Anda di halaman 1dari 19

KELIMPAHAN RELATIF HAMA DAN MUSUH ALAMI DALAM

SISTEM PERTANIAN

Oleh:
Niki Andalusi (B1A015082)
Afra Nabila (B1A015087)
Rizqi Nahriyati (B1A015088)
Heru Tri Aji (B1A015090)
Dian Putri Setiayu (B1A015096)
Destalinda Rika S (B1A015125)
Silma Safira Ihya (B1B015121)
Gemilang (B1B015022)

Kelompok : 2
Rombongan : I
Asisten : Hendy Prayogi

LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN HAYATI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO

2017
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keragaman jenis adalah sifat komunitas yang memperlihatkan tingkat


keanekaragaman jenis organisme yang ada didalamnya. Cara untuk memperoleh
keanekaragaman jenis cukup diperlukan kemampuan mengenal atau membedakan jenis
meskipun tidak dapat mengidentifikasi jenis hama. Keragaman hayati merupakan
variabilitas antar mahluk hidup dari semua sumber daya, termasuk di daratan, ekosistem
perairan dan kompleks ekologis termasuk juga keanekaragaman dalam speies di antara
spesies dan ekosistemnya (Bugg et al., 2008).
Jasa-jasa ekologis yang diemban oleh keanekaragaman hayati pertanian,
diantaranya jasa penyerbukan, jasa penguraian, dan jasa pengendali hayati (predator,
parasitoid, dan patogen) untuk mengendalikan hama, sangatlah penting bagi pertanian
berkelanjutan. Adanya kemajuan pertanian modern, prinsip ekologi telah diabaikan
secara berkesinambungan, akibatnya agroekosistem menjadi tidak stabil. Perusakan-
perusakan tersebut menimbulkan munculnya hama secara berulang dalam sistem
pertanian, salinisasi, erosi tanah, pencemaran air, timbulnya penyakit dan sebagainya
(Brewer & Elliot, 2004).
Unsur abiotik dan biotik saling berinteraksi pada suatu lingkungan membentuk
suatu ekosistem, misalnya ekosistem sungai terdiri dari unsur biotik seperti katak, ular,
ikan, dan unsur abiotik seperti batu, tanah, air, udara, dan lain-lain. Selain dalam
lingkungan sungai, keanekaragaman organisme juga dapat dijumpai dalam sistem
pertanian. Kita dapat jumpai berbagai organisme seperti capung, keong mas, bekicot,
belalang, kodok, ulat, atau bahkan mikroorganisme yang tidak dapat kita lihat dengan
mata telanjang dalam sistem pertanian. Organisme tersebut berinteraksi dengan
organisme lain, dengan bentuk interaksi yang beraneka ragam, mulai dari simbiosis,
predasi, dan kompetisi hingga membentuk suatu peristiwa makan dan dimakan antar
organisme tersebut yang membentuk rantai makanan dan jaring-jaring makanan (Amir,
2000).
Berbicara soal tentang sistem pertanian, ekosistem sawah tentu identik dengan
ekosistem pertanian yang tak lain merupakan sistem ekosistem sederhana juga
monokultur. Ekosistem persawahan jika ditinjau dari segi teoritik adalah jenis ekosistem
yang tidak stabil. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kestabilan dari ekosistem
sawah ini antara lain interaksi antara komponen ekosistem di dalam sawah itu sendiri.
Komponen dalam ekosistem sawah mencakup semua komponen abiotik dan biotik yang
ada di dalam lingkungan sawah itu sendiri mulai dari tanah, bebatuan, padi, hama,
predator dan masih banyak lagi lainnya.

