Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus Mikosis
Kutis pada Kucing dengan Wood’s Lamp Screening Test adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
ABSTRACT
TITUS ARDHI PRASETYA. Case study of Cutaneous Mycoses in Cats Using
Wood’s Lamp Screening Test. Supervised by SETYO WIDODO.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia dan penyertaan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian ini adalah mikosis kutis. Penyakit kulit akibat jamur
banyak bersumber dari hewan dan merupakan suatu hal yang menjadi masalah
kesehatan dan masalah sosial di masyarakat. Dengan selesainya tulisan ini
diharapkan masyarakat, dokter dan dokter hewan mampu bekerja sama untuk
mengatasi penyebaran penyakit kulit khususnya akibat jamur pada manusia dan
hewan.
Terima kasih saya ucapkan kepada drh. Setyo Widodo, DR. MedVet selaku
pembimbing skripsi, serta Dr. drh. Hera Maheshwari, MSc, AIF selaku dosen
pembimbing akademik yang telah banyak memberi saran dan mendukung
keberhasilan karya ilmiah ini. Saya juga menyampaikan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada keluarga besar Maximus Pet Care yang telah banyak
membantu selama pengumpulan data dan ayah, ibu, serta seluruh keluarga yang
telah memberi dukungan moral maupun materi selama pengerjaan karya tulis ini.
Ungkapan terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman, atas segala
bantuan dan motivasi yang telah diberikan. Akhir kata, saya mohon maaf yang
sebesar-besarnya atas kekurangan dan kesalahan yang saya buat dalam proses
pengerjaan karya ilmiah yang jauh dari sempurna ini. Saya mengharapkan kritik
dan saran bagi kemajuan karya-karya ilmiah selanjutnya. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR GAMBAR
1 Klasifikasi mikosis menurut Rao (2009) 3
2 Pendar fluoresen oleh dermatofita pada permukaan batang rambut yang
patah (a) dan rambut normal (b) tanpa lesio pada kulit 8
3 Fluoresen positif palsu yang dihasilkan akibat penggunaan obat topikal 9
4 Alopesia multifokal dan hiperpigmentasi di wajah (a) dan ekstremitas
(b) pada kucing berusia tiga bulan 9
5 Bagan siklus reproduksi dermatofita (Cummings, 2004) 10
6 Lesio kolaret epidermis pada permukaan kulit kucing yang terinfeksi
dermatofita 10
DAFTAR LAMPIRAN
1 Foto-foto Dokumentasi Penelitian 18
Hasil Fluoresen Positif 18
Hasil Fluoresen Negatif 21
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hewan merupakan inang dari berbagai spesies jamur patogen yang juga
infektif terhadap manusia. Sumber penularan jamur kepada manusia salah satunya
diperantarai oleh hewan peliharaan. Penularan jamur dari satu inang ke inang
lainnya dapat melalui kontak langsung maupun lewat perantara. Beberapa spesies
jamur juga mudah beradaptasi dengan lingkungannya, dan berkembang sangat
baik pada iklim tropis karena perubahan suhu udaranya tidak terlalu ekstrim (Tsui
et al., 2001).
Indonesia merupakan negara yang secara geografis terletak di garis
khatulistiwa yang memiliki kelembaban udara tinggi. Bogor adalah salah satu kota
di Indonesia yang memiliki curah hujan tinggi. Kota Bogor pada bulan Oktober
2012 berada pada kisaran suhu 21°C sampai 32°C dengan kelembaban udara 52%
sampai 93%. Cuaca rata-rata pada bulan tersebut adalah hujan ringan yang turun
hampir setiap hari (BMKG, 2012). Kondisi demikian sangat sesuai dengan
lingkungan hidup jamur. Selain jamur mudah tumbuh di tempat yang lembab,
penyakit kulit karena jamur (mikosis kutis) mudah menyebar dari satu hewan ke
hewan lain melalui kontak fisik. Mikosis kutis dianggap menggangu oleh
kebanyakan pemilik hewan karena merusak estetika dan mempengaruhi perilaku
hewan, selain sifatnya yang zoonotik (Jamestown, 2010).
