Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia

2.1.1 Proses Menua

Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan

fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan

memperbaiki kerusakan yang diderita (Aspiani,2014).

2.1.2 Teori Proses Menua

Ahli teori mencoba mendeskripsikan proses biopsikososial penuaan yang

kompleks. Tidak ada teori yang secara utuh menjelaskan proses penuaan,semua

teori ini masih dalam berbagai tahap dan mempunyai keterbatasan. Namun

perawat dapat menggunakannya untuk memahami fenomena yang mempengaruhi

kesehatan dan kesejahteraan klien lansia (Merry & Potter,2005).

2.1.3 Teori Biologi

2.1.3.1 Teori Radikal Bebas

Radikal bebas adalah produk metabolisme seluler yang merupakan bagian

molekul yang sangat reaktif, molekul ini memiliki muatan ekstraseluler kuat yang

dapat menciptakan reaksi dengan protein, mengubah bentuk dan sifatnya. Molekul

ini juga dapat bereaksi dengan lipid yang berada dalam membran sel,

mempengaruhi permeabilitasnya, atau dapat berikatan dengan organel sel.

8
9

2.1.3.2 Teori Cross-Link

Teori cross-link dan jaringan ikat menyatakan bahwa molekul senyawa yang

lama meningkatkan rigiditas sel, cross-link diperkirakan akibat reaksi kimia yang

menimbulkan senyawa antara molekul-molekul yang normalnya terpisah.

2.1.3.3 Teori Imunologis

Beberapa teori menyatakan bahwa penurunan atau perubahan dalam

keefektifan sistem imun berperan dalam penuaan, tubuh kehilangan kemampuan

untuk membedakan protein sendiri dengan protein asing sehingga sistem imun

menyerang dan menghancurkan jaringannya sendiri pada kecepatan yang

meningka secara bertahap.

2.1.3.4 Teori Psikososial

Pada masa lalu, teori perkembangan psikososial telah difokuskan terutama

pada anak dan adolesens. Tidak ada peristiwa yang adekuat untuk mendukung

teori tentang aspek psikososial penuaan. Para peneliti telah menunjukkan bahwa

genetik bukan determinan utama memanjangnya isu, manusia menua sepanjang

dimensi biologis termasuk dimensi psikologis dan sosial.

2.1.3.5 Teori Disengagement

Teori disengagement dari Cummings dan Herry (1961) menyatakan bahwa

orang yang menua menarik diri dari peran yang biasanya dan terikat pada aktivitas

yang lebih introspektif dan berfokus pada diri sendiri.

2.1.3.6 Teori Aktivitas

Teori aktivitas tidak menyetujui teori disengagement dan menegaskan

bahwa kelanjutan aktivitas dewasa tengah penting untuk keberhasilan penuaan.


10

Teori ini mengusulkan bahwa orang tua yang aktif secara sosial lebih cenderung

menyesuaikan diri terhadap penuaan yang lebih baik.

2.1.3.7 Teori Kontinuitas

Teori kontinutas atau teori perkembangan (Neugarten,1964) menyatakan

bahwa kepribadian tetap sama dan perilaku menjadi lebih mudah diprediksi

seiring penuaan, kepribadian dan pola prilaku yang berkembang sepanjang

kehidupan menentukan derajat keterikatan dan aktivitas pada masa lansia.

2.1.4 Klasifikasi Lansia

Sampai saat ini beluam ada kesepakatan batasan umur lanjut usai secara

pasti, karena seorang tokoh psikologi membantah bahwa usia dapat secara tepat

menunjukkan seorang individu tersebut lanjut usia atau belum maka dari itu

berujuk berbagai pendapat dibawah ini:

2.1.4.1 Menurut WHO

Menurut badan kesehatan dunia (World Health Organiation) yang dikatakan

lanjut usia tersebut dibagi tiga kategori yaitu:

a. Usia lanjut : 60 - 74 tahun

b. Usia tua : 75 - 89 tahun

c. Usia sangat lanjut : > 90 tahun

2.1.4.2 Menurut DEPKES RI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia membagi lanjut usia menjadi

sebagai berikut:

a. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa virilitas.

b. Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai masa presenium.


11

c. Kelompok-kelompok usia lanjut (>65 tahun) sebagai masa senium (Aspiani,

2014)

2.1.5 Perubahan Fisiologi Pada Lansia

2.1.5.1 Sistem Cardiovaskuler

Perubahan yang terjadi pada system kardiovaskuler antara lain:

a. Elastisitas dinding aorta menurun

b. Katup jantung menebal dan menjadi kaku

c. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1 % setiap tahun sesudah

berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan

volumenya.

d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas pemburuh

darah perifer untuk oksigenasi. Perubahan posisi dari tidur ke duduk atau

duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah menurun yaitu menjadi 65

mmHg yang dapat mengakibatkan pusing mendadak.

Tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari

pembuluh darah perifer sitlosis normal 170 ± mmHg. Diatolis normal 90 ±

mmHg.

2.1.5.2 Sistem Pernafasan

Perubahan yang terjadi pada system pernafasan antara lain:

a. Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku

b. Menurunnya aktivitas dari silis


12

c. Paru-paru kehilangan elastisitas kapasitas residu meningkat. Menarik nafas

lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun dan kedalaman

bernafas menurun

d. Alveoli ukurannya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang

e. Oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg

f. karbondioksida pada arteri tidak berganti

g. Kemampuan untuk batuk berkurang

h. Kemampuan pegas, dinding, dada dan kekuatan otot pernapasan akan

menurun seiring dengan dengan pertambahan usia.

2.1.5.3 Sistem Persarafan

Perubahan yang terjadi pada system pernafasan antara lain:

a. Berat otak menurun 10-20 % (setiap orang berkurang sel saraf otaknya dalam

setiap harinya.

b. Cepatnya menurun hubungan persarafan.

c. Lambat dalam respond an waktu untuk bereaksi. Khususnya dengan stress.

d. Mengecilnya saraf panca indra: Berkurangnya Penglihatan. Hilangnya

pendengaran. Mengecilnya saraf penciuman dan perasa lebih sensitif terhadap

perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin.

e. Kurang sensitif terhadap sentuhan.


