Anda di halaman 1dari 9

SEMBILAN PULUH TIGA PERSEN REMAJA PUTRI TENGAH PUBERTAS

MENGALAMI DISMENORE

Sugeng Wiyono, M.Kes 1)


1)
Lektor Kepala Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes R.I Jakarta II

Pendahuluan
Dismenore adalah nyeri haid yang biasanya bersifat kram dan berpusat pada perut bagian
bawah (Fritz & Speroff 2010). Dismenore adalah nyeri kram yang terasa sebelum atau selama
menstruasi, terkadang sampai parah sehingga mengganggu aktifitas ( Rogers 2010).
Dismenore dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu dismenore primer dan dismenore sekunder.
Dismenore primer yaitu nyeri haid yang dijumpai tanpa kelainan pada alat-alat genitalia yang
nyata, sedangkan dismenore sekunder yaitu nyeri haid yang disebabkan oleh kelainan
ginekologi seperti salpingitis kronika, endometriosis, adenomiosis uteri, stenosis servisitis
uteri, dan lain-lain. (Prawirohardjo & Wiknjosastro 2008).
Epidemiologi
Berbagai penelitian di seluruh dunia telah menunjukan bahwa angka kejadian dismenore cukup
tinggi, yaitu 43-93% wanita mengalami dismenore dan 5-10% dari mereka mengalami
dismenore yang sangat berat dan meninggalkan kegiatan mereka 1-3 hari dalam sebulan
(Neinstein 2007). Menurut Riyanto, tidak ada angka yang pasti mengenai jumlah penderita
dismenore di Indonesia (Novia & Puspitasari 2008). Dismenore primer sering terjadi pada
remaja, persentasenya sebesar 40-50%. Dismenore primer umumnya terjadi 1-3 tahun setelah
menarche, kasus dismenore akan bertambah berat setelah beberapa tahun sampai usia 23-27
tahun, kemudian mulai mereda (Morgan & Hamilton 2009). Dari penelitian yang dilakukan di
Swedan didapatkan bahwa 72% wanita dilaporkan mengalami dismenore, 38% memerlukan
pengobatan, 15% diantaranya harus membatasi aktifitas mereka meskipun telah meminum
obat, serta 8% diantaranya harus meninggalkan sekolah atau pekerjaan mereka selama
menstruasi (Fritz & Speroff 2010). Menurut Riyanto, tidak ada angka yang pasti mengenai
jumlah penderita dismenore di Indonesia (Novia & Puspitasari 2008). Dismenore merupakan
permasalahan di bidang ginekologi yang banyak menyerang wanita muda, namun dismenore
yang sering terjadi adalah dismenore primer (Fleisher 2010).
Dismenore primer sering terjadi pada remaja, persentasenya sebesar 40-50%. Dismenore
primer umumnya terjadi 1-3 tahun setelah menarche, kasus dismenore akan bertambah berat
setelah beberapa tahun sampai usia 23-27 tahun, kemudian mulai mereda (Morgan & Hamilton

1
2009). Di Canada didapatkan 60% wanita mengalami dismenore primer dengan kualitas nyeri
yang sedang sampai berat, diantaranya 51% aktivitas mereka menjadi terbatas dan 17% dari
mereka tidak hadir di sekolah ataupun tempat kerja (Dawood 2006). Dari data tersebut dapat
menggambarkan bahwa dismenore primer yang terjadi pada remaja sering membuat mereka
tidak hadir di sekolah, dan ketidak hadiran ini menyebabkan proses belajar mengajar akan
terganggu. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Ylikorkawa & Dawood bahwa
dismenore merupakan penyebab tersering seseorang meninggalkan pekerjaan atau jam sekolah
mereka (Neinstein 2007).
Salah satu permasalahan yang dapat menimbulkan dismenore primer adalah status gizi.
Daftary & Patky (2008) menjelaskan bahwa overweight merupakan faktor resiko dari
dismenore primer. Selain itu obese juga membawa peranan sebagai faktor resiko terjadinya
dismenore primer (Mengel & Schwiebert 2005). Namun di sisi lain ternyata seseorang dengan
underweight juga dapat mengalami dismenore primer (Tangchai, Titapant, &
Boriboonhirunsarn 2004).
Untuk pertumbuhan yang normal seorang remaja perempuan memerlukan gizi yang baik,
kecukupan energi, protein, lemak, dan suplai semua zat gizi yang menjadi basis pertumbuhan.
Pada remaja perempuan, makanan yang berlemak tinggi yang berasal dari hewani
menyebabkan pertumbuhan berat badan, sehingga kadar estrogen akan meningkat. Kadar
hormon yang meningkat ini nantinya akan mempengaruhi saat menarche dari seorang remaja
perempuan (Waryana 2010). Usia menarche yang cepat yaitu <12 tahun menjadi faktor resiko
terjadinya dismenore primer (Borgelt, Connelt, et al 2010).
Penelitian Susanto, Nasrudin, dan Abdullah menemukan adanya hubungan antara status gizi
terhadap dismenore primer. Selain itu penelitian lainnya pernah dilakukan oleh Yustiana pada
tahun 2009, ia menemukan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan keluhan
dismenore.