Saat ini banyak metode pemeriksaan mikosis kutis secara klinis, salah
satunya dengan menggunakan Wood’s lamp. Diagnostik menggunakan Wood’s
lamp adalah salah satu screening test yang cepat untuk memeriksa infeksi mikosis
kutis. Meskipun pemeriksaan dengan Wood’s lamp relatif mudah dan murah
untuk dilakukan, tidak semua hewan yang datang berobat dikeluhkan oleh
pemiliknya mengalami infeksi mikosis kutis sehingga kebanyakan tidak diperiksa
apakah terjadi infeksi atau tidak. Infeksi mikosis kutis lebih banyak dilaporkan
pemilik setelah gejala klinis muncul dan dirasakan mengganggu. Terapi antifungal
pada akhirnya diberikan ketika hewan telah terinfeksi pada stadium klinis
sehingga manajemen pengobatan hewan yang terinfeksi mikosis kutis
membutuhkan waktu yang lebih panjang dan biaya perawatan yang lebih besar.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat dan kelebihan
pemeriksaan mikosis kutis dengan menggunakan Wood’s lamp, memaparkan
2
TINJAUAN PUSTAKA
dermatofitosis
superfisial dermatomikosis
chromoblastomycosis
kutis rhinosporidiasis
mycetoma
sporotrichosis
subkutis subcutaneous
phaeohyphomycosis
lobomycosis
mikosis
sistemik
blastomikosis
(deep)
histoplasmosis
coccidiomycosis
paracoccidiomycosis
oportunistik
candidiasis
alergi cryptococcosis
aspergillosis
mycetism dan
mikotoksikosis
otomycosis
mikosis lain
occulomycosis
Wood’s lamp dibuat pertama kali pada tahun 1903 oleh seorang fisikawan
dari Baltimore yang bernama Robert W. Wood. Alat ini pertama kali digunakan
untuk memeriksa jamur pada praktek dermatologi pada tahun 1925 oleh Margarot
dan Deveze. Wood’s lamp mengeluarkan radiasi ultraviolet (UV) bergelombang
panjang yang dihasilkan dari merkuri bertekanan tinggi yang disaring dengan
senyawa barium silikat dengan 9% nikel oksida, disebut penyaring Wood’s.
Penyaring ini tidak tembus oleh semua jenis cahaya kecuali yang memiliki berkas
antara 320 – 400 nm dengan puncak 365 nm. Fluoresensi jaringan terjadi ketika
cahaya UV diserap dan radiasi gelombang yang lebih panjang dipancarkan, yang
biasanya merupakan cahaya tampak. Fluoresen pada permukaan kulit normal
tampak sangat lemah atau tidak ada sama sekali, sebagian besar disebabkan oleh
senyawa konstituen elastin, asam amino aromatik dan prekursor atau produk
melanin (Gupta dan Singhi, 2004).
Panjang gelombang cahaya UV yang digunakan Wood’s lamp adalah 253,7
nm. Wood’s lamp harus dinyalakan 5-10 menit terlebih dahulu sebelum digunakan
karena panjang gelombang dipengaruhi oleh suhu. Metabolit spesifik pada
dermatofit yang menimbulkan fluoresen di bawah Wood’s lamp belum
teridentifikasi secara pasti namun diduga merupakan senyawa pteridin atau sebuah
metabolit dari triptopan (Angus et al., 2004).
Pendar fluoresen yang tampak dibawah Wood’s lamp dapat berbeda-beda.
Umumnya kulit normal tidak menunjukkan pendar di bawah paparan cahaya UV.
Warna kuning emas menunjukkan infeksi Tinea versicolor, hijau pucat
menunjukkan infeksi Trichophyton schoenleini, kuning kehijauan terang
(Microsporum audouini atau M. canis), aquagreen sampai biru (Pseudomonas
aeruginosa), merah muda sampai oranye (Porphyria cutanea tarda), abu bercak
berbentuk daun (Tuberous sclerosis), biru keputihan (leprosy), putih pucat
(hipopigmentasi), ungu kecoklatan (hiperpigmentasi), putih terang atau biru
keputihan (depigmentasi atau vitiligo), putih cerah atau albinism (DJJ, 2001).