B. Tujuan

Tujuan praktikum kali ini adalah untuk mengetahi kelimpahan hama dan musuh
alami sistem pertanian belakang Fakultas Biologi Unsoed.
II. TELAAH PUSTAKA

Kelimpahan atau kepadatan suatu populasi dapat dilakukan dengan menaksir


ukuran populasi di dalam batas suatu populasi. Penaksiran ukuran populasi dapat
dilakukan dengan atau tanpa harus menghitung organisme yang ada di dalamnya.
Estimasi yang dapat dilakukan, diantaranya perhitungan jumlah sarang, lubang yang
ada, jejak, maupun feses yang ditinggalkan (Campbell et al., 2010).
Terdapat tiga metode atau macam populasi dalam upaya dalam menaksir populasi
menurut Untung (2006), yaitu metode mutlak (absolut), metode nisbi (relatif), dan
metode indeks populasi. Metode mutlak, pendugaan suatu kepadatan populasi dalam
bentuk jumlah individu per satuan unit permukaan tanah atau habitat. Metode ini
memiliki ketelitian yang tinggi dengan meerlukan biaya, waktu, dan tenaga yang cukup
banyak. Metode relatif, pendugaan populasi dengan mengambil sampel menggunakan
alat perangkap dengan satuan waktu tertentu. Metode ini lebih praktis dan mudah, tetapi
ketelitiannya kurang. Metode indeks populasi, pengukuran populasi dilakukan dengan
mengukur bekas atau jejak yang ditinggalkan oleh hewan, seperti kotoran, kokon,
sarang, maupun kerusakan yang ada (Untung, 2006).
Kelimpahan populasi serangga dalam sistem pertanian ditentukan oleh adanya
keragaman dan kelimpahan sumber pakan maupun sumber daya lain pada habitat
tersebut. Populasi serangga yang sering ditemukan pada tanah pertanian berfungsi
sebagai hama maupun musuh alami seperti predator ataupun parasitoid.
Keanekaragaman fungsi tersebut bermanfaat menjaga keseimbangan ekosistem.
Ekosistem persawahan merupakan ekosistem yang tidak stabil (Tauruslina, 2015).
Menurut beberapa penelitian yang dilakukan, areal persawahan yang tidak
menggunakan insektisida menunjukkan bahwa musuh alami lebih banyak dibandingkan
hama. Musuh alami merupakan organisme di alam yang mampu membunuh,
melemahkan, dan bahkan dapat mematikan serangga, serta mengurangi fase reproduktif
serangga. Pengendali hayati terpadu (PHT) mengutamakan pemanfaatan musuh alami
hama (Untung, 1993 dalam Tauruslina et al., 2015) dalam menurunkan populasi sampai
pada tingkat populasi yang tidak merugikan. Musuh alami sendiri terdiri atas parasitoid
dan predator (Tauruslina et al., 2015).
Penggunaan pestisida sintesis dalam sistem pertanian akan menyebabkan
rendahnya populasi predator (Effendy et al., 2013). Efek yang ditimbulkan akibat
pestisida yang dapat menurunkan kestabilan ekoistem, dibutuhkan cara lain untuk
menurunkan populasi hama. PHT merupakan taktik pengendalian hama dengan
memanfaatkan musuh alami hama yang tidak menimbulkan pencemaran baik dari segi
ekologi dan penggunaannya jangka panjang. Keuntungan pengendali hayati, yaitu
selektivitasnya tinggi, organisme berupa musuh alami yang tersedia di alam, organisme
yang digunakan mampu mencari inang sendiri, dapat berkembang biak, tidak resisten,
dan pengendalian berjalan dengan sendirinya (Yusniar, 2005).
III. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah tali rafia 8 meter,
kamera, dan loop.
Bahan-bahan yang digunakan adalah organisme yang ditemukan di
persawahan belakang Fakultas Biologi.

B. Metode

1. Tali rafia 8 meter dipetakkan persegi 2x2 meter di suatu areal persawahan
belakang kampus Biologi secara acak.
2. Semua bagian tumbuhan (daun, tangkai, bunga, dan buah) yang ada pada
petakan diperiksa.
3. Hewan (serangga, kutu, acari, laba-laba) yang ditemukan baik hidup maupun
mati diamati dan dicatat.
4. Hewan hasil pengamatan dikelompokkan ke dalam kelompok hama, musuh
alami, dan lainnya.
5. Jumlah individu per hektar dihitung, dengan menggunakan rumus berikut:
6. Jumlah Individu Per Hektar =
Jumlah individu dalam M meter di survei x 10.000
Jarak tanam dalam meter x M meter jalur yang disurvei
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar Hasil Pengamatan

