Anda di halaman 1dari 4

Muhammad Ilham Imanuddin (16/399426/SP/27559)

Refleksi kegiatan kunjungan kuliah lapangan Mata Kuliah Kebijakan Publik di DPRD
DIY terkait dengan proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DIY

Secara teoritik anggaran merupakan instrument pemerintah dalam


menyelenggarakan roda kekuasaan (Rohman, 2012). Dengan mencermati alokasi anggaran, arah
dan orientasi kebijakan pemerintah dapat diketahui dengan baik. Mengingat peran anggaran sangat
strategis untuk mendukung capaian kinerja, reformasi anggaran tetap menjadi strategi yang terus
diupayakan oleh pemerintah baik diupayakan oleh pemerintah baik ditingkat lokal maupun daerah.
Namun sebelum suatu anggaran disahkan menjadi APBD, juga harus melalui proses pembahasan
yang melibatkan legislatif dalam menempatkan prioritas-prioritas kebijakan.

Pada kesempatan kali ini, Departemen Politik dan Pemerintahan berkesempatan


melakukan kunjungan kuliah lapangan yang diadakan pada tanggal 11 Mei 2018 ke Kantor DPRD
DIY. Kunjungan tersebut tidak lain ingin membahas hal terkait proses anggaran pendapatan dan
belanja daerah ( APBD ) yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta itu sendiri. Materi
tersebut diberikan oleh Bapak Arif Noor Hartanto, S.IP. atau yang akrab disapa Inung, beliau
adalah Wakil Ketua DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dari fraksi Partai Amanat Nasional
(PAN).

Penyusunan APBD sendiri didasarkan pada perencanaan yang sudah


diteteapkan terlebih dahulu, mengenai program dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Bila dilihat
dari waktunya, perencanaan di tingkat pemerintah daerah dibagi menjadi tiga kategori yaitu :

 Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD) merupakan perencanaan pemerintah daerah


untuk periode 20 tahun.
 Rencana Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan perencanaan pemerintah daerah
untuk periode 5 tahun.
 Rencana Kerja Pemerintah Daerah ( RKPD) merupakan perencanaan tahunan daerah.

Dalam teknis penyusunannya actor-aktor yang dilibatkan adalah rakyat, eksekutif, dan legislatif.
Masyarakat dilibatkan pada level musyawarah pembangunan kelurahan ( Musbangkel ) dan unit
Muhammad Ilham Imanuddin (16/399426/SP/27559)

daerah kerja pembangunan (UDKP) saja. Pada tingkatan selanjutnya, yakni tingkat rapat
koordinasi pemangunan (Rakorbang) dan pengesahan RAPBD rakyat sama sekali tidak dilibatkan,
melainkan diisi oleh peran eksekutif dan legislatif. Idealnya dalam menyusun APBD harus
memenuhi prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan untuk menunjang misi good government,
yaitu :

1. Transparansi dan Akuntabilitas


2. Disiplin Anggaran
3. Keadilan Anggaran
4. Efesiensi dan Efektifitas
5. Format Anggaran
6. Rasional dan Terukur
7. Pendekatan Kinerja Dokumen Publik

Namun dalam realitanya, kaidah-kaidah normatif tersebut dilanggar melalui manipulasi


atau kurangnya informasi dari aktor-aktor yang terlibat. Tercatat DPRD sendiri pada tahun 2013
pernah diduga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY telah melakukan penyimpangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DIY sebesar Rp 1,6 miliar. Dari
kesaksian Pak Inung dalam kuliah lapangan tersebut dikarenakan ketidaktauhan dewan terhadap
pengetahuan hukum dan tatalaksana kewenangan. Kelemahan dari DPRD sendiri terletak pada
kapasitas dari anggotanya, hal tersebut adalah buntut dari sistem perekrutan partai yang kurang
didasari pengetahuan dan kapabilitas politik yang baik, hanya didasarkan kebutuhan praktis tanpa
melihat akuntabilitas sosial yang akan dihadapi.

Permasalahan lain yang dihadapi adalah bagaimana proses pengambilan keputusan dalam
forum ? mengingat DPRD sendiri bukan sesuatu yang netral, melaikan gugusaan partai-partai yang
memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Pertikaian dalam forum menjadi sesuatu yang biasa,
namun dalam setiap forum terdapat wasit yang moderatori negosiasi agar tetap dapat lebih terarah
dan sistematis. Teknis dalam negosiasiasi apabila terjadi perbedaan pendapat ialah dengan
perundingan atau musyawarah, apabila masih terjadi deadlock maka menggunakan mekanisme
voting sebagai jalan tengah dalam perundingan.

DPRD sebagai lembaga dewan, DPRD memiliki otoritas penuh untuk membuat kebijakan-
kebijakan yang diambilnya. Namun dalam praktiknya kewenangan mereka terbatas dikarenakan
Muhammad Ilham Imanuddin (16/399426/SP/27559)

sistem pemilu yang ada. Dengan sistem perhitungan suara terbanyak murni, menjadikan ikatan
calon legislatif memiliki disparitas dalam hal legitimasi maupun kewenangannya. Hal tersebut
jauh berbeda dengan Orde Baru, saat 3 fraksi yakni PDI, Golkar, PPP. Saat itu partai politik sebagai
mesin kaderisasi untuk mendulang suara memiliki mekanisme rekrutmen yang berjenjang. ada
tingkatan wajib pengurus dalam periode tertentu untuk menjadi pejabat, misalnya harus kerja di
kelurahan untuk bisa jadi pejabat di kecamatan, dari kecamatan baru melompat ke jenjang
berikutnya yakni bupati, dst.

Dari bekerjanya kaderisasi di partai politik mencerminkan kualitas dan kapasitas dewan
dalam mengelola urusan sesuai wewenang yang dimandatkan kepada mereka. Hal tersebut juga
berpengaruh pada tingkat kedisiplinan, attitude, kinerja, dan efektivitas produksi. Disisi lain kita
tidak bisa menyalahkan partai politik sepenuhnya, harus diakui bersama problema partai politik
adalah input keuangan yang masuk. Pendanaan partai hanya sebagian kecil yang didanai
pemerintah, selebihnya adalah kas anggota. Partai politik lebih mirip wadah investasi daripada
wadah aspirasi yang mengedepankan ideologi tertentu untuk mensejahterahkan masyarakat yang
mereka wakili, sehingga realitanya agar bisa diusung oleh partai tertentu dibutuhkan ongkos yang
tinggi sebagai mahar politik.

Hal tersebut sangat kontradiktif dengan fungsi partai politik di Negara berkembang. Partai
politik sendiri seharusnya mampu menjadi sarana untuk mengembangkan integrasi nasional dan
memupuk identitas nasional, karena Negara-negara baru seperti Indonesia sering dihadapkan pada
masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda
corak social dan pandangan hidupnya melalui satu bangsa (Budiarjo, 2015). Oleh karena itu
sebagai anggota dewan idealnya adalah memiliki ikatan yang lebih dari sekedar materi, yakni
keprihatinan yang sama dan disatukan oleh ideologi partai. Dengan begitu dana yang dikucurkan
pemerintah tidak terbuang sia-sia, termakan oleh anggota DPRD yang praktis menjadikan jabatan
yang diembannya sekedar untuk mencari materi, bukan fungsi advokasi yang seharusnya menjadi
spirit para anggota dewan. Di akhir kata mas inung berpesan agar Mahasiswa Departemen Politik
dan Pemerintahan suatu saat dapat mengemban amanah dan kuat melanjutkan harapan dan cita-
cita alumni dan jurusan.
Muhammad Ilham Imanuddin (16/399426/SP/27559)

Daftar Pustaka

Budiarjo, M. (2015). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Rohman, H. (2012). APBD Bukan Untuk Rakyat. Yogyakarta: Capiya.

Anda mungkin juga menyukai