Anda di halaman 1dari 16

DETERMINAN SOSIO BUDAYA KESEHATAN

HUBUNGAN SOSIAL BUDAYA DAN GIZI

KELOMPOK 2

1. ANJELUS A. HADUN (1707010086)


2. ASTINI MALINDA (1707010178)
3. KLARITA E. USNAAT (1707010034)
4. URIANI A. LAPENANGGA (1707010097)
5. NAVE HAUTEAS (1707010126)
6. MARIA S. E. ALVES (1707010256)
7. RENELDIS A. YUAN LUBU (1707010058)
8. RIZKY AMALIA (1707010200)
9. WELI M. NOMLENI (1707010115)
10. YOHANA DIMU (1707010281)
11. ZAKYA ZAMILA (1707010035)

PRODI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
bimbingan dan perlindungan-Nya telah memberikan kekuatan baik jasmani maupun rohani,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ‘HUBUNGAN SOSIAL
BUDAYA DENGAN GIZI’.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan
demi sempurnanya makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat serta dapat
bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita
semua.

Kupang, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................................ 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ........................................................................................ 2
1.3 TUJUAN ................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 MAKANAN SEBAGAI FENOMENA SOSIAL BUDAYA ................................. 3
2.2 KLASIFIKASI MAKANAN .................................................................................. 6
2.3 PERAN MAKANAN.............................................................................................. 8
2.4 PRAKTEK DALAM MASYARAKAT ................................................................. 10
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN ....................................................................................................... 12
3.2 SARAN ................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah gizi menjadi masalah yang di sering terjadi di negara-negara
berkembang. Penyebab timbulnya masalah gizi dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti kemiskinan, kekurangan persediaan pangan, sanitasi buruk,
minimnya pengetahuan gizi dan pola asuh anak, serta perilaku buruk dalam
mengkonsumsi makan di kalangan masyarakat. Pola konsumsi makanan
sendiri sangat dipengaruhi oleh budaya setempat.

Pola pikir masyarakat yang masih beranggapan bahwa kebutuhan


makanan adalah mengkonsumsi makanan yang tinggi atau kaya karbohidrat
tanpa mempertimbangkan kecupan gizi yang seimbang menunjukkan bahwa
aspek sosial budaya masih mendominasi perilaku dan kebiasaan makan
masyarakat.

Masalah gizi terjadi di banyak tempat di berbagai daerah di indonesia,


hanya sebagaian pihak yang memandangnya sebagai fenomena sosial.
Sebagian lagi lain masih menganggap hal ini sebagai fenomena kesehatan
semata. Tidak banyak yang menyadari luasnya dimensi masalah gizi dapat
meliputi masalah lingkungan dan ketersediaan pangan, pola asuh dan
pendidikan, kodisi ekonomi dan budaya.

Faktor budaya memengaruhi asupan makanan, jenis makanan yang


didapat dan banyaknya. Kondisi budaya dan kebiasaan seseorang
mendapatkan asupan makanan lebih sedikit dari yang sebenarnya di
butuhkan.

Di Indonesia, sebagian besar masyarakat menganut sistem patriarki.


Dalam sistem patriarki, garis keturunan diambil dari seorang Ayah (laki-laki),
status sosial laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Konsekuensinya, ayah
lebih sering diutamakan memakan makanan yang telah disajikan oleh Ibu.

1
Sederhananya ayah yang paling sering mendapatkan jatah makanan terlebih
dahulu di meja makan atau pemisahan antara makanan yang harus disajikan
untuk Ayah dan anggota keluarga yang lain. Kondisi budaya seperti ini turut
berkontribusi pada kondisi gizi anak dan ibu hamil di dalam keluarga karena
semua sistem keluarga patriarki.

Dari pernyataan di atas, terlihat bahwa kebiasaan makan tidak dapat


dilepaskan dari nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Sementara
kebiasaan makan sangat erat kaitannya dengan upaya pemeliharaan kesehatan
dan pencegahan penyakit. Kurangnya asupan gizi akan meningkatkan risiko
terkena penyakit infeksi dan berbagai penyakit kronis yang pada gilirannya
akan mengurangi produktivitas dalam bekerja dan berkontribusi kepada
masyarakat. Untuk membahas lebih lanjut tentang hubungan sosial budaya
dengan gizi akan di bahas pada bab berikut.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan makanan sebagai fenomena sosial
budaya?
1.2.2 Apa saja klasifikasi makanan?
1.2.3 Apa saja peran makanan?
1.2.4 Apa saja praktek dalam masyarakat?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Untuk mengetahui makanan sebagai fenomena sosial budaya
1.3.2 Untuk mengetahui klasifikasi makanan
1.3.3 Untuk mengetahui peran makanan
1.3.4 Untuk mengetaui praktek apa saja yang ada dalam masyarakat

