Anda di halaman 1dari 20

REFRAT

KELAINAN PRODUKSI CAIRAN AMNION PADA KEHAMILAN

Oleh :
Louis Hadiyanto G99122065
Nilam Hesti Ariyani G99122083
Nur Alfiani G99122087
Putri Dini Azika G99122096
Yeni Ristaning Belawati G99122111

Pembimbing :
dr. Sulistyani K., M.Sc., Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada kehamilan dan persalinan, cairan amnion mempunyai peranan
penting. Kompartemen dari cairan amnion menyediakan ruang bagi janin untuk
tumbuh bergerak dan berkembang. Apabila cairan amnion tidak ada maka uterus
akan berkontraksi dan menekan janin. Jika terjadi pengurangan volume cairan
pada awal trisemester pertama, janin dapat mengalami kelainan struktur termasuk
distorsi muka, reduksi tungkai dan cacat dinding perut akibat kompresi uterus.
Cairan amnion menjadi semakin penting pada pertengahan kehamilan karena
berperan dalam perkembangan paru janin. Bila volume cairan amnion tidak
memadai maka dapat terjadi hipoplasia paru dan berlanjut kematian.
Selain itu cairan ini juga mempunyai peran protektif pada janin. Cairan ini
mengandung agen-agen anti bakteria dan bekerja menghambat pertumbuhan
bakteri yang memiliki potensi patogen. Pada proses persalinan dan kelahiran,
kematangan dan kesiapan janin untuk lahir dapat diketahui dari hormone urin
janin yang diekskresikan ke dalam cairan amnion. Sebagai alat diagnostic, cairan
amnion digunakan untuk melihat adanya kelainan pada proses pertumbuhan dan
perkembangan janin dengan melakukan kultur sel atau spectrometer. Untuk
mengetahui perkiraan produksi cairan amnion dapat dilakukan pemeriksaan
Ultrasonografi dengan vertical deep single.(5)

B. Tujuan
Mengetahui mengenai defisini, etiologi, klasifikasi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis pada kelainan
produksi cairan amnion.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Amnion merupakan selaput yang membungkus janin dan berisi liquor amnii.
Selaput amnion merupakan jaringan avaskular yang lentur tetapi kuat.(13)

B. Produksi Liquor Amnii


Pada hari ke-12 setelah ovum dibuahi, terbentuk suatu celah yang dikelilingi
amnion primitive yang terbentuk dekat embryonic plate. Celah tersebut melebar
dan membentuk kantung amnion yang berisi cairan amnion. Asal dari cairan
amnion belum diketahui secara pasti dan masih membutuhkan penelitian lanjut.
Diduga cairan ini berasal dari lapisan amnion sementara teori lain menyebutkan
berasal dari plasenta.(13)
Cairan amnion umumnya berwarna putih, agak keruh serta mempunyai bau
yang khas agak amis dan manis. Volume cairan amnion pada setiap minggu usia
kehamilan bervariasi. Secara umum volume bertambah 10 ml per minggu pada
minggu ke-8 usia kehamilan dan meningkat menjadi 60 ml per minggu pada usia
kehamilan 21 minggu, yang kemudian akan menurun secara bertahap sampai
volume yang tetap setelah usia kehamilan 33 minggu. Normal volume cairan
amnion bertambah dari 50 ml pada kehamilan 12 minggu sampai 400 ml pada
pertengahan gestasi dan 1000-1500 ml pada saat aterm.
Cairan amnion memiliki fungsi yang penting dalam kehamilan, antara lain :
1. Melindungi janin dari trauma
2. Tempat perkembangan musculoskeletal janin
3. Menjaga suhu tubuh janin
4. Meratakan tekanan uterus pada partus
5. Membersihkan jalan lahir sehingga bayi kurang mengalami infeksi

3
6. Menjaga perkembangan dan pertumbuhan normal dari paru-paru dan
traktus gastrointestinalis (9)

Pada permulaan kehamilan, cairan amnion di ultrafisasi oleh plasma


ibu. Pada permulaan trimester kedua, cairan amnion sebagian besar terdiri dari
cairan ekstra seluler yang berdifusi melalui kulit janin yang kemudian
mencerminkan komposisi plasma janin. Setelah minggu ke-20 kornifikasi dari
kulit janin tetap mempertahankan difusi ini dan pada saat ini komposisi
terbesar pada cairan amnion adalah urine janin. Ginjal janin mulai
memproduksi urine pada minggu ke-12 usia kehamilan dan setelah minggu
ke-18 memproduksi 7-14 ml per hari. Urin janin lebih banyak terdiri dari urea,
kreatinin dan asam urat dibandingkan plasma. Cairan amnion juga
mengandung zat – zat lain seperti prolaktin, alpha feto protein, lesitin, sitokin,
interleukin -1β dan prostaglandin.(13)

