Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS

“MYASTHENIA GRAVIS”

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan


Kritis

DOSEN PENGAMPU :

Ns. Diah Tika Anggraeni, M.Kep

Disusun Oleh :

Ammalia Rahmah 1610711007

Indah Nopiyanti 1610711023

Aggita Cahyani 1610711027

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
VETERAN JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana
terjadi kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat
memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Myasthenia
gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Kelemahan otot yang
parah yang disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah
komplikasi lain, termasuk kesulitan bernapas, kesulitan mengunyah dan
menelan, bicara cadel, kelopak mata murung dan kabur atau penglihatan
ganda.
Myasthenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala
umur. Namun lebih sering terjadi pada para wanita, yaitu wanita berusia
antara 20 dan 40 tahun. Pada laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan jarang
terjadi selama masa kanak-kanak.
Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun
ini. Sekitar 65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami
pembesaran kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada
kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker
(malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki
antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap
enzim yang berhubungan dengan pembentukan persimpangan
neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa memerlukan pengobatan
berbeda.
Pada 40% orang dengan myasthenia gravis, otot mata terlebih
dahulu terkena, tetapi 85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang,
hanya otot-otot mata yang terkena, tetapi pada kebanyakan orang,
kemudian seluruh tubuh terkena, kesulitan berbicara dan menelan dan
kelemahan pada lengan dan kaki yang sering terjadi. Pegangan tangan bisa
berubah-ubah antara lemah dan normal. Otot leher bisa menjadi lemah.
Sensasi tidak terpengaruh.
Ketika orang dengan myasthenia gravis menggunakan otot secara
berulang-ulang, otot tersebut biasanya menjadi lemah. Misalnya, orang
yang dahulu bisa menggunakan palu dengan baik menjadi lemah setelah
memalu untuk beberapa menit. Meskipun begitu, kelemahan otot bervariasi
dalam intensitas dari jam ke jam dan dari hari ke hari, dan rangkaian
penyakit tersebut bervariasi secara luas. Sekitar 15% orang mengalami
peristiwa berat (disebut myasthenia crisis), kadangkala dipicu oleh infeksi.
Lengan dan kaki menjadi sangat lemah, tetapi bahkan kemudian, mereka
tidak kehilangan rasa. Pada beberapa orang, otot diperlukan untuk
pernafasan yang melemah. Keadaan ini dapat mengancam nyawa.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana konsep teori miastenia gravis?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada miastenia gravis?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan instruksional umum
Menjelaskan konsep dan proses keperawatan miastenia gravis.
2. Tujuan instruksional khusus
a. Mengetahui definisi miastenia gravis
b. Mengetahui etiologi miastenia gravis
c. Mengetahui patofisiologi miastenia gravis
d. Mengetahui manifestasi klinis miaatenia gravis
e. Mengetahui pemeriksaan diagnostik miastenia gravis
f. Mengetahui komplikasi miastenia gravis
g. Mengetahui penatalaksanaan miastenia gravis
h. Mengetahui prognosis miastenia gravis
i. Mengetahui asuhan keperawatan pada miastenia gravis

D. Manfaat penulisan
1. Mahasiswa mampu dan mengerti tentang miastenia gravis
2. Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien
miastenia gravis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan
dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu
dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Brunner and Suddarth 2002)
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular.
Miastenia gravis adalah gangguan yang mempengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran
seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan otot yang
parah dan satu-satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antara
cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan
(dapat memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal). (Price dan
Wilson, 1995).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh
fungsi saraf kranial. Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat
paling sering pada wanita antara 15-35 tahun dan pada pria sampai 40
tahun.

B. Etiologi
1. Autoimun : direct mediated antibody
2. Virus
3. Pembedahan
4. Stres
5. Alkohol
6. Tumor mediastinum
7. Obat-obatan :
a. Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin,
erythromycin)
b. B-blocker (propranolol)
c. Lithium
d. Magnesium
e. Procainamide
f. Verapamil
g. Chloroquine
h. Prednisone