13

2.1.5.4 Sistem Gastrointestinal

Perubahan yang terjadi pada system gastroentistinal yaitu:

a. Kehilangan gigi: Penyebab utama adanya periodontal Disease yang biasa

terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang

buruk dan gigi yang buruk dan gizi yang buruk.

b. Indra pengecap menurun, adanya iritasi yang kronis dan selaput lender,

atropi indra pengecap (± 80 %), hilangnya sensitivitas dari indra pengecap di

lidah terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas dari saraf pengecap

tentang rasa asin, asam dan pahit.

c. Esophagus melebar.

d. Lambung: rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun), asam lambung

menurun, waktu mengosongkan menurun.

e. Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.

f. Funsi absorbpsi melemah (daya absorbpsi terganggu).

g. Liver (hati): makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan,

berkurangnya aliran darah.

2.1.5.5 Sistem Genitourinaria

Perubahan yang terjadi pada sistem genitourinaria antara lain:

a. Ginjal

Merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui urin

darah yang masuk ke ginjal, disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal

yang disebut nefron (tepatnya di glomerolus). Kemudian mengecil dan nefron

menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50 %, fungsi tubulus


14

berkurang akibatnya kurangnya kemampuan mengkonsentrasi urin, berat

jenis urin menurun proteinuria (biasanya +1) BUN ( Blood Urea Nitrogen)

meningkat sampai 21 mg%, nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat.

b. Vesika urinaria (kandung kemih)

Otot-otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau

menyababkan frekuensi buang air seni meningkat, vesika urinaria susah di

kosongkan pada pria lanjut usia sehingga mengakibatkan meningkatnya

retensi urin.

c. Pembesaran prostat ± 75 % dialami oleh pria di atas 65 tahun.

2.1.5.6 Sistem Endokrin

a. Produksi dari hampir semua hormon menurun.

b. Fungsi parathyroid dan sekresinya tidak berubah.

c. Pituitary: pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah dan hanya didalam

pembuluh darah, berkurangnya produksi dari ACTH (Adrenocortikotropic

Hormone ), TSH (Thyroid Stimulating Hormone), FSH (Foilikel Stimulating

Hormone) dan LH (Leutinezing Hormone).

d. Menurunnya aktivitas tiroid, menurutnya bmr (basal metabolic rate), dan

menurunnya daya pertukaran zat .

e. Menurunnya produksi aldosteron.

f. Menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya progesterone, estrogen dan

testosteron.
15

2.1.5.7 Sistem Indera: Pendengaran, Penglihatan , Perabaan dll

Organ sensori pendengaran, penglihatan, pengecap, peraba dan penghirup

memungkinkan kita berkomunikasi dengan lingkungan pesan yang diterima dari

sekitar kita membuat tetap mempunyai orientasi, ketertarikan dan

pertentantangan. Kehilangan sensorik akibat penuaan merupakan saat dimana

lansia menjadi kurang kinerja fisiknya dan lebih banyak duduk:

a. Sistem Pendengaran

1) Presbiakuisis (gangguan pendengaran). Hilangnya kemampuan/daya

pendengaran pada telinga dalam , terutama terhadap bunyi suara atau nada-

nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50 %

terjadi pada usia di atas umur 65 tahun.

2) Membran timpani menjadi atropi menyebabkan otosklerosis.

3) Terjadinya pengumpulan cerumen dapat mengeras karena meningkatnya

keratin.

4) Pendengaran menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa

atau stress.

b. Sistem Penglihatan

1) Spingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar.

2) Karena lebih berbentuk sfesis (bola).

3) Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, jelas

meyebabkan gangguan penglihatan.

4) Meningkatkan ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap

kegelapan, lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap.


16

5) Hilangnya daya akomodasi.

6) Menurunnya lapang pandang: berkurangnya luas pandangannya.

7) Menurunnya daya daya membedakan warna biru/hijau pada skala.

c. Rabaan.

Indera peraba memberikan pesan yang paling intim dan yang paling

mudah menerjemahkan. Bila indera lain hilang, rabaan dapat mengurangi

perasaan sejahtera. Meskipun reseptor lain akan menumpul dengan

bertambahnya usia, namun tidak pernah menghilang.

d. Pengecap dan penghidu

Empat ras adasar yaitu manis, asam, asin, dan pahit. Diantara semuanya

ras manis yang paling tumpul pada lansia. Maka jelas bagi kita mengapa

mereka senang membubuhkan gula secara berlebihan. Rasa yang tumpul

menyebabkan kesukaan terhadap makanan yang asin dan banyak berbumbu.

Harus dianjurkan penggunaan rempah, bawang, bawang putih, dan lemon

untuk mengurangi garam dalam menyedaokan masakan.

2.1.5.8 Sistem Integumen

Fungsi kulit meliputi proteksi, perubahan suhu, sensasi, dan ekskresi.

Dengan bertambahnya usia, terjadilah perubahan intrinsik dan ekstrinsik yang

mempengaruhi penampilan kulit:

a. Kulit mengkerut atau keriput akibat hilangnya jaringan lemak.

b. Permukaan kulit dasar dan berisik (karena kehilangan proses keratinisasi serta

perubahan ukuran dan bentuk-betuk sel epidermis).

c. Menurunnya respon terhadap trauma.


17

d. Mekanisme proteksi kulit menurun:

1) Produksi serum menurun.

2) Penurunan serum menurun.

3) Gangguan pigmentasi kulit.

e. Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu.

f. Rambut dalam hidung dan telinga menebal.

g. Berkurangnya elastisitas akibat dari menurunnya cairan dan vaskularisasi.

h. Pertumbuhan kuku lebih lambat.

i. Kuku jari menjadikeras dan rapuh.

j. Kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk.

k. Kelenjar keringat berkurangnya jumlah dan fungsinya.

l. Kuku menjadi pudar, kurang bercahaya.

2.1.5.9 Sistem Muskuloskeletal

Penurunan progresif dan gradual masa tulang mulai terjadi sebelum usia 40

tahun.

a. Tulang kehilangan desnsity (cairan) dan makin rapuh dan osteoporosis.

b. Kifosis

c. Pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan terbatas.

d. Discus intervertebralis menipis dan menjadi pendek ( tingginya berkurang).

e. Persendian membesar dan menjadi kaku.

f. Tendon mengerut dan mengalami sklerosis.