Gambar 1. Siput Gambar 2. Kutu Loncat

Gambar 3. Semut

Tabel 4.1 Data Kelimpahan Relatif Hama dan Musuh Alami dalam Sistem
Pertanian
No Organisme Jumlah Peranan

1 Kutu loncat 19 Hama


2 Walang sangit 1 Hama
3 Belalang muda 2 Predator
4 Kumbang 5 Predator
5 Capung 1 Predator
6 Jangkrik 7 Predator
8 Jangkrik kecil 168 Predator
9 Hemiptera 3 Predator
10 Heteroptera 5 -
11 Burung sawah 2 -
12 Lalat 1 -
13 Cacing 24 Detrivor
14 Semut terbang 1 -
Semut hitam
15 Predator
besar
16 Semut kecil 5 -
17 Siput 19 -
18 Nyamuk 2 Predator
Total 269

Perhitungan:
Jumlah Individu Per Meter
= Jumlah individu dalam M meter jalur di survei x luas jarak survei
Jarak tanam dalam meter x kelilinng jarak yang disurvei

= 33.6 x 4 m2
0,3 m x 8 m

= 56 individu
B. Pembahasan

Berdasarkan hasil dan pengamatan langsung, luas petakkan 2x2 meter didapatkan
sejumlah 269 organisme dengan konversi harga relatif ke absolut jumlah individu per
meter adalah 56 individu. Hama yang ditemukan pada area persawahan belakang
Fakultas Biologi adalah walang sangit dan kutu loncat dengan jumlah berturut-turut 19
dan 1 individu. Walang sangit (Leptocorisa oratorius) merupakanhama penting padi
yang menyebabkan bulir padi tidak sempurna sehingga menurunkan kualitas padi
(Qomarodin, 2006).
Sebanyak 249 dari 269 lainnya merupakan predator dan hewan lainnya. Predator
yang didapatkan memiliki keragaman yang banyak dengan jumlah yang sedikit.
Jangkrik muda memiliki jumlah terbanyak, yaitu 168 diikuti dengan kumbang. Jangkrik
dapat menjadi predator bagi telur serangga atau serangga lain seperti ulat atau kutu
(Kalshoven, 1981 dalam Puspasari et al., 2016). Salah satu jenis kumbang yang
merupakan musuh alami hama, yaitu Menochilus sexmaculatus (F.) atau kumbang
kubah yang polifag terhadap Acyrthosiphon pisum, Aphis sp., Rhopalosiphum maidis,
Tentranychus orientalis, dan banyak lagi lainnya (Moningka et al., 2012). Hemiptera,
misalnya Cyrorhinus lividipenis sebagai predator telur dan nimfa wereng pada sistem
pertanian. Nyamuk (Dipthera) dapat menjadi predator bagi serangga lain. Menurut
Jumar (2002), semua ordo serangga memiliki jenis yang menjadi predator yang
beberapa diantaranya digunakan dalam pengendalian hayati. Banyaknya predator pada
lahan pertanian menunjukkan kelimpahan musuh alami. Menurut Arifin et al. (1997)
dalam Tauruslina et al. (2015), menyatakan bahwa jenis dan populasi predator pada