C. Patofisiologi
Dasar ketidak normalan pada mestenia grafis adalah adanya
kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otak karena
kehilangan kemampuanatau hilangnya reseptor normal membran postsinaps
pada sambungan neuro muscular.
Otot kerangka atau otot lurik di persarafi oleh saraf besar bermielin
yang berasal dari sel kornum anterior medula spinalis dan batang otak.
Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan
kranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf memiliki banyak sekali
cabang dan mampu merangsan sekitar 2.000 serabut otot rangka. Gabungan
antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang di persarafi disebut unit
motorik. Meskipun setiap neuron motorik mempersarafi banyak serbut otot,
tetapi setiap serabut otot di persarafi oleh hanya satu neuron motorik(price
dan wilson, 1995).
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf
motorik dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular dan hubungan
neuromuskular. Hubungan neuromuskukar merupakan suatu sinap kimia
antara saraf dan otot yang terdiri atas tiga komponen dasar, yaitu unsur
prasinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar
sekitar 200 A. Unsur prasinaps terdiri atas akson terminal dengan vesikel
sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan neurotransmiter.
Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal. Membran
plasma akson terminal diebut membran prasinaps. Unsur prosinaps terdiri
dari membran membran post sinaps ( post – functional membrane ) atu
lempeng akhir motorik serabut otot.
Membran post sinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau
sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps tempat akson terminal
menonjol masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan (
celah- celah subneular ) yang sangat menambah luas permukaan. Membran
post sinaps memiliki reseptor reseptor asetilkolin dan sanggup
menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutny dapat mencetuskan
potensial aksi otot. pada membran post sinaps juga terdapat suatu enzim
yang dapat menghancurkan asetilkolin yaitu asetilkolinerase. Celah sinaps
adalah ruang yang terdapat antara membran pra sinaps dan post sinaps.
Ruang tersebut terisi macam zat gelatin dan melalui gelatin ini cairan
ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular maka mebran
akson terminal prasinaps mengalami depolaisasi sehingga asetilkolin akan
dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps
dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps.
Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium
maupun kalium pada membran postsinaps.
Infulks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba
menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeg
akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi
dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan sarf, yang akan
disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian
reaksi yang melibatkan kontraksi serabut otot. Setelah transmisi melewati
hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase.
Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih
dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis,
konduksi neuromuskular terganggu. Jumlah resiptor asekotilkolin
berkurang, mungkin akibat cidera autoimun. Antibodi terhadap protein
reseptor asetilkolin banyak ditemukan dalam serum penderita miestenia
gravis. Akibat dari kerusakan reseptor primer atau sekunder oleh suatu agen
primer yang belum di kenal merupakan faktor yang penting nilainya dalam
penentuan patogenesis yang tepat dari miastenia gravis.
Pada klien miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak
normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak di
pakai.secara mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit
dalam otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten(price dan
Wilson 1995).
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan
neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami
depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps.
Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor
asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan
perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba
menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng
akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi
dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan
disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian
reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi
melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh
enzim asetilkolinesterase
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu.
Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik
dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat
reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran
presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin
dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh
kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh
lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil.
Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung
lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun
secara radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi
secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan
adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus,
sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi
menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot
dipergunakan terus-menerus.

Antibodi langsung menuju ke reseptor acetilkolin di neuromuscular


junction otot skeletal. Hal ini mengakibatkan penurunan jumlah reseptor
nicotinic acetylcholine pada motor end-plate, mengurangi lipatan membran
postsinaps, melebarkan celah sinaps.
D. Manifestasi klinis
1. Kelemahan otot mata dan wajah (hampir selalu ditemukan)
a. Ptosis
b. Diplobia
c. Otot mimik
2. Kelemahan otot bulbar
a. Otot-otot lidah
1) Suara nasal, regurgitasi nasal
2) Kesulitan dalam mengunyah
3) Kelemahan rahang yang berat dapat menyebabkan rahang
terbuka
4) Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan
batuk dan tercekik saat minum
b. Otot-otot leher
Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot
ekstensor
c. Kelemahan otot anggota gerak
d. Kelemahan otot pernafasan
1) Kelemahan otot interkostal dan diaphragma menyebabkan
retensi CO2 hipoventilasi menyebabkan kedaruratan
neuromuscular
2) Kelemahan otot faring dapat menyebabkan gagal saluran nafas
atas
E. Klasifikasi
Tabel 2.1
Klasifikasi Miastenia