18

g. Atrofi serabut otot (otot-otot serabut mengecil). Serabut-serabut otot

mengecil sehingga seseorang bergerak menjadi lamban, otot-otot kram dan

menjadi tremor.

h. Otot-otot polos tidak begitu berpengaruh.

Peningkatan Kesehatan untuk fungsi Muskuloskeletal:

Osteoporosis merupakan masalah yang terjadi pada lansia. Demineralisasi

yang terjadi osteoporosis dipercepat dengan hilangnya estrogen, inaktivitas dan

diet rendah kalsium tinggi fosfat, perawat dapat menganjurkan:

a. Masukan tinggi kalsium (produk susu dan sayuran hijau merupan sumber

baik, seperti kaldu dan sup yang dibuat dari sup tulang dan dimasak dengan

tambahan cara untuk melepas kalsium dan tulang).

b. Diet rendah fosfor (rasio ideal kalsium: fosfor adalah 1:1 , daging merah,

minuman kola dan makanan buatan pabrik yang rendah kalsium fosfor harus

dihindari)

c. Olahraga, suplemen kalsium, vitamin D, fluoride dan estrogen sering

diresepkan bagiorang yang berisiko tinggi atau yang telah menderita

osteoporosis.

2.1.5.10 Sistem Reproduksi dan Seksualitas

a. Vagina

Orang –orang yang makin menua sexual intercourse masih juga

membutuhkannya, tidak ada batasan umur tertentu. fungsi seksual seseorang

berhenti, frekuensi sexual intercourse cendrung menurun secara bertahap


19

tiap tahun tetapi kapasitas untuk melakukan dan menikamati berjalan terus

sampai tua.

selaput lendir vagina menurun, permukaan menjadi halus, sekresi menjadi

berkurang, reaksi sifatnya menjadi alkali dan terjadi perubahan wanita.

b. Menciutnya ovary dan uterus.

c. Atrofi payudara.

d. Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya

penurunan secara beangsur-angsur.

e. Produksi estrogen dan progesteron oleh ovarium menurun saat menopause,

perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi wanita meliputi penipisan

dinding vagina dengan pengecilan dan hilangnya ukuran elastiitass,

penurunan sekresi vagina, mengakibatkan kekeringan, gatal, dan menurunnya

keasaaman vagina, dan penurunan tonus pubokoksigius yang mengakibatkan

lemasnya vagina dan perinium (Aspiani, 2014).

2.2 Pengertian Hipertensi

2.2.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi dasar adalah peningkatan tekanan darah secara tetap khususnya,

tekanan diastolic melebihi 95 milimeter air raksa yang tidak bisa dihubungkan

dengan penyebab organic apapun.(Carlson Wade, 2016)

Istilah “hipertensi”digunakan untuk peningkatan tekanan darah sistolik atau

diastolic di atas nilai normal.Tekanan arteri disebut normal jika tekanan sistolik

<120 mmHg (tapi >90 mmHg) dan tekanan diastolic <80 mmHg (tapi
20

>60mmHg). Tekanan diastolic antara 80 sampai 89 mmHg dan tekanan sistolik

antara 120 sampai 139 mmHg dianggap sebagai prehipertensi. Disebut hipertensi

jika tekanan diastolic ≥90 atau sistolik ≥140 mmHg. (Richard E. Klabunde, 2015)

Menurut Kaplan (1985) (Awn Hariyanto S.kep Ns.M.kes, 2015)

membedakan hipertensi berdasarkan usia dan jenis kelamin, sebagai berikut:

a. Pria usia < 45 tahun : hipertensi jika TD : lebih dari 130/90 mmHg.

b. Pria usia > 45 tahun : hipertensi jika TD : di atas 145/95 mmHg.

c. Wanita : hipertensi jika > 160 mmHg.

Sementara pengertian krisis hipertensi adalah peningkatan tekanan darah

berat secara tiba-tiba dengan tekanan darah systole lebih dari 200 mmHg dan

tekanan darah diastole lebih dari 140 mmHg.

2.2.2 Anatomi dan fisiologi

a. Anatomi

Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang terletak

di rongga dada dibawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri

sternum. Ukuran jantung lebih kurang sebesar genggaman tangan kanan dan

beratnya kira-kira 250-300 gram (Irfanuddin, 2007).

Jantung mempunyai empat ruang yaitu atrium kanan, atrium kiri,

ventrikel kanan, dan ventrikel kiri. Atrium adalah ruangan sebelah atas

jantung dan berdinding tipis, sedangkan ventrikel adalah ruangan sebelah

bawah jantung. dan mempunyai dinding lebih tebal karena harus memompa

darah ke seluruh tubuh (Irfanuddin, 2007).


21

2.1 Gambar Jantung

Atrium kanan berfungsi sebagai penampung darah rendah oksigen dari

seluruh tubuh. Atrium kiri berfungsi menerima darah yang kaya oksigen dari

paru-paru dan mengalirkan darah tersebut ke paru-paru. Ventrikel kanan

berfungsi menerima darah dari atrium kanan dan memompakannya ke paru-

paru.ventrikel kiri berfungsi untuk memompakan darah yang kaya oksigen

keseluruh tubuh (Irfanuddin, 2007).

Jantung juga terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan terluar yang

merupakan selaput pembungkus disebut epikardium, lapisan tengah

merupakan lapisan inti dari jantung terdiri dari otot-otot jantung disebut

miokardium dan lapisan terluar yang terdiri jaringan endotel disebut

endokardium (Irfanuddin, 2007).

b. Siklus jantung

Siklus jantung merupakan kejadian yang terjadi dalam jantung selama

peredaran darah. Gerakan jantung terdiri dari 2 jenis yaitu kontraksi (sistolik)

dan relaksasi (diastolik). Sistolik merupakan sepertiga dari siklus jantung.