C. Kelainan Kuantitas Amnion pada Proses Kehamilan


A. Hidramnion
1. Definisi
Merupakan suatu keadaan dimana jumlah cairan amnion lebih dari
normal.(13)
2. Patofisiologi
Pada awal kehamilan, rongga amnion terisi oleh cairan yang
komposisinya sangat mirip dengan cairan ektrasel. Selama paruh pertama
kehamilan, pemindahan air dan molekul kecil lainnya berlangsung tidak
saja melalui amnion, tapi juga menembus kulit janin. Selama trimester
kedua, janin mulai berkemih, menelan dan menghirup cairan amnion.
Hampir pasti proses ini secara bermakna mengatur pengendalian volume
cairan amnion.(12)

4
Karena dalam keadaan normal janin menelan cairan amnion,
diperkirakan bahwa mekanisme ini adalah salah satu cara pengaturan
volume cairan amnion. Teori ini dibenarkan dengan kenyataan bahwa
hidramnion hampir selalu terjadi bila janin tidak dapat menelan, seperti
pada kasus atresia esofagus. Proses menelan ini jelas bukan satu-satunya
mekanisme untuk mencegah hidramnion. (12)
Pada kasus anesefalus dan spina bifida, faktor etiologinya mungkin
adalah meningkatnya transudasi cairan dari meningen yang terpajan ke
dalam rongga amnion. Penjelasan lain yang mungkin pasca anensefalus,
apabila tidak terjadi gangguan menelan, adalah peningkatan berkemih
akibat stimulasi pusat-pusat di serebrospinal yang tidak terlindung atau
berkurangnya efek antidiuretik akibat gangguan sekresi arginin
vasopressin. Hal sebaliknya telah jelas dibuktikan bahwa kelainan janin
yang menyebabkan anuria hampir selalu menyebabkan oligohidramnion.
Pada hidramnion yang terjadi pada kehamilan kembar monozigot,
diajukan hipotesis bahwa salah satu janin merampas sebagian besar
sirkulasi bersama dan mengalami hipertrofi jantung, yang pada gilirannya
menyebabkan peningkatan produksi urin pada masa neonatus dini, yang
mengisyaratkan bahwa hidramnion disebabkan oleh meningkatnya
produksi urin janin.(12)
3. Manifestasi Klinis
Gejala utama yang meyertai hidramnion terjadi semata-mata karena
faktor mekanis dan terutama disebabkan oleh tekanan di sekitar uterus
yang mengalami overdistensi terhadap organ-organ di dekatnya. Apabila
peregangannya berlebihan, ibu dapat mengalami dispnea dan pada kasus
ekstrim, mungkin hanya dapat bernafas bila dalam posisi tegak. Sering
terjadi edema akibat penekanan sistem vena besar oleh uterus yang sangat
besar, terutama di ekstremitas bawah, vulva, dan dinding abdomen.

5
Walaupun jarang, dapat terjadi oligouria berat akibat obstruksi ureter oleh
uterus yang sangat besar.
Pada hidramnion kronik, penimbunan cairan berlangsung secara
bertahap dan wanita yang bersangkutan mungkin mentoleransi distensi
abdomen yang berlebihan tanpa banyak mengalami rasa tidak nyaman.
Namun pada hidramnion akut, distensi abdomen dapat menyebabkan
gangguan yang cukup serius dan mengancam. Hidramnion akut cenderung
muncul pada kehamilan dini dibandingkan dengan bentuk kronik dan
dapat dengan cepat memperbesar uterus. Hidramnion akut biasanya akan
menyebabkan persalinan sebelum usia gestasi 28 minggu, atau gejala
dapat menjadi demikian parah sehingga harus dilakukan intervensi. Pada
sebagian besar kasus hidramnion kronik, tekanan cairan amnion tidak
terlalu tinggi dibandingkan dengan pada kehamilan normal.
Gejala klinis lain pada hidramnion adalah pembesaran uterus disertai
kesulitan dalam meraba bagian-bagian kecil janin dan mendengar denyut
jantung janin. Pada kasus berat, dinding uterus sangat
tegang. Membedakan antara hidramnion, asites, atau kista ovarium yang
besar biasanya mudah dilakukan dengan evaluasi ultrasonografi. Cairan
amnion dalam jumlah besar hampir selalu mudah diketahui sebagai ruang
bebas-echo yang sangat besar di antara janin dan dinding uterus atau
plasenta. Kadang mungkin ditemui kelainan janin misalnya anensefalus
atau defek tabung syaraf lain, atau anomali saluran cerna.(12)

