Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN

DIAGNOSA MEDIS TALASEMIA


Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok Keperawatan Anak
Dosen pembimbing : Wiwi Kustio, A.Kep., S.Pd., MPH.

Nama Kelompok : Aulia Nurrohma (2820173149)


Awaluddin Yusa A (2820173150)
Chairunisa Sekar P (2820173151)

Kelas : 3D

STIKES NOTOKUSUMO
YOGYAKARTA
2019
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang...................................................................................... 1
B. Tujuan................................................................................................... 1
BAB II KONSEP DASAR
A. Definisi................................................................................................... 1
B. Etiologi................................................................................................... 1
C. Manifestasi klinis................................................................................... 1
D. Klasifikasi.............................................................................................. 1
E. Patofisiologi........................................................................................... 1
F. Pathway.................................................................................................. 1
G. Komplikasi............................................................................................. 1
H. Pemeriksaan penunjang.......................................................................... 1
I. Penatalaksanaan........................................................................................ 1
J. Diagnosa keperawatan.............................................................................. 1
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................. 1
B. Saran......................................................................................................... 1
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Talasemia merupakan suatu penyakit kelainan darah yang diturunkan
secara genetik dari orangtua kepada anaknya. Penyakit ini disebabkan adanya
mutasi gen pada rantai globin alpha dan rantai globin beta. Mutasi gen tersebut
membuat produksi hemoglobin pada penderita talasemia akan mengalami
penurunan dan menyebabkan anemia (Sari, 2017).
Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 5% dari seluruh
populasi di dunia adalah karier (pembawa) talasemia. Presentase kejadian
pembawa sifat talasemia banyak terdapat di daerah-daerah seperti Mediterania,
Timur Tengah, Asia Tenggara termasuk Indonesia, dan Cina Selatan. Migrasi
penduduk dari daerah-daerah pembawa sifat tersebut kedaerah lainnya akan
menyebabkan peningkatan jumlah penyandang Talasemia dengan pesat. United
Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) memperkirakan
sekitar 29,7 juta pembawa talasemia-β berada di India dan sekitar 10.000 bayi
lahir dengan talasemia-β mayor.3 (Tuter (2019) dan Rejeki (2012).
Thalassemia termasuk kelompok delapan besar penyakit katastropik.
Data dari Yayasan Thalassemia Indonesia dan Perhimpunan Orangtua
Penderita Thalassemia Indonesia (YTI/POPTI) telah diketahui di Indonesia
jumlah kasus penyakit ini terus meningkat sejak 2011 hingga 2015. Pada 2015
jumlah kasus ini diketahui mencapai 7.029 kasus. Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) mencatat angka penderita penyakit Talasemia di Indonesia masih
terbilang tinggi. Menurut data sebanyak 10.531 pasien terdeteksi
menderita Talasemia Mayor. Sementara sebanyak 2.500 bayi yang baru lahir
diperkirakan membawa Talasemia setiap tahunnya (Tuter, 2019).
Jumlah penderita talasemia di Yayasan Talasemia Indonesia cabang
Banyumas terus meningkat, pada tahun 2008 terdapat 44 penderita, pada tahun
2009 meningkat 32,3% menjadi 65 penderita. Pada tahun 2010, penderita
talasemia meningkat lagi 53,85% menjadi 100 penderita dan tahun 2011
meningkat menjadi 63% (Rejeki, 2012).
Berdasarkan penelitian diatas penulis tertarik untuk membuat makalah
mengenai thalasemia pada anak. Makalah ini terdiri atas definisi thalasemia,
etiologi thalasemia, manifestasi thalasemia, patofisiologi thalasemia,
pemeriksaan penunjang thalasemia, komplikasi thalasemia, penatalaksanaan
thalasemia dan diagnosa keperawatan thalasemia.

