Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia umumnya bergantung pada keadaan lingkungan sekitar (alam)
yang berupa sumber daya alam sebagai penunjang kehidupan sehari - hari,
seperti pemanfaatan air, udara, dan tanah yang merupakan sumber alam yang
utama . lingkungan yang sehat dapat terwujud jika manusia dan lingkungan
dalam kondisi yang baik.
Krisis lingkungan yang terjadi pada saat ini adalah efek yang terjadi akibat
dari penggelolaan atau pemanfaatan lingkungan manusia tanpa menghiraukan
etika. dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi oleh manusia berakar
dalam krisis etika atau krisis moral.
Manusia kurang peduli terhadap norma-norma kehidupan atau mengganti
norma-norma yang seharusnya dengan norma-norma ciptaan dan kepentingannya
sendiri. Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan ‘hati
nurani. Alam dieksploitasi begitu saja dan mencemari tanpa merasa bersalah.
Akibatnya terjadi penurunan kualitas sumber daya alam seperti pinahnya
sebagian spesies dari muka bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas alam.
Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat sebagai masalah yang
mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia.
Etika Lingkungan berasal dari dua kata, yaitu Etika dan Lingkungan. Etika
berasal dari bahasa yunani yaitu “Ethos” yang berarti adat istiadat atau
kebiasaan. Ada tiga teori mengenai pengertian etika, yaitu: etika Deontologi,
etika Teologi, dan etika Keutamaan. Etika Deontologi adalah suatu tindakan di
nilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan
kewajiban. Etika Teologi adalah baik buruknya suatu tindakan berdasarkan
tujuan atau akibat suatu tindakan. Sedangkan Etika keutamaan adalah
mengutamakan pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang
mempengaruhi kelangsungan kehidupan kesejahteraan manusia dan makhluk
hidup lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung

Etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul


dengan lingkungannya.etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang
menyangkut lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan
lingkungan tetap terjaga.

Hal-hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan penerapan etika


lingkungan sebagai berikut:
a. Manusia merupakan bagian dari lingkungan yang tidak terpisahkan
sehngga perlu menyayangi semua kehidupan dan lingkungannya selain
dirinya sendiri.
b. Manusia sebagai bagian dari lingkungan, hendaknya selalu berupaya
untuk emnjaga terhadap pelestarian , keseimbangan dan keindahan
alam.
c. Kebijaksanaan penggunaan sumber daya alam yang terbatas termasuk
bahan energy.
d. Lingkungan disediakan bukan untuk manusia saja, melainkan juga
untuk makhluk hidup yang lain.
BAB 2
KAJIAN TEORI

Dalam penulisan makalah ini, penulis mengkaji beberapa teori yang


berhubungan dengan topik, yaitu: Etika, dan Etika Lingkungan Hidup (Etika
Ekologi).
2.1 ETIKA
Kata etika berasal dari kata Ethos yang berarti watak, kebiasaan, atau adat.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan dengan
membedakan tiga arti, yaitu: 1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang burut
tentang hak dan kewajiban moral, 2) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak; dan, 3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat. Sejalan dengan apa yang didefinisikan di Kamus
Besar Bahasa Indonesia, menurut Wiratmadja (1988) yang dikutip oleh Mudana
(2005), Etika adalah cabang ilmu filsafat yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
yang mendasari benar-salahnya tindakan manusia sebagai manusia.
Dalam kasanan ilmu pengetahuan, etika berkedudukan sebagai ilmu
pengetahuan tata susila. Kedudukan ilmu ini adalah untuk mengatur tingkah laku
manusia dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan. Tirta
(2000), yang dikutip oleh Mudana (2005) membagi etika menjadi dua bagian
besar, yaitu etika deskriptif-analisis, dan etika praksis atau etika perbuatan. Etika
deskriptif-analisis lebih menekankan pada penilaian yang akan ditujukan
terhadap aturan-aturan nilai-nilai yang berhubungan dengan atribut kualitatif,
seperti; baik, bermanfaat, berguna, kurang baik, dan seterusnya. Sedangkan etika
praksis, hasil penilaiannya menggunakan pendekatan dwi nilai, atau yang dikenal
di Bali dengan sebutan Rwa Bineda, yaitu perbuatan dinilai sebagai perbuatan
benar atau salah.