Pubertas
Pubertas adalah suatu masa transisi antara masa anak-anak dengan dewasa yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor kompleks (Batubara 2010). Sedangkan menurut Greenstein & Wood
(2010) pubertas adalah serangkaian kejadian yang berkaitan dengan adanya lonjakan
pertumbuhan dan memuncak pada munculnya maturitas seksual serta berjalannya fungsi
reproduksi. Penyebab utama yang menyebabkan dimulainya pubertas belum diketahui
(Prawirohardjo & Wiknjosastro 2008). Namun secara hormonal didapatkan bahwa pada masa
anak berkisar antara usia 4-10 tahun kadar hormon gonadotropin rendah, hal ini dikarenakan

2
rendahnya respon hipofisis terhadap GnRH (Gonadotropin-releasing hormone) dan adanya
penekanan maksimum hipotalamus. Pada anak perempuan usia 6-8 tahun hormon steroid
DHEA (Dehydroepiandrosterone) akan meningkat. Lalu pada awitan pubertas hipotalamus
menjadi kurang peka terhadap penekanan steroid seks. Akhirnya akan terjadi peningkatan
kadar LH (leuteinizing hormone) dan FSH (follicle stimulating hormone), setelah itu akan
menstimulasi gonad (gonadarke). Sekitar 1-2 tahun sebelum awitan pubertas akan terjadi
sekresi LH dalam jumlah kecil saat tidur, lalu sekresi LH nokturnal pulsatil terus meningkat
(Batubara 2010). GnRH-containing neuron akan mensekresikan GnRH secara pulsatil, hal ini
menandakan awitan pubertas. Adanya kompleks kisspeptin-GPR54 menjadi pintu gerbang
aktivasi pubertas neuron GnRH. Kisspeptin merangsang pelepasan GnRH yang nantinya akan
menstimulasi sekresi gonadotropin dari hipofisis (Batubara 2010). Selama masa remaja
respons LH terhadap GnRH meningkat dengan cepat, tetapi peningkatan FSH tidak sepesat
kenaikan LH. LH dan juga FSH dapat menimbulkan perubahan – perubahan gonad pada saat
pubertas (Batubara 2010).
Menjelang menarche kadar FSH akan meningkat dan akan merangsang ovarium sehingga
folikel – folikel primer akan berkembang, serta kadar estradiol akan meningkat. Lalu beberapa
saat menjelang menarche akan terjadi mekanisme umpan balik positif estradiol terhadap
hipofisis yang akan menghasilkan suatu lonjakan LH. Namun lonjakan LH tersebut tidak
cukup besar sehingga ovulasi tidak terjadi, maka kadar estradiol akan menurun. Setelah itu
akan terjadi perdarahan akibat deskuamasi endometrium yang berupa menarche, yaitu
perdarahan pertama dari uterus yang terjadi pada seorang wanita (Batubara 2010). Pada saat
pubertas akan terjadi perubahan pada organ – organ reproduksi yaitu yang semula infantile
menjadi bentuk dewasa, begitu juga yang terjadi pada uterus. Hal ini dikarenakan adanya
perubahan hormonal yang telah dijelaskan di atas saat pubertas terjadi, khususnya yang
membuat terjadinya perubahan bentuk uterus adalah adanya peningkatan estrogen (Guyton &
Hall 2008).