Keuntungan diagnosis dengan Wood’s lamp adalah waktu yang dibutuhkan
untuk mendapatkan hasil pemeriksaan singkat dan merupakan metode screening
test yang murah untuk dermatofitosis. Namun tidak adanya pendar hijau di bawah
Wood’s lamp tidak memastikan area kulit terbebas dari dermatofitosis.
Pemeriksaan dengan menggunakan Wood’s lamp memiliki spesifisitas yang tinggi
(dapat mencapai 100% pada pengguna yang terlatih) namun sensitivitasnya
rendah, karena hanya sekitar 50% spesies dermatofita pada anjing dan kucing
menghasilkan fluoresen. Bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa dan
Corynebacterium minutissimum, scale, crust, sabun dan beberapa jenis obat oles
kulit juga dapat menghasilkan fluoresen namun tidak berwarna hijau lemon
(Angus et al., 2004).
METODE
Metode yang digunakan pada penelitian adalah studi kasus. Penelitian ini
dibagi kedalam dua tahap. Tahap yang pertama, data sekunder dari rekam medik
pasien Maximus Pet Care yang berobat pertama kali pada kurun waktu September
5
Bahan
Alat
Alat yang digunakan adalah Wood’s lamp, kamar gelap dan kamera digital
SLR Canon EOS 500D.
Pasien dengan jumlah terbanyak yang tercatat di rekam medik Maximus Pet
Care dalam kurun waktu September 2011 sampai dengan Agustus 2012 adalah
kucing, yaitu sebanyak 70,5% dari keseluruhan pasien. Sebanyak 192 ekor
(15,6%) dari populasi 1227 ekor kucing didiagnosis terinfeksi mikosis kutis.
Metode yang digunakan dalam mendiagnosis adalah dengan pemeriksaan fisik.
Menurut Tewari (2002), jamur yang sering menginfeksi kulit dan rambut hewan
kesayangan adalah Dermatofita (Microsporum, Trichophyton, Epidermophyton),
Sporotrix, Cryptococcus, dan Malassezia. Data rekapitulasi merupakan data
pasien yang sakit dan berobat pertama, bukan merupakan ulangan dari proses
rawat jalan. Data tidak termasuk pasien yang datang untuk vaksinasi dan
pemeriksaan kesehatan rutin.
Berdasarkan hasil rekapitulasi data rekam medik, rata-rata kasus mikosis
kutis yang terjadi pada kucing selama satu tahun adalah 16 ekor setiap bulannya.
Menurut Medleau dan Hnilica (2006), kucing berambut panjang merupakan
predisposisi terjadinya dermatofitosis. Jumlah pasien kucing yang terinfeksi
mikosis kutis tertinggi selama satu tahun yaitu sebanyak 23 pasien dan infeksi
terbanyak terjadi pada bulan Oktober 2011. Suhu rata-rata kota Bogor selama satu
tahun adalah 25,8°C dengan tingkat kelembaban rata-rata 81% (Tabel 3).
Tabel 2 Data suhu dan kelembaban udara rata-rata kota Bogor periode September
2011 sampai dengan Oktober 2012 (BMKG, 2012)
Suhu Kelembaban Udara
Bulan
(ºC) (%)
September-11 25.1 73
Oktober 26.3 75
November 25.3 80
Desember 26.1 84
Januari-12 25.1 86
Februari 25.6 87
Maret 26.0 80
April 26.0 86
Mei 26.1 85
Juni 26.2 81
Juli 25.8 79
Agustus 25.8 74
Rata-rata 25,8 81
Pada tahap kedua, selama periode penelitian didapatkan 176 sampel kucing
yang datang diantaranya untuk mandi sehat, mandi pengobatan, titip sehat dan
rawat inap. Pemeriksaan menggunakan Wood’s lamp dilakukan menyeluruh pada
semua sampel untuk mengetahui kasus mikosis kutis yang riil pada pasien kucing.
