. Hal ini akan mengakibatkan suatu
ketergantungan terhadap media sosial, hingga maraknya penggunaan media sosial tidak
terkontrol lagi.

Dengan maraknya penggunaan media sosial oleh berbagai kalangan, tentu banyak
sekali ditemukan komentar yang beragam. Baik itu berupa pujian, sindiran, bahkan makian dari
para pengguna media sosial yang kerap disebut netizen. Isi komentar-komentar yang datang
dari berbagai kalangan tersebut dapat pula dikenali melalui gaya bahasa yang mereka gunakan.
Salah satunya dari kalangan orang yang berpendidikan dan tidak berpendidikan.

Saat menyampaikan aspirasinya, orang yang berpendidikan seringkali mencari dahulu


akar permasalahan atas kasus yang tengah terjadi, dan baru memberi komentar dengan bahasa
yang sopan dan bukan terkesan menyudutkan pihak lain. Berbeda ketika komentar tersebut
berisi cacian atau makian serta menyakiti perasaan orang yang dituju. Seringkali hal tersebut
datang dari orang-orang yang tidak berpendidikan, orang yang tidak tahu tatakrama dalam
berkomentar, dan selalu mengedepankan emosinya tanpa memikirkan perasaan orang lain.

Hal tersebut sangat memprihatinkan, dimana seharusnya masalah pendidikan itu bukan
menjadi salah satu faktor penyebab maraknya kasus pencemaran nama baik. Seiring
berkembangnya zaman, penggunaan media sosial juga akan menjadi kebutuhan dalam
berkomunikasi. Namun, hal itu seringkali disalahgunakan oleh para netizen.

Hanya bermodalkan jari, uang, dan kuota, seseorang dapat mencemarkan nama orang
lain bahkan dengan tidak tanggung-tanggung membuat akun palsu untuk melindungi identitas
dirinya. Padahal, pemerintah juga telah mengeluarkan tindakan tegas, salah satunya UU KUHP
pasal 310 ayat (1) tentang pencemaran nama baik. Tapi masih saja banyak orang yang
melakukan tindak kriminal dengan mencemarkan kehormatan serta nama baik orang lain.
Pelaku tindakan mencemarkan kehomatan serta nama baik orang lain yang dilakukan di media
sosial sering disebut Haters.
Haters merupakan istilah yang sering dipakai seseorang yang tidak bisa bahagia melihat
kesuksesan orang lain. Dalam dunia maya, kebanyakan “para haters” ini berasal dari kalangan
netizen yaitu para masyarakat pengguna internet. Ada istilah yang sedang digandrungi
mengenai haters, yaitu haters gonna hate yang mengungkapkan kebanggaan pribadi dari sikap
tidak peduli dengan tingkah laku haters.

Setiap orang pasti memiliki orang yang membencinya, apalagi public figure yang setiap
sudut kehidupannya diliput media. Komentar-komentar buruk selalu mengikuti, meskipun
terhadap seorang public figure yang tidak berbuat hal yang salah. Misalnya, seorang public
figure memposting foto dirinya di sosial media, meskipun dalam foto tersebut tidak memuat
hal-hal yang buruk dan merugikan banyak orang, selalu ada haters yang berkomentar jahat
entah itu terhadap penampilannya, barang-barang yang dipakai, atau hal-hal lainnya yang
menurut para haters bisa dikomentari dengan ketikan-ketikan jahatnya.

Media sosial kerap kali menjadi perantara untuk mengemukakan pendapat secara bebas.
Setiap orang dapat mengakses media sosial meskipun dengan perbedaan jarak dan waktu.
Seseorang yang berada di benua Amerika dapat berinteraksi dengan seseorang di benua Asia
dengan perbedaan jarak dan waktu yang sangat jauh. Sehingga media sosial dijadikan sebagai
media komunikasi utama bagi setiap orang, karena dirasa jauh lebih efektif daripada bertatapan
muka secara langsung.