2.2. EKOLOGI DANGKAL
a) Jenis-Jenis Etika Lingkungan
Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya
dibedakan dan menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi
dangkal. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika
pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang
menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan
manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung
usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua makhluk.
b) Ekologi dangkal (Shallaw ecology)
Etika ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu etika antroposentris yang
menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang
mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang
berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu
Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus
dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika.
Sedangkan etika antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi
penerus mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan
untuk generasi penerus manusia. Dan merupakan paradigma yang
menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan manusia. Konsep ini
mendudukkan lingkungan sebagai sarana yang dimanfaatkan demi kebutuhan
manusia. Dengan demikian, ekologi dangkal bersifat antroposentris dalam
artian mendudukkan manusia sebagai makhluk superior yang punya
wewenang bebas dalam melakukan eksploitasi dan pemanfaatan lingkungan
demi kebutuhannya
Antroposentrisme adalah konsep utama di bidang etika lingkungan dan
filsafat lingkungan, karena sering dianggap sebagai akar masalah yang
tercipta akibat interaksi manusia dengan lingkungan. Meski begitu,
antroposentrisme tertanam kuat dalam berbagai budaya manusia modern dan
tindakan - tindakan sadarnya. Istilah ini dapat ditukar dengan
humanosentrisme dan supremasi manusiaAntroposentrisme adalah aliran yang
memandang bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta, dan hanya
manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat
bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap
berada di luar, di atas, dan terpisah dari alam. Bahkan manusia dipahami
sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Cara pandang
seperti itu melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama
sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai
pada diri sendiri.
Di dalam antroposentrisme, etika, nilai dan prinsip moral hanya berlaku
bagi manusia, dan bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia mempunyai
nilai paling tinggi dan paling penting diantara mahkluk hidup lainnya.
Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam
tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan
alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia
dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat
perhatian. Segala sesuatau yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat
nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh
karena itu, alampun dilihat hanya sebagai obyek, alat, dan sarana bagi
pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi
pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Yang menjadi masalah bukanlah kecenderungan antroposentris pada diri
manusia yang memperalat alam semesta untuk kepentingannya. Tetapi
masalah dan sumber malapetaka krisis lingkungan hidup adalah tujuan-tujuan
tidak pantas dan berlebihan yang dikejar oleh manusia di luar batas toleransi
ekosistem itu sendiri. Akhirnya dengan demikian manusia bunuh diri. Krisis
lingkungan hidup bukan disebabkan oleh pendekatan antroposentris semata,
tetapi melainkan oleh pendekatan antroposentrisme yang berlebihan.
Etika yang antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan sumber
hidup manusia. Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :

1. Manusia terpisah dari alam.


2. Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan
tanggung jawab manusia.
3. Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinan.
4. Kebijakan dan manajemen sumber daya alam untuk kepentingan manusia.
5. Norma utama adalah untung rugi.
6. Mengutamakan rencana jangka pendek
7. Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk
khususnya dinegara miskin.
8. Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi
c) Penjelasan:
1. Manusia terpisah dari alam
Sejak modernisasi dimulai, atau bermula, maka yang menjadi pusat
kehidupan ialah “manusia” itu sendiri. Kita lihat di era sebelum modernisasi,
misalnya dalam MADAT ( masyarakat adat ) di Papua, kita tahu manusia
bukanlah pusat dari kehidupan, tetapi makhluk roh yang menjadi pusatnya. Di
era sebelum modernisasi di dunia barat, yang menjadi pusat kehidupan
manusia ialah teokrasi, kemudian aristokrasi. Kita kenal teori hukum alam,
teori alamiah, dan filsafat yang berkembang di dunia barat menempatkan
pusat kehidupan kepada pusat-pusat kekuasaan. Di era modern, manusia
dipandang sebagai pusat dari semuanya.