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Makanan sebagai fenomena sosial budaya

Banyak manusia yang walaupun lapar tidak mengonsumsi bahan


makanan yang bergizi sebagai makanan karena alasan agama, larangan
pantangan, dan kepercayaan. Foster menjelaskan bahwa: Nutrisi adalah
konsep biokimia suatu bahan makanan yang mengandung gizi dan berguna
untuk memelihara kesehatan. Sedangkan makanan dalam konsep dalam
konsep kebudayaan adalah pernyataan yang menjelaskan bahwa bahan ini
cocok untuk gizi kita. Jadi, dalam konsep kebudayaan memasukkan unsur,
nilai, kepercayaan, sehingga timbullah penggolongan apa yang dimaksud
dengan makanan dan bukan makanan.

Makanan dalam pandangan sosial budaya, memiliki makna yang lebih


luas dari sekedar sumber nutrisi. Terkait dengan kepercayaan, status, prestise,
kesetiakawanan dan ketentraman. Makanan memiliki banyak peranan dalam
kehidupan sehari-hari di dalam suatu komunitas manusia. Makna ini selaras
dengan nilai hidup, nilai karya, nilai ruang atau waktu, nilai serasi dengan
alam sekitar, dan nilai serasi dengan sesama.

Para ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu


kompleks kegiatan masak-memasak, masalah kesukaran dan ketidaksukaran,
kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan, dan
takhayul-takhayul yang berkaitan dengan produksi, persiapan, dan konsumsi
makanan. Pendeknya, sebagai suatu kategori budaya yang penting, ahli-ahli
antropologi melihat makanan mempengaruhi dan berkaitan dengan banyak
kategori budaya lainnya (Foster dan Anderson, 1986:313).

Salah satu fenomena yang menarik saat ini adalah fenomena “makan
di luar” atau dengan bahasa lainnya yaitu “eating out”. Budaya makan di
rumah telah mengalami pergerasan dengan adanya kebiasaan makan di luar
rumah (eating out) yang dianggap mencerminkan gaya hidup modern dan

3
global. Makan di luar (eating out) muncul sebagai bagian dari kehidupan
sosial masyarakat urban. Kota dimana banyak terdapat pusat perbelanjaan dan
makan yang menjadi persaingan para produsen dalam mendapat konsumen
dan juga bagi konsumen dalam hal konsumsi untuk menunjukkan status dan
kelas sosialnya melalui jenis makanan dan tempat makan yang dikunjungi.
Sebagaimana dinyatakan Bourdieau dalam Lubis (2014:113), tempat makan
dan jenis makanan yang dipilih bisa saja menentukan kelas sosial seseorang.

Faktor Sosial Yang Mempengaruhi Pola Makan, antara lain :

a. Budaya
Budaya adalah alah satu faktor penentu dalam pemilihan makanan,
budaya memberikan dan memperkuat identitas dan rasa memiliki, dan
mempertegas perbedaan dari budaya lain. Pengaruh budaya mungkin
sangat jelas terlihat pada (makanan pokok, sebagian besar hidangan
populer) atau tersamar (bumbu yang digunakan, cara memasak). Temuan
bahwa imigran mempertahankan identitas budayanya dengan
mempertahankan pilihan makanannya telah dilaporkan oleh banyak
penelitian.
b. Agama
Agama sering menentukan konteks pemilihan makanan secara luas.
Beberapa agama di dunia memiliki peraturan tentang makanan yang
diperbolehkan, dan kapan makanan tersebut boleh atau tidak boleh
dimakan. Larangan ditetapkan mengenai jenis daging, daging secara
umum dan cara memasak dan kombinasi makanan juga diatur oleh
ketentuan ini. Peraturan mungkin juga meliputi lama puasa, ritual dan 12
perayaan. Penganut agama-agama ini membatasi pilihan makanan mereka,
tetapi juga memperoleh rasa identitas.
c. Keputusan etis
Cara menghasilkan makanan dapat dipengaruhi pemilihan makanan.
Ada banyak keprihatinan mengenai cara pemeliharaan hewan untuk
dimakan dan cara bertani yang merusak lingkungan. Pendukung suatu
prinsip etika mungkin mengubah pilihan makanannya agar sesuai dengan