Pembagian Usia Menarche. Usia menarche seorang remaja dapat diklasifikasikan menjadi : 1).
Cepat : ≤ 12 tahun, 2). Ideal : antara 13-14 tahun, 3). Terlambat : > 14 tahun (Zegeye ,
Megabiaw & Mulu 2009) . Terjadinya menarche sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor,
faktor–faktor tersebut diantaranya adalah :
1. Genetik
Usia menarche dari seorang ibu, dapat mempengaruhi usia menarche dari anak
perempuannya. Namun, bagaimanapun faktor genetik ini tidak begitu saja terlepas dari

3
faktor – faktor lainnya seperti faktor lingkungan, kesehatan, dan asupan gizi (Kail &
Cavaunaugh 2008).
2. Kesehatan
Faktor kesehatan dapat mempengaruhi dari saat terjadinya menarche, pada gadis yang lebih
sehat akan mengalami menarche lebih cepat dari pada yang tidak sehat (Kail & Cavaunaugh
2008). Seorang gadis yang mengalami penyakit kronik dan menderita gizi salah dapat
menyebabkan tertundanya menarche (Lancaster & Hamburg 2008).
3. Status gizi
Status gizi remaja perempuan sangat mempengaruhi terjadinya menarche, salah satunya
adalah usia menarche (Paath, Rumdasih & Heryati 2005). Semakin tinggi status gizi
seseorang maka akan semakin cepat usia menarche orang tersebut. Semakin tinggi jumlah
leptin maka semakin cepat terjadinya menarche. Leptin merupakan suatu hormon
polipeptida yang disekresikan oleh jaringan adiposa dan merupakan faktor antiobesitas, lalu
leptin akan disirkulasikan ke darah untuk selanjutnya dibawa ke hipotalamus untuk
berikatan dengan reseptornya. Reseptor tersebut mensupresi selera makan dan
meningkatkan pengeluaran energi, aktivitas fisik, serta produksi panas. Leptin sendiri dapat
menurunkan produksi neuropeptida Y yang merupakan perangsang selera makan. Apabila
ada disfungsi sistem leptin maka hal tersebut berperan pada terjadinya obesitas. Pada pasien
obesitas kadar leptin plasma tinggi, hal ini menunjukkan adanya resistensi leptin (Mitchell
et al. 2009).
4. Aktivitas isik
Aktivitas fisik yang rendah dapat mempercepat usia menarche, sedangkan aktivitas fisik
yang intens seperti berolahraga dapat memperlambat usia menarche. Keseimbangan antara
penggunaan energi dan pemasukan energi sangat berpengaruh terhadap usia menarche.
Tetapi itu semua tidak terlepas dari adanya faktor – faktor lain seperti status gizi, psikologi,
keturunan, dan lainnya (Kjaer et al. 2008; Silva et al. 2009; Goldman & Hatch 2000).
5. Sosial ekonomi
Suatu keadaan pertumbuhan fisik dan kematangan seksual mengikuti kondisi status sosial
ekonomi keluarganya. Seorang gadis remaja yang ada dalam keluarga yang makmur lebih
mungkin untuk mendapatkan gizi yang cukup dan kesehatan yang baik, sehingga akan
mengalami menarche lebih cepat (Kail & Cavaunaugh 2008).

6. Lingkungan dan globalisasi

4
Faktor lingkungan dapat mempengaruhi usia menarche, namun faktor ini juga dipengaruhi
dari asupan gizi, kesehatan, dan ekonomi keluarga. Gadis remaja yang berada di perkotaan
lebih cepat usia menarche-nya dari pada di pedesaan (Bolin & Whelehan 2009). Seiring
dengan berkembangnya zaman, maka banyak arus informasi dari media massa, televisi, dan
lainnya yang dikonsumsi oleh para remaja. Hal ini akan meningkatkan rangsangan
pancaindra yang membuat usia menarche semakin cepat (Manuaba, Manuaba & Manuaba
2007).

Faktor Resiko Dismenore Primer. Faktor resiko terjadinya dismenore primer adalah :
1. Siklus mentruasi ovulasi
Dismenore primer hanya dapat terjadi pada pada siklus menstruasi ovulatorik (Ehrenthal,
Hoffman, & Hillard 2006). Karena setelah terjadinya ovulasi, maka sel-sel folikel tua
setelah ovulasi akan membentuk korpus luteum, sewaktu korpus luteum berdegenerasi
karena tidak terjadi pembuahan dan implantasi, maka kadar estrogen dan progesteron di
sirkulasi akan menurun drastis. Penarikan kembali kedua hormon steroid tersebut
menyebabkan lapisan endometrium yang kaya gizi dan pembuluh darah itu tidak lagi ada
yang mendukung secara hormonal. Penurunan kadar hormon ovarium itu juga merangsang
pengeluaran prostaglandin uterus yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh-pembuluh
endometrium, serta menyebabkan kontraksi uterus. Bila kadar prostaglandin berlebih maka
akan memicu dismenore (Sherwood, 2001).