Jumlah kasus mikosis kutis yang tercatat di rekam medik Maximus Pet Care pada
periode September 2011 sampai Agustus 2012 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 3 Pasien yang didiagnosis mengalami infeksi mikosis kutis pada periode
September 2011 sampai Agustus 2012
Jumlah pasien
Total
Kucing Anjing Lain-lain*
September 22 7 0 29
Oktober 23 4 1 28
November 13 7 0 20
Desember 11 3 1 15
Januari 16 3 2 21
Februari 12 2 0 14
Maret 17 4 0 21
April 20 8 0 28
Mei 14 3 0 17
Juni 16 5 0 21
Juli 16 3 1 20
Agustus 12 4 0 16
Total 192 53 5 250
Rata-rata 16,00 4,42 0,42 20,83
*) kelinci, primata, burung, ayam, kura-kura, kambing, domba, marmut
Menurut ESCCAP (2011), screening test merupakan metode yang cepat dan
baik untuk menyeleksi dan mendiagnosis hewan yang keluar masuk penampungan
atau penitipan hewan. Wood’s lamp sangat baik untuk mendiagnosis infeksi
dermatofita dan akan menunjukkan fluoresen berwarna kuning kehijauan (hijau
lemon). Fluoresen diakibatkan oleh senyawa metabolit triptofan yang dihasilkan
beberapa spesies dermatofita termasuk M.canis (Horzinek, 2012). Hasil
pengamatan selama pemeriksaan dengan Wood’s lamp screening test, semua
pasien dengan nilai positif menunjukkan pendar berwarna hijau lemon di bawah
Wood’s lamp. Warna ini merujuk pada infeksi dermatofita. Hasil screening test
pada pasien kucing di Maximus Pet Care dapat dilihat pada Tabel 4.
Dermatofitosis adalah infeksi jamur pada rambut dan stratum korneum yang
disebabkan jamur yang bersifat keratinofilik. Kejadian dermatofitosis banyak
ditemukan pada anjing dan kucing muda, hewan dengan kekebalan tubuh rendah
8
dan kucing berambut panjang. Kucing ras Persia menjadi salah satu predisposisi
penyakit ini (Horzinek, 2012).
Bagian kulit atau rambut yang terdapat lesio diutamakan untuk diperiksa di
bawah Wood’s lamp. Pemeriksaan dilanjutkan ke area di sekitar lesio untuk
menemukan penyebaran infeksi dermatofita. Apabila tidak terdapat lesio apapun,
pemeriksaan dilakukan menyeluruh mulai dari kepala hingga ekor. Sebanyak 111
kucing (63%) menampakkan pendar fluoresen di bawah Wood’s lamp dan sisanya
sebanyak 65 ekor tidak menampakkan fluoresen (Tabel 4). Fluoresen dapat
berasal dari kulit yang terdapat lesio maupun yang tidak terdapat lesio (Gambar 2).
Bagian batang rambut sering ditemukan berpendar hijau lemon pada area yang
tidak menunjukkan lesio secara klinis. Pemeriksaan dengan meggunakan Wood’s
lamp sangat bergantung pada kemampuan mengamati dan kejelian pemeriksa
dalam membedakan warna pendar.
(a) (b)
Gambar 2 Pendar fluoresen oleh dermatofita pada permukaan batang rambut yang
patah (a) dan rambut normal (b) tanpa lesio pada kulit
Pada saat pemeriksaan, ditemukan pula lesio klinis seperti kolaret epidermis
dan alopesia di beberapa bagian tubuh yang tidak menampakkan warna hijau
lemon di bawah Wood’s lamp. Menurut Jamestown (2010), rambut yang terinfeksi
dermatofita T. mentagrophytes, M. persicolor, M. gypseum tidak akan berpendar.