4
prinsip yang dianutnya, memilih makanan produk organik menjadi vegan
atau vegetarian.
d. Faktor ekonomi
Dalam kelompok budaya atau agama manapun, akses terhadap
makanan (kemampuan memperoleh makanan) dalam hal uang atau barang
penukar merupakan faktor kritikal dalam menentukan pilihan makanan.
Semakin tinggi status ekonominya, semakin banyak jumlah dan jenis
makanan yang dapat diperoleh.Sebaliknya, orang yang hidup dalam
kemiskinan atau berpenghasilan rendah memiliki kesempatan yang sangat
terbatas untuk memilih makanan. Ini mungkin merupakan akibat dari tidak
tersedianya makanan di daerah mereka, kurangnya uang untuk membeli
makanan, atau keduanya.
e. Pendidikan/kesadaran tentang kesehatan
Faktor ini berasal dari lingkungan eksternal dan menentukan
besarnya perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan makanan dan
gizi, dan seberapa jauh masalah kesehatan menentukan pilihan makanan.
Sebagian besar penghalang, termasuk beberapa faktor eksternal yang
dibahas di sini, mungkin ikut mempengaruhi proses ini. Pengenalan akan
resiko dari diet yang tidak sehat, relevansinya bagiseseorang, dan
kemampuan untuk menindaklanjutinya dengan pemilihan makanan
merupakan prasyarat kunci.
f. Media dan periklanan
Kedua hal ini memberi informasi tentang beberapa makanan,
biasanya makanan yang diproses atau diproduksi di pabrik dan mungkin
kurang baik nilai gizinya karena banyak mengandung lemak, garam dan
gula. Semakin sering diiklankan, semakin dikenalilah produk tersebut dan
semakin banyak pula permintaan akan prosuk tersebut. Anak dari keluarga
berpenghasilan rendah yang sering menonton televisi paling banyak
mengkonsumsi makanan yang diiklankan.

5
2.2 Klasifikasi makanan

Dalam setiap masyarakat, makanan diklasifikasikan dengan cara-cara


yang bervariasi dan berbeda-beda pada setiap kebudayaan. Pengklasifikasian
bisa berdasarkan waktu makan, status dan prestise, menurut jenis pertemuan
(sosial, usia, keadaan sakit dan sehat), menurut nilai-nilai simbolik dan ritual,
dan lain-lain. Klasifikasi makanan secara budaya menurut Helman dibagi
menjadi 5 kategori yaitu :

1. Makanan dan Non makanan


Jenis makanan yang dapat dimakan (nutrition) dan bermanfaat
sedangkan makanan yang bukan jenis makanan (non nutrition)
merupakan makanan yang tidak di makan dan dianggap mematikan jika
dimakan. Contohnya kebiasaan orang flores mengonsumsi ubi manusia,
ketika ubu ini di cuci dan diolah sesuai dengan prosedur yang sering
dilakukan oleh masyarakat makan ubi ini dapat dijadikan makanan
namun sebaliknya jika ubi ini di olah dengan tidak sesuai maka akan
menjadi racun dan dapat mematikan.
2. Makanan Sacral dan Profan
Dalam kategori ini yang dimaksud dengan makanan sakral dan
profan adalah makanan yang khusus disiapkan untuk upacara ritual.
Makanan profan adalah kebalikan dari suci yang dalam artian makanan
tersebut bersifat najis (tidak boleh dimakan/disentuh). Contohnya ayam
jantan di Sabu tidak dimakan namun disiapkan untuk upacara ritual.