ekosistem padi sawah tanpa penyemprotan insektisida lebih tinggi dibandingkan dengan
penyemprotan.
Kelimpahan organisme dalam sistem pertanian dapat didefinisikan sebagai
banyaknya organisme atau melimpahnya organisme yang menghuni suatu area
pertanian yang membentuk satu komunitas, dimana organisme itu mempunyai peran
masing-masing. Kelimpahan ini kemungkinan diakibatkan karena adanya sumber
makanan (sumber nutrisi) yang tersedia secara terus menerus serta kondisi suatu area
pertanian yang mendukung jalannya sistem rantai makanan yang melibatkan semua
organisme yang berada di area pertanian tersebut. Kelimpahan jenis serangga sangat
ditentukan oleh aktifitas reproduksinya yang didukung oleh lingkungan yang cocok dan
tercukupinya kebutuhan sumber makanannya. Kelimpahan dan aktifitas reproduksi
serangga di daerah tropik sangat dipengaruhi oleh musim , karena musim berpengaruh
kepada ketersediaan sumber pakan dan kemampuan hidup serangga yang secara
langsung mempengaruhi kelimpahan (Erawati et al., 2010).
Menurut Baiquni (2007), ada beberapa cara mendeteksi dan sekaligus menaksir
populasi serangga yang ada pada sistim pertanian, yaitu:
1. Pengamatan langsung
(1) Pemeriksaan satu tumbuhan
Tumbuhan dengan secara acak dipilih. Serangga besar terdapat di
tumbuhan diamati. Tumbuhan tersebut diamati serangga yang besar dan bergerak
dengan cepat. Semua daun (permukaan atas dan bawah), tangkai daun, batang,
bunga, dan buahnya diperiksa. Hasil pengamatan mengenai jenis serangga yang
diperkirakan ada dan jumlahnya, stadium yang ada serta keadaan lainnya
ditabelkan.
(2) Perhitungan untuk suatu jarak
Penaksiran populasi dilakukan menurut kenampakan dengan berjalan
menempuh suatu jarak yang telah ditentukan sambil membolak-balik bagian
tumbuhan. Cara ini baik dilakukan untuk tumbuhan stadium muda dengan
mengamati serangga yang tidak begitu aktif atau yang cepat menjatuhkan diri. Cara
yang digunakan untuk serangga aktif cukup dengan mengetuk tumbuhan dan
menghitung serangga yang terbang atau meloncat.
Kedua cara di atas sangat bersifat individual tergantung kepada kemampuan
pengamat. Faktor angin juga dapat berpengaruh pada hasil perhitungan. Konversi
harga relatif ke harga absolut dapat dilakukan sebagai berikut :
Jumlah Individu Per Hektar
= Jumlah individu dalam M meter di survei x 10.000
Jarak tanam dalam meter x M meter jalur yang disurvei

