Anda di halaman 1dari 9

A.

Pengertian
1.Acne Vurgaris (AV)
merupakan suatu penyakit peradangan kronis dari folikel pilosebase yang di
tandai dengan adanya komedo, papu, kista dan pustule (Tahir,2010). Jerawat biasanya
dimulai pada periode prapubertas dan berkembang sebagai produksi androgen dan
aktivitas kelenjar sebaceous meningkat dengan perkembangan gonad (Dipiro Ed 9).

2. Dermatologic drug reaction and self-treatable skin


Reaksi kulit yang diinduksi obat dapat menyebabkan iritasi atau alergi.
Reaksi obat alergi diklasifikasikan menjadi erupsi eksantematosa, urtikaria, lepuh, dan
pustular. Gangguan kulit yang dibahas termasuk dermatitis kontak, dermatitis popok,
dan dermatitis atopik. (Dipiro ed 9 hal 141)

B. Etiologi dan factor resiko


1.Acne Vurgaris (AV)

Etiologi Acne Vulgaris belum diketahui secara pasti. Secara garis besar terdapat
empat faktor yang berperan dalam patogenesis Acne Vulgaris yaitu:
1. Peningkatan produksi sebum
Acne biasanya mulai timbul pada masa pubertas pada waktu kelenjar sebasea
membesar dan mengeluarkan sebum lebih banyak dari sebelumnya. Terdapat korelasi
antara keparahan acne dengan produksi sebum. Pertumbuhan kelenjar sebasea dan
produksi sebum berada di bawah pengaruh hormon androgen. Pada penderita acne
terdapat peningkatan konversi hormon androgen yang normal beredar dalam darah
(testoteron) ke bentuk metabolit yang lebih aktif (5>alfa dehidrotestoteron). Hormon
ini mengikat reseptor androgen di sitoplasma dan akhirnya menyebabkan proliferasi
sel penghasil sebum. Meningkatnya produksi sebum pada penderita acne disebabkan
oleh respon organ akhir yang berlebihan (end-organ hyperresponse) pada kelenjar
sebasea terhadap kadar normal androgen dalam darah, sehingga terjadi peningkatan
unsur komedogenik dan inflamatogenik sebagai penyebab terjadinya acne. Terbukti
bahwa pada kebanyakan penderita, lesi acne hanya ditemukan di beberapa tempat
yang kaya akan kelenjar sebasea.
2. Keratinisasi folikel

Keratinisasi pada saluran pilosebasea disebabkan olah adanya penumpukan


korneosit dalam saluran pilosebasea. Hal ini dapat disebabkan oleh bertambahnya
produksi korneosit pada saluran pilosebasea, pelepasan korneosit yang tidak adekuat,
atau dari kombinasi kedua faktor. Bertambahnya produksi korneosit dari sel
keratinosit merupakan salah satu sifat komedo. Terdapat hubungan terbalik antara
sekresi sebum dan konsentrasi asam linoleik dalam sebum. Dinding komedo lebih
mudah ditembus bahan–bahan yang dapat menimbulkan peradangan. Walaupun asam
linoleik merupakan unsur penting dalam seramaid-1, lemak lain mungkin juga
berpengaruh pada patogenesis acne. Kadar sterol bebas juga menurun pada komedo
sehingga terjadi keseimbangan antara kolesterol bebas dengan kolesterol sulfat,
sehingga adhesi korneosit pada akroinfundibulum bertambah dan terjadi retensi
hiperkeratosis folikel.

3. Kolonisasi Saluran Pilosebasea dengan Propionibacterium acnes Terdapat tiga


macam mikroba yang terlibat pada patogenesis acne adalah Corynebacterium
Acnes (Proprionibacterium Acnes), Staphylococcus epidermidis dan
Pityrosporum ovale (Malassezia furfur).
Adanya seborea pada pubertas biasanya disertai dengan kenaikan
jumlah Corynebactirium Acnes, tetapi tidak ada hubungan antara jumlah bakteri pada
permukaan kulit atau dalam saluran pilosebasea dengan derajat hebatnya acne. Dari
ketiga macam bakteri ini bukanlah penyebab primer pada proses patologis acne.
Beberapa lesi mungkin timbul tanpa ada mikroorganisme yang hidup sedangkan pada
lesi yang lain mikroorganisme mungkin memegang peranan penting. Bakteri mungkin
berperan pada lamanya masing– masing lesi. Apakah bakteri yang berdiam di dalam
folikel (resident bacteria) mengadakan eksaserbasi tergantung pada lingkungan mikro
dalam folikel tersebut. Menurut hipotesis Saint-Leger, skualen yang dihasilkan oleh
kelanjar sebasea dioksidasi di dalam folikel dan hasil oksidasi ini menjadi penyebab
terjadinya komedo. Kadar oksigen dalam folikel berkurang dan akhirnya terjadi
kolonisasi Corynebacterium Acnes. Bakteri ini memproduksi porfirin, yang bila
dilepaskan dalam folikel akan menjadi katalisator untuk terjadinya oksidasi skualen
sehingga oksigen dan tingginya jumlah bakteri ini dapat menyebabkan peradangan
folikel.