3. Makanan Yang Digunakan Sebagai Obat Dan Obat Sebagai Makanan


Makanan yang digunakan sebagai obat adalah makanan atau pun
bahan makanan yang selain berfungsi sebagai makanan juga dapat
berfungsi sebagai obat, sedangkan obat sebagai makanan adalah obat
yang juga dapat di gunakan sebagai makanan. Contohnya kunyit yang
digunakan masyarakat sebagai bahan makanan dapat pula berfungsi
sebagai obat ketika kita mengalami luka dikulit atau dapat berfungsi

6
sebagai antiseptik alami dalam tubuh. Sedangkan obat sebai makanan
contohnya daun kelor yang digunakan masyarakat sebagai lauk pauk.
4. Makanan Sebagai Simbol Status Sosial
Makanan sebagai simbol status sosial merupakan jenis makanan
yang jika dihidangkan atau dimakan akan menjadi simbol status sosial
seseorang. Contohnya masyarakat di Sumba apabila menghidangkan
makanan dalam suatu acara, jika yang disembelih adalah hewan besar
(sapi, kerbau, atau kuda ) maka menunjukan status sosial yang tinggi
namun jika yang di hidangkan merupakan hewan kecil (ayam atau
kambing) menunjukan bahwa pemilik acara memiliki status sosial yang
rendah.
5. Makanan Paralel
Makanan paralel merupakan makanan yang dimakan sebagai
selingan dari makanan pokok. Contohnya orang NTT mengkonsumsi
buah pinang (sirih pinang) sebagai makanan selingan setelah
mengkonsumsi makanan pokok.

Pertimbangan status memainkan peranan penting, terutama dalam


merubah kebiasaan makan. Hasil penelitian Cussler dan deGive menemukan
di kalangan rakyat kecil kulit putih dan hitam di Amerika Serikat bagian
Tenggara, makanan yang berwarna terang lebih berprestise daripada makanan
yang berwarna gelap. Pilihan di kalangan luas terhadap beras putih giling,
misalnya, yang dalam hal gizi kurang baik daripada beras coklat yang tidak
digiling erat kaitannya dengan ide-ide prestise tersebut. Contoh lain, makanan
yang dipandang bermutu dan berkelas adalah makanan-makanan yang
dibungkus secara modern dan diiklankan secara luas. Makanan seperti itu
tampaknya mempunyai daya tarik yang sangat besar bagi orang-orang di
negara sedang berkembang, meskipun banyak dari makanan-makanan sejenis
ini lebih rendah gizinya dibandingkan dengan makanan tradisional.
Klasifikasi makanan yang paling tersebar luas dan yang penting kaitannya
dengan kesehatan adalah dikhotomi “panas dingin”. Melalui keseimbangan
makanan yang bijaksana dan penghindaran jumlah yang berkelebihan antara
panas dan dingin, maka kesehatan dapat dipertahankan sebaik-baiknya.

7
Contoh, di sebuah desa di India bagian Utara, makanan termasuk panas
adalah kacang polong yang sudah dikupas, gula kasar, susu kerbau, telur,
ikan, daging, bawang merah dan bawang putih. Susu dianggap tidak boleh
dimakan dengan daging maupun dengan ikan karena panas yang
dihasilkannya. Makan makanan yang ekstra panas secara teratur dan sebagai
kebiasaan akan menghasilkan temperamen yang panas dan lekas marah.

2.3 Perananan makanan

Selain merupakan hal pokok dalam hidup, makanan penting juga bagi
pergaulan sosial. Makanam dapat dimanipulasikan secara simbolis untuk
menyatakan persepsi terhadap hubungan antara individu-individu dan
kelompok-kelompok atau dalam kelompok untuk meramalkan bagaimana
kehidupan sosial terjadi. Ungkapan simbolis tersebut dapat dilihat dalam:

1. Makanan sebagai ungkapan ikatan sosial

Menawarkan makanan (dan kadang-kadang minuman) sering


dianggap menawarkan kasih sayang, perhatian dan persahabatan.
Menerima makanan yang ditawarkan adalah mengakui dan menarima
perasaan yang diungkapkan dan untuk membalasnya. Mengajak makan
malam seseorang dapat diartikan ada perhatian khusus pada orang tersebut.
Tidak memberi makanan atau gagal menawarkan makanan dalam suatu
konteks di mana hal itu justru diharapkan dari segi budaya, adalah
menyatakan kemarahan atau permusuhan. Sama halnya menolak makanan
yang ditawarkan adalah menolak tawaran kasih sayang atau persahabatan,
atau mengungkapkan permusuhan pada si pemberi. Ungkapan simbolik
berupa ajakan atau undangan/tawaran makan, erat kaitannya dengan
peningkatan gizi karena makanan yang ditawarkan akan terseleksi karena
menyangkut status yang mengundang atau menawarkan dan yang
diundang atau ditawari makan.