Wood’s lamp baik digunakan untuk memeriksa dermatofitosis yang diakibatkan
oleh spesies M. canis. Sekitar 30-50% strain M.canis memperlihatkan efek
fluoresen positif di bawah Wood’s lamp (Budgin, 2011). Perlakuan mandi atau
membersihkan daerah lesio dengan zat-zat antiseptik akan menghilangkan
metabolit triptofan pada kulit atau rambut yang terinfeksi dan menghasilkan
negatif palsu pada saat pemeriksaan dengan Wood’s lamp. Beberapa jenis obat-
obatan topikal berbahan dasar etakridinlaktat (Rivanol®) juga dapat mengacaukan
fluoresen (Gambar 3). Kelemahan dari metode pemeriksaan dengan Wood’s lamp
adalah hasil negatif pada pemeriksaan ini tidak menyingkirkan kemungkinan
adanya infeksi dermatofitosis (DJJ, 2011). Diagnosa banding untuk penyakit ini
diantaranya adalah dermatitis secara umum, furunculosis, demodecosis, dan
psoriasis (Angus et al. 2004).
9
Fluoresen positif juga ditemukan pada kucing berusia muda. Sebanyak lima
ekor dari keseluruhan sampel merupakan kucing berusia sekitar tiga bulan.
Semuanya terinfeksi dermatofitosis yang lebih parah dari sampel lainnya.
Ditemukan alopesia multifokal yang hampir menyeluruh, kerak di seluruh bagian
yang mengalami kerontokan rambut dan hiperpigmentasi (Gambar 4). Kucing
muda memiliki risiko jauh lebih tinggi dibandingkan kucing dewasa. Hal ini
disebabkan antara lain karena sistem imunitas kucing muda masih berkembang
sehingga belum mampu menghasilkan antibodi yang spesifik terhadap antigen
yang masuk ke dalam tubuhnya.
(a) (b)
Gambar 4 Alopesia multifokal dan hiperpigmentasi di wajah (a) dan ekstremitas
(b) pada kucing berusia tiga bulan
Gambar 6 Lesio kolaret epidermis pada permukaan kulit kucing yang terinfeksi
dermatofita
Gejala yang tampak pada kucing dermatofitosis antara lain erithema, papula, crust,
seborrhea dan paronychia atau onychodystrofi (Medleau dan Hnilica, 2006). Pada
hewan sakit, batang rambut menjadi mudah patah dan fragmen rambut yang
mengandung arthrospora sangat efisien dalam menyebarkan infeksi.
Menurut DeBoer dan Moriello (2006), lebih dari 90% kasus dermatofitosis
pada kucing di seluruh dunia disebabkan oleh M. canis. T. mentagrophytes dan M.
gypseum memiliki potensi penyebaran yang rendah dari hewan ke hewan dan
tidak dinyatakan sebagai agen zoonotik yang berpotensi tinggi (Robertson, 2009).
Semua jenis Microsporum, kecuali M. gypseum menghasilkan enzim proteolitik
dan keratolitik yang membuat organisme ini mampu menggunakan keratin sebagai
sumber nutrisi, dan mengkeratinisasi bagian dari jaringan epidermal. Jaringan
keratin yang digunakan antara lain berasal dari stratum korneum dan rambut,
terkadang kuku (Horzinek, 2012).
Faktor-faktor yang menjadi predisposisi antara lain adalah umur (sampai
dengan dua tahun), kondisi imunosupresi atau terapi imunosupresan, penyakit lain,
defisiensi nutrisi (khususnya protein dan vitamin A), suhu dan kelembaban yang
tinggi (DeBoer dan Moriello, 2006). Trauma kulit yang disebabkan oleh
meningkatnya kelembaban, luka gigitan ektoparasit atau aktivitas menggaruk juga
merupakan pintu gerbang terjadinya infeksi. Secara umum, higiene yang buruk
merupakan faktor predisposisi. Pada kelompok hewan yang terlalu padat, tingkat
stres juga merupakan faktor predisposisi (Horzinek, 2012).