Karena kehidupan berpusat kepada “manusia”, maka manusia
mengelompokkan dirinya dari makhluk lain. Dalam pengelompokkan itu,
maka alam semesta, flora dan fauna dilihatnya sebagai sumberdaya. Bahkan
manusia sendiripun digolong-golongkan, dari manusia pertama, kedua dan
ketiga, dan negara mereka juga terbagi menjadi pertama, kedua dan ketiga
(negara berkembang). Dengan demikian “keberpusatan manusia” seperti
dimaksudkan di atas lebih dipersempit kepada “manusia modern” atau
“manusia barat”. Dengan kata lain, manusia modern menjadi pusat kehidupan,
yaitu pusat peradaban.
Akibatnya, manusia lain dibedakan dari diri mereka, makhluk lain
dibedakan dari diri mereka. Tidak usah heran kalau mereka menganggap kita
ada ras tertentu yang dipangan setengah manusia, ada yang dipandang tidak
sepantasnya memimpin dunia. Lebih pantas lagi, kalau masyarakat yang sama
memandang “alam” dan “manusia” ialah dua pihak yang terpisah. Dengan
kata lain, pantas saja kalau mereka menganggap “Alam terpisah dari manusia,
sehingga Alam berbicara kepada manusia”.

2. Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung


jawab manusia
Apakah alam yang kita tempati ini dengan semua kehidupan
didalamnya, mempunyai hak asasi sama seperti yang manusia miliki...??
Tentu ini adalah pertanyaan yang sangat sederhana, namun sangat prinsipil
dan fundamental jika kita membicarakan persoalan etika lingkungan hidup.
Menurut Arne naess, masalah mendasar dari kerusakan lingkungan yang
terjadi saat ini adalah persoalan paradigma dan cara pandang kita terhadap
lingkungan itu sendiri.
Kita ketahui bersama bahwa krisis lingkungan telah menjadi isu global
dan merupakan hasil ”karya” eksploitatif manusia demi pemenuhan
kebutuhan ekonomi dan materil. Hubungan manusia dan alam dalam
perspektif modernisme yang dianut saat ini diintegrasikan dalam hubungan
subjek dan objek, manusia adalah pelaku(subjek) dan alam adalah sasaran
kegiatan(objek) manusia sehingga melahirkan sikap dominasi manusia
terhadap alam.
Begitupula dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dianggap bebas nilai dan bersifa otonom. Penilaian baik dan buruk terhadap
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah tidak relevan termasuk penilaian
secara agama. Manusia pun mengembangkan teknologi sedemikian rupa
untuk memecahkan persoalan-persoalan bahkan sampai ingin menaklukkan
alam. Cara pandang manusia modern yang mekanis dan reduksionistis
menjadikan bumi seperti mesin yang bisa diperbaiki begitu saja ketika terjadi
kerusakan. Manusia lupa behwa bumi dengan segala kehidupannya
merupakan sistem yang kompleks dan saling ketergantungan dimana termasuk
didalamnya sistem sosial dan budaya.
Paradigma antroposentris yang dianut modernisme menjadikan
manusia makhluk penguasa dimuka bumi yang memiliki hak tunggal.
Identitas dan kualitas diri manusia ditentukan oleh komunitas sosialnya,
begitupun dengan persoalan etika, bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas
sosial manusia. Sedangkan alam hanya dipaham sebagai tempat hidup dan
manusia berhak secara bebas mamanfaatkannya untuk kepentingan hidupnya
tanpa harus adanya tanggungjawab moral tertentu terhadap alam. Dalam
perspektif ini juga dapat dipahami bahwa hak asasi merupakan sebuah konsep
moral, sehingga hanya berlaku bagi manusia. Sehingga aneh jika hewan dan
tumbuhan juga mempunyai hak yang harus dihargai dan dijamin.
3. Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinan.
Dalam hal ini manusia menggunakan akses kebagian internal mereka dari
pada yang lain dalam hal ini lingkungan, menggunakan pengetahuan mereka
sendiri sebagai panduan untuk keprihatinan mereka, menggunakan diri sendrii
sebagai standar ketika mengevaluasi. Nilai tertinggi adalah manusia dan
kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat
perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat
nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh
karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi
pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi
pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
4. Kebijakan dan manajemen sumber daya alam untuk kepentingan manusia.
Penyebab kerusakan hutan di Indonesia bila kita telusuri ternyata tidak
berhenti pada konsep pertumbuhan ekonomi, namun lebih dalam lagi
dikarenakan paradigma “menguasai” atau “menaklukan” yang dilakukan
manusia terhadap alam semesta ini. Seperti kita ketahui, manusia adalah
makhluk yang paling tinggi martabatnya di antara makhluk ciptaan lainnya di
alam semesta ini. Karena itu, menurut Kitab Suci orang Kristen, Allah
memberinya kuasa untuk “...penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah
atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang
yang merayap di bumi.” (Kitab Kejadian 1:28).“Kuasa” itu dapat
menimbulkan persepsi yang kurang tepat. Pertama, konsep
“menguasai” (subdue) dilatarbelakangi oleh antroposentrisme (berpusat pada
manusia), artinya manusia menjadi pusat dari alam semesta sehingga
keberadaan semua makhluk di alam semesta diperuntukkan hanya bagi
manusia. Kedua, konsep “menguasai” dapat menyuburkan kecenderungan
egosentris manusia untuk serakah, mendominasi dan melakukan kesewenang-
wenangan demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Paradigma
“kuasa” inilah yang membuat manusia berlomba-lomba mengeksplorasi
sumber daya alam secara sewenang-wenang dengan didukung oleh sistem
ekonomi kapitalis. Dampaknya, kerusakan ekologis dan ketidakadilan atau
ketimpangan sosial semakin masif terjadi.
Sudah saatnya paradigma “menguasai” atau “menaklukan” itu diganti
dengan “merawat” (to maintain). Paradigma ini perlu diarusutamakan dalam
kebijakan pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya.
Mengapa? Pertama, paradigma merawat mengandung nilai hormat,
tanggungjawab dan keadilan terhadap seluruh makhluk dan alam semesta.
Alam semesta dengan segala isinya adalah ciptaan Tuhan yang perlu
dilestarikan dan dijaga keutuhannya agar tetap menunjukkan keagungan
Penciptanya. Manusia sebagai makhluk bermartabat paling tinggi diberi
kepercayaan dan kebebasan untuk menggunakan akal budi dan kehendaknya
untuk melestarikan alam semesta demi kebahagiaan bersama. Tanggungjawab
pada kelangsungan hidup generasi mendatang pun tidak boleh diabaikan.
Paradigma merawat akan menghindarkan manusia dari sikap kesewenang-
wenangan, egoisme dan keserakahan. Antroposentrisme bergeser
menjadi ecocentrisme, dimana manusia mencoba mengharmonisasikan
dirinya dengan alam semesta.
Kedua, paradigma “merawat” dapat mendorong solidaritas dan
partisipasi semua pemangku kepentingan. Kebijakan pengelolaan hutan
dirumuskan, dilaksanakan, diawasi dan dievaluasi oleh semua pihak demi
kesejahteraan bersama (bonum commune). Krisis ekologis, khususnya
kerusakan hutan disadari sebagai masalah bersama yang perlu ditangani
bersama pula. Rasa solidaritas dan terbukanya ruang partisipasi melahirkan
sinergi yang hebat dalam upaya penyelamatan hutan, maupun secara lebih
luas dalam kebijakan dan implementasinya terkait pengelolaan hutan.
Ketiga, paradigma “merawat” melahirkan prinsip keberlanjutan.