8
2. Makanan sebagai ungkapan dari kesetiakawanan kelompok

Ada beberapa jenis makanan yang berfungsi sebagai makanan untuk


mempersatukan kelompok. Kelompok suku bangsa dan kelompok usia di
Amerika memiliki makanan yang bagi mereka berfungsi sebagai lambang
identitas, soul food (makanan jiwa) untuk orang kulit hitam, makanan dari
jagung di daerah Amerika Barat Daya untuk masyarakat Chicano, dan
makanan sehat, makanan alamiah serta macrobiotic untuk banyak orang
muda. Makanan simbolis lainnya termasuk domba di negara-negara Arab,
tuak pohon palma dari Afrika Barat, minuman teh dan sake dari Jepang,
ikan lokal diacar dengan jeruk (ceviche) dan couscous di Saharan Afrika.

3. Makanan dan stres

Makanan-makanan khusus dapat merupakan pencerminan identitas


dari yang memakannya, melebihi benda-benda budaya lainnya. Dengan
demikian makanan memberi rasa kententraman dalam keadaan-keadaan
yang menyebabkan stres. Kita akan merasa aman di saat kita jauh di
tempat tinggal kita, bila kita bisa makan makanan kebiasaan kita yang kita
bawa sebagai bekal. Nilai keamanan psikologis dari makanan juga
dibuktikan dengan suatu kecenderungan umum untuk makan melebihi
biasanya dan makan makanan kecil di antara waktu-waktu makan, apabila
seseorang merasa tidak bahagia atau mengalami keadaan stres yang berat.

4. Simbolisme makanan dalam bahasa

Pada tingkatan yang berbeda, bahasa mencerminkan hubungan-


hubungan psikologis yang sangat dalam di antara makanan, persepsi
kepribadian dan keadaan emosional. Kata-kata sifat dasar yang biasa
digunakan untuk menggambarkan kualitas-kualitas makanan digunakan
juga untuk menggambarkan kualitas-kualitas manusia: dingin, hangat,
manis, asam, pahit, keras, empuk, kering, segar, lunak dan sebagainya.
Kata-kata untuk mendeskripsikan persiapan makanan adalah juga kata-
kata yang digunakan untuk melukiskan situasi kejiwaan seperti hangat
artinya mulai marah, terbakar artinya marah, mendidih artinya sangat

9
marah, menguap artinya panas hati dsb. Kata-kata untuk mendeskripsikan
persiapan makanan adalah juga kata-kata yang digunakan untuk
melukiskan situasi kejiwaan seperti hangat artinya mulai marah, terbakar
artinya marah, mendidih artinya sangat marah, menguap artinya panas hati
dsb.

2.4 Praktek Dalam Masyarakat

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kasnodihardjo, Kritina L.


Praketek budaya perawatan kehamilan di desa Gadingsari Yogyakarta
menjelaskan bahwa salah satu pantangan bagi wanita hamil di desa
Gadingsari adalah pantangan terhadap berbagai jenis makanan tertentu antara
lain tidak diperbolehkan makan buah durian dan buah nanas. Menurut
keyakinan masyarakat setempat, buah durian dan buah nanas mengandung
asam dan mengakibatkan perut panas sehingga akan berakibat buruk terhadap
janin atau bayi yang ada dalam kandungan. Ada pantangan lain untuk wanita
hamil yang masih dipercaya di desa Gadingsari yaitu tidak boleh makan buah
pisang yang berhimpitan (Jawa: dampit). Dipercaya bayi yang dilahirkan
nanti dalam kondisi kembar siam dan berhimpitan. Tidak boleh minum es.
Dipersepsikan bayi dalam kandungan akan tumbuh besar sehingga saat
melahirkan si ibu akan mengalami kesulitan. Tidak boleh makan onthel
(jantung pisang). Dipercaya dapat membuat ibu hamil dan janin didalam
perut turun jika onthel tersebut dikonsumsi.Tidak dibolehkan meminum es
bagi ibu hamil, agar bayinya tidak besar sehingga dikhawatirkan akan
kesulitan saat melahirkan juga merupakan pantangan yang masih diyakini
oleh masyarakat di desa Gadingsari.

Demikian pula pantangan memakan nasi kerak, dikhawatirkan akan


berdampak tidak keluarnya atau lengketnya ari-ari saat melahirkan.Semua
pantangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah ibu hamil dari
kemungkinan tertimpa bencana. Seperti jatuh, masuk angin dan hal lain yang
diperkirakan dapat memberi pengaruh buruk terhadap dirinya dan
kandungannya. Selain pantangan-pantangan tersebut di atas, terdapat mitos
menyangkut hal-hal yang harus ditaati oleh seorang wanita selama hamil.