Masa inkubasi dermatofita adalah satu sampai tiga minggu. Hifa tumbuh di
sepanjang permukaan rambut melalui stratum korneum menuju folikel selama
periode ini, yang akan membentuk spora dan membentuk lapisan tebal disekitar
batang rambut (Moriello, 2004). Dermatofitosis jarang terjadi berulang pada satu
individu karena dapat menggertak imunitas yang efektif dan bersifat jangka
panjang. Studi eksperimental membuktikan bahwa hewan menunjukkan
peningkatan resistensi pada paparan yang diulang dengan spesies jamur yang
homolog. Infeksi ulang dapat terjadi, namun membutuhkan lebih banyak spora
dan infeksi ulang tersebut biasanya sembuh lebih cepat (DeBoer dan Moriello,
2006).
Kultur Dermatofita pada Media sebagai Metode Diagnostik yang
Spesifik untuk Dermatofitosis
kelas imidazole. Itraconazole lebih poten, lebih tidak toksik dan secara oral
terbukti lebih efektif terhadap berbagai jenis jamur (DeBoer dan Moriello, 2006).
Mekanisme kerja keduanya adalah dengan menghambat sitokrom P450 (CYP
P450) 14 α-demethylase pada jamur. Enzim ini berperan dalam mengubah
lanosterol menjadi ergosterol. Nitrogen dalam struktur azole membentuk ikatan
kuat dengan Fe pada jamur sehingga mencegah jamur berikatan dengan substrat
dan oksigen. Penghambatan C14 α-demethylase akan mengubah struktur
membran dan mengubah permeabilitas serta susunan protein di dalamnnya (Myers,
2006). Efek dari obat golongan ini adalah fungistatik, namun dapat menjadi
fungisida dalam konsentrasi yang lebih tinggi (MIMS, 2012). Beberapa jenis obat
antijamur yang biasa digunakan pada hewan kecil dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Berbagai obat antijamur pada kucing dan dosisnya untuk dermatofitosis
(MIMS, 2012; Plumb, 2005)
Dosis
Obat Rute (mg/kg BB)
Golongan obat Efek samping
antijamur pemberian untuk
kucing
Itraconazole Triazole PO 10 Anoreksia,
hepatotoksik,
Ketoconazole Imidazole PO 10 Anoreksia, diare,
hepatotoksik,
trombositopenia
Miconazole Imidazole Topikal, Warna kehitaman
supositorial pada kulit, iritasi
Griseofulvin Polyene PO 10-15 Anoreksia, diare,
anemia, neutropenia,
depresi, ataksia,
dermatitis
fotosensitivitas
Terbinafine Allylamine PO 30-40 Relatif aman dan
dapat ditoleransi oleh
tubuh
Lufenuron Benzoylphenylurea PO 50-100 Depresi,
pruritus/urticaria,
diare, dyspnea,
anoreksia, skin rash.
KMnO4 Topikal Diencerkan Iritasi, kemerahan
1:100 pada kulit, penebalan
dengan air lapisan luar kulit, rasa
nyeri
Asam Topikal Iritasi, sensitivitas,
salisilat kulit menjadi kering
Simpulan
Rata-rata kejadian kasus mikosis kutis setiap bulannya selama satu tahun
berdasarkan data sekunder rekam medik pasien kucing di Maximus Pet Care
adalah sebanyak 16 kasus. Prosentase kejadian kasus mikosis kutis di kucing pada
kurun waktu September 2011 sampai dengan Agustus 2012 adalah 15,6% atau
192 kasus dari seluruh kasus pada kucing yang tercatat. Pada pemeriksaan dengan
menggunakan metode Wood’s lamp screening test, hasil yang didapatkan adalah
sebanyak 63% dari sampel kucing positif menunjukkan fluoresen. Diagnosis
dermatofitosis didapatkan dari pendar hijau lemon yang tampak pada sampel
kucing yang teruji dengan hasil positif di bawah Wood’s lamp. Batang rambut
adalah bagian yang paling sering ditemukan berpendar di bawah pemeriksaan
Wood’s lamp.