2. Lembar penutup tanah

Lembar penutup tanah dibuat dari kain putih atau yang berwarna terang
dengan panjang dan lebar yang sama dengan ukuran 0,5 sampai 1 m , kedua tepi
kain dilekatkan pada tongkat kayu bergaris tengah 2-3 cm untuk menggulungnya.
Tempat pengambilan sampel ditentukan, dan sampel diperoleh dengan
merentangkan kain penutup di antara dua baris tumbuhan. Kedua baris tumbuhan
dipegang dan diguncangkan ke arah kain sebanyak 10 sampai 15 kali sehingga
serangga berjatuhan. Serangga ini dapat langsung dihitung jumlahnya sambil
diidentifikasi atau dikumpulkan ke dalam botol pengawet untuk pengerjaan
selanjutnya. Cara ini baik untuk menangani serangga yang bergerak lambat serta
tumbuhan masih rendah dan muda sehingga tidak terjadi kerontokan daun atau
bunga. Harga absolut dapat diperoleh dengan menggunakan rumus yang telah
diberikan.
3. Jala ayun
Alat ini paling umum digunakan untuk mengambil contoh populasi serangga
karena dengan alat ini dapat ditangkap serangga dalam jumlah relatif besar, waktu
singkat, dan biaya tidak besar. Jala ayun terdiri dari bagian jala berbentuk kerucut,
gelang kawat besar atau besi dan sebuah tangkai. Garis tengah jala 38 cm dengan
kedalaman 75 cm, panjang tangkai 60 sampai 90 cm dengan garis tengah 2,2 cm.
Terdapat berbagai cara untuk mengayun jala ini, misalnya ayunan sepanjang satu
baris tumbuhan dan setiap ayunan berbentuk huruf S. Dapat juga dilakukan ayunan
sepanjang dua baris tumbuhan dengan cara ayunan huruf S. Tidak hanya ayunan
berbentuk huruf S ada juga ayunan yang berbentuk angka 8. Meskipun metoda jala
ayun merupakan salah satu metoda yang paling mudah dilaksanakan, tetapi
penafsiran yang didapatkan tidaklah terlalu teliti. Beberapa faktor lingkungan sangat
mempengaruhi hasil tangkapan :
- Suhu yang memberikan pengaruh pada pergerakan serangga
- Suhu dan Kelembaban Udara yang memberikan pengaruh pada posisi
tumbuhan dan serangga
- Kecepatan Angin yang berpengaruh pada tempat bersembunyi serangga
- Posisi Matahari yang berpengaruh kepada perilaku serangga
- Ukuran tumbuhan yang berpengaruh pada pelaksanaan ayunan
- Kerapatan dan Tekstur Daun yang berpangaruh pada pelaksanaan ayunan
4. Jala pengisap atau alat penghisap
Tidak hanya perangkap yang mampu menghisap udara sehingga serangga
tersedot ke dalamnya, ada juga alat pengambil sampel yang bernama D-Vac yang
boleh juga dianggap semacam jala yang dapat menghisap udara. Hal ini merupakan
jala dengan bingkai logam dihubungkan kepada blower dengan lorong lentur yang
terbuat dari karet atau bahan kedap lainnya. Blower digerakkan dengan mesin
penggerak kecil dan keseluruhan alat ini dapat dibawa di punggung. Cara pengambilan
sampel mempunyai pola yang sama dengan jala ayun. Alat ini sangat cocok untuk
mengambil serangga kecil. Segi yang kurang menguntungkan adalah harga dan
perawatannya yang mahal.
5. Kotak fumigasi (absolut)
Kotak atau kandang fumigasi dapat berupa kotak sampah plastik yang besar dan
diberi lubang untuk fumigasi atau dibuat khusus dari kerangka metal yang dibungkus
dengan lembaran kayu, plastik, atau seng serta diberi lubang untuk fumigasi. Tinggi
kandang sedikit melebihi tinggi tumbuhan dan perlu disediakan alas yang sedikit lebih
luas dari dasar kandang. Landasan dapat terdiri dari dua belahan yang dapat disatukan
di dasar tumbuhan.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menutupkan kandang atau kotak di atas
landasan tumbuhan. Fumigasi dilakukan dengan aerosol yang berisi pyretrin 20%.
Dalam waktu 5 sampai 8 detik serangga yang berada di kandang atau kotak berjatuhan.
Kotak diangkat dan serangga dikumpulkan untuk diidentifikasi dan dihitung.
6. Ekstraksi tumbuhan utuh
Cara ini diperlukan sebuah sangkar kasa dengan ukuran 1,8 x 1,8 x 1,8 m yang
berkerangka metal. Salah satu sisi sangkar diberi zipper untuk masuk satu dua orang.
Sangkar ditempatkan pada lokasi yang dikehendaki. Pengambil sampel masuk ke
dalam sangkar membawa alat pengumpul serangga (aspirator), pemotong tumbuhan,
dan kantung plastik. Semua serangga di dinding sangkar diambil sampai habis,