KLASIFIKASI KLINIS
Kelompok I
Miastenia Okular Hanya menyerang otot –otot okular, disertai ptosis dan
diplopia. Sangat ringan, tak ada kasus kematian
Kelompok Miastenia Umum
Miastenia Umum Ringan  Awitan (onset) lambat, biasanya pada mata, lambat
laun menyebar ke otot – otot rangka dan bulbar
 Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap
terapi obat baik
 Angka kematian rendah
Miastenia Umum Sedang  Awitan bertahap dan sering disertai gejala – gejala
okular, lalu berlanjut semakin berat dengan
terserangnya seluruh otot – otot rangka dan bulbar
 Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih
nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum
ringan. Otot – otot pernapasan tidak terkena
 Respons terhadap terapi obat : kurang memuaskan
dan aktifitas klien terbatas, tetapi angka kematian
rendah

Miastenia Umum Berat 1. Fulminan akut :


 Awitan yang cepat dengan kelemahan otot – otot
rangka dan bulbar dan mulai terserangnya otot –
otot pernapasan
 Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam
waktu 6 bulan
 Respons terhadap obat buruk
 Insiden krisis miastonik, kolinergik, maupun krisis
gabungan keduanya tinggi
 Tingkat kematian tinggi
2. Lanjut :
 Miastenia gravis berat timbul paling sedikit dua
tahun setelah awitan gejala – gejala kelompok I
atau II
 Miastenia gravis dapat berkembang secara
perlahan atau tiba – tiba
 Respons terhadap obat dan prognosis buruk
Miastenia Kritis
 Miastenia dg kelemahan yg progresif dan terjadi
gagal nafas atau mengancam jiwa
 Kelanjutan dari mistenia generalisata berat
 Onset terjadi tiba2 dan biasanya dipicu oleh infeksi
saluran pernafasan atas yg berkembang menjadi
bronkhitis atau pnemoni,pekerjaan fisik yg
berlebihan, melahirkan