B. TUJUAN
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui mengenai informasi keperawatan talasemia pada anak.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui tentang definisi mengenai talasemia
b. Untuk mengetahui tentang etiologi mengenai talasemia
c. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis mengenai talasemia
d. Untuk mengetahui tentang klasifikasi mengenai talasemia
e. Untuk mengetahui tentang patofisiologi mengenai talasemia
f. Untuk mengetahui tentang pathway mengenai talasemia
g. Untuk mengetahui tentang komplikasi mengenai talasemia
h. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan penunjang mengenai talasemia
i. Untuk mengetahui tentang diagnosa keperawatan mengenai talasemia
BAB II
KONSEP DASAR

A. Definisi
Talasemia adalah suatu penyakit genetik kelainan darah akibat
kekurangan atau penurunan produksi pembentukan hemoglobin. Secara
molekuler talasemia dibedakan atas talasemia alfa (α) dan beta (β). Sedangkan
secara klinis dibedakan atas talasemia minor dan mayor (Dwi, 2012).
Talasemia adalah kelompok gangguan darah yang mempengaruhi cara
tubuh membuat hemoglobin. Hemoglobin adalah protein yang ditemukan
dalam sel-sel darah merah yang membawa oksigen ke seluruh tubuh. Ini terdiri
dari alfa globin dan beta globin (Brenstein, 2017).
Talasemia merupakan gangguan genetik yang paling sering menyerang
individu keturunan individu keturunan afrika, tetapi talasemia juga menyerang
individu keturunan karibia, timur tengah, asia selatan, dan mediterania
(Tamam, 2009).

B. Etiologi
Menurut Tamam (2009), talasemia disebabkan gen akan tetapi terbagi
menjadi beberapa faktor diantaranya :
1. Talasemia terjadi adanya perubahan pada globin pada kromosom manusia.
Gen globin adalah bagian dari sekelompok gen yang terletak pada
kromosom 11.
2. Mutasi beta-zero (beta 0) ditandai dengan tidak adanya produksi beta
globin, yang biasanya akibat mutasi nonsense, frameshift, atau spicing.
3. Mutasi beta plus ditandai dengan adanya beberapa beta globin tetapi
dengan sedikt cacat spicing.
C. Manifestasi klinis
Menurut Bernstein (2017), penyakit thalasemia memiliki jenis dan tanda
gejala yang berbeda diantaranya :
a. Talasemia minor (alfa) biasanya tidak ditandai dengan gejala klinis, namun
secara umum dapat ditandai dengan :
a) anemia mikrositik,
b) hipokromik ringan dengan IPR rendah sampai tidak terdapat anemia
b. Talasemia mayor (beta) ditandai dengan :
a) akibat kombinasi penyakit hemolitik kronis,
b) penurunan atau ketiadaan produksi Hb A normal,
c) dan eritropoiesis inefektif pada sumsum tulang belakang (fraktur
patologis),
d) terjadi anemia berat (lemah dan pucat)
e) Perkembangan fisik tidak sesuai umur (retardasi pertumbuhan),
f) Bb kurang
g) deformitas skeletal (penonjolan frontal dan maksila pada anak-anak)
h) Muka mongoloid
i) serta gagal jantung,
j) hipoksia kronik,
k) Hepatosplenomegali
l) Kulit kuning (jaundice) atau kelabu

D. Klasifikasi
Menurut Kemenkes (2018), berdasarkan mutasi tersebut, terdapat dua jenis
talasemia yaitu :
a. Thalassemia alfa terjadi akibat mutasi pada kromosom 16. Rantai globin alfa
terbentuk sedikit atau tidak terbentuk sama sekali sehingga rantai globin
yang ada membentuk HbBart dan HbH . Tetramer tersebut tidak seimbang
dan akan menciptakan destruksi eritrosit secara cepat.
b. Thalassemia beta terjadi akibat mutasi gen globin beta sehingga produksi
rantai globin beta menjadi berkurang atau tidak terbentuk sama sekali.
Dan menurut Sari (2017 ), secara klinis talasemia dibagi menjadi :
a. Talasemia mayor, yaitu apabila penderita memerlukan transfusi darah rutin
dan berlangsung seumur hidupnya.
b. Talasemia minor yaitu apabila penderita membutuhkan transfusi darah,
tetapi tidak rutin dilakukan.
c. Carier (pembawa) talasemia, yaitu seseorang yang secara kasat mata tampak
normal, tidak ada keluhan, dan tidak ada gejala, tetapi secara genetika
membawa kelainan talasemia ).