6
B. Oligohidramnion
1. Definisi
Merupakan keadaan dimana jumlah cairan amnion kurang dari normal.
(1,6)

2. Etiologi
Penyebab keadaan ini belum sepenuhnya dipahami. Secara umum,
oligohidramnion yang timbul pada awal kehamilan jarang dijumpai dan
sering memiliki prognosis buruk. (1)
Tabel 2. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan
oligohidramnion
Faktor Janin Faktor Ibu
- aAgenesis ginjal - Penyakit hipertensi
- Uropati obstruksi - Insufisiensi utero-plasenta
- Pecah selaput ketuban - Sindrom antifosfolipid
- Kehamilan lewat waktu - Dehidrasi-hipovolemi

Sindroma Potter dan Fenotip Potter adalah suatu keadaan kompleks


yang berhubungan dengan gagal ginjal bawaan dan berhubungan dengan
oligohidramnion (cairan ketuban yang sedikit). (6)
Fenotip Potter digambarkan sebagai suatu keadaan khas pada bayi
baru lahir, dimana cairan ketubannya sangat sedikit atau tidak ada.
Oligohidramnion menyebabkan bayi tidak memiliki bantalan terhadap
dinding rahim. Tekanan dari dinding rahim menyebabkan gambaran wajah
yang khas (wajah Potter). Selain itu, karena ruang di dalam rahim sempit,
maka anggota gerak tubuh menjadi abnormal atau mengalami kontraktur
dan terpaku pada posisi abnormal.

7
Oligohidramnion juga menyebabkan terhentinya perkembangan paru-
paru (paru-paru hipoplastik), sehingga pada saat lahir, paru-paru tidak
berfungsi sebagaimana mestinya.
Pada sindroma Potter, kelainan yang utama adalah gagal ginjal
bawaan, baik karena kegagalan pembentukan ginjal (agenesis ginjal
bilateral) maupun karena penyakit lain pada ginjal yang menyebabkan
ginjal gagal berfungsi.
Dalam keadaan normal, ginjal membentuk cairan ketuban (sebagai air
kemih) dan tidak adanya cairan ketuban menyebabkan gambaran yang
khas dari sindroma Potter. (1,6). Gejala Sindroma Potter berupa :
a. Wajah Potter (kedua mata terpisah jauh, terdapat lipatan epikantus,
pangkal hidung yang lebar, telinga yang rendah dan dagu yang tertarik
ke belakang).
b. Tidak terbentuk air kemih
c. Gawat pernafasan,

Wanita dengan kondisi berikut memiliki insiden oligohidramnion yang


tinggi:
a. Anomali kongenital (misalnya : agenosis ginjal, sindrom patter).
b. Retardasi pertumbuhan intra uterin.
c. Ketuban pecah dini (24-26 minggu).
d. Sindrom paska maturitas. (6)

8
Gambar 1. Oligohidramnion

3. Manifestasi Klinis
a. Uterus tampak lebih kecil dari usia kehamilan dan tidak ada
ballotemen.
b. Ibu merasa nyeri di perut pada setiap pergerakan anak.
c. Sering berakhir dengan partus prematurus.
d. Bunyi jantung anak sudah terdengar mulai bulan kelima dan terdengar
lebih jelas.
e. Persalinan lebih lama dari biasanya.
f. Sewaktu his akan sakit sekali.