F. Pemeriksaan diagnostik
1. Laboratorium
a. Anti-acetylcholine receptor antibody
 85% pada miastenia umum
 60% pada pasien dengan miastenia okuler
b. Anti-striated muscle
 Pada 84% pasien dengan timoma dengan usia kurang dari 40
tahun
c. Interleukin-2 receptor
 Meningkat pada MG
 Peningkatan berhubungan dengan progresifitas penyakit
2. Imaging
a. X-ray thoraks
 Foto polos posisi AP dan Lateral dapat mengidentifikasi
timoma sebagai massa mediatinum anterior
b. CT scan thoraks
 Identifikasi timoma
c. MRI otak dan orbita
 Menyingkirkan penyebab lain defisit Nn. Craniales, tidak
digunakan secara rutin
3. Pemeriksaan klinis
 Menatap tanpa kedip pada suatu benda yg terletak diatas bidang
kedua mata selama 30 dtk, akan terjadi ptosis
 Melirik ke samping terus menerus akan terjadi diplopia
 Menghitung atau membaca keras-keras selama 3 menit akan
terjadi kelemahan pita suara atau suara hilang
 Tes untuk otot leher dengan mengangkat kepala selama 1 menit
dalam posisi berbaring
 Tes exercise untuk otot ekstremitas, dengan mempertahankan
posisi saat mengangkat kaki dengan sudut 45° pada posisi tidur
telentang 3 menit, atau duduk-berdiri 20-30 kali. Jalan diatas
tumit atau jari 30 langkah, tes tidur-bangkit 5-10 kali
4. Tes tensilon (edrophonium chloride)
 Suntikkan tensilon 10 mg (1 ml) i.v, secara bertahap. Mula-mula 2
mg à bila perbaikan (-) dlm 45 dtk, berikan 3 mg lagi à bila
perbaikan (-), berikan 5 mg lagi. Efek tensilon akan berakhir 4-5
menit
 Efek samping : ventrikel fibrilasi dan henti jantung
5. Tes kolinergik
6. Tes Prostigmin (neostigmin) :
 Injeksi prostigmin 1,5 mg im,
 dapat ditambahkan atropin untuk mengurangi efek muskariniknya
spt nausea, vomitus, berkeringat. Perbaikan terjadi pd 10-15
menit, mencapai puncak dlm 30 menit, berakhir dalam 2-3 jam
7. Pemeriksaan EMNG ;
 Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat penurunan amplitudo
(decrement respons) > 10% antara stimulasi I dan V. MG ringan
penurunan mencapai 50%, MG sedang sampai berat dapat sampai
80%
8. Pemeriksaan antibodi AChR
 Antibodi AChR ditemukan pd 85-90% penderita MG
generalisata, &0% MG okular. Kadar ini tdk berkorelasi dg
beratnya penyakit
9. Evaluasi Timus
 Sekitar 75% penderita MG didapatkan timus yg
abnormal,terbanyak berupa hiperplasia,sedangkan15% timoma.
Adanya timoma dapat dilihat dg CT scan mediastinum, tetapi pd
timus hiperplasia hasil CT sering normal
10. Diagnosis Banding :
 Sindroma Eaton-Lambert :
 Sering terjadi bersamaan dg small cell Ca dari paru.
 Lesi terjadi di membran pre sinaptik dimana ‘release’ Ach
tidak dpt berlangsung dg baik
 Botulism
 Penyebab : neurotoksin dari Clostridium botulinum, yg dpt
masuk mll makanan yg terkontaminasi
 Dengan cara menghambat/menghalang-halangi pelepasan
Ach dari ujung terminal akson persinaptik
11. Pengobatan
a. Mestinon
b. Antikolinesterase : menghambat destruksi Ach
 Piridostigmin bromide (Mestinon, Regonol). Dosis awal 30-60
mg tiap 6-8 jam atau setiap 3-4 jam. Dosis optimal bervariasi
tgt kebutuhan mulai 30-120 mg setiap 4 jam. Bila > 120 mg
tiap 3 jam dpt menimbulkan à Krisis Kolinergik (G/ : dispneu,
miosis, lakrimasi, hipersalivasi, emesis, diare
 Neostigmin Bromide (Prostigmin). Kerja lebih pendek. Dosis
15 mg tiap 3-4 jam
c. Kortikosteroid : Mulai dosis rendah (12-50 mg prednison) kmd
dinaikkan pelan-pelan sampai respon optimal (maksimal 50-60 mg
prednison). Dosis dipertahankan sampai perbaikan mencapai
plateau (biasanya 6-12 bulan). urunkan dosis sgt pelan-pelan
sampai dosis pemeliharaan minimal. Awasi efek samping obat
d. Imunosupresan
 Obat ; azathiprine 1-2,5 mg/minggu Biasanya dipakai bersama
prednisone
 Obat lain : Cyclosporine,Cyclophosphamide, Mycophenolate
mofetil
e. Intravenous Imunoglobulin
 Dosis : 0,4 gr/kg BB/hari selama 5 hari berturut2
 Pada MG berat
 Plasmapharesis
 Pada MG berat untuk menghilangkan atau menurunkan
antibodi yg beredar dlmserum penderita

G. Penatalaksanaan
1. Periode istirahat yang sering selama siang hari menghemat kekuatan.
2. Obat antikolinesterase diberikan untuk memperpanjang waktu paruh
asetilkolin di taut neuro moskular. Obat harus diberikan sesuai
jadwal seetiap hari untuk mencegah keletihan dan kolaps otot.
3. Obat anti inflamasi digunakan untuk membatasi serangan autoimun.
4. Krisis miastenik dapat diatasi dengan obat tambahan,dan bantuan
pernapasan jika perlu.
5. Krisis kolinergik diatasi dengan atropin (penyekat asetilkolin) dan
bantuan pernapasan,sampai gejala hilang. Terapi antikolinesisterase
ditunda sampaikadar toksik obatb diatasi.
6. Krisis miastenia dan krisis kolinergik terjadi dengan cara yang
sama,namun diatasi secara berbeda. Pemberian tensilon dilakukan
untuk membedakan dua gangguan tersebut.