E. Patofisiologi
Terjadi adanya ketidakseimbangan rantai globulin β pada sintesis
hemaglobin. Kemudian pada rantai Thalassemia beta telah terjadi mutasi gen
globin beta sehingga produksi rantai globin beta menjadi berkurang atau tidak
terbentuk sama sekali. Hal ini menyebabkan dalam tubuh kekurangan oksigen
sehingga penderita mengalami hipoksia jaringan. Dan pada saat kekurangan
tersebut, tubuh akan membentuk eritrosit yang baru namun dalam keadaan yang
terjadi adalah eritropoesis inefektif. Hal ini karena rantai globin alfa yang
terbentuk tidak semua dapat berikatan dengan rantai globin beta sehingga
terjadi peningkatan HbF dan HbA2 (Kemenkes RI, 2018).

Selain itu terbentuk pula rantai tetramer alfa yang tidak stabil yang mudah
terurai. Rantai globin alfa bebas tersebut tidak larut, kemudian membentuk
presipitat yang memicu lisis eritrosit di mikrosirkulasi (limpa) dan destruksi di
sumsum tulang. Penderita juga terjadi anemia berat dan dapat menyebabkan
gagal tumbuh serta gagal jantung. Eritropoesis yang inefektif menyebabkan
pengeluaran energi yang banyak dan perluasan rongga pada sumsum tulang
(Kemenkes RI, 2018).
F. Pathway

rantai tetramer alfa tidak ketidakseimbangan rantai


stabil globulin β pada sintesis
hemaglobin.

Rantai globin alfa bebas


tersebut tidak larut rantai Thalassemia beta telah
terjadi mutasi gen

lisis eritrosit di produksi rantai berkurang


mikrosirkulasi (limpa) atau tidak terbentuk

Splenomegali tubuh kurang oksigen


Eritropoesis

destruksi di Hipoksia jaringan


sumsum tulang
anemia
berat
Intoleransi aktivitas
Gagal tumbuh dan
ketidakmampuan
mengabsorpsi nutrien Gangguan sirkulasi dan
Resiko perubahan pigman kulit
infeksi

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari Perubahan Kerusakan
kebutuhan tubuh perfusi jaringan integritas kulit

Sumber : Kemenkes RI (2018)

G. Komplikasi
Menurut Isworo (2012), komplikasi dari penyakit talasemia diantaranya:
1. Anemia Hemolitik Berat
2. Hipoksia Kronik
3. Aktivitas Eritroid meningkat
4. Ekspansi Masif Sum-sum Tulang
5. Penipisan Korteks Tulang
6. Retradasi Pertumbuhan
7. Fraktur Patologis
8. Deformitas Skeletal
9. Hemosiderosis

H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Kemenkes (2018), diagnosis Thalasemia ditegakan berdasarkan
kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik, dan uji laboratorium.
1. Pemeriksaan Fisik
Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisis pada
anak dengan thalassemia yang bergantung transfusi adalah pucat, sklera
ikterik, facies Cooley (dahi menonjol, mata menyipit, jarak kedua mata
melebar, maksila hipertrofi, maloklusi gigi), hepatosplenomegali, gagal
tumbuh, gizi kurang, perawakan pendek, pubertas terlambat, dan
hiperpigmentasi kulit.
2. Laboratorium
Darah Perifer Lengkap (DPL)
a. Anemia yang dijumpai pada thalassemia mayor cukup berat dengan
kadar hemoglobin mencapai <7 g/dL.
b. Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat memiliki MCV
dan MCH yang normal, sehingga nilai normal belum dapat
menyingkirkan kemungkinan thalassemia trait dan
hemoglobinopati.
c. Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk
skrining pembawa sifat thalassemia (trait), thalassemia δβ, dan high
Persisten fetal hemoglobine (HPFH)13,
d. Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan mean
corpuscular haemoglobin (MCH) < 27 pg (hipokromik).
Thalassemia mayor biasanya memiliki MCV 50 – 60 fL dan MCH
12 – 18 pg.
e. Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada thalassemia, dan
juga pada anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih
sedikit dipengaruhi oleh perubahan cadangan besi (less suscpetible
to storage changes).