Meski Indonesia masih memiliki kekayaan sumber daya alam, khususnya
hutan tropis yang luas dan memiliki biodiversitas tinggi, namun bila tidak
dikelola dengan bijaksana tentu akan semakin berkurang bahkan habis. Upaya
reservasi, konservasi, dan penyelamatan hutan lewat legislasi yang
berdasarkan prinsip keadilan, ramah lingkungan dan berkelanjutan
(sustainability) perlu terus digiatkan. Selain itu perlu diseriusi usaha kreatif
dan inovatif untuk menyiasati keterbatasan sumber daya alam dengan
pengembangan energi alternatif atau terbarukan di tengah semakin besarnya
kebutuhan energi.
Bila diimplementasikan dengan baik, paradigma “merawat” ini dapat
melahirkan solusi bagi kerusakan hutan dan masalah perubahan iklim. Tentu
butuh kesadaran dan komitmen semua pemangku kepentingan untuk
bersinergi demi tercapainya kesejahteraan bersama dan keutuhan ciptaan.
5. Norma utama adalah untung rugi.
Dalam penekanan item norma utama dalah untung rugi menjadi hal
yang selalu kita lihat dalam pengelolaan lingkungan, manusia medasari bahwa
pemanfaatan dari ekologi haruslah menguntungkan bagi manusia seperti
contoh Perlindungan atas sumber daya genetik menjadi urgent, demikian juga
untuk Indonesia. Karena kekayaan sumber daya hayati termasuk juga genetik
rentan pencurian atau pembajakan (biopiracy) ataupun juga pemanfaatan yang
terus menerus, tidak tepat dan tidak sah (illegal utilization). Hal ini dibuktikan
dengan banyak sekali sumber daya genetika seperti obat, bahan industri dan
pangan dipatenkan ataupun diambil dan dimanfaatkan tanpa izin oleh
perusahaan dan pakar luar negeri.
Pada tingkat internasional, perlindungan terkait sumber daya genetik
diatur dalam beberapa ketentuan diantaranya dalam The Convention on
Biological Diversity, The Nagoya Protocol, The Cartagena Protocol dan
International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture.
Pengaturan mengenai sumber daya genetik selama ini erat kaitannya dengan
rezim perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI). WIPO (World
Intellectual Property Rights) sebagai organisasi kekayaan intelektual dunia
mengakomodir perlindungan terkait dengan sumber daya genetik, yang lebih
sering dikenal dengan sebutan Genetic Resources, Traditional Knowledge and
Folklore. Pada beberapa negara, perlindungan terhadap sumber daya genetik
diatur dalam pengaturan paten ataupun perlindungan terhadap varietas
tanaman. Namun, menjadi pertanyaan lebih lanjut apakah rezim HKI ini telah
mengakomodir perlindungan dan pemanfaatan sumber daya genetik dengan
tepat dan maksimal? Di Indonesia sendiri pernah ada suatu kasus ketika
sebuah perusahaan kosmetika di Jepang yaitu Perusahaan Shiseido telah
mempatenkan beberapa ramuan tradisional yang terbuat dari berbagai
tanaman dan rempah-rempah. Ramuan-ramuan itu termasuk yang diklaim
dapat memperlambat efek penuaan dan menyehatkan rambut, terbuat dari zat-
zat yang hanya ditemukan pada cabai jawa. Hingga saat ini diketahui orang-
orang asing mengunjungi pedesaan di Indonesia untuk kemudian mempelajari
pengetahuan tradisional setempat seperti pemanfaatan secara biologis maupun
pengambilan sampel genetis dari hewan dan tumbuhan. Orang-orang asing
tersebut kemudian mempatenkan dan menarik keuntungan secara signifikan
atas pengetahuan tradisional yang mereka peroleh dari masyarakat tradisional.