Lesio yang ditemukan pada kucing yang menderita dermatofitosis antara
lain alopesia fokal atau multifokal, kerak, follicular cast, keropeng, papula,
hiperpigmentasi, dan kolaret epidermis. Prediksi area tubuh yang sering
ditumbuhi dermatofita adalah wajah, daun telinga, bagian dorsal tubuh, ekor dan
ekstremitas. Obat pilihan untuk dermatofitosis adalah itraconazole dengan efek
samping yang minimal.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/meteorologi/cuacapropinsi.bmkg?prop
=13. [30 September 2012].
[CMPT] Clinical Microbiology Proficiency Testing. 2007. Microsporum canis.
CMPT Mycology Plus. 0709-2. Vancouver (Canada): Department of
Pathology and Laboratory Medicine, University of British Columbia.
[DJJ] Department of Juvenile Justice. 2001. Wood’s lamp Examination General
Information. Attachment G. [11]:30. Georgia: Department of Juvenile
Justice.
[ESCCAP] European Scientific Counsel Companion Animal Parasites. 2011.
Superficial Mycoses in Dogs and Cats. ESCCAP Guidelines 02. 2nd edition
Hlm.5. Worcestershire: European Scientific Counsel Companion Animal
Parasites.
[MIMS] Monthly Index of Medical Specialities. 2012. Potassium permanganate.
MIMS Indonesia [internet]. [diunduh 2013 Jan 25]. Tersedia pada:
http://www.mims.com/Indonesia/drug/info/potassium%20permanganate/?q
=potassium%20permanganate&type=full#Actions.
Angus JC, Bevier DE, Bloom P, Boord M, Bruner SR, Campbell KL, Credille
KM, Crow DW, Davenport GM, Lorimer LP, Dunstan RW, Fan TM,
Frank LA, Friberg CA. 2004. Small Animal Dermatology Secret. Hlm:24.
USA: Elsevier.
Boden E. 2005. Black’s Veterinary Dictionary 21st Edition. Hlm:476. London:
Publisher.Hoad. J. 2006.
Bombeli T. 2012. Salicylic acid: A multifunctional cosmetic ingridient.
MakingCosmetics.com [internet]. [diunduh 2013 Jan 25]. Tersedia pada:
http:// www.makingcosmetics.com/articles/24-salicylic-acid-use-in-
cosmetics.pdf.
Budgin JB. 2011. Feline dermatophytosis: An update on diagnosis and treatment.
Full Circle Forum, volume 1, issue 7. New York, USA: Animal Specialty
Center.
Charmette R, Ferreiro L, Guillot J. 2008. Dermatophytoses in Animals.
Mycopathologia. 166, 5-6, 385-405. USA: Elsevier.
Cummings PB. 2008. Fungal Life Cycle. Biology Fungi. USA: Pearson Education,
Inc. [internet]. [diunduh 2013 Feb 9]. Tersedia pada: http://www.
nvcc.edu/home/tgillevet/NAS%20161/PDF%20EXACM%203/Ch12%20%
20FUNGILICYC.pdf.
DeBoer DJ, Moriello KA. 2006. Cutaneous fungal infections. Infectious Diseases
of the Dog and Cat. St Louis, Missouri, 555-569: Elsevier Saunders.
Gupta LK, Singhi MK. 2004. Wood’s lamp. Indian J. Dermatol Venereol Leprol
2004;70:131-5. Jodhpur: Department of Dermatology, Venereology &
Leprology, Dr. S. N. Medical College.
Horzinek MC. 2012. Dermatophytosis (Ringworm) 2012 Edition. European
Advisory Board on Cat Disease. Prancis: ABCD.
Jamestown E. 2010. Dermatophytosis, Microsporum canis, Trichophyton
mentagrophytes, Microsporum gypseum. Ringworm, fungal infection. USA:
Greenville Veterinary Clinic.
Kurtdede A, Ural K, Gazyagci S, Cingi CC. 2007. Usage of Inactivated
Microsporum Canis Vaccine in Cats Naturally Infected with M. canis.
17
LAMPIRAN
Foto Dokumentasi Penelitian
RIWAYAT HIDUP