5
2. Riwayat ibu atau saudara perempuan kandung yang mengalami dismenore primer
Adanya riwayat keluarga dan genetik berkaitan dengan terjadinya dismenore primer yang
berat (Ehrenthal, Hoffman, & Hillard 2006).
3. Usia menarche kurang dari 12 tahun
Menurut Widjanarko (2006) terdapatnya hubungan antara usia menarche terhadap kejadian
dismenore primer dikarenakan saat menarche terjadi lebih awal dari normal maka alat
reproduksi belum siap untuk mengalami perubahan dan masih terjadi penyempitan pada
leher rahim, maka akan timbul rasa sakit saat menstruasi (Ehrenthal, Hoffman, & Hillard
2006; Novia & Puspitasari 2008).
4. Depresi atau anxietas
Risiko untuk mengalami dismenore meningkat pada wanita yang mempunyai riwayat
dismenore dan stress tinggi sebelumya dibandingakan dengan wanita yang tidak
mempunyai riwayat stress sebelumnya (Ehrenthal, Hoffman,& Hillard 2006).
5. Merokok dan meminum alkohol
Pengaruh rokok terhadap dismenore primer masih dalam perdebatan, dan pengaruh alkohol
meningkatkan keparahan dari dismenore primer (Ehrenthal, Hoffman, & Hillard 2006).
6. Overweight, obese ataupun underweight
Menurut Widjonarko (2006) kelebihan berat badan dapat mengakibatkan dismenore primer,
karena di dalam tubuh orang yang mempunyai kelebihan berat badan terdapat jaringan
lemak yang berlebihan yang dapat mengakibatkan hiperplasi pembuluh darah (terdesaknya
pembuluh darah oleh jaringan lemak) pada organ reproduksi wanita sehingga darah yang
seharusnya mengalir pada proses menstruasi terganggu dan timbul dismenore primer (Novia
& Puspitasari 2008). Underweight diakibatkan karena asupan makanan yang kurang,
menderita suatu penyakit, adanya perilaku yang salah, ataupun karena ketergantungan obat
dan alkohol. Kerana asupan makanan yang kurang, dikhawatirkan asupan dari zat besi juga
akan kurang, maka dapat terjadi anemia (Gragnolati & Bank 2006). Anemia merupakan
salah satu faktor konstitusi yang dapat menyebabkan dismenore (Prawirohardjo &
Wiknjosastro 2008).
7. Olahraga
Dengan berolahraga maka akan menurunkan gejala dismenore primer (Ehrenthal, Hoffman,
& Hillard 2006). Dengan berolahraga akan menurunkan kadar prostaglandin, serta
melepaskan endorfin yang dapat memberikan efek penurunan rasa sakit (Sinclair 2010).

6
Gejala Dismenore Primer. Pada perempuan yang mengalami dismenore primer akan merasakan
: 1). Nyeri pada perut yang timbul tidak lama sebelumnya atau bersamaan dengan awal haid,
dapat berlangsung beberapa jam, 24 jam atau bahkan sampai beberapa hari, 2). Rasa nyeri
kejang berjangkit-jangkit yang dirasakan di area perut bawah dan dapat menyebar ke pinggang
dan paha, 3). Selain adanya rasa nyeri juga dapat terjadi rasa mual, muntah, sakit kepala, diare,
iritabilitas, dan sebagainya (Prawirohardjo & Wiknjosastro 2008; Morgan & Hamilton 2009).
Derajat Nyeri Dismenore. Nyeri yang dirasakan pada dismenore dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : 0 = Tidak dismenore, 1 = Nyeri dirasa ringan, aktifitas sedikit terganggu,
jarang membutuhkan obat namun jika obat dikonsumsi maka dapat efektif untuk mengurangi
nyeri, 2=yeri dirasa sedang, aktifitas terganggu, membutuhkan obat dan obat tersebut sering
efektif dalam mengurangi nyeri jika dikonsumsi, 3= Nyeri dirasa hebat, mengganggu sebagian
besar aktivitas, membutuhkan obat namun obat tersebut jarang efektif dalam mengurangi nyeri
(Reece & Barbieri 2009)