22

Kontraksi dari ke-2 atrium terjadi secara serentak yang disebut sistolik atrial

dan relaksasinya disebut diastolik atrial. Lama kontraksi ventrikel ±0,3 detik

dan tahap relaksasinya selama 0,5 detik. Kontraksi kedua atrium

pendek,sedangkan kontraksi ventrikel lebih lama dan lebih kuat. Daya dorong

ventrikel kiri harus lebih kuat karena harus mendorong darah keseluruh tubuh

untuk mempertahankan tekanan darah sistemik. Meskipun ventrikel kanan

juga memompakan darah yang sama tapi tugasnya hanya mengalirkan darah

ke sekitar paru-paru ketika tekanannya lebih rendah (Irfanuddin, 2007).

2.2.3 Etiologi

Menurut (Hariyanto & Sulistyowati, 2015) terdapat beberapa etiologic dari

hipertensi yaitu :

a. Perokok

Merokok yang menahun dapat merusak endoteal arteri dan nikotin

menurunkan HDL yang baik untuk tubuh manusia.

b. Obesitas

Dapat meningkatkan LDL yang buruk untuk tubuh manusia pencetus

aterosklerosis.

c. Alkoholisme

Alkohol yang dapat merusak hepar dan sifat alcohol mengkilat air

memengaruhi viskositas darah memengaruhi tekanan darah.

d. Stres

Merangsang system saraf simpatis mengeluarkan adrenalin yang

berpengaruh terhadap kerja jantung.


23

e. Konsumsi garam

Garam memengaruhi viskositas darah dan memperberat kerja ginjal

yang mengeluarkan renin angiotensin yang dapat meningkatkan tekanan

stress.

2.2.4 Manifestasi Klinis

Peninggian tekanan darah kadang kala merupakan satu-satunya gejala pada

hipertensi dan kadang-kadang berjalan tanpa gejala dan baru timbul setelah terjadi

komplikasi pada ginjal, mata, otak dan jantung.Gejala lain yang sering ditemukan

adalah sakit kepala, epistaksis, pusing atau migran, marah, telinga berdengung,

rasa berat ditekuk, suka tidur, dan mata berkunang-kunang. Gejala ini akibat

komplikasi hipertensi seperti gangguan penglihatan, gangguan neurologi, gejala

payah jantung dan gejala lain akibat gangguan fungsi ginjal. (Kartika Sari, 2013)

2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan sebelum memulai terapi

bertujuan menentukan adanya kerusakan dan faktor resiko lain atau mencari

penyebab hipertensi. Biasanya dari pemeriksaan urinaliasa, darah perifer lengkap,

kimiaa darah (K, Na, kreatinin, gula darah puasa, kolestrol, HDI) dapat dilakukan

pemeriksaan lain seperti Klirens kreatinin, protein urin 24 jam, asam urat,

kolestrol LDL, TSH, dan EKG. (Kartika Sari, 2013).

2.2.6 Penatalaksanaan

Didasarkan pada program perawatan bertahap (Rodmamn, 1991) (Kartika

Sari, 2013).
24

a. Langkah I. Tindakan-tindakan konservatif :

1) Modifikasi diet

a. Pembatasan natrium.

b. Penurunan masukan kolestrol dan lemak jenuh.

c. Penurunan masukan kalori untuk mengontrol berat badan.

d. Menurunkan masukan minuman beralkohol.

2) Menghentikan merokok.

3) Penatalaksanaan stress.

4) Program latihan regular untuk menurunkan berat badan.

b. Langkah II. Farmakoterapi bila tindakan-tindakan konservatif gagal untuk

mengontrol TD secara adekuat.Salah satu dari berikut ini dapat digunakan.

1) Diuretik.

2) Penyakit beta adrenergic.

3) Penyakit saluran kalsium.

4) Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE).

c. Langkah III. Dosis obat dapat dikurangi, obat kedua dari kelas yang berbeda

dapat ditambahkan atau penggantian obat lainnya dari kelas yang berbeda.

d. Langkah IV. Evaluasi lanjut atau rujukan pada spesialis keempat dapat

ditambahkan masing-masing dari kelas yang berbeda.


25

2.3 Konsep Pola Tidur

2.3.1 Siklus tidur normal manusia

Siklus tidur normal manusia terdiri dari 2 status primer siklus tidur yaitu

REM (rapid eye movement) dan non REM. Status tidur REM (20-25% dari waktu

tidur) dibagi menjadi phasic dan tonic, ditandai dengan periode otonom yang

bervariasi, seperti perubahan detak jantung, tekanan darah, laju pernapasan dan

berkeringat. Pada stadium inilah mimpi saat tidur terjadi. Status non REM (sekitar

75-80% dari waktu tidur) dibagi menjadi 4 stadium (Darmojo, 2014):

2.3.1.1 Stadium 1

Saat transisi antara bangun penuh dan tidur, sekitar 30 detik sampai 7 menit

dan karakteristik ditandai oleh gelombang otak yang low-voltage pada

pemeriksaan electro encephalografi (EEG)

2.3.1.2 Stadium 2

Ditandai gelombang otak low voltage pada EEG, dibedakan dengan

stadium 1 dengan adanya gelombang high voltage yang disebut “sleep spindles”

dan K complexes

2.3.1.3 Stadium 3 dan 4

Sering disebut tidur yang dalam atau “delta sleep”. EEG menunjukkan

gelombang yang lambat dengan amplitudo yang tinggi.


26

Tabel. 2.1 Karakteristik fisiologi tidur manusia dewasa.

 Siklus non REM – REM (lama 90 menit)


 Tidur non REM
Stadium 1 : Berkurangnya gelombang alfa oleh gelombang teta,
gerakan berputar bola mata
Stadium 2 : Spindles, K-complexes
Stadium 3 / 4 : Gelombang delta
 Tidur REM
Tonic : Desinkronisasi EEG, atonia otot, depresi rerlek
monosynaptic dan polysypnaptic
Phasic : Gerakan cepat mata hilang, kejang mioklonus, detak
jantung dan respirasi ireguler, aktifitas spontan dari otot
telinga tengah
 Berasal dari endotel
 Diatur oleh homeostatik dan faktor sirkadian
 Dipengaruhi faktor lingkungan
 Tidur berulang diikuti hilang tidur
 Gangguan fungsi karena hilang tidur

2.3.2 Perubahan tidur akibat proses menua dan prevalensinya

Seorang usia lanjut akan membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur

dan mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu tidur nyenyaknya. Dari

penelitian “The Gallup Organization” didapatkan 50% penduduk Amerika pernah

mengalami sulit tidur dan 12% mengatakan sering sulit tidur. Dari hasil penelitian

di masyarakat, prevalensi sulit tidur pada usia lanjut di Amerika adalah 36%

untuk laki-laki dan 54% untuk wanita. Hanya 26% laki-laki dan 21% wanita usia

lanjut yang mengatakan tidak ada kesulitan tidur. Dari hasil test dengan alat

Polysomnographic ditemukan mereka mempunyai penurunan yang signifikan

dalam slow wave sleep dan rapid eye movement (REM). Mereka juga lebih sering

terbangun ditengah malam akibat perubahan fisik karena usia dan penyakit yang

dideritanya, kualitas tidur secara nyata menurun (Darmojo, 2014).