4. Inflamasi
Faktor yang menimbulkan peradangan pada acne belum diketahui dengan pasti.
Pencetus kemotaksis adalah dinding sel dan produk yang dihasilkan oleh
Corynebacterium Acnes, seperti lipase, hialuronidase, protease, lesitinase, dan
neuramidase, memegang peranan penting pada proses peradangan. Faktor kemotatik
yang berberat molekul rendah (tidak memerlukan komplemen untuk bekerja aktif)
bila keluar dari folikel dapat menarik leukosit nukleus polimorf (PMN) dan limfosit.
Bila masuk ke dalam folikel PMN dapat mencerna Corynebacterium Acnes dan
mengeluarkan enzim hidrolitik yang bisa menyebabkan kerusakan dari folikel
pilosebasea. Limfosit dapat merupakan pencetus terbentuknya sitokin. Bahan keratin
yang sukar larut yang terdapat di dalam sel tanduk serta lemak dari kelenjar sebasea
dapat menyebabkan reaksi non spesifik yang disertai oleh mekrofag dan sel–sel
raksasa. Pada fase permulaan peradangan yang ditimbulkan oleh Corynebacterium
Acnes, juga terjadi aktivasi jalur komplemen klasik dan alternatif (classical and
alternative complement pathways). Respon pejamu terhadap mediator juga amat
penting. Selain itu antibodi terhadap Corynebacterium Acnes juga meningkat pada
penderita acne yang berat (Tahir, 2010).

Menurut Pindha (dalam Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya


2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya acne adalah:
1. Faktor genetik.
Faktor genetik memegang peranan penting terhadap kemungkinan
seseorang menderita acne. Penelitian di Jerman menunjukkan bahwa acne terjadi
pada 45% remaja yang salah satu atau kedua orang tuanya menderita acne, dan
hanya 8% bila ke dua orang tuanya tidak menderita acne. (Ayudianti & Indramaya,
2010)
2. Kebersihan wajah.
Meningkatkan perilaku kebersihan diri dapat mengurangi kejadian Acne
Vulgaris pada remaja (Nami, 2009).
3. Faktor Ras
Warga Amerika yang berkulit putih lebih banyak menderita acne
dibandingkan dengan ras yang berkulit hitam dan acne yang diderita lebih berat
dibandingkan dengan orang Jepang.
4. Hormonal
Hormonal dan keringat yang berlebih dapat mempengaruhi keparahan dari
acne. Beberapa faktor fisiologis seperti menstruasi dapat mempengaruhi
timbulnya atau memperparah acne. Rata-rata 60-70% wanita yang mengalami
masalah acne menjadi lebih parah beberapa hari sebelum menstruasi dan menetap
sampai seminggu setelah menstruasi dan lesi acne menjadi lebih aktif rata-rata
satu minggu sebelum menstruasi yang disebabkan oleh hormon progesteron.
Hormon estrogen dalam kadar tertentu dapat menghambat pertumbuhan acne
karena hormon tersebut dapat menurunkan kadar gonadotropin yang berasal dari
kelenjar hipofisis dan hormon Gonadotropin mempunyai efek menurunkan
produksi sebum sehingga dapat menghambat pertumbuhan Acne Vulgaris
(Nguyen dkk.,2007).
5. Stres.
Acne dapat kambuh atau bertambah buruk pada penderita stres emosional.
Mekanisme yang tepat dari proses acne tidak sepenuhnya dipahami, namun
lebih sering disebabkan oleh sebum berlebih, hiperkeratinisasi folikel, stres
oksidatif dan peradangan. Selain itu androgen, mikroba dan pengaruh
pathogenetic juga bekerja dalam proses terjadinya acne (Thiboutot, 2008)

2. Dermatologic drug reaction and self-treatable skin


Studi yang dilakukan Nandha R. dan kawan-kawan pada tahun 2011 menunjukkan
bahwa kejadian erupsi obat di negara maju sekitar 1-3%, 11,12,13 sedangkan di negara
berkembang 2-5%. Hal ini serupa dengan studi yang dilakukan Chatterjee S dan
kawan-kawan di India pada tahun 2006 bahwa erupsi 14 obat terjadi pada 2,66%
pasien. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa obat yang paling sering
menimbulkan erupsi adalah golongan antibiotik, 3,12,13,14 antikonvulsan,
antiinflamasi nonsteroid. Studi yang dilakukan oleh Lee HY dan kawan-kawan di
Singapura pada tahun 2010 menunjukkan bahwa obat yang menimbulkan erupsi
adalah antibiotik (50,5%), antikonvulsan (11,3%), alopurinol (8,2%), obat 15
kemoterapi (7,2%), antiinflamasi nonsteroid (7,2%). Tipe erupsi yang paling sering
dilaporkan pada beberapa studi adalah lesi makulopapular, sedangkan tipe erupsi lain
insidensinya bervariasi. Angka kejadian erupsi obat pada wanita cenderung lebih
tinggi dibandingkan dengan pria, disebabkan oleh perbedaan farmakokinetik dan
hormonal, sedangkan umur yang ekstrim meningkatkan risiko erupsi obat. Insidensi
erupsi pada pasien usia lanjut dihubungkan dengan terapi multifarmaka, penurunan
metabolisme obat, penurunan fungsi organ, sedangkan pada umur neonatus insidensi
erupsi obat dihubungkan dengan fungsi hepar dan ginjal yang masih belum sempurna
dan konsentrasi protein 7,15 plasma yang sedikit. Tidak diketahuinya penyebab pasti
erupsi obat memungkinkan untuk berulangnya kejadian tersebut, hal ini berpotensi
mengakibatkan peningkatan morbiditas, mortalitas, serta penurunan kualitas hidup
pasien. Bervariasinya jenis erupsi obat yang timbul menyebabkan penatalaksanaannya
yang bermacam-macam, tetapi sampai saat ini penelitian mengenai erupsi obat masih
sangat terbatas

C. Manifetasi klinik
1.Acne Vurgaris (AV)
Lesi utama acne adalah mikrokomedo atau mikrokomedone, yaitu pelebaran
folikel rambut yang mengandung sebum dan P. acnes. Sedangkan lesi acne lainnya
dapat berupa papul, pustul, nodul, dan kista. Predileksi acne yaitu pada wajah, bahu,
dada, punggung, dan lengan atas. Komedo yang tetap berada di bawah permukaan
kulit tampak sebagai komedo white head, sedangkan komedo yang bagian ujungnya
terbuka pada permukaan kulit disebut komedo black head karena secara klinis
tampak berwarna hitam pada epidermis (Baumann dan Keri, 2009 ; Sukanto dkk.,
2005).

2. Dermatologic Drug Reactions and Common Skin Condition


 Reaksi kulit makulopapular disertai makula eritematosa dan papula yang
mungkin pruritus. Lesi biasanya mulai dalam 7 sampai 10 hari setelah memulai
pengobatan yang menyinggung dan umumnya sembuh dalam 7 sampai 14 hari
setelah penghentian obat. Lesi dapat menyebar dan menjadi konfluen. Penyebab
umum termasuk penisilin, sefalosporin, sulfonamid, dan beberapa
antikonvulsan.
 Sindrom hipersensitivitas obat adalah erupsi eksantematosa disertai demam,
limfadenopati, dan keterlibatan multiorgan (ginjal, hati, paru-paru, sumsum
tulang, jantung, dan otak). Tanda dan gejala mulai 1 hingga 4 minggu setelah
mulai obat yang menyinggung, dan reaksinya bisa fatal jika tidak segera diobati.
Obat yang terlibat termasuk allopurinol, sulfonamid, beberapa antikonvulsan
(barbiturat, fenitoin, carbamazepine, dan lamotrigin), dan dapson.
 Urtikaria dan angioedema adalah erupsi sederhana yang disebabkan oleh obat
pada 5% hingga 10% kasus. Penyebab lainnya adalah makanan (paling umum)
dan faktor fisik seperti dingin atau tekanan, infeksi, dan paparan lateks.
Urtikaria mungkin merupakan tanda pertama dari reaksi anafilaksis yang
muncul yang ditandai oleh gatal-gatal, wheals yang meningkat secara pruritus,
angioedema, dan pembengkakan selaput lendir yang biasanya terjadi dalam
beberapa menit hingga beberapa jam. Obat-obatan yang mengganggu termasuk
penisilin dan antibiotik terkait, aspirin, sulfonamid, media kontras radiografi,
dan opioid.

D. Patofisiologi
1.Acne Vurgaris (AV)
Jerawat biasanya dimulai pada periode prapubertas dan berkembang sebagai
produksi androgen dan aktivitas kelenjar sebaceous meningkat dengan perkembangan
gonad. Jerawat berkembang melalui empat tahap:
1. Peningkatan keratinisasi folikel
2. Peningkatan produksi sebum
3. Bakteri lipolisis trigliserida sebum untuk membebaskan asam lemak, dan
peradangan.
Androgen yang bersirkulasi menyebabkan kelenjar sebaceous meningkatkan ukuran
dan aktivitasnya. Ada peningkatan keratinisasi sel-sel epidermis dan perkembangan
folikel sebasea yang terhambat, yang disebut mikrocomb. Sel saling menempel,
membentuk sumbat keratin yang padat. Sebum, diproduksi dalam jumlah yang
semakin banyak, menjadi terperangkap di belakang sumbat keratin dan mengeras,
berkontribusi terhadap pembentukan komedo yang terbuka atau tertutup.
Penggabungan sebum dalam folikel memfasilitasi proliferasi bakteri anaerob,
Propionibacterium acnes, yang menghasilkan respons sel-T yang mengakibatkan
peradangan. P. acnes menghasilkan lipase yang menghidrolisis sebum trigliserida
menjadi asam lemak bebas yang dapat meningkatkan keratinisasi dan menyebabkan
pembentukan microcomedone. • Komedo tertutup (whitehead) adalah lesi jerawat
pertama yang terlihat. Hampir sepenuhnya terhambat drainase dan memiliki
kecenderungan pecah.
Komedo terbuka (komedo) terbentuk saat colokan memanjang ke saluran atas
dan melebarkan pembukaannya. Jerawat yang ditandai dengan komedo terbuka dan
tertutup disebut jerawat non-inflamasi.
Pembentukan nanah terjadi karena rekrutmen neutrofil ke dalam folikel selama
proses inflamasi dan pelepasan kemokin yang dihasilkan P. acnes. P. acnes juga
menghasilkan enzim yang meningkatkan permeabilitas dinding folikel,
menyebabkannya pecah, sehingga melepaskan keratin, lipid, dan mengiritasi asam
lemak bebas ke dalam dermis. Lesi inflamasi yang dapat membentuk dan
menyebabkan jaringan parut termasuk pustula, nodul, dan kista.

2. Dermatologic Drug Reactions and Common Skin Condition


 Reaksi obat eksantematous termasuk ruam makulopapular dan sindrom
hipersensitivitas obat. Reaksi urtikaria termasuk urtikaria, angioedema, dan reaksi
seperti serum penyakit. Reaksi blistering termasuk erupsi obat tetap, sindrom
Stevens-Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik. Erupsi pustular termasuk reaksi
obat jerawat dan pustulosis eksantematosa generalisata akut (AGEP)

 Hiperpigmentasi yang diinduksi oleh obat mungkin berhubungan dengan


peningkatan melanin (misalnya, hidantoin), deposisi langsung (misalnya, perak,
merkuri, tetrasiklin, dan antimalaria), atau mekanisme lain (misalnya, fluorourasil).

 Reaksi fotosensitifitas yang diinduksi oleh obat dapat berupa fototoksik (reaksi
nonimunologis) atau fotoalergi (reaksi imunologis). Obat-obatan yang terkait
dengan fototoksisitas termasuk amiodarone, tetrasiklin, sulfonamid, psoralens, dan
tar batubara. Penyebab umum dari reaksi fotoalergi termasuk sulfonamid,
sulfonilurea, tiazid, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), kloroquin, dan
karbamazepin.

 Dermatitis kontak adalah peradangan kulit yang disebabkan oleh iritan atau alergi
alergi. Pada dermatitis kontak alergi (ACD), suatu zat antigenik memicu respons
imunologis, kadang-kadang beberapa hari kemudian. Dermatitis kontak iritan
(ICD) disebabkan oleh zat organik yang biasanya menghasilkan reaksi dalam
beberapa jam setelah paparan.

 Dermatitis popok (ruam popok) adalah dermatitis peradangan akut pada bokong,
genitalia, dan regio perineum. Ini adalah jenis dermatitis kontak akibat tinja
langsung dan kontak kelembaban dengan kulit dalam lingkungan oklusif

 Dermatitis atopik adalah kondisi inflamasi dengan mekanisme genetik, lingkungan,


dan imunologis. Neuropeptida, iritasi, atau garukan pruritus dapat menyebabkan
pelepasan sitokin proinflamasi dari keratinosit.

E. Algoritma

1.Acne Vurgaris (AV)


2. Dermatologic Drug Reactions and Common Skin Condition

Anda mungkin juga menyukai