DPRD
DPRD
Refleksi kegiatan kunjungan kuliah lapangan Mata Kuliah Kebijakan Publik di DPRD
DIY terkait dengan proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DIY
Dalam teknis penyusunannya actor-aktor yang dilibatkan adalah rakyat, eksekutif, dan legislatif.
Masyarakat dilibatkan pada level musyawarah pembangunan kelurahan ( Musbangkel ) dan unit
Muhammad Ilham Imanuddin (16/399426/SP/27559)
daerah kerja pembangunan (UDKP) saja. Pada tingkatan selanjutnya, yakni tingkat rapat
koordinasi pemangunan (Rakorbang) dan pengesahan RAPBD rakyat sama sekali tidak dilibatkan,
melainkan diisi oleh peran eksekutif dan legislatif. Idealnya dalam menyusun APBD harus
memenuhi prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan untuk menunjang misi good government,
yaitu :
Permasalahan lain yang dihadapi adalah bagaimana proses pengambilan keputusan dalam
forum ? mengingat DPRD sendiri bukan sesuatu yang netral, melaikan gugusaan partai-partai yang
memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Pertikaian dalam forum menjadi sesuatu yang biasa,
namun dalam setiap forum terdapat wasit yang moderatori negosiasi agar tetap dapat lebih terarah
dan sistematis. Teknis dalam negosiasiasi apabila terjadi perbedaan pendapat ialah dengan
perundingan atau musyawarah, apabila masih terjadi deadlock maka menggunakan mekanisme
voting sebagai jalan tengah dalam perundingan.
DPRD sebagai lembaga dewan, DPRD memiliki otoritas penuh untuk membuat kebijakan-
kebijakan yang diambilnya. Namun dalam praktiknya kewenangan mereka terbatas dikarenakan
Muhammad Ilham Imanuddin (16/399426/SP/27559)
sistem pemilu yang ada. Dengan sistem perhitungan suara terbanyak murni, menjadikan ikatan
calon legislatif memiliki disparitas dalam hal legitimasi maupun kewenangannya. Hal tersebut
jauh berbeda dengan Orde Baru, saat 3 fraksi yakni PDI, Golkar, PPP. Saat itu partai politik sebagai
mesin kaderisasi untuk mendulang suara memiliki mekanisme rekrutmen yang berjenjang. ada
tingkatan wajib pengurus dalam periode tertentu untuk menjadi pejabat, misalnya harus kerja di
kelurahan untuk bisa jadi pejabat di kecamatan, dari kecamatan baru melompat ke jenjang
berikutnya yakni bupati, dst.
Dari bekerjanya kaderisasi di partai politik mencerminkan kualitas dan kapasitas dewan
dalam mengelola urusan sesuai wewenang yang dimandatkan kepada mereka. Hal tersebut juga
berpengaruh pada tingkat kedisiplinan, attitude, kinerja, dan efektivitas produksi. Disisi lain kita
tidak bisa menyalahkan partai politik sepenuhnya, harus diakui bersama problema partai politik
adalah input keuangan yang masuk. Pendanaan partai hanya sebagian kecil yang didanai
pemerintah, selebihnya adalah kas anggota. Partai politik lebih mirip wadah investasi daripada
wadah aspirasi yang mengedepankan ideologi tertentu untuk mensejahterahkan masyarakat yang
mereka wakili, sehingga realitanya agar bisa diusung oleh partai tertentu dibutuhkan ongkos yang
tinggi sebagai mahar politik.
Hal tersebut sangat kontradiktif dengan fungsi partai politik di Negara berkembang. Partai
politik sendiri seharusnya mampu menjadi sarana untuk mengembangkan integrasi nasional dan
memupuk identitas nasional, karena Negara-negara baru seperti Indonesia sering dihadapkan pada
masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda
corak social dan pandangan hidupnya melalui satu bangsa (Budiarjo, 2015). Oleh karena itu
sebagai anggota dewan idealnya adalah memiliki ikatan yang lebih dari sekedar materi, yakni
keprihatinan yang sama dan disatukan oleh ideologi partai. Dengan begitu dana yang dikucurkan
pemerintah tidak terbuang sia-sia, termakan oleh anggota DPRD yang praktis menjadikan jabatan
yang diembannya sekedar untuk mencari materi, bukan fungsi advokasi yang seharusnya menjadi
spirit para anggota dewan. Di akhir kata mas inung berpesan agar Mahasiswa Departemen Politik
dan Pemerintahan suatu saat dapat mengemban amanah dan kuat melanjutkan harapan dan cita-
cita alumni dan jurusan.
Muhammad Ilham Imanuddin (16/399426/SP/27559)
Daftar Pustaka