27

Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga

tergantung bagaimana aktifitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk dan aktif

sepanjang hari, pada malam hari tidak ada gangguan dalam tidurnya, sebaliknay

bila siang hari tidak ada kegiatan dan cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit

tidur (Darmojo, 2014).

2.3.3 Penyebab gangguan tidur pada usia lanjut

Sampai saat ini berbagai penelitian menunjukkan, penyebab gangguan tidur

pada usia lanjut merupakan gabungan banyak faktor, baik fisik, psikologis,

pengaruh obat-obatan, kebiasaan tidur, maupun penyakit komorbid lain yang

diderita (Darmojo, 2014).

Hubungan yang harmoni antara sistem imun, neuro endokrin dan sistem

tidur terjaga mengharilkan pola sirkadian tidur dan terjaga. Ketidakseimbangan

interaksi antara faktor psikologi, psikofisiologik, perkembangan saraf, dan

kesehatan dapat menyebabkan gangguan pola tidur. Irama sirkadian dihadapkan

pada proses penuaan dan terdapat gangguan dalam siklus tidur dan terjaga pada

lansia (Meridean L, dkk. 2011)

Gangguan tidur disebabkan oleh beberapa faktor:

a. Faktor internal (penyakit, stress psikologi)

b. Faktor eksternal (perubahan lingkungan, fungsi sosial)

Menurut Meridean L, dkk. 2011, Faktor yang berhubungan dengan

gangguan pola tidur tersebut dikelompokkan dalam beberapa kategori berikut:

a. Gangguan pola tidur-terjaga

b. Penyakit fisik
28

c. Faktor psikologik

d. Pengobatan

2.3.4 Gangguan tidur pada usia lanjut

Menurut Coll P, (2001), Hampir sepertiga umur kita dihabiskan untuk tidur.

Tidur yang lelap dan nyenyak tanpa gangguan menjadi kebutuhan manusia yang

penting, sama pentingnya dengan kebutuhan makan, minum, tempat tinggal dan

lain-lain. Gangguan terhadap tidur pada malam hari (insomnia) akan

menyebabkan mengantuk sepanjang hari esoknya. Mengantuk merupakan faktor

resiko untuk terjadinya kecelakaan, jatuh, penurunan stamina dan secara ekonomi

mengurangi produktivitas seseorang (Darmojo, 2014).

Menurut Cohen (2003), hal lain yang dapat terjadi adalah ketidak

bahagiaan, dicekam kesepian dan yang terpenting mengakibatkan penyakit-

penyakit degeneratif yang sudah diderita mengalami eksaserbasi akut,

pemburukan dan menjadi tidak terkontrol lagi (Darmojo, 2014).

Selain itu akan menimbulkan masalah sosial terhadap lingkungannya,

terutama terhadap keluarganya. Dapat terjadi akibat seorang kakek atau nenek

tidak dapat tidur, seluruh keluargapun tidak dapat tidur, karena ulah atau perilaku

sang kakek atau nenek membangunkan seluruh anggota keluarga. Bila kejadian

ini berlangsung terus menerus, setiap anggota keluarga kehilangan

produktivitasnya karena mengantuk, dapat terjadi setiap anggota keluarga

menganggap sang kakek dan nenek pengganggu yang harus segera disingkirkan.

Kalau rasa hormat dan budaya timur yang harus menghargai dan membalas jasa

kakek/nenek, mereka tetap menerima beliau tinggal bersama, tetapi sikap mereka
29

jadi membenci atau marah, atau memilih tidak tinggal disana lagi dan ini

menimbulkan masalah sosial baru bago keluarga (Darmojo, 2014).

Menurut Feldman (2000), Secara luas gangguan tidur pada lansia dapat

dibagi menjadi:

a. Kesulitan masuk tidur (sleep onset problems)

b. Kesulitan mempertahankan tidur nyenyak (deep maintenance problem)

c. Bangun terlalu pagi (early morning awakening/EMA) (Darmojo, 2014).

Gejala dan tanda yang muncul sering kombinasi dari ketiga gangguan

tersebut dan dapat muncul sementara atau kronik.

Secara internasional klasifikasi diagnostik gangguan tidur mengacu pada 3

sistem diagnostik yaitu:

a. ICD (International Code of Diagnostic) 10

b. DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) IV

c. ICSD (International Classification of Sleep Disorder) (Darmojo, 2014).

Dalam ICD 10 insomnia dibagi menjadi 2 yaitu organik dan non organik.

Untuk non organik dibagi lagi menjadi 2 kategori yaitu dyssomnias (gangguan

pada lama, kualitas dan waktu tidur) dan parasomnias (ada episode abnormal yang

muncul selama tidur seperti mimpi buruk, berjalan sambil tidur dll). Dalam ICD

10 tidak dibedakan antara insomnia primer maupun sekunder akibat

penyakit/kondisi abnormal lain. Insomnia disini adalah insomnia kronik yang

sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi

dan sosial (Darmojo, 2014).


30

Dalam DSM IV gangguan tidur dibagi menjadi 4 tipe yaitu:

a. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain

b. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum

c. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan/keadaan tertentu

d. Gangguan tidur primer (gangguan tidur yang tidak berhubungan sama sekali

dengan kondisi mental, fisik/penyakit ataupun obat-obatan) (Darmojo, 2014).