10
Namun demikian, dengan berjalannya waktu, mitos ini tidak lagi menjadi
keharusan, namun menjadi suatu anjuran agar ibu hamil bersikap dan
bertindak seperti hal-hal sebagai berikut :

a. Peralatan memasak dan peralatan makan yang digunakan atau disiapkan


oleh ibu hamil harus bersih. Ini dipercaya berpengaruh terhadap kawah (air
ketuban), yang akan berbau amis sehingga berpengaruh buruk terhadap
bayi yang berada dalam kandungan.
b. Bila bepergian, ibu hamil harus membawa gunting atau benda tajam
lainnya. Agar bayi dan calon ibu terhindar dari gangguan dan marabahaya.

Beberapa warga berkeyakinan, selama hamil seorang ibu harus banyak


minum air kelapa muda atau lebih baik lagi air kelapa gading. Ada dua dua
pendapat untuk mitos ini, pertama terdapat keyakinan bila ibu hamil sering
minum air kelapa, bayinya akan berkulit putih bersih. Pandangan lain
menyatakan bahwa air kelapa akan membersihkan air ketuban. Anjuran lain,
ibu hamil yang sudah menginjak usia kehamilan 8-9 bulan, diharapkan makan
belut. Dengan makan belut, diharapkankan ibu hamil dapat melahirkan
dengan lancar dan licin seperti belut. Ibu hamil juga dianjurkan banyak
makan makanan yang berserat (daging, ikan, buah-buahan selain nanas dan
durian, sayur-sayuran). Agar janin dalam kandungan mendapatkan asupan
gizi atau nutrisi yang cukup.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kurangnya asupan gizi akan meningkatkan risiko terkena
penyakit infeksi dan berbagai penyakit kronis yang pada gilirannya akan
mengurangi produktivitas dalam bekerja dan berkontribusi kepada
masyarakat
Penyebab timbulnya masalah gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti kemiskinan, kekurangan persediaan pangan, sanitasi buruk, minimnya
pengetahuan gizi dan pola asuh anak, serta perilaku buruk dalam
mengkonsumsi makan di kalangan masyarakat. Pola konsumsi makanan
sendiri sangat dipengaruhi oleh budaya setempat.
Nutrisi adalah konsep biokimia suatu bahan makanan yang
mengandung gizi dan berguna untuk memelihara kesehatan. Sedangkan
makanan dalam konsep kebudayaan adalah pernyataan yang menjelaskan
bahwa bahan ini cocok untuk gizi kita. Jadi, dalam konsep kebudayaan
memasukkan unsur, nilai, kepercayaan, sehingga timbul penggolongan apa
yang dimaksud dengan makanan dan bukan makanan. Kebiasaan makan tidak
dapat dilepaskan dari nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Sementara
kebiasaan makan sangat erat kaitannya dengan upaya pemeliharaan kesehatan
dan pencegahan penyakit.

3.2 Saran
1. Masalah gizi yang ada di masyarakat tidak hanya ada beberapa saja
karena masalah tersebut terjadi karena beberapa faktor, maka kami
meminta bantuan kepada segenap masyarakat untuk bisa memberikan

12
informasi tentang masalah tersebut dan mencegah masalah tersebut
bersama-sama. karena dalam mempersiapkan makalah ini kami juga
belum bisa mengupas secara tuntas masalah gizi yang terjadi karena
budaya dan pengetahuan
2. Ada baiknya masyarakat lebih memperhatikan sumberdaya masyarakat,
sehingga masyarakat lebih selektif dalam pemilihan bahan makanan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kasnodihardjo, Kristina L. (2013) Praktek budaya perawatan kehamilan


di desa Gadingsari Yogyakarta. ; 3 (3) : 115-116
2. https://mohiyosrosyid.files.wordpress.com/2011/12/0-antropologi-dan-
gizi.ppt
3. http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/index.php/jantro/article/downloa
d/74/68
4. http://pencerahnusantara.org/news/masalah-gizi-dalam-analisis-sosial-
budaya
5. https://www.slideshare.net/pii_kemenkes/modul-4-perilaku-sehat-
kb2?next_slideshow=1

13

Anda mungkin juga menyukai