Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GERONTIK

GANGGUAN OKSIGENASI: POLA NAPAS TIDAK EFEKTIF

DISUSUN OLEH
JULYATI
019.02.0941

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM


PROGRAM PROFESI NERS
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN OKSIGENASI: POLA NAPAS TIDAK EFEKTIF

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Gangguan oksigenasi pada pasien yang mengalami gangguan paru-
paru yang paling sering terjadi salah satunya adalah terjadinya sesak napas
(dypnea) yang menyebabkan pola napas menjadi tidak efektif. Terjadinya
sesak nafas pada pasien pneumonia merupakan dampak dari agen yang
memunculkan produksi pus dalam alveolus paru, yang mengakibatkan
proses ventilasi udara di paru tidak optimal dan meningkatkan kadar CO2
darah, selanjutnya kemoreseptor di otak menyuruh pusat kendali
pernafasan medulla oblongata untuk meningkatkan proses pernafasan
yaitu peningkatan Respiration Rate (RR) sehingga muncul gejala
peningkatan RR. Jika tidak ditangani dengan baik maka dapat
menyebabkan gangguan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan
dapat menyebabkan kelemahan (Smeltzer&Bare, 2002).
Ruang cempaka RSUD Banyumas terdapat beberapa pasien
dengan gangguan paru-paru. Pada pasien ini terjadi gangguan oksigenasi
yaitu pola nafas tidak efektif. Hal inilah yang menyebabkan penulis
mengangkat tema tentang gangguan oksigenasi pada pasien di ruang
cempaka RSUD Banyumas. Laporan pendahuluan ini disusun sebagai
syarat untuk memenuhi standar kompetensi mahasiswa profesi yang
mengikuti Praktek Klinik Keperawatan Terpadu (PKKT) stase Kebutuhan
dasar manusia (KDM) yang dilakukan di ruang Cempaka RSUD
Banyumas.
2. Tujuan
Dengan dilakukan asuhan keperawatan gangguan oksigenasi pada pasien
pneumonia diharapkan dapat :
a. Tujuan Umum:
Untuk mengetahui gangguan oksigenasi mengenai pola napas tidak
efektif.
b. Tujuan Khusus:
1) Untuk mengetahui definisi atau pengertian pola napas tidak
efektif.
2) Untuk mengetahui etiologi pola napas tidak efektif.
3) Untuk mengetahui faktor pencetus/presipitasi pola napas
tidak efktif.
4) Untuk mengetahui patofisiologi pola napas tidak efktif.
5) Untuk mengetahui tanda dan gejala dari pola napas tidak
efktif.
6) Untuk mengetahui jenis pemeriksaan penunjang untuk pola
napas tidak efktif.
7) Dapat melakukan pengkajian pada pasien dengan pola
napas tidak efktif.
8) Untuk mengetahui diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul dengan adanya pola napas tidak efktif.
9) Mengetahui rencana asuhan keperawatan untuk pasien pola
napas tidak efktif.

B. TINJAUAN TEORI
1. Pengertian
Secara umum pola napas tidak efektif dapat didefinisikan sebagai
keadaan dimana ventilasi atau pertukaran udara inspirasi dan atau ekspirasi
tidak adekuat (NANDA, 2005).
2. Etiologi
Beberapa macam penyebab yang dapat menimbulkan munculnya
masalah keperawatan gangguan oksigenasi mengenai pola napas tidak
efektif adalah:
a. Hiperventilasi
b. Hipoventilasi
c. Deformitas tulang
d. Nyeri
e. Deformitas dinding dada
f. Cemas
g. Penurunan energi/kelelahan
h. Disfungsi neuromuscular
i. Kerusakan musculoskeletal
j. Kerusakan persepsi/kognitif
k. Obesitas
l. Cedera tulang belakang
m. Posisi tubuh
n. Imaturitas neurologis
o. Kelemahan otot pernapasan

3. Faktor Pencetus/Presipitasi
Faktor presipitasi atau pencetus dari adanya gangguan oksigenasi
mengenai pola napas tidak efektif yaitu bisa terjadi karena faktor pencetus
dari penyakit penyebabnya seperti: Pneumonia, CHF, Infark Miokard
Akut, Status asmatikus dll.

4. Patofisiologi

Ketidakefektifan pola nafas biasanya berhubungan dengan kejadian


penyakit asma atau dypnea. Asma adalah obstruksi jalan napas difus
reversibel. Obstruksi disebabkan oleh satu atau lebih dari yang berikut ini :
1. Kontraksi otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan jalan
napas
2. Pembengkakan membran yang melapisi bronki.
3. Pengisian bronki dengan mukus yang kental.
Selain itu otot – otot bronkial dan kelenjar mukosa membesar; sputum
yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara
terperangkap di dalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini
tidak diketahui, tetapi apa yang paling diketahui adalah keterlibatan sistem
imunologis dan sistem saraf otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang
buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE)
kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap
antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan
pelepasan sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin, dan
prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS –
A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos
dan kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan
membran mukosa, dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur
oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik
atau nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor
seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah
asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara
langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan
mediator kimiawi yang dibahas di atas. Individu dengan asma dapat
mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis. Selain itu
reseptor alpha dan beta-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak
dalam bronki. Ketika reseptor beta-adrenergik dirangsang, terjadi
bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika reseptor beta-adrenergik
yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor alpha dan beta-adrenergik
dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cyclic adenosine
monophosphate/cAMP).
Stimulasi reseptor-alfa mengakibatkan penurunan cyclic adenosine
monophosphate /cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator
kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi
reseptor-beta mengakibatkan peningkatan tingkat cyclic adenosine
monophosphate/cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi
dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan ialah bahwa
penyekatan beta-adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya,
asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan
konstriksi otot polos. (Smeltzer, S.C., 2002)
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme
otot bronkus, penyumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus.
Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisioiogis
saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara
distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional
(KRF), dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati
kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran
napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk
mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot bantu napas.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara
obyektif dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE
(Arus Puncak Ekspirasi),
sedang penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan d
erajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi, baik
pada saluran napas besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi (wheezing)
menandakan adanya penyempitan disaluran napas besar, sedangkan
penyempitan pada saluran napas kecil gejala batuk dan sesak lebih
dominan dibanding mengi.
Penyempitan saluran nafas ternyata tidak merata disluruh bagian
baru, ada daerah – daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah
kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia penurunan
Pa02 mungkin kelainan pada asma sub klinis (Suyono, Slamet. 2001)
5. Pathway

Allergen , stress, perubahan cuaca,


Lingkungan kerja

Hiperaktifitas saluran
pernafasan

inflamasi kerusakan gangguan neurologis obstruksi


epitel intrinsic jalan nafas

mediator peningkatan hipertrofi peningkatan spasme otot


kimia penetrasi allergen saluran nafas sensifitas saraf bronkus
mediator inflamasi parasimpatik

melepaskan iritasi beta aldregenik


histamine, dan alpha
bradykinin,
progstaglandin

bronkospasme bronkokontriksi

6. Tanda dan Gejala


Menurut NANDA (2005), tanda dan gejala yang dapat ditemukan
pada pasien yang mengalami masalah pola napas tidak efektif adalah:
a. Penurunan tekanan inspirasi/ekspirasi.
b. Penurunan ventilasi permenit.
c. Penggunaan otot napas tambahan untuk bernapas.
d. Pernapasan nasal faring.
e. Dispnea.
f. Orthopnea.
g. Penyimpangan dada.
h. Napas pendek.
i. Napas pursed-lip (dengan bibir).
j. Ekspirasi memanjang.
k. Peningkatan diameter anterior posterior.
l. Frekwensi napas:
1) Bayi : <25 atau >60
2) 1-4 th : <20 atau >30
3) 5-14 th : <14 atau >25
4) >14 th : <11 atau >24
m. Kedalaman napas:
1) Volume tidal dewasa saat istirahat 500 ml.
2) Volume tidal bayi 6-8 ml/kgBB.
n. Penurunan kapasitas vital.
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk memastikan
masalah keperawatan pola napas tidak efektif diantaranya:
a. Pemeriksaan spirometri
b. Pemeriksaan fisik dada
c. Rontgen
8. Pengkajian
Data Subjektif:
Pasien mengatakan sesak napas, sering batuk-batuk, bila berjalan cepat
merasa capek dan nafsu makan menurun.
Data Objektif:
a. Suhu
b. Nadi
c. TD
d. RR
e. Kesadaran
9. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a. Pola napas tidak efektif
Kriteria hasil Intervensi Rasionalisasi
Setelah dilakukan 1. Respiratory
tindakan keperawatan monitoring:
diharapkan pasien dapat :  Monitor rata-rata  Mengetahui
1. Status kepatenan irama, kedalaman, keefektifan pernapasan.
jalan napas normal: dan usaha untuk
 RR normal bernapas.
 Irama  Catat gerakan  Untuk mengetahui
napas kembali dada, lihat penggunaan otot bantu
normal kesimetrisan, pernapasan.
2. Status ventilasi penggunaan otot
pernapasan bantu saat bernapas
seimbang: dan relaksasi
 Ekspansi dinding dada.  Mengetahui
dada simetris  Monitor suara penyebab napas tidak
 Dapat napas. efektif.
melakukan napas  Monitor
dalam kelemahan otot
 Bernapas diafragma.
melalui hidung  Catat omset,
 Dalam karakteristik dan
bernapas tidak durasi batuk.
menggunakan otot  Catat hasil foto
bantu. rontgen
 Napas 2. Manajemen
melalui pursed-lip jalan napas:  Pasien
sudah tidak ada  Posisikan pasien mendapatkan posisi
 Dyspnea untuk mendapatkan yang nyaman untuk
saat istirahat dan ventilasi yang bernapas.
saat beraktivitas maksimal.
tidak ada  Instruksikan  Mengeluarkan
 Orthopnea bagaimana dahak yang ada didalam
sudah tidak ada melakukan batuk saluran napas.
 Volume efektif.
tidal kembali  Auskultasi suara  Untuk mengetahui
normal napas. kelainan napas.
 Kapasitas  Gunakan  Memperlebar
vital paru kembali bronkodilator secara jalan napas.
normal benar
 Ajarkan kepada
pasien cara
penggunaan inhaler
dengan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer dan Bare,2002, Buku ajar keperawatan medikal bedah, Edisi 8,EGC,
Jakarta.

McCloskey dan Bulechek 2000, “Nursing interventions classification (NIC)”,


United States of America, Mosby.

Meidean, JM, 2000, “Nursing Outcomes Classification (NOC)”,United States of


America, Mosby.

NANDA 2005, “Nursing diagnosis definitions & classification”, Philadelphia,


Locust Street.

Anda mungkin juga menyukai