Pada tahun 2005 American Academy of Sleep mengenalkan klasifikasi

ICSD versi 2 yang merupakan manual diagnostik dan koding (Darmojo, 2014).

Kategori yang digunakan dalam ICSD meliputi:

a. Insomnia

b. Gangguan tidur yang berkaitan dengan nafas

c. Hipersomnia bukan karena gangguan tidur berkaitan dengan nafas

d. Gangguan irama sirkadian tidur

e. Parasomnia

f. Gangguan tidur berkaitan dengan gerakan

g. Gejala-gejala terisolasi, tampak sebagai variasi normal, isu yang tak

terselesaikan

h. Gangguan tidur lainnya


31

2.4 Stress

2.4.1 Pengertian

Stres dalam arti secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang.

Dalarn bahasa sehari-hari stres dikenal sebagai stimulus atau respon yang

menuntut individu untuk melakukan penyesuaian (Manurung, 2016).

Sarafino (2008) mengartikan stres adalah kondisi yang disebabkan oleh

interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara

tun-tutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis,

psikologis dan sosial dari seseorang (Manurung, 2016)..

Ivance-vich (2001), mendefinisikan stres sebagai respon adaptif yang

dimediasi oleh perbedaan individu dan proses psikologi yang merupakan

konsekuensi dari keadaan eksternal, situasi atau kejadian yang berdampak pada

keadaan fisik atau psikologis seseorang (Manurung, 2016)..

Wijono (2006), Stres adalah reaksi alami tubuh untuk. Mempertahankan diri

clan tekanan secara psikis. Tubuh manusia dirancang khusus agar bisa merasakan

dan mere-spon gangguan psikis ini. Tujuannya agar manusia tetap was-pada dan

slap untuk menghindari bahaya (Manurung, 2016)..

Menurut Lazarus dan Folkman (1986) stres adalah keadaan internal yang

dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dad tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial

yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan

individu untuk mengatasinya. Stres juga adalah suatu keada-an tertekan, baik

secara fisik maupun psikologis (Chapplin, 1999). Stres juga diterangkan sebagai

suatu istilah yang di-gunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindi-
32

kasikan situasi atau kondisi fisik, biologic dan psikologis or-ganisme yang

memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga is berada di atas ambang

batas kekuatan adaptif-nya. (McGrath, dan Wedford dalam Arend dkk, 1997).

Menurut Lazarus dan Folkman (1986) stres memiliki memiliki tiga bentuk

yaitu (Manurung, 2016):

a. Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian ter-tentu yang

menimbulkan stres atau disebut juga dengan stressor.

b. Respon, .yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang

muncul karena adanya situasi terten-tu yang menimbulkan stres. Respon yang

muncul dapat secara psikologis, seperti : Jantung berdebar, gemetar, pu-sing,

serta respon psikologis seperti : Takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan

mudah tersinggung.

c. Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses di-mana individu secara

aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi

maupun afeksi.

2.4.2 Penyebab Stress atau Stressor

Peristiwa atau keadaan yang menantang secara fisik atau psikologis disebut

juga dengan stressor. (Sarafino, 2008) Menurut Lazarus dan Folkman (dalam

Morgan, 1987) kondisi fisik lingkungan dan sosial yang merupakan penyebab dari

kondisi stres disebut dengan stressor. Stressor adalah fak-tor-faktor dalam

kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respon stres. Stressor dapat

berasal dari berbagai sumber, balk dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial
33

dan juga muncul pada situasi kerja, di rumah, dalam kehidupan sosial, dan

lingkungan luar lainnya. Istilah stressor diperke-nalkan pertama kali oleh Selye

(dalam Rice, 2002). Menurut Lazarus dan Folkman (1986) stressor dapat

berwujud atau berbentuk fisik (seperti polusi udara) dan dapat juga berkai-tan

dengan lingkungan sosial (seperti interaksi sosial). Pikiran dan perasaan individu

sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi

dapat juga men-jadi stressor.

Menurut Lazarus dan Cohen (1977), tiga tipe kejadian yang dapat

menyebabkan stres yaitu :

a. Daily hassles yaitu kejadian kecil yang terjadi berulang-ulang setiap hari

seperti masalah kerja di kantor, sekolah dan sebagainya.

b. Personal stressor yaitu ancaman atau gangguan yang lebih kuat atau

kehilangan besar terhadap sesuatu yang terjadi pada level individual seperti

kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, masalah keuangan dan

masalah pribadi lainnya.

c. Ditambahkan Freese Gibson (dalam Rachmaningrum, 1999) umur adalah

salah satu faktor penting yang men-jadi penyebab stres, semakin bertambah

umur seseorang, semakin mudah mengalami stres. Hal ini antara lain dise-

babkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami kemun-duran dalam

berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan

mendengar. Pengalaman kerja juga mempengaruhi munculnya stres kerja.

Individu yang memiliki pengalaman kerja lebih lama, cenderung lebih rentan

terhadap tekanantekanan dalam pekerjaan, daripada individu dengan sedikit


34

pengalaman (Koch dan Dipboye, dalam Rachmaningrum,1999). Selanjutnya

masih ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi ting-kat stres, yaitu

kondisi fisik, ada tidaknya dukungan sosial, harga diri, gaya hidup dan juga

tipe kepribadian tertentu (Dipboye, Gibsin, Riggio dalam Rachmaningrum,

1999).

Appraisal Penilaian terhadap suatu keadaan yang dapat menyebabkan stres

disebut stress appraisals. Menilai suatu keadaan yang dapat mengakibatkan stress

tergantung dari 2 faktor, yaitu faktor yang berhubungan dengan orangnya (Per-

sonal factors) dan faktor yang berhubungan dengan situas-inya. Personal factors

di dalamnya termasuk intelektual, motivasi, dan personality characteristics.