I. Penatalaksaan
a. Penatalaksanaan Medis
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015) dalam pembahasanya menyebutkan
penatalaksanaan untuk penderita talasemia adalah :
1. Terapi diberikan secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb diatas
10g/dl. Regimen hipertransfusi ini mempunyai keuntungan klinis yng nyata
memungkinkan akifitas normal dengan nyaman, mencegah ekspansi
sumsum tulang dan masalah kosmetikprogresif yang terkait dengan
perubahan tulang- tulang muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan
ostioporosis.
2. Transfusi dengan dosis 15- 20 ml/kg sel darah merah (PRC ) biasanya
diperlukan 4- 5 minggu. Ujii silang harus dikerjakan untuk mencegah alloy
imunisasi dan mencegah reaksi transfusi. Lebih baik digunakan PRC yang
relative segar (kurang dari 1 minggu dalam antikoagulan CPDG) walaupun
kehati- hatian yang tinggi, reaksi demam akibat transfusi lazim ada. Hal ini
dapat diminimalkan dengan penggunaan eritrosit yang direkonstitusi dari
darah beku atau penggunaan filter leukosit, dan dengan pemberian anti
piretik sebelum transfuse. Hemsiderosis adalah akibat terapi transfuse
jangka panjang, yang tidak dapat dihindari karena setiap 500ml darah
membawa kira- kira 200mg besi kejaringan yang tidak dapat diekskresikan
secara fisiologis.
3. Siderosis miokardio merupakan faktor penting yang ikut berperan dalam
kematian awal penderita. Hemosiderosis dapat diturunkan atau bahkan
dicegah dengan pemberian parental obat pengkelasi besi ( iron chelating
drugs) deferoksamin, yg membentuk komplek besi yang dapat
diekskresikan dalam urin. Kadar deferoksamin darah yang dipertahankan
tinggi adalah perlu untuk ekresi besi yang memadai. Obat ini diberikan
subkutan dalam jangka 8- 12jam dengan menggunakan pompa portable
kecil (selama tidur), 5 atau 6 malam/ minggu penderita yang menerima
register ini dapat mempertahankan kadar feritinin serum kurang dari
1000mg/mL yang benar- benar dibawa nilai toksik. komplikasi mematikan
siderosis jantung dan hati dengan demikian dapat dicegah atau secara nyata
tertunda. Obat pengkhelasi besi peroral yang efektif, deferipron, telah
dibuktikan efektif serupa dengan deferoksamin. Karena kekhawatiran
terhadap kemungkinan toksisitas (agranulositosis, arthritis, atralgia) obat
tersebut kini tidak tersedia di Amerika Serikat.
4. Terapi hipertransfusi mencegah splenomeagli masif yang disebabkan oleh
eritropoesis ekra medulla. Namun splenektomi akhirnya diperlukan karena
ukuran organ tersebut atau karena hipersplenisme sekunder. Splenektomi
meningkatkan resiko sepsis yang parah sekali oleh karena itu operasi harus
dilakukan hanya untuk indikasi yang jelas dan harus ditunda selama
mungkin. Indikasi terpenting splenektomi adalah meningkatkan kebutuhan
transfuse melebihi 240mL/kg PRC/tahun biasanya merupakan bukti
hipersplenisme dan merupakan indikasi untuk mempertimbangkan
splenektomi.
5. Imunisasi pada penderita ini dengan vaksin hepatititis , Vaksin H, Influen
tipe B, dan Vaksin polisakarida pneukokus diharapkan, dan terapi rofilaksis
penisilin juga dianjuran. Cangkok sumsum tulang (CST ) adalah kuratif
pada penderita ini dan telah terbukti keberhasilan yang meningkat,
meskipun pada penderita telah menerima transfuse sangat banyak namun
residu ini membawa cukup resiko morbilitas dan portalitas dan biasanya
hanya digunakan untuk penderita yang mempunyai saudara kandung yang
sehat (yang tidak terkena histokompatibel).
b. Penatalaksanaan keperawatan
Sedangkan menurut Kemenkes (2017), pada penyakit thalasemia belum dapat
ditemukan obat yang tepat untuk penyakit thalasemia. Akan tetapi
berdasarkan tipe thalasemia pengobatan pasien menjadi :
a. Tipe thalasemia beta minor
Pada umumnya penderita yang mengalami thalasemia beta minor tidak
memerlukan terapi khusus. Hanya saja kadang-kadang diperlukan
transfusi darah, transfusi darah ini berlangsung ketika dalam keadaan
anemia fisiologi yang berat seperti saat hamil, menyusui dan
menstruasi.
b. Tipe thalasemia beta mayor
Pada pengobatan thalasemia beta mayor yang paling optimal adalah
memberikan transfusi darah seumur hidup. Hal ini ditujukan untuk
mempertahankan kadar Hb selalu sama atau 12 g/dl dan mengatasi
akibat samping transfusi darah. Dan pada pasien anak khususnya
penatalaksanaan penderita thalasemia adalah dengan :
a. pemantauan pertumbuhan dan perkembangan pubertasnya secara
teratur.
b. melakukan pemeriksaan kalsium, fosfat, PTH dan hormon tiroid
setiap tahun.
c. Pada 10 tahun pertama pemeriksaan gula darah dimonitor setiap
tahun.
d. Jika terdapat gagal tumbuh, perawakan pendek atau pubertas
terlambat, perlu dilakukan evaluasi, dan tata laksana penyebabnya.