H. Komplikasi
1. Gagal nafas
2. Disfagia
3. Krisis miastenik
4. Krisis cholinergic
5. Komplikasi sekunder dari terapi obat. Penggunaan steroid yang lama
:
a. Osteoporosis, katarak, hiperglikemi
b. Gastritis, penyakit peptic ulcer
c. Pneumocystis carinii

I. Prognosis
1. Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%
2. MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
3. 40% hanya gejala okuler
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Ny. CL
Umur : 49 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Guru SMP
Alamat : Perum TOP Jalan Anggrek 1 Blok D
2 No 04 Kelurahan 15 Ulu Kecmatan
Seberang Ulu I Kota Palembang
Suku/ Bangsa : Sumatera
Tanggal Masuk RS : 1 Juli 2016
Tanggal Pengkajian : 16 Juli 2016
No Rekam Medis : 962xxx
Diagnosa Medis : Myastenia Gravis

b. Identitas Penanggung Jawab


Nama : Bp. A
Umur : 53 Tahun
Hub. Dengan Pasien : Suami

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Ny CL masuk RS melalui Instalasi Rawat Darurat dengan
keluhan sesak nafas. Di IGD RSMH klien menjalani berbagai
pemeriksaan, dan didiagnosa Myastenia Gravis, kemudian Ny
CL dirawat di ruang General Intensif Care Unit untuk
mendapatkan support ventilasi mekanik

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Riwayat saat masuk RS :
Ny. CL sesak nafas dan masih terpasang ventilator dngan mode
SIMV + FiO2 35%

Riwayat Kesehatan sekarang (pengembangan dari keluhan


utama) :
10 hari sebelum masuk rumah sakit, klien mengalami sesak
nafas, ketika tidur dua bantal dirasa cukup nyaman. Kemudian
klien merasa sesaknya bertambah parah. Klien tidak mengalami
susah menelan, pandangan ganda tidak ada, suara menjadi kecil
(-).

c. Keluhan Penyakit dahulu


Keluarga mengatakan Ny CL pernah mengalami permasalahan
yang sama yaitu sesak nafas dengan diagnosa yang sama sejak
tiga tahun yang lalu, klien juga menderita sakit maag.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Klien menyangkal ada keluarga yang pernah mengalami
penyakit yang serupa dengan klien.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
b. Tanda-tanda Vital
1) Tekanan Darah
Sistolik : 149
Diastolik : 84
MAP : 105 mmHg
Herat Rate : 74x/mnt
Respirasi : 10x/mnt
2) Suhu : 36,9ºC
3) Nilai CPOT : (diisi kalau ada keluhan nyeri dengan pasien
terintubasi)
No Indikator Skala Skor Hasil
pengukuran Penilaian
1 Ekspresi wajah Rileks, netral 0
Tegang 1 2
Meringis 2
2 Gerakan tubuh Tidak bergerak 0
Perlindungan 1 1
Gelisah 2
3 Kesesuaian Dapat 0
dengan mentoleransi
ventilasi Batuk, tapi 1
mekanik dapat 0
mentoleransi
Fighting 2
ventilator
4 Ketegangan Rileks 0
otot Tegang dan 1
kaku 1
Sangat tegang 2
/kaku
Total skor 4
c. Pemeriksaan Sistem Tubuh
1) Sistem Perepsi sensori
Mata :
Bentuk : simetris
Visus : tidak dikaji
Konjungitva : anemis
Ukuran pupil : isokor
Reflex cahya : +/+
Penggunaan alat bantu : -

2) Sistem Pernapasan
Pola nafas : tidak teratur
RR : 10x/mnt
Suara paru : ronchi (-), wheezing (-)
Sesak nafas : terdapat sesak nafas saat weaning ventilator
Batuk : tidak dapat dikaji, klien terlihat tidak batuk-
batuk
Sputum : ada saat suctioning, jumlah sedikit di ETT
Nyeri : 3 (saat dilakukan suction, menggunakan
BPS)
Trauma dada : tidak ada

3) Sistem Kardiovaskuler
HR : 74x/mnt
TD : 149/84 mmHg
CRT : 3 detik
Suara jantung : BJ-II (+), gallop (-), murmur (-)
Edema : tidak terdapat edema
Nyeri : 3 (saat dilakukan suctioning, menggunakan
skala BPS)
Palpitasi : sinus rhytm
BAAL : terdapat kesemutan pada daerah fermur
dextra
Perubahan warna kulit : mukosa bibir kering
Kuku : terlihat pucat
Akral : teraba dingin
Clubbing finger: tidak ada