6. Mengutamakan rencana jangka pendek
Dengan cara manusia mengutamakan rencana jangka pendek tanpa
mempedulikan tujuan yang berimbang dalam menjaga ekosistem atau dalam
hal ini keberlangsungan ekologi. Manusia menjadikan dirinya sebagai penentu
kapan dan bagaimana ekologi ini terbentuk seperti contoh Pembangunan telah
mengubah alam dan menjadikannya alam buatan manusia. Proses pengubahan
itu mengeksploitasi sumber daya alam dengan melibatkan teknologi buatan
manusia. Ilmu dan teknologi ini berkembang oleh semangat hidup yang
berpusat pada kepentingan diri dan kebutuhan manusia, dalam arti manusia
adalah pusat setiap kehidupan di alam. Pertambahan jumlah manusia akan
menaikkan aktifitas eksploitasi sumber daya alam, sementara luas bumi dan
kapasitas sumber dayanya tidak bertambah. Aktifitas penduduk untuk
memenuhi kebutuhan pangan dan sosialnya dapat meningkatkan laju
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Pemanfaatan sumber daya
alam yang tidak terkendali dapat mengancam kelangsungan ekosistem dan
lingkungannya yang mesti dapat mendukung kehidupan manusia dan
pembangunan. Karena itu perilaku pembangunan yang mengeksploitasi
sumber daya alam hendaknya diubah menjadi perilaku pembangunan yang
memperkaya sumber daya alam dan menaikkan nilai tambahnya. Sumber daya
alam tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk memenuhi
kebutuhan generasi yang akan datang. Perencanaan pembagunan yang
berorientasi jangka pendek hendaknya diubah dengan pola jangka panjang dan
dinamis. Kegiatan penduduk dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup
dan kegiatan sosialnya diharapkan tidak melampaui kapasitas toleransi
ekologis dari lingkungan dengan sumber daya alamnya. Untuk itu, aktifitas
manusia dalam mengelola sumber daya alam perlu dibekali dengan
pengetahuan tentang ekologi dan lingkungan hidup. Pengetahuan ini menjadi
dasar dalam memahami hubungan manusia dengan alam, hubungan aktivitas
manusia dengan proses-proses alam yang berdampak pada masalah
lingkungan hidup, pencemaran dan kesehatan lingkungan. Kemudian
bagaimana dapat memulihkan kembali kapasitas sumber daya alam melalui
konservasi, dan menilai dampak pembangunan terhadap lingkungan Dengan
konsep dasar ini diharapkan dapat menambah pemahaman dan menjadikan
perilaku arif dalam mengelola sumber daya alam, sehingga keseimbangan
ekosistemnya terpelihara serta dapat dilindungi dari kerusakan
7. Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya
dinegara miskin.
Faktor yang sangat penting dalam permasalahan lingkungan adalah
besarnya populasi manusia, dengan pertumbuhan populasi yang
cepat,kebutuhan pangan, bahan bakar,tempat permukiman,dan lain kebutuhan
serta limbah domestic juga bertambah dengan cepat
Semakin banyak jumlah penduduk maka semakin banyak pula
kebutuhan yang harus dipenuhi dari alam atau lingkungan. Jika pertumbuhan
penduduk jauh melebihi pertumbuhan tersedianaya aumber daya alam, maka
akan terjadi pengurasan sumber daya alam secara besar- besaran untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia dan akan menyebabkan semamkin
tingginya pencemaran lingkungan akibat proses produksi maupun konsumsi
Lopez mengatakan bahwa Degradasi modal alam cenderung
merugikan bagi kaum miskin, yang biasanya memiliki sedikit modal manusia
dan terus bergantung pada modal alam bagi pendapatan mereka. Karena kaum
miskin tidak banyak memiliki kemungkinan untuk mensubtitusikan asset lain
bagi sumber daya alam. Sehingga degradasi lingkungan dapat mengantarkan
kepada lingkaran setan kemiskinan dan kerusakan lingkungan yang tidak
dapat dipulihkan kembali. Kemiskinan dan kerusakan lingkungan berkorelasi
positif. Bahkan keduanya memiliki hubungan kausalitas derajat polinomial.