7
Diagnosis Dismenore Primer. Amanmesa yang diperlukan untuk mengetahui adanya
dismenore primer adalah dengan menanyakan riwayat penderita seperti : 1). Usia menarche,
2). Jarak antara 2 siklus menstruasi, 3). Hubungan antara onset terjadinya keluhan dengan saat
terjadinya keluhan, 4). Lokasi dan beratnya rasa nyeri, 5). Volume dan durasi aliran darah
menstruasi, 6). Adanya keluhan lain seperti mual, muntah, diare, sakit kepala, nyeri di
pinggang atau paha, 7). Adanya keterbatasan aktifitas sehari-hari, 8). Penggunakan obat untuk
mengurangi nyeri dan keefektifitasannya (Fritz & Speroff 2010; Reece & Barbieri 2009).
Terdapat beberapa perbedaan antara dismenore primer dan sekunder yang dapat dilihat pada
tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan karakteristik antara dismenore primer dan sekunder
Dismenore primer Dismenore sekunder
 Mengenai pada seseorang dengan usia  Mengenai pada seseorang dengan usia
lebih muda lebih tua
 Timbul segera setelah siklus haid yang  Tidak tentu
teratur
 Sering pada nulipara  Tidak berhubungan dengan paritas
 Nyeri sering seperti kejang uterus atau  Nyeri terus-menerus
spastik
 Nyeri timbul mendahului haid, meningkat  Nyeri mulai pada saat haid dan
pada hari pertama, dan kemudian hilang meningkat bersamaan dengan
bersamaan dengan keluarnya darah haid keluarnya darah haid
 Sering memberikan respon pada  Sering memerlukan tindakan operatif
pengobatan medikamentosa
 Sering disertai mual, muntah, diare,  Tidak disertai mual, muntah, diare,
kelelahan, dan nyeri kepala kelelahan, dan nyeri kepala

Daftar Pustaka

1. Agustianingsih, K, 2010, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Dismenore, viewed


22 Februari 2012,
2. Almatsier, S 2009, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
3. Batubara, JRL, Tridjaja, B, Pulungan, AB 2010, Buku Ajar Endokrinologi Anak, ed.1,
Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
4. Bolin, A, Whelehan, P 2009, Human Sexuality: Biological, Psychological, and Cultural
Perspectives, Taylor & Francis, United Kingdom.
5. Borgelt, LM, O’Connell, MB, Smith, JA, Calis, KA 2010, Women's Health Across the
Lifespan: A Pharmacotherapeutic Approach, ASHP, US.
6. Brown, JE, Isaacs, JS, Krinke, UB, Lechtenberg, E, Murtaugh, MA 2010, Nutrition
Through the Life Cycle, Cengage Learning, USA.
7. D’Arcy, Y 2011, Compact Clinical Guide to Acute Pain Management ; An Evidence-
based Approach for Nurses, Springer Publishing Company, New York.

8
8. Daftary, SN, Patky, A 2009, Reproductive Endocrinology & Infertility, BI Publications Pvt
Ltd, New Delhi.
9. Greenstein, B, Wood, D 2010, At a Glance Sistem Endokrin, ed.2, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
10. Gunawan, D, 2002, Faktor – Faktor Yang Berpengaruh Dan Perilaku Remaja Dalam
Mengatasinya (Survei Pada 4 SLTP Di Jakarta), Thesis Bagian Obstetri-Ginekologi.
FKUI.
11. Guyton, AC, Hall, JE 2008, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, ed.11, EGC, Jakarta.
12. Fleisher, GR, Ludwig, S 2010, Textbook of Pediatric Emergency Medicine, ed.6,
Lippincott Williams & Wilkins, USA.
13. Fritz, MA, Speroff, L 2010, Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility , ed.8,
Lippincott Williams & Wilkins, USA.
14. Goldman, MB, Hatch, M 2000, Women and health, Gulf Professional Publishing, USA.
15. Goodwin, TM, Montoro, MN, Muderspach, L, Paulson, R, Roy, S 2010, Management of
Common Problems in Obstetrics and Gynecology, ed.5, John Wiley and Sons, United
Kingdom.
16. Gragnolaty, M, Bank, W 2006, India’s Undernourished Children, World Bank
Publications, USA.

Anda mungkin juga menyukai