4) Sistem Pencernaan
Nutrisi :
Intake total / 3 jam : 940 ml
Output total / 3 jam : 690 ml
Nafsu makan : tidak dapat dikaji
Jenis diet : diet cair (susu) 3 x 200 kkal, diet
BSB 3 x 300 kkal
Mual, muntah : (-)
BB : 50 kg
Tb : 155 cm
5) Sistem Perkemihan
BAB : 1 kali sehari
BAK : menggunakan pampers, dan kateter
urine, urine berwarna kuning
Kateter : memakai kateter
Urine output : 600 ml / 3 jam (06.00 – 09.00)

6) Sistem Neurologis
Kesadaran : composmentis
GCS : E4M6VT, terpasang ventilator
Reflek hamer : tidak dapat dikaji
Trauma kepala: tidak terdapat trauma kepala

7) Sistem Endokrin
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada kaku kuduk,

8) Sistem Muskuloskeletal
Kekuatan Otot :
Pergerakan ekstremitas :ekstremitas atas dan bawah pasien
dapat bergerak sendiri (dengan keinginan pasien), Terpasang
CVC di vena subclavia sinistra.
Nyeri : 3 (saat dilakukan suction, menggunakan skala BPS)
Edema : tidak terdapat edema pada ekstremitas.

9) Sistem Integumen : klien terlihat tirah baring, dalam posisi


supinasi, kepala up 35 o
Warna kulit : pucat.
Integritas :kulit tampak kering, tidak terdapat luka
dekubitus, akan tetapi bagian punggung klien teraba
lembab.
turgor kulit : elastis, CRT 3 detik

d. Aspek Psikologis
Tidak dapat dikaji

e. Aspek Sosial
Tidak dapat dikaji

f. Asek Spiritual
Tidak dapat dikaji
4. Data Penunjang
a. Data Laboratorium (Hematologi, Anilisis gas darah arteri,
dll)
Tanggal dan Jam Pemeriksaan
No Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Interpret
asi
HEMATOLO
GI
Hemoglob 13,48-17,40
1. in 9,5 g/dl
g/dl
Eritrosit 4,40-6,30
2. 3,35 103/mm3
103/mm3
3. hematrokit 29 % 41-51 %
KIMIA
KLINIK
1. FiO2 50 %
Temperatu
2. r 36.6 ºC 36,5 – 37,5 Normal

3. Ph 7,05 7,35-7,45 Normal


4. pCO2 47,5 mmHg 35-45 mmHg Tinggi
5. mmHg 83-108 mmHg
pO2 58,3 Rendah

6. mmol/L 22-26 mmol/L


HCO3 24 Normal

7. % 71,3 %
SO2 71,3 % Normal

8. -3,5 (-2)-(+3)
Beecf mmol/L Rendah
mmol/L

b. Pemeriksaan risiko jatuh dengan Morse scale (sesuai Usia)


Skala morse : 30 (resiko rendah)
c. Pemeriksaan CT-scan, tanggal (________________)
d. Pemeriksaan Foto Thorax, tanggal (25 Juni 2016)

e. APACHE II SCOR (1x24 jam)


Nilai APACHE II :
f. SOFA score

5. Penatalaksanaan Medis
a. Ventilator
Mode :
Triger :
Pressure control :
FiO2 :
PEEP :
RR :
I:E Rasio :
b. Obat Obatan
Nama Obat Dosis Cara Indikasi Side effects
Pemberian
3x1
Bisolvon amp IV

Vit C 3 x 2 gr IV
Meropenem 3 x 1 gr po
Mestinon 6x 60 mg po
Mecobalamin 1 x 500 mg po
Candesarton 1 x 8 mg po
Sucralfat 2 x 20 cc po
1 x 20
Omeprazole po
mg
THP 3 x 2 mg po
KSR 1 x 600 mg po
CaCO3 3 x 500 mg po
Asering 500, gtt 20
Drip
tetes / menit
1 amp
dalam 100
Dopamine cc NaCl gtt
10
tetes/menit.
c. Nutrisi
Pasien terpsang selang NGT (+) sehingga nutrisi yang didapat
diberi lewat selang NGT

6. Analisa Data
Masalah
No Tanggal Data Etiologi
Keperawatan
1. Senin 18 Juli DS:- Kelemahan Ketidakefektifan
2016, jam DO : otot-otot Pola Nafas
07.00  Terpasang endo Pernafasan
tracheal tube pada
mulut klien
 Terpasang ventilator
mode SIMV +
 SPO2 100%
 FIO2 35 %
 RR Total: 10
x/menit (Spontan 2
x/menit, RR
ventilator 8x/menit)
 volume tidal 349,
MV 4.0,
 PPEP 5, FiO2 35 %,
 I:E ratio 1;2,3
 Klien terlihat sesak
saat weaning ventila
tor

2. Selasa, 18 DS :- Kelemahan otot Hambatan


Juli 2016, DO: faring, laring, komunikasi
jam 07.00  klien terlihat tidak pemasangan verbal
dapat berbicara endotrakheal
(verbal) tube
 klien terlihat
mengekspresikan
pesan non verbal
 klien terpasang
endotracheal tube
dimulut

3. Selasa, 18 DS:- Tirah baring Resiko tinggi


Juli 2016, DO: kerusakan
jam 06.30  Klien terlihat integritas kulit
bedrest
 Bagian punggung
klien teraba lembab
 Posisi klien
supinasi, dengan
kepala up 35 0
 Gangguan autoimun
yang merusak
sistem asetilkolin

A. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidaefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
2. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kelemahan otot
faring, laring, pemasangan endotrakheal tube
3. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah
baring
B. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Kep Tujuan Intervensi


Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan 1. mengobservasi tanda –
pola nafas b.d keperawatan … x 24 jam pada tanda
kelemahan otot-otot pasien Ny. CL dengan 2. Mengeluarkan secret
pernafasan ketidakefektifan pola nafas dengan suction
dapat teratasi dengan kriteria 3. Memonitor respirasi
hasil : dan status O2
1. Sesak nafas berkurang 4. Mengobservasi adanya
2. Menunjukkan jalan nafas tanda-tanda
yang paten hipoventilasi
3. Tanda-tanda vital dalam 5. Memonitor selang /
rentang normal : cubbing ventilator dari
TD : 120/80 mmHg terlepas , terlipat,
RR : 16-24x/mnt bocor atau tersumbat.
HR : 60-80x/mnt 6. Memonitor fungsi
Suhu : 36,5 – 37,5 ºC ventilator

Hambatan Setelah dilakukan tindakan 1. Mengkaji Kemampuan


keperawatan … x 24 jam pada komunikasi klien
komunikasi verbal
pasien Ny. CL dengan 2. Menganjurkan metode
berhubungan dengan hambatan komunikasi verbal penyampaian pesan
dapat teratasi dengan kriteria melalui tulisan atau
kelemahan otot
hasil : isyarat
faring, laring, 1. Menjawab pertanyaan 3. Membantu klien
walaupun dari alat bantu dalam; membersihkan
pemasangan
lain, seperti kertas dan mulutnya jika sekret di
endotrakheal tube pulpen mulutnya sudah penuh
2. Klien dapat menyampaikan (suction), melakukan
perasaannya perineal care pada
3. Klien merasa nyaman klien jika klien BAB
karena menyampaikan 4. memberikan diet cair
perasannya klien 200 cc dan air
putih 100 cc melalui
ngt memberikan obat
oral melalui ngt
5. Menggunakan
pertanyaan dengan
jawaban ya atau tidak
dan memperhatikan
respon klien, saat
klien memanggil.
Resiko tinggi Setelah dilakukan tindakan 1. Merapikan tempat
keperawatan … x 24 jam pada tidur klien
kerusakan integritas
pasien Ny. CL dengan resiko 2. Membantu
kulit berhubungan kerusakan integrias kulit dapat memandikan klien
teratasi dengan kriteria hasil : 3. Membantu klien untuk
dengan tirah baring
1. Tidak ada tanda-tanda mobilisasi (pindah
kerusakan integritas posisi tiap 2 jam)
kulit 4. memonitor integritas
2. Tidak ada ruam di kulit
sekitar badan yang 5. mengoleskan
terlalu lama tertindih lotion/minyak,
3. Klien dapat terutama pada daerah
berpartisipasi dalam yang tertekan
mobilisasi secara sedikit
demi sedikit
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi
kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan. Myasthenia
gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur. Namun lebih
sering terjadi pada para wanita sehingga kita sebagai perawat harus bisa
menentukan diagnosa keperawatan terhadap pasien dengan myastenia gravis
serta perlu melakukan beberapa tindakan dan asuhan kepada pasien dengan
masalah tersebut.

B. Saran
Adapun saran yang akan disampaikan adalah sebagai berikut.
1. Setelah memahami tentang konsep asuhan keperawatan terhadap pasien
dengan myastenia gravis tentunya bisa dilakukan penerapan yang baik
untuk dapat melakukan asuhan keperawatan yang tepat pada klien secara
komprehensif sehingga dapat menetapkan diagnosis yang benar agar dapat
dilakukan perawatan yang lebih intensif.
2. Semua tenaga kesehatan dapat bekerja sama untuk dapat memberikan
perawatan yang benar terhadap pasien dengan myastenia gravis.
DAFTAR PUSTAKA

Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi klinis 2nded., Gajah Mada University
Press, Yogyakarta
Howard, J.F., 1997, Department of Neurology, The University of North
Carolina at Chapol Hill.
http://www.myasthenia.org/information/summary.htm
Lombardo,M.C., 1995, Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada
Sistem Saraf, dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 4th ed., EGC, Jakarta
Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar 9th ed., hal 55,149,348, Dian
Rakyat, Jakarta
Murray, R.K., 1997, Dasar Biokimiawi Beberapa Kelainan Neuropsikiatri,
dalam R.K. Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell, (eds),
Biokimiawi Harper 24th ed., EGC, Jakarta
NINDS Myasthenia Gravis Fact Sheet, 2003.
http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.
htm
Sidharta, P., 1999, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal 129,142,
167, 174, 421, Dian Rakyat, Jakarta
Sidharta, P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, hal 139,
280, 317, 366, 390, 421, 576, Dian Rakyat, Jakarta
Walshe III, T.M., 1995, Disease of Nerve And Muscle, dalam M.A.
Samuels, (eds), Manual Of Neurologic Therapeutics 5th ed., Little
brown And Company, London
Judul Jurnal : Status Emosional Dan Kualitas Hidup Pada Pasien Miastenia Gravis
Jurnal Keperawatan Komprehensif Vol. 3 No.2 Juli 2017 : 111-120
Miastenia gravis merupakan kelainan autoimun yang menyerang neurotransmitter
di tautan neuromuskular dan menghambat terjadinya kontraksi di otot. Kelemahan
otot yang terjadi menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik serta terganggunya
kesejahteraan psikologis dan interaksi sosial yang dapat mempengaruhi kualitas
hidup pasien dengan miastenia gravis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara status emosional dengan kualitas hidup pasien dengan miastenia
gravis. Penelitian ini merupakan deskriptif analitik dengan menggunakan desain
cross sectional. Sebanyak 75 pasien dengan miastenia gravis setuju untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan
yang signifikan antara status emosional dengan kualitas hidup pasien dengan
miastenia gravis dapat ditingkatkan.
Kualitas hidup bukan merupakan diagnosa keperawatan namun merupakan salah
satu indikator keberhasilan dalam pemberian intervensi keperawatan bagi pasien
miastenia gravis. Minimnya pengkajian terkait status emosional pada pasien di
layanan kesehatan seringkali membuat aspek psikologis termasuk didalamnya
status emosional khususnya pada pasien miastenia gravis tidak terkaji. Perlunya
pengkajian status emosional pada pasien dibutuhkan di pusat layanan kesehatan.
Kolaborasi perawat ruangan dengan perawat spesialis keperawatan jiwa
diharapkan dapat dilakukan guna meminimalisir dampak psikologis dari penyakit
serta menyiapkan pasien ketika keluar dari pusat layanan kesehatan.
Judul Jurnal : DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA MIASTENIA GRAVIS
Tahun Terbit : Desember 2013
Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun yang
disebabkan oleh adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction. Hal ini ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan
progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai
dengan kelelahan saat beraktivitas.Sebelum memahami tentang miastenia gravis,
pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction
sangatlah penting.Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik
(membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction.Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat
penting pada patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan
produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.Penatalaksanaan miastenia
gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, thymomectomy ataupun dengan
imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang
baik pada kesembuhan miastenia gravis
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.Walaupun terdapat
banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbeda-beda, tetapi tidak
dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat
memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini.Pada pasien miastenia gravis,
antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu
antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit
alfa.Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi
reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya
transmisi neuromuscular. Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya
kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan
timbulnya ptosis dan senyum yang horizontal.

Anda mungkin juga menyukai