Sedangkan faktor situasi yang, mempengaruhi stress appraisals, yaitu :

a. Kejadian yang melibatkan tuntutan yang sangat tinggi dan mendesak

sehingga menyebabkan ketidaknyarnanan.

b. Life transitions, dimana kehidupan mempunyai banyak kejadian penting yang

menandakan berlalunya perubahan dari kondisi atau fase yang satu ke yang

lain, dan meng-hasilkan perubahan substansial dan tuntutan yang baru dalam

kehidupan kita.

c. Timing juga berpengaruh terhadap kejadian-kejadian dalam kehidupan kita,

dimana apabila kita sudah meren-canakan sesuatu yang besar dalam

kehidupan kita dan timing-nya meleset dari rencana semula, juga dapat me-

nimbulkan stres.

d. Ambiguity, yaitu ketidakjelasan akan situasi yang terjadi.

e. Desirability, ada beberapa kejadian yang terjadi di luar du-gaan kita.


35

f. Controllability, yaitu apakah seseorang mempunyai ke-mampuan untuk

merubah atau menghilangkan stressor. Seseorang cenderung menilai suatu

situasi yang tidak terkontrol sebagai suatu keadaan yang lebih stressful, dari-

pada situasi yang terkontrol. Ancaman merupakan konsep kunci dalam

memahami stress. Lazarus (1986) mengung-kapkan bahwa individu yang

tidak akan merasakan suatu kejadian sebagai suatu gangguan bila stressor

tersebut di-interpretasikan sebagai hal yang wajar. Ancaman adalah suatu

penilaian subjektif dari pengaruh negatif yang po-tensial dari stressor.

Transactions yang mengarah pada kondisi stres umumnya melibatkan proses

assesment yang disebut sebagai cognitive appraisals (Lazarus dan Folkrnan,

1986). Cognitive appraisals adalah suatu proses mental, dimana ada dua

faktor yang dinilai oleh seseorang:

2.4.3 Reaksi Terhadap Stress

a. Aspek Fisiologis Walter Canon (dalam sarafino, 2006) memberikan deskripsi

mengenai bagaiman reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang mengancam.

la menye-butkan reaksi tersebut sebagai fight-or-fight response karena respon

fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapi atau menghindari

situasi yang mengancam tersebut. Fight-or-fight response menyebabkan

individu da-pat berespon dengan cepat terhadap situasi yang mengan-cam.

Akan tetapi bila arousal yang tinggi terus menerus muncul dapat

membahayakan kesehatan individu. Selye (dalam Sarafino, 2006)

mempelajari akibat yang diperoleh bila stressor terus menerus muncul. la


36

rnengembangkan istilah General Adaptation Syndrome (GAS) yang terdiri

atas rangkaian tahapan reaksi fisiologis terhadap stressor yaitu :

1) Fase reaksi yang mengejutkan (alarm reaction) Pada fase ini individu

secara fisiologis merasakan adanya ketidakberesan seperti jantungnya

berdegup, keluar keringat dingin, muka pucat, leher tegang, nadi berge-rak

cepat dan sebagainya. Fase ini merupakan pertan-da awal orang terkena

stres.

2) Fase perlawanan (Stage of Resistence) Pada fase ini tubuh membuat

mekanisme perlawanan pada stres, sebab pada tingkat tertentu, stres akan

membahaya-kan. Tubuh dapat mengalami disfungsi, bila stres dibiar-kan

berlarut-larut. Selama masa perlawanan tersebut, tubuh harus cukup

tersuplai oleh gizi yang seimbang, karena tubuh sedang melakukan kerja

keras.

3) Fase Keletihan (Stage of Exhaustion) Fase di saat orang sudah tak mampu

lagi melakukan perlawanan. Akibat yang parah bila seseorang sampai pada

fase ini adalah penyakit yang dapat menyerang bagian-bagian tubuh yang

Iemah.

b. Aspek psikologis Reaksi psikologis terhadap stressor meliputi :

1) Kognisi Cohen menyatakan bahwa stres dapat mele-mahkan ingatan dan

perhatian dalam aktifitas kognitif.

2) Emosi Emosi cenderung terkait stres. Individu sering menggunakan

keadaan emosionalnya untuk meng-evaluasi stres dan pengalaman

emosional (Maslach, Schachter dan Singer, dalam Sarafino, 2006). Reaksi


37

emosional terhadap stres yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi,

perasaan sedih dan marah.

3) Perilaku Sosial Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang

lain. Individu dapat berperilaku menjadi positif dan negatif (dalam

Sarafino, 2006). Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan

perilaku social negatif cenderung meningkat sehingga dapat menim-bulkan

perilaku agresif (Donnerstein dan Wilson, dalam Sarafino, 2006).

Morris (1990) mengklasifikasikan stressor ke dalam lima kategori, yaitu :

a. Frustasi (Frustration) terjadi ketika kebutuhan pribadi ter-halangi dan

seseorang gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. frustrasi dapat

terjadi sebagai akibat dari keterlambatan, kegagalan, kehilangan, kurangnya

sumber daya, atau diskriminasi.

b. Konflik (Conflicts), jenis sumber stres yang kedua ini hadir ketika

pengalaman seseorang dihadapi oleh dua atau Iebih motif secara bersamaan.

Morris (1990) mengidentifikasi empat jenis konflik yaitu : Approach-

approach, avoidence-avoidence, approach-avoidence, dan multiple approach-

avoidance conflict.

c. Tekanan (Pressure), jenis dari sumber stress yang ketiga yang diakui oleh

Morris, tekanan didefinisikan sebagai stimulus yang menempatkan individu

dalam posisi untuk mempercepat, meningkatkan kinerjanya, atau mengubah

perilakunya.

d. Mengidentifikasi perubahan (Changes), tipe sumber stres yang keempat ini

seperti halnya yang ada di seluruh ta-hap Itehidupan, tetapi tidak dianggap
38

penuh tekanan sam-pai mengganggu kehidupan seseorang balk secara positif

maupun negatif.

e. Self-Imposed merupakan sumber stres yang berasal dalam sistem keyakinan

pribadi pada seseorang, bukan dari lingkungan. Ini akan dialami oleh

seseorang ketika ada tidaknya stres eksternal yang nyata. Moiris (1990) juga

mengidentifikasikan empat reaksi terhadap stres :

1) Reaksi dari fisiologis terhadap stres menekankan hubungan antara, pikiran

dan fisik.

2) 2) Reaksi dari emosional yang diamati dalam reaksi emo-sional terhadap

stres ini adalah melalui emosi seperti rasa ketakutan, kecemasan, rasa

bersalah. kesedihan, depresi, atau kesepian.

3) Reaksi dari kognitif mengacu pada pengalaman indi-vidu terhadap stres

dan penilaian kognitif yang terjadi dengan penilaiannya rnengenai

peristiwa stres dan ke-mudian apa strategi coping yang mungkin paling

tepat untuk mengelola stres.

4) Reaksi dari perilaku yang berkaitan dengan reaksi emosional seseorang

terhadap stres yang dapat mem-berikan reaksi menangis, menjadi kasar

kepada orang lain atau diri sendiri dan penggunaan mekanisme per-

tahanan seperti rasionalisasi.

2.4.4 Dampak Stress

Styes dapat berpengaruh pada kesehatan dengan dua cars. Pertama,

perubahan yang diakibatkan oleh stres secra lang-sung mempengaruhi fisik sistem

tubuh yang dapat mem-pengaruhi kesehatan. Kedua, secara tidak langsung stres
39

mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya penyakit

atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Safarino, 2008). Kondisi dari stres

merniliki dua aspek : fisik / biologis (melibatkan materi atau tantangan yang

meng-gunakan fisik) dan psikologis (melibatkan bagaimana indi-vidu memandang

situasi dalam hidup mereka) dalam Sarafi-no, 2008.

a. Aspek Biologis Ada beberapa gejala fisik yang dirasakan ketika seseorang

sedang mengalami sties, diantaranya adalah sakit kepala yang berlebihan,

tidur menjadi tidak nyenyak, gangguan pencernaan, hilangnya nafsu makan,

gangguan kulit, dan produksi keringat yang berlebihan di seluruh tubuh

(Sarafino, 2008).

b. Aspek Psikologis Ada 3 gejala psikologis yang dirasakan ketika seseorang

sedang mengalami stres. Ketika gejala tersebut adalah gejala kognisi, gejala

emosi, dan gejala tingkah laku (Sarafino, 2008) :

1) Gejala kognisi Gangguan daya ingat (menurunnya daya ingat, mu-dah lupa

dengan suatu hal), perhatian dan konsentrasi yang berkurang sehingga

seseorang tidak fokus dalam melakukan suatu hal, merupakan gejala-

gejala yang muncul pada aspek gejala kognisi.

2) Gejala emosi Mudah marah, kecemasan yang berlebihan terhadap segala

sesuatu, merasa sedih dan depresi merupakan gejala-gejala yang muncul

pada aspek gejala emosi.

3) Gejala tingkah laku Tingkah laku negatif yang muncul ketika seseorang

mengalami stres pada aspek gejala tingkah laku adalah mudah

menyalahkan orang lain dan, mencari kesalahan orang lain, suka


40

melanggar norma karena dia tidak bisa mengontrol perbuatannya dan

bersikap tak acuh pada lingkungan, dan suka meiakukan penundaan

pekerjaan.

2.4 Kerangka Teori

Etiologi :

a. Perokok
b. Obesitas
c. Alkoholisme HIPERTENSI
d. Stres
e. Konsumsi garam
Bustan, 2014
TEKANAN
DARAH

POLA TIDUR
STRES

Gangguan tidur pada lansia


disebabkan:

a. Faktor internal (penyakit,


stress psikologi)
b. Faktor eksternal (perubahan
lingkungan, fungsi sosial)
Darmojo, 2014

Simber: Dalam buku Darmojo, 2014 & Bustan, 2014.


41

2.5 Penelitian Terkait

1. Asmarita, 20014. Hubungan Antara Kualitas Tidur Dengan Tekanan Darah

pada Pasien Hipertensi di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar. Hasil

Penelitian : Untuk menguji hipotesis digunakan uji analisis Chi-Square

didapatkan nilai p = 0,001, nilai signifikan p < 0,05. Hal ini berarti Ho ditolak

dan Ha diterima. Kesimpulan : Ada hubungan antara kualitas tidur dengan

tekanan darah pada pasien hipertensi.

2. Umami, 2012. Hubungan Kualitas Tidur Dengan Fungsi Kognitif dan

Tekanan Darah Pada Lansia di Desa Pasuruhan Kecamatan Mertoyudan

Kabupaten Magelang. Hasil analisis chi square membuktikan bahwa terdapat

hubungan antara kualitas tidur dengan fungsi kognitif pada lansia di Desa

Pasuruhan Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang dengan nilai

signifikansi 0,012 < 0,05, terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan

tekanan darah pada lansia di Desa Pasuruhan Kecamatan Mertoyudan

Kabupaten Magelang dengan nilai signifikansi 0,009 < 0,05.

3. Khairunnisya, 2014. Hubungan Tingkat Stress dan Peningkatan Tekanan

Darah Terhadap Kualitas Tidur pada Penderita Hipertensi Lansia di Desa

Wonorejo Kecamatanpolokarto. Hasil penelitian diketahui bahwa: 1) ada

hubungan yang signifikan antara tingkat stress dengan kualitas tidur pada

lansia penderita hipertensi di Desa Wonorejo Kecamatan Polokarto (p=

0,018); 2) ada hubungan yang signifikan antara peningkatan tekanan darah

dengan kualitas tidur pada lansia penderita hipertensi di Desa Wonorejo

Kecamatan Polokarto (p= 0,038).


42

4. Hermawan, F, 2014. Hubungan Tingkat Stres dengan Tekanan Darah pada

Lansia Hipertensi di Gamping Sleman Yogyakarta. Hasil Penelitian: Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat stres dan

tekanan darah pada lansia dengan hipertensi pada Gamping, Sleman dengan

tingkat korelasi sedang seperti yang ditunjukkan pada nilai p (0,013) <0,05

dengan Tingkat korelasi kedua variabel seperti yang ditunjukkan pada

koefisien korelasi sebesar 0,449. Ada korelasi antara tingkat stres dan tekanan

darah pada orang tua dengan hipertensi pada Gamping, Sleman. Peneliti

menyarankan agar keluarga memberi dukungan kepada orang tua untuk

mengendalikan stres dan terus memantau lansia dalam memeriksa tekanan

darah rutin secara rutin di puskesmas tetangga.

Anda mungkin juga menyukai