J. Pengkajian

1. Asal Keturunan / Kewarganegaraan


Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar laut Tengah
(Mediteranial) seperti Turki,Yunani, dll. Di Indonesia sendiri, thalasemia
cukup banyak dijumpai pada anak, bahkanmerupakan penyakit darah yang
paling banyak diderita.
2. Umur
Pada penderita thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala telah
terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan pada thalasemia
minor biasanya anak akan dibawa keRS setelah usia 4 tahun.
3. Riwayat Kesehatan Anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi
lainnya. Ini dikarenakan rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.
4. Pertumbuhan dan Perkembangan
Seiring didapatkan data adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbang
sejak masih bayi.Terutama untuk thalasemia mayor, pertumbuhan fisik anak,
adalah kecil untuk umurnya danadanya keterlambatan dalam kematangan
seksual, seperti tidak ada pertumbuhan rambut pubis dan ketiak, kecerdasan
anak juga mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor,sering
terlihat pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
5. Pola Makan
Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah makan, sehingga BB rendah
dan tidak sesuai usia.
6. Pola Aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya. Anak lebih banyak
tidur/istirahat karenaanak mudah lelah.
7. Riwayat Kesehatan Keluarga
Thalasemia merupakan penyakit kongenital, jadi perlu diperiksa apakah
orang tua jugamempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka anak beresiko
terkena talasemia mayor.
8. Riwayat Ibu Saat Hamil (Ante natal Core ANC)
Selama masa kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya
faktor resikotalasemia. Apabila diduga ada faktor resiko, maka ibu perlu
diberitahukan resiko yang mungkinsering dialami oleh anak setelah lahir.
9. Data Keadaan Fisik Anak Thalasemia
a) KU = lemah dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang
seusia.
b) Kepala dan bentuk muka. Anak yang belum mendapatkan pengobatan
mempunyai bentukkhas, yaitu kepala membesar dan muka mongoloid
(hidung pesek tanpa pangkal hidung), jarakmata lebar, tulang dahi
terlihat lebar.
c) Mata dan konjungtiva pucat dan kekuningan
d) Mulut dan bibir terlihat kehitaman
e) Dada, Pada inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya
pembesaran jantung dandisebabkan oleh anemia kronik
f) Perut, Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati
(hepatospek nomegali).
g) Pertumbuhan fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB di
bawah normal
h) Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas tidak
tercapai dengan baik.Misal tidak tumbuh rambut ketiak, pubis ataupun
kumis bahkan mungkin anak tidak dapatmencapai tapa odolense karena
adanya anemia kronik.
i) Kulit, Warna kulit pucat kekuningan, jika anak telah sering mendapat
transfusi warna kulitakan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini terjadi
karena adanya penumpukan zat besi dalam jaringan kulit
(hemosiderosis).