Pada derajat pertama, kemiskinan terjadi karena kerusakan lingkungan atau
sebaliknya lingkungan rusak karena kemiskinan. Pada tingkatan polinomial
berikutnya, kemiskinan terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan
karena kemiskinan periode sebelumnya. Hal sebaliknya berpeluang terjadi,
lingkungan rusak karena kemiskinan yang dipicu oleh kerusakan lingkungan
pada periode sebelumnya. Munasinghe mengungkapkan bahwa penyebab
ekonomi terhadap degradasi lingkungan adalah pricing dan kemiskinan.
Masalah pricing terbagi dalam empat komponen: eksternalitas, underpricing,
tidak adanya pasar untuk jasa lingkungan dan kegagalan kebijakan.
Modal alam yang berkualitas tinggi memberikan kontribusi tidak
langsung terhadap kesejahteraan sebagai bagian esensial dari produksi barang
dan jasa ekonomi yangg berkesinambungan. Alam dan seisinya semakin lama
semakin berkurang daya dukungnya, sehingga eksploitasi lingkungan yang
didasarkan pada kepentingan ekonomis semata, pada suatu ketika akan
menyebabkan terganggunya keseimbangan ekologis. Kondisi inilah yang
disebut sebagai ”krisis lingkungan” yaitu gejala akibat kesalahan dalam pola
dan cara pengelolaan sumber kebutuhan hidup manusia. Gejala tersebut
dianggap sebagai tekanan krisis yang membahayakan kehidupan manusia
seperti ancaman terhadap kejernihan udara dan sumber air .
Pembangunan selalu memunculkan paradoks, yang salah satunya
adalah makin berkurangnya kualitas dan daya dukung (carrying capacity)
lingkungan. Sebab, keseluruhan kebutuhan manusia tidak dapat dipenuhi
dengan memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh alam. Oleh
karena itu, dalam hal ini terjadi hubungan terbalik antara kebutuhan manusia
dengan sumber daya alam atau lingkungan. Artinya, semakin banyak dan
bervariasi kebutuhan manusia, maka kemampuan alam untuk
menyediakannya semakin terbatas. Disisi lain, dalam rangka
menyelenggarakan kebutuhannya, manusia melaksanakan usaha - usaha
ekonomi dan industri yang mau tidak mau membawa akibat sampingan
berupa pencemaran atau kontaminasi lingkungan. Dalam hal ini justru terjadi
hubungan tegak lurus antara kebutuhan manusia dengan pencemaran, dimana
semakin banyak dan bervariasi kebutuhan manusia yang dipenuhi lewat usaha
industri, maka tingkat pencemaran lingkungan dapat dipastikan semakin
tinggi pula. Dan jika tren tersebut berlangsung terus - menerus, pada suatu
saat akan terjadi suatu keadaan dimana pertumbuhan ekonomi tidak dapat
ditingkatkan lagi, sementara kemampuan dan kualitas lingkungan sulit untuk
diperbaiki kembali. Inilah yang disebut dengan the limits to growth yang
diperkenalkan oleh Meadows
8. Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi
Bumi tempat kita tinggal setiap tahunnya mengalami kerusakan yang
sangat berpengaruh buruk pada kehidupan manusia salah satu yang
mempengaruhi adalah pengelolaan lingkungan dan eksploitasi yang tidak
terlepas dari cepat atau lambatnya laju pertumbuhan ekonomi.
Pertmbuhan ekonomi salah satunya dilihat dari seberapa baik
pembangunan suatu Negara. Pembangunan berbasis lingkungan sangat
diperlukan untuk menyikapi perubahan pertumbuhan ekonomi yang selalu
berubah ubah.
Masyarakat diberi ruang yang sangat luas untuk berpartisipasi dalam
pembangunan untuk menjadikan lingkungan semakin baik dan maju. "Karena
dalam pembangunan di setiap lingkungan, masyarakat memiliki peran mulai
tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi dalam
pembangunan itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai