LP Thypoid Fix
LP Thypoid Fix
TYHPOID
B. Etiologi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia,
secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas
sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah
yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemis (Putra A., 2012).
Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 terdapat
17 juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai
600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Insidens rate
penyakit demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000
penduduk per tahun sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003
insidens rate demam tifoid di Bangladesh 2.000 per 100.000 penduduk per tahun.
Insidens rate demam tifoid di negara Eropa 3 per 100.000 penduduk, di Afrika
yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di Asia 274 per 100.000 penduduk
Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk
pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata
kasus per tahun 600.000 – 1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid
di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10%. Tingginya insidens rate
penyakit demam tifoid di negara berkembang sangat erat kaitannya dengan
status ekonomi serta keadaan sanitasi lingkungan di negara yang bersangkutan
(Nainggolan R., 2009).
C. Patofisiologi
Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman yang
terkontaminasi, setelah berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan
limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika.
Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat
pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ
retikuloendotelial sistem (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman
difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit berkembang
biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah
menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk
ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman
tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan
menyebabkan reinfeksi usus. Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan
endotoksin. Endotoksin ini merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh
lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di
darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipothalamus yang
mengakibatkan timbulnya gejala demam.
Makrofag pada pasien akan menghasilkan substansi aktif yang disebut
monokines yang menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang imun sistem,
instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang dan panas. Infiltrasi jaringan oleh
makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosist sudah berdegenerasi
yang dikenal sebagai tifoid sel. Bila sel ini beragregasi maka terbentuk nodul
terutama dalam usus halus, jaringan limfe mesemterium, limpa, hati, sumsum
tulang dan organ yang terinfeksi.
Kelainan utama yang terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang
hiperplasi (minggu I), nekrosis (minggu II) dan ulserasi (minggu III). Pada
dinding ileum terjadi ulkus yang dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi
intestinal. Bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut.
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Jumlah leukosit normal/leukopenia/leukositosis.
2. Anemia ringan, LED meningkat, SGOT, SGPT dan fsofat alkali meningkat.
3. Minggu pertama biakan darah S. Typhi positif, dalam minggu berikutnya
menurun.
4. Biakan tinja positif dalam minggu kedua dan ketiga.
5. Kenaikan titer reaksi widal 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang memastikan
diagnosis. Pada reaksi widal titer aglutinin O dan H meningkat sejak
minggu kedua. Titer reaksi widal diatas 1 : 200 menyokong diagnosis.
F. Komplikasi
a. Komplikasi intestinal: Perdarahan usus, Perporasi usus, Ilius paralitik
b. Komplikasi extra intestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis),
miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma
uremia hemolitik.
3) Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4) Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5) Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6) Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan
arthritis.
7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis,
polineuritis perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia
(Simanjutak,2009).
G. Penatalaksanaan
1. Tirah baring atau bed rest.
2. Diit lunak atau diit padat rendah selulosa (pantang sayur dan buahan),
kecuali komplikasi pada intestinal.
3. Obat-obatan :
a. Antimikroba
1) Kloramfenikol 4 X 500 mg sehari/IV
2) Tiamfenikol 4 X 500 mg sehari oral
3) Kotrimoksazol 2 X 2 tablet sehari oral (1 tablet = sulfametoksazol
400 mg + trimetoprim 80 mg) atau dosis yang sama iv, dilarutkan
dalam 250 ml cairan infus.
4) Ampisilin atau amoksisilin 100 mg/kg BB sehari oral/iv, dibagi
dalam 3 atau 4 dosis.
Antimikroba diberikan selama 14 hari atau sampai 7 hari
bebas demam.
b. Antipiretik seperlunya
c. Vitamin B kompleks dan vitamin C
4. Mobilisasi bertahap setelah 7 hari bebas demam.
H. Pathway
Konstipasi
Mual, muntah, diare Usus halus dan kolon
Bakteremia primer
Bakteremia sekunder
Hipertermi
Perdarahan dan perforasi Feses Intoleransi aktivitas
B. Diagnosa
1. Hipertermi berhubungan dengan gangguan hipothalamus oleh pirogen
endogen.
2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan tirah baring atau imobilisasi
3. Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
4. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan adanya
salmonella pada tinja dan urine.
5. Konstipasi berhubungan dengan invasi salmonella pada mukosa intestinal.
C. Intervensi
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan dan Intervensi Rasional
kriteria hasil
Hipertermi Setelah 1. Monitor tanda- Infeksi pada umumnya
berhubungan diberikan tanda infeksi menyebabkan
dengan asuhan peningkatan suhu tubuh
gangguan keperawatan 2. Monitor tanda Deteksi resiko
hipothalamus selama 3x 24 vital tiap 2 jam peningkatan suhu tubuh
oleh pirogen jam, suhu yang ekstrem, pola yang
endogen. tubuh klien dihubungkan dengan
kembali patogen tertentu,
normal, 3. Kompres menurun idhubungkan
dengan kriteria dingin pada denga resolusi infeksi
suhu antara daerah yang Memfasilitasi
366-373 0C, RR tinggi aliran kehilangan panas lewat
dan Nadi darahnya konveksi dan konduksi
dalam batas 4. Berikan suhu
normal, lingkungan Kehilangan panas tubuh
pakaian dan yang nyaman melalui konveksi dan
tempat tidur bagi pasien. evaporasi
pasien kering, Kenakan
kulit dingin pakaian tipis
dan bebas dari pada pasien.
keringat yang 5. Monitor Febril dan enselopati
berlebihan komplikasi bisa terjadi bila suhu
neurologis tubuh yang meningkat.
akibat demam Menggantikan cairan
6. Atur cairan iv yang hilang lewat
sesuai order keringat
atau anjurkan
intake cairan
yang adekuat. Aspirin beresiko terjadi
7. Atur perdarahan GI yang
antipiretik, menetap.