kemudian tumbuhan dipotong dan dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diikat
erat. Serasah dan daun jatuhan juga dikumpulkan dalam plastik lainnya. Sangkar
dibiarkan untuk satu dua jam lagi sehingga sisa serangga yang keluar dari
persembunyiannya masih dapat dikumpulkan lagi.
7. Mengektraksi serangga dari tanah
Sangat sulit untuk dapat mengumpulkan serangga yang berada di dalam tanah,
karena kepadatan dari tanah dan biasanya serangga di dalam tanah tidak dapat dengan
mudah untuk dilihat atau diambil. Teknik untuk mengumpulkan serangga dari dalam
tanah menjadi lebih kompleks, rumit, dan mahal. Walaupun demikian mengambil
sampel serangga dari dalam tanah sangat penting karena lebih dari 90% spesies
serangga menghabiskan sekurang-kurangnya satu tahapan hidup di dalam atau pada
permukaan tanah. Cara yang paling umum digunakan untuk mengumpulkan serangga
dari tanah adalah dengan menggunakan Berlese funnel, menyaring, dan
mengambangkan. Semua teknik tersebut memerlukan sampel tanah terlebih dahulu.
Sampel tanah diambil dengan menggunakan bor tanah atau sekop.
Berlese furnel merupakan salah satu alat yang paling umum digunakan untuk
mengumpulkan serangga dari dalam tanah. Teknik ini, aslinya dikembangkan oleh
seorang ahli serangga Italia A. Berlese pada awal tahun 1990, menggunakan air panas
di sekeliling furnel untuk memanaskan dan mengeringkan sampel tanah yang terdapt di
dalam furnel. A. Tullgreen, orang Swedia, mengganti sumber panas ini dengan lampu
pijar yang diletakkan di atas sampel tanah. Modifikasi yang lain untuk efisiensi telah
dikembangkan, tetapi semuanya memiliki satu prinsip yang sama, yaitu membuat
kondisi lingkungan menjadi tidak sesuai bagi serangga sehingga memaksa mereka
untuk keluar dari tanah atau memberikan suatu bentuk perangsangan bagi serangga
untuk keluar dari dalam tanah. Bila menggunakan teknik ini, hal yang harus
diperhatikan adalah pencegahan kematian serangga sebelum ia meninggalkan tanah.
Biasanya pemanasan dilakukan secara bertahap sehingga serangga dapat terhindar dari
kekeringan. Teknik ini tidak dapat digunakan untuk mengambil serangga yang berada
dalam tahap tidak aktif seperti, telur, pupa, atau serangga-serangga yang dorman (Van
Mele, 2004).
Teknik pengayakan (penyaringan) merupakan suatu teknik yang sangat mekanik.
Kelebihan dari teknik ini bila dibandingkan dengan menggunakan Berlese furnel
adalah tidak tergantung kepada pergerakan dari serangga. Pengayakan kering atau
basah dapat digunakan untuk mengumpulkan serangga. Ayakan yang digunakan
adalah ayakan bertingkan dimulai dari ayakan kasar sampai ayakan halus. Metoda ini
sangat mengandalkan ukuran tubuh dari serangga (Herlinda, 2010).
Metoda pengambangan merupakan metoda yang didasarkan kepada prinsip
bahwa partikel yang memiliki gravitasi lebih rendah dari mediumnya akan
mengambang pada permukaan medium. Serangga pada umumnya dapat mengambang
di atas permukaan air. Efisiensi dari metoda ini dapat ditingkatkan dengan
menambahkan garam, seperti magnesium sulfat pada medium.
8. Berbagai perangkap khusus
(1) Perangkap cahaya (lampu)
Perangkap ini khusus digunakan untuk serangga
dewasa yang tertarik pada sinar. Serangga yang
tertangkap dibunuh dengan air campur minyak
tanah atau dengan sianida. Perangkap cahaya
merupakan perangkap yang paling banyak
digunakan terutama untuk menangkap serangga ham dari kelompok ngengat
(Lepidoptera) dan nyamuk (Diptera : Culicidae). Hal ini karena banyak ngengat
(terutama spesies dari kelompok Noctuidae) dan serangga lain yang tertarik dengan
panjang gelombang cahaya yang pendek, makalampu ultra violet banyak digunakan
pada perangkap cahaya
(2) Perangkap dengan menggunakan umpan
Perangkap tipe ini mengandalkan kepada kemampuan mencium dan mengecap
dari serangga. Umpan yang paling umum digunakan adalah makanan. Kairomone
merupkan aroma dari makanan yang menyebabkan serangga tertarik atau merubah
perilakunya disebut kairomone. Penarik lain yang sering digunakan adalah sex
pheromone (feromon sex). Serangga yang tertarik oleh senyawa ini selanjutnya dapat
dibunuh dengan menggunakan kertas berpelekat atau sianida.
(3) Perangkap Malaise
Perangkap ini merupakan suatu perangkap yang tidak menggunakan umpan dan
mengandalkan kepada kebiasaan terbang serangga yang biasanya mengarah ke atas.
Perangkap ini pada dasarnya merupakan suatu tenda yang terbuat dari jala halus yang
terbuat dari katun atau nilon yang berfungsi untuk menangkap serangga yang terbang.
Pada bagian puncak tenda terdapat wadah untuk menampung serangga.
(4) Suatu lembaran alumunium atau kain (karton) diberi perekat khusus dan
direntangkan di tempat yang diperkirakan dilewati serangga terbang.
(5) Perangkap Pitfall merupakan qlat penangkap serangga yang merayap di tanah,
terdiri dari tabung yang ditanam di tanah, corong, dan pelindung digunakan untuk
menangkap serangga-serangga yang bergerak di permukaan tanah. Serangga yang
melewatinya akan tergelincir masuk ke tabung. Serangga yang tertangkap
dibunuh dengan formalin. Masalah yang banyak muncul dari penggunaan
perangkap ini adalah curahan air hujan yang dapat menyebabkan air pada wadah
penangkap meluap dan serangga yang tertangkap hilang, dengan menggunakan
suatu struktur yang dapat mencegah curahan air hujan, masalah ini dapat diatasi
(Van Mele, 2004).
Semua makhluk hidup dalam ekosistem alami berada dalam keadaan seimbang
dan saling mengendalikan sehingga tidak terjadi hama. Keragaman jenis di ekosistem
alamiah sangat tinggi yang berarti dalam setiap kesatuan ruang terdapat flora dan fauna
tanah yang beragam. Sistem pertanaman yang beranekaragam berpengaruh kepada
populasi spesies hama (Riyani, 1992). Menurut Irawan (2002), ada 6 faktor yang saling
berkaitan menentukan derajat naik turunnya keragaman, jenis yaitu :
a) Waktu, kelimpahan komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua
yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme dari pada
komunitas muda yang belum berkembang. Waktu dapat berjalan dalam ekologi
lebih pendek atau hanya sampai puluhan generasi.
b) Heterogenitas ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks
komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin tinggi keragaman
jenisnya.
c) Kompetisi, terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber yang sama
yang ketersediannya kurang, atau walaupun ketersediannya cukup, namun
persaingan tetap terjadi juga bila organisme-organisme itu memanfaatkan sumber
tersebut, yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya.
d) Pemangsaan, untuk mempertahankan komunitas populasi dari jenis persaingan
yang berbeda di bawah daya dukung masing-masing selalu memperbesar
kemunginan hidup berdampingan sehingga mempertinggi keragaman. Apabila
intensitas dari pemangsaan terlalu tinggi atau rendah dapat menurunkan
keragaman jenis.
e) Kestabilan iklim, makin stabil, suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam suatu
lingkungan tersebut. Lingkungan yang stabil, lebih memungkinkan
keberlangsungan evolusi.
f) Produktifitas, juga dapat menjadi syarat mutlak untuk keanekaragaman yang
tinggi.
Keenam faktor ini saling berinteraksi untuk menetapkan kelimpahan jenis dalam
komunitas yang berbeda. Keanekaragaman spesies sangatlah penting dalam
menentukan batas kerusakan yang dilakukan terhadap sistem alam akibat turut campur
tangan manusia (Chan et al., 2006). Hambatan lingkungan merupakan faktor biotik dan
abiotik di ekosistem yang cendrung menurunkan fertilitas dan kelangsungan hidup
individu-individu dalam populsi organisme. Faktor tersebut menghalangi suatu
organisme untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi biotiknya. Faktor-faktor
lingkungan tersebut ada dua yaitu faktor yang berasal dari luar populasi (faktor
ekstrinsik) terdiri dari faktor biotik seperti makanan, peredasi dan kompetisi dan faktor
abiotik seperti iklim, tanah, air dan faktor yang berasal dari dalam populasi (faktor
intrinsik) seperti persaingan intrasfesifik dalam bentuk teritorialitas dalam tekanan
sosial (Nasoetion & Rustiadi, 1990).
V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan:


1. Hama yang ditemukan di belakang Fakultas Biologi adalah wereng dan kutu loncat,
sementara 7 jenis serangga lainnya adalah musuh alami sistem pertanian.
Berdasarkan perhitungan penaksiran dengan satuan panjang, 56 individu per meter
terdapat di sana.

B. Saran

Sebaiknya praktikum dilakukan dengan hati-hati dan teliti agar hasil didapat bisa

lebih akurat.
DAFTAR REFERENSI

Amir M. 2002. Kumbang Lembing Pemangsa Coccinellidae (Coccinellinae) di


Indonesia. Bogor: JICA Puslit Biologi LIPI.
Baiquni, H. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Praktek Unggulan Program
Pembangunan Berkelanjutan Untuk Industri Pertambangan. Department of
Industry Tourism and Resources, Australia.
Brewer, M. J. & N. C. Elliot. 2004. Biological control of cereal aphids in North
America and mediating effects of host plant and habitat manipulations. Annu. Rev.
Entomol, 49, pp. 219.
Bugg, R. L., R. G. Colfer, W. E. Chaney, H. A. Smith & J. Cannon. 2008. Flower flies
(Syrphidae) and other biological control agents for aphids in vegetable crops. ANR
Publication, 8285, pp. 1–25.
Campbell, N.A., Jane B.R., Lisa A.U., Michael L.C., Steven A.W., Peter V.M., &
Robert B.J. 2010. Biologi Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Chan, K.M.A., M.R. Shaw, D.R. Cameron, E.C. Underwood and G.C. Daily. 2006.
Conservation planning for ecosystem services. PLoS Biology, 4, pp. 2138-2152.
Effendy, Usna H., Siti H., Chandra I., & Rosdah T. 2013. Analisis kemiripan komunitas
artropoda predator hama padi penghuni permukaan tanah sawah rawa lebak
dengan lahan pinggir di sekitarnya. Jurnal Entomologi Indonesia, 10(2), pp. 60-
69.
Erawati, Nety Virgo, & Sih Kahono. 2010. Keanekaragaman dan Kelimpahan Belalang
dan Kerabatnya (Orthoptera) pada Dua Ekosistem Pegunungan di Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak. Jurnal Entomologi Indonesia, 7 (2), pp. 100-115.
Herlinda, S. 2010. Spore density and viability of entomopathogenic fungal isolates from
Indonesia, and its virulence against Aphis gossypii (Glover) (Homoptera:
Aphididae). Tropical Life Sciences Research, 21(1), pp. 13–21.
Irawan, Bambang. 2002. Analisis nilai ekonomi sumberdaya lahan pertanian. Laporan
Hasil penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: Rineka Cipta.
Moningka, M., Dantje T., & Jeane K. 2012. Keragaman Jenis Musuh Alami pada
Serangga Hama Padi Sawah di Kabupaten Minahasa Selatan. Eugenia, 18(2),
pp. 89-97.
Nasoetion, L. I. & E. Rustiadi. 1990. Masalah konversi lahan sawah ke penggunaan
non-sawah fokus Jawa dan Bali. Paper pada Pertemuan Ilmiah Pembangunan
Pedesaan dan Masalah Pertanahan. UGM.
Puspasari, L.T., M.Suhunan S., & Sri H. 2016. Komposisi Komunitas Serangga
Aphidophaga dan Coccidophaga pada Agroekosistem Kacang Panjang (Vignia
sinensis L.) di Kabupaten Garut. Jurnal Agrikultura, 27(1), pp. 30-37.
Qomarodin. 2006. Pengendalian Walang Sangit (Leptocorisa oratus F.) Ramah
Lingkungan di Tingkat Petani Lahan Rawa Lebak. Temu Teknis Nasional
Tenaga Fungsional Pertanian,
Riyani, W. 1992. Analisis konversi lahan dari pertanian ke lahan perumahan dengan
metode sewa ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di wilayah Dati II Kodya
Bogor. Propinsi Jawa Barat.
Tauruslina, E.A., Trizelia, Yaherwandi, & Hasmiandy H. 2015. Analisis
keanekaragaman hayati musuh alami pada ekosistem padi sawah di daerah
endemik dan non-endemik wereng batang cokelat Nilaparvata lugens di
Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas
Indonesia, 1(3), pp. 581-589.
Untung, K. 2006. Pengantar Pengendalian Hama Terpadu Edisi Kedua. Yogyakarta:
UGM press.
Van Mele, P. 2004. Semut Sahabat Petani : meningkatkan hasil buah-buahan dan
menjaga kelestarian lingkungan bersama semut rangrang. World Agroforestry
Centre (ICRAF).
Yusniar, L. 2005. Peranan Keanekaragaman Hayati Artropoda sebagai Musuh Alami
pada Ekosistem Padi Sawah. Jurnal Penelitian, 3(3), pp. 16-24.

Anda mungkin juga menyukai