K. Diagnosa Keperawatan
Menurut Herdman (2018) dalam buku Nanda terdapat diagnosa
keperawatan thalasemia pada anak diantaranya :
1. Perubahan perfusi jaringan b.d penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
2. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplay O2 dan
kebutuhan.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien yang diperlukan untuk
pembentukan sel darah merah normal.
4. Kerusakan integritas kulit b.d sirkulasi, perubahan pigmentasi kulit
5. Resiko infeksi d.d penurunan HB

DAFTAR PUSTAKA

Bernstein, Daniel dan Steven Shelov. 2017. Ilmu Kesehatan Anak untuk Mahasiswa
Kedokteran. Jakarta : EGC.
Herdman, T. Heather. 2018. NANDA-1 Diagnosis Keperawatan : definisi dan
klasifikasi 2018-2020. Jakarta : EGC.

Isworo, Adi, dkk. 2012. Hubungan Antara Kecemasan Dengan Kejadian Preeklampsia
Di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. https://journal.ugm.ac.id. Diakses pada
29 September 2019. Online.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Penatalaksanaan


Thalasemia.http://www.p2ptm.kemkes.go.id/artikelsehat/penatalaksanaan-
thalasemia. Diakses pada 5 Oktober 2019. Online.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tata Laksana Thalasemia. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No HK.01.07/Menkes/1/2018.

Nurarif H. Amin & Kusuma Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA (North American Nursing Diagnosis Association)
NIC-NOC. Jakarta: Mediaction Publishing.

Sari, Ajeng Kartika. 2018. Menguak Penyakit Thalasemia. https://www.pikiran-


rakyat.com/nasional/2018/02/16/menguak-penyakit-talasemia-419632. Diakses
pada 5 Oktober 2019. Online.

Tamam. 2009. Pekan Cegah Thalasemia. (D.3410-3420). Indonesia Rotari


Internasional.
Menurut Nanda (2018-2019) oleh Herdman, diagnosa dari penyakit talasemia diantaranya :

Intervensi
No. Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
1 Perubahan perfusi Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor TTV 1. Adanya perubahan perfusi
jaringan b/d keperawatan selama ...x... jam jaringan otak dapat
berkurangnya perubahan perfusi jaringanteratasi menyebabkan terjadinya
komponen seluler yang dengan perubahan tanda-tanda vital
penting untuk Tujuan : : Tekanan darah dan
menghantar O2/zat - Tidak terjadinya gangguan respirasi dalam batas
nutrisi ke sel perfusi jaringan normal
(berkurangnya Kriteria hasil : 2. Tinggikan posisi kepala 2. Meningkatnya ekspansi
kapasitas darah). - Menunjukkan perfusi di tempat tidur sesuai paru dan memaksimalkan
jaringan adequat dengan toleransi oksigenasi paru untuk
ditandai tanda-tanda syok kebutuhan seluler.
tidak ada, TTV normal, dll. 3. Awasi upaya pernafasan, 3. Dispnea, gemericik
auskultasi bunyi nafas : menunjukkan GJK karena
perhatikan bunyi nafas regangan jantung
adventisius.
lama/peningkatan
4. Selidiki keluhan nyeri kompensasi curah jantung.
dada, palpitasi. 4. Iskemia seluler
mempengaruhi jaringan
mio kardal
5. Catat keluhan rasa dingin, /potensial resiko inflan.
pertahankan suhu 5. Kenyaman
lingkungan dan tubuh pasien/kebutuhan rasa
hangat sesuai dengan hangat harus seimbang
indikasi. dengan kebutuhan untuk
menghindari panas
berlebiha pencetus
6. Ajarkan untuk vasodilatasi.
menghindari penggunaan 6. Termoreseptor jaringan
bantalan penghangat atau deral dangkal karena
botol air panas. gangguan oksigen.
7. Kolaborasikan untuk
pemberian PRC.Awasi 7. Meningkatkan jumlah sel
pembawa
ketat untuk komplikasi oksigen:memperbaiki
transfusi. difisiensi untuk
menurunkan resiko
perdarahan.
8. Berikan oksigen 8. Memaksimalkan transport
tambahan sesuai indikasi oksigen ke jaringan.
2. Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kemampuan aktivitas 1. Untuk menentukan
ketidakseimbangan keperawatan selama ...x... jam klien. kemampuan klien
antara suplay O2 dan perubahan perfusi jaringanteratasi dalam melakukan
kebutuhan. dengan aktivitas.
Tujuan : 2. Monitor tanda-tanda vital 2. Untuk mengetahui
- Tidak terjadinya gangguan klien. keadaan umum klien.
aktivitas 3. Anjurkan klien untuk bed 3. Untuk mempercepat
Kriteria hasil : rest. pemulihan klien.
- Dapat melakukan aktivitas 4. Beri aktivitas sesuai 4. Untuk memenuhi
sesuai kemampuan. kemampuan klien. kebutuhan klien tanpa
- Ttv dalam batas normal menimbulkan
kelelahan.
5. Kolaborasi dengan 5. Agar kebutuhan klien
keluarga untuk membantu dapat terpenuhi.
aktivitas klien.

3. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor jumlah dan jenis 1. Untuk mengetahui jenis
nutrisi kurang dari keperawatan selama ...x... jam intake dan output pasien dan jumlah asupan nutrisi
kebutuhan tubuh b.d ketidakseimbangan nutrisi kurang yang penting bagi pasien.
ketidakmampuan dari kebutuhan tubuh teratasi 2. Timbang berat badan 2. Membantu menentukan
mengabsorbsi nutrien dengan klien keseimbangan nutrisi yang
untuk pembentukan sel Tujuan : tepat
darah merah normal. - mencegah malnutrisi dan 3. Beri Health Education 3. Untuk membantu pasien
pertumbuhan tidak terganggu tentang pentingnya nutrisi dan keluarga memahami
Kriteria hasil : bagi tubuh pentingnya nutrisi bagi
Status Nutrisi : energi tubuh
- Daya tahan tubuh meningkat 4. Kolaborasi dengan ahli 4. Untuk memberikan diet
- Pertumbuhan tidak terganggu gizi yang adekuat sesuai
dengan kebutuhan pasien
yang mendukung
proses penyembuhan.
4. Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji integritas kulit,catat 1. Kondisi kulit
kulit b.d sirkulasi, keperawatan selama ...x... jam perubahan pada turgor, dipengaruhi oleh
perubahan pigmentasi kerusakan integritas kulit teratasi gangguan warna, hangat sirkulasi,nutrisi dan
kulit dengan local, eritema, ekskoriasi imobilisasi.
Tujuan : 2. Ubah posisi secara 2. Meningkatkan
- mempertahankan integritas periodic dan pijat sirkulasi ke semua
kulit permukaan tulang bila area kulit membatasi
Kriteria hasil : pasien tidak bergerak atau iskemia/atau
- Mempetahankan integritas di tempat tidur mempengaruhi
kulit hipoksia seluler.
3. Bantu bererak pasif atau 3. Meningkatkan
aktif sirkulasi jaringan,
mencegah stasis.
4. Ajarkan permukaan kulit 4. Sabun dapat
kering dan bersih. Batasi mengeringkan kuliat
pengunaan sabun secara berlebihan dan
5. Gunakan alat pelindung, mengakibatkan iritasi.
mis. Kasur tekanan 5. Menghindari adanyab
udara/air. kerusakan pada kulit
dengan mencegah
atau menurunkan
tekanan terhadap
permukaan kulit.
5. Resiko infeksi d.d Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan teknik septik 1. Untuk mempercepat
penurunan Hb keperawatan selama ...x... jam antiseptik pada prosedur kesembuhan luka
Resiko infeksi teratasi dengan perawatan.
Tujuan : 2. Tingkatkan masukan 2. Mencegah dehidrasi dan
- meningkatkan sistem imun tubuh cairan yang adekuat. mempertahankan
Status imunitas 3. Pantau dan batasi 3. Mengurangi adanya
Kriteria hasil: pengunjung. penularan infeksi dari
- Integritas kulit membaik luar.
- Tidak ada demam 4. Monitor tanda-tanda vital. 4. Memonitor salah satu
- Tidak ada drainage purulen atau tanda gejala infeksi yaitu
eritema panas
- Tidak ada tanda dan gejala 5. Kolaborasi dalam 5. Meningkatkan sistem
infeksi pemberian antiseptik dan imun dan mencegah
antipiretik tanda dan gejala infeksi

Anda mungkin juga menyukai