jangan berikan
aspirin
Intoleransi Setelah 1. Evaluasi Menetapkan
aktivitas diberikan respon pasien kemampuan/kebutuhan
berhubungan asuhan terhadap pasien dan
dengan keperawatan aktivita, catat memudahkan pilihan
penurunan selama 3x24 laporan intervensi
ketahanan jam di dispnea,
tubuh harapkan peningkatan /
dapat kelemahan dan
menunjukkan perubahan
peningkatan tanda-tanda
toleransi vital sebelum
terhadap dan sesudah
aktivitas, tidak aktivitas
ada kelemahan
berlebihan, 2. Berikan
tanda tanda lingkungan Menurunkan stres dan
vital dalam tenang dan rangsangan berlebihan
rentang batasi meningkatkan istirahat
normal penunjang
selama fase
akut sesuai
indikasi,
dorong
penggunaan
manajemen
stres dan
pengalihan
yang tepat
Resiko tinggi Setelah 1. Kumpulkan Pengumpulan yang
infeksi diberikan darah, urine salah bisa merusak
(kontak asuhan dan feses kuman patogen
pasien) keperawatan untuk sehingga mempengaruhi
berhubungan selama 3x24 pemeriksaan diagnosis dan
dengan jam, pasien sesuai aturan. pengobatan
adanya akan bebas
salmonella infeksi dan 2. Atur Anti infeksi harus
pada tinja komplikasi pemberian segera diberikan untuk
dan urine. dari infeksi agen mencegah penyebaran
salmonella antiinfeksi ke pekerja, pasien lain
dengan kriteria sesuai order. dan kontak pasien.
tanda vital Mencegah transmisi
dalam batas kuman patogen
normal, kultur 3. Pertahankan
darah, urine enteric
dan feses precaution
negatif, tidak sampai 3 kali Membatasi terpaparnya
ada pemeriksaan pasien pada kuman
perdarahan. feses negatif patogen lainnya.
terhadap S.
Thypi
4. Cegah pasien
terpapar Meyakinkan bahwa
dengan pasien diperiksa dan
pengunjung diobati.
yang
terinfeksi Mencegah infeksi
atau petugas, berulang
batasi
pengunjung
5. Terlibat
dalam
perawatan
lanjutan
pasien
6. Ajarkan
pasien
mencuci
tangan,
kebersihan
diri,
kebutuhan
makanan dan
minuman,
mencuci
tangan
setelah BAB
atau
memegang
feses.
Resiko tinggi Setelah 1. Kaji tanda- Intervensi lebih dini
kekurangan diberikan tanda
cairan tubuh asuhan dehidrasi Mempertahankan intake
berhubungan keperawatan 2. Berikan yang adekuat
muntah dan selama minuman per Melakukan rehidrasi
diare. 3x24jam, oral sesuai
keseimbangan toleransi Meyakinkan
cairan dan 3. Atur keseimbangan antara
elektrolit dapat pemberian intake dan ouput
dipertahankan cairan per
dengan kriteria infus sesuai
turgor kulit order.
normal, 4. Ukur semua
membran cairan output
mukosa (muntah,
lembab, urine diare, urine.
output normal, Ukur semua
kadar darah intake cairan.
dalam batas
normal.
D. Implementasi
Menurut Doengoes, 2012 implementasi adalah tindakan pemberian
keperawatan yang dilaksanakan untuk membantu mencapai tujuan pada
rencana tindakan keperawatan yang telah disusun. Setiap tindakan
keperawatan yang dilaksanakan dicatat dalam catatan keperawatan yaitu cara
pendekatan pada klien efektif, teknik komunikasi terapeutik serta penjelasan
untuk setiap tindakan yang diberikan kepada pasien.
Dalam melakukan tindakan keperawatan menggunakan 3 tahap
pendekatan, yaitu independen, dependen, interdependen. Tindakan
keperawatan secara independen adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh
perawat tanpa petunjuk dan perintah dari dokter atau tenaga kesehatan
lainnya. Interdependen adalah tindakan keperawatan yang menjelaskan suatu
kegiatan dan memerlukan kerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya,
misalnya tenaga sosial, ahli gizi, dan dokter. Sedangkan dependen adalah
tindakan yang berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis.
Keterampilan yang harus dipunyai perawat dalam melaksanakan tindakan
keperawatan yaitu kognitif, sikap dan psikomotor.
Dalam melakukan tindakan khususnya pada klien dengan gastritis
yang harus diperhatikan adalah pola nutrisi, skala nyeri klien, serta
melakukan pendidikan kesehatan pada klien.
E. Evaluasi
Menurut Doengoes, 2012 evaluasi adalah tingkatan intelektual untuk
melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa
keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.
Kemungkinan yang dapat terjadi pada tahap evaluasi adalah masalah dapat
diatasi, masalah teratasi sebagian, masalah belum teratasi atau timbul masalah
baru. Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi proses dan evaluasi hasil.
Evaluasi proses adalah evaluasi yang harus dilaksanakan segera setelah
perencanaan keperawatan dilaksanakan untuk membantu keefektifitasan
terhadap tindakan. Sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi yang
dilaksanakan pada akhir tindakan keperawatan secara keseluruhan sesuai
dengan waktu yang ada pada tujuan.
Adapun evaluasi dari diagnosa keperawatan gastritis secara teoritis
adalah apakah rasa nyeri klien berkurang, apakah klien dapat mengkonsumsi
makanan dengan baik, apakah terdapat tanda-tanda infeksi, apakah klien
dapat melakukan aktivitasnya secara mandiri, apakah klien mampu
mengungkapkan pemahaman tentang penyakit gastritis.
DAFTAR PUSTAKA