Kebebasan mengemukakan pendapat dalam media sosial membuat kita dapat dengan
mudah berinteraksi tanpa mengenal jarak maupun kelas sosial. Kita juga dapat dengan bebas
mengunggah sesuatu di media sosial. Tak hanya itu kita juga dapat dengan mudah berkomentar
pada unggahan orang lain. Hal ini tentunya merupakan hal baik karena kita dapat berinteraksi
dengan orang lain walaupun secara tidak langsung. Namun, kita juga tidak dapat membungkam
fakta bahwa kebebasan di media sosial ini dapat menimbulkan hal negatif seperti, bermunculan
kabar-kabar yang tidak benar hingga komentar-komentar buruk. Seseorang dapat menerima
komentar buruk dari siapa saja. Komentar buruk tersebut dapat menurunkan mental seseorang
yang menerimanya dan lebih buruk lagi dapat memicu stres berkepanjangan. Stres
berkepanjangan ini dapat membuat orang tersebut mengalami depresi yang ditakutkan akan
berujung pada kematian.

Belum lama ini terdengar berita tidak mengenakan dari salah satu figur publik asal
Korea Selatan bernama Choi Jinri. Choi Jinri yang akrab disapa Sulli ini merupakan salah satu
mantan anggota grup musik korea yang bernama f{x). Sulli memutuskan keluar dari grupnya
pada tahun 2015 dengan alasan fokus berakting. Namun, karir sebagai aktris dan penyanyi yang
telah ia jalani selama ini harus berhenti karena pada Senin (14/10) tepat pukul 15.21 waktu
setempat Sulli ditemukan meninggal dunia akibat gantung diri di lantai dua rumahnya. Mantan
anggota f(x) ini diduga mengalami depresi parah sehingga mendorongnya untuk melakukan
bunuh diri. Depresi parah ini diakibatkan oleh komentar-komentar negatif yang diterima Sulli
di laman pribadi instagramnya.

Selain di Korea Selatan, terjadi juga kasus yang sama-sama berujung pada petaka.
Kasus ini berasal dari bekas pasangan artis Indonesia, Galih Ginanjar dan Fairuz A. Rafiq. Saat
itu Galih Ginanjar diundang menjadi bintang tamu oleh pasangan youtuber, Pablo Benua dan
Rey Utami. Dalam video tersebut Galih terlihat melecehkan bekas istrinya, Fairuz dengan
menggunakan ungkapan "Bau Ikan Asin". Ungkapan buruk Galih terhadap bekas istrinya
inipun dituntut oleh Fairuz sekeluarga. Kakak perempuan Fairuz angkat bicara soal bagaimana
tindakan Galih ini dapat melukai tidak hanya hati Fairuz melainkan hati wanita-wanita lain
yang ikut menyaksikan. Akhirnya Galih pun dibawa ke meja hijau dan harus mengalami
pahitnya tinggal di belakang jeruji besi.

Dalam menggunakan media sosial sudah seharusnya kita bersikap bijak dan
mempertimbangkan setiap tindakan yang akan kita lakukan. Hal ini bertujuan agar keamanan
dan ketenangan dalam bermedia sosial terwujud. Agar menjadi pengguna media sosial yang
bijak, ada beberapa larangan dalam menggunakan media sosial. Yang pertama, jangan curhat
masalah pribadi di depan publik. Hal ini bersifat privasi sehingga sebaiknya dilakukan di depan
orang yang dapat kita percaya dan bisa membantu memberikan solusi. Kedua, jangan
merendahkan/meremehkan pihak lain. Pihak yang diremehkan itu bisa saja melaporkannya ke
kepolisian dengan alasan penghinaan atau fitnah. Ketiga, jangan mengupload foto atau video
yang a-moral dan mengandung unsur kekerasan. Hal tersebut bisa dianggap melanggar UU
ITE. Keempat, jangan menyerang atau menulis komentar yang kasar terhadap pihak tertentu.
Jika kita tidak menyukai pihak tertentu, akan lebih baik jika kita abaikan dan jauhi lingkungan
media sosialnya. Kita tidak perlu membuang-buang waktu untuk mengurus hidupnya. Menjadi
haters hanya akan merugikan diri kita dan pihak yang tidak kita sukai tersebut. Kelima, jangan
sebarkan informasi yang belum jelas. Menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya
berarti menyebarkan hoax dan risikonya bisa terkena hukum pidana.

Anda mungkin juga menyukai