9
g. Bila ketuban pecah, air ketuban sedikit sekali bahkan tidak ada yang
keluar. (1)

C. Penegakan Diagnosis
1. Amniosintesis
Untuk membuat diagnosis kelainan pada kehamilan sedini mungkin,
umumnya dipakai sel-sel yang terdapat di dalam cairan amnion dengan
melakukan amniosintesis. Amniosintesis pada saat ini lebih sering
dilakukan melalui transabdominal. Penggunaan amniosintesis antara lain
digunakan dalam manajamen kelahiran preterm , dimana dapat mendeteksi
secara cepat adanya infeksi intraamnion. (3)
Penggunaan lainnya adalah untuk mendeteksi infeksi sitomegalo virus
pada janin yang dilakukan dengan kultur cairan amnion. Hal ini berkaitan
dengan adanya reaksi rantai polymerase yang digunakan untuk mendeteksi
DNA virus .(3)
Penggunaan lain amniosintesis adalah untuk mendeteksi kadar
alpha AFP dalam cairan amnion. Deteksi kadar alpha feto protein ini
dilakukan jika pada pemeriksaan USG tidak menunjukkan adanya
peningkatan kadar alpha feto protein serum ibu. Amniosintesis sering
digunakan untuk mengkonfirmasi kematangan paru janin, dengan
menggunakan konsentrasi relatif dari surfaktan
aktif fosfolipid. Amniosintesis untuk diagnostic genetik biasanya
dilakukan pada usia kehamilan 15-20 minggu, beberapa pusat studi telah
mengkonfirmasikan pada saat itu amniosintesis cukup aman dilakukan dan
mempunyai keakuratan diagnostik 99%.(3)
Pada wanita yang berusia 35 tahun amniosintesis rutin dilakukan
untuk mendeteksi adanya kelainan genetik, karena terjadinya peningkatan
resiko tersebut . Pada penyakit-penyakit hemolitik dari janin penggunaan
amniosintesis dilakukan untuk mendeteksi kadar bilirubin dalam cairan

10
amnion. Ketika sel-sel darah janin mengalami hemolisis, menjadi pigmen-
pigmen terutama bilirubin. Kadar bilirubin dalam cairan amnion
berhubungan langsung dengan derajat hemolisis dan secara tidak langsung
memprediksikan anemia pada janin. (3)
Selain penggunaan diagnostik, amniosintesis juga digunakan sebagai
terapi seperti kasus-kasus hidroamnion, dengan memindahkan cairan
amnion. (3)
Bantuan USG diperlukan untuk memandu jarum spinal ukuran 20-22
mencapai kantong amnion dengan menghindari plansenta, tali pusat dan
janin. Inspirasi awal sekitar 1-2 ml , kemudian cairan tersebut dibuang
untuk mengurangi kemungkinan adanya kontaminasi sel-sel ibu,
kemudian lebih kurang 20 ml cairan diambil lagi , kemudian jarum
dilepaskan. Titik luka di observasi kalau ada perdarahan dan denyut
jantung janin dipantau(3)
Komplikasi kecil seperti bercak perdarahan pada vagina , atau
kebocoran amnion berkisar 1-2 %, dan insiden korioamniotis jauh lebih
kecil dari 1 dibandingkan 1000 kejadian. Kemungkinan terkenanya
tusukan jarum pada janin sangat jarang dengan penggunaan bantuan USG.
Kesalahan dalam kultur sel juga sangat jarang tetapi dapat terjadi jika
janin abnormal. (3)
2. Shake Test
Shake test atau test busa diperkenalkan oleh clements dan kawan-
kawan pada tahun 1972, untuk mempersingkat waktu dan mempunyai
akurasi yang lebih tepat dalam mengukur kadar lesitin –
sphingomyelin. Tes ini tergantung kepada kemampuan surfaktan dalam
cairan amnion , ketika dicampur dengan ethanol , untuk mendapatkan busa
yang stabil pada batas air dan cairan. (4)

11
3. Lumadex- FSI tes
Merupakan suatu tes yang didasarkan dari shake tes untuk
mengidentifikasi aktifitas surfaktan pada cairan amnion. (4)
4. Fluoresen Polarisasi (Microviscometri)
Adalah sebuah tes yang menggunakan mikroviskositas dari lemak
yang terdapat dalam cairan amnion, yang kemudian dicampur dengan
suatu bahan fluorsensi spesifik yang berikatan dengan hidrokarbon dari
lemak surfaktan. Intensitas dari fluoresensi ini diinduksi dengan lampu
polarisasi kemudian akan diukur. Teknik ini cepat dan mudah dilakukan,
akan tetapi biaya yang diperlukan untuk melakukan tes ini cukup mahal.
(10)

5. Dipalmitoylphosphatidylcholin (DPPC tes)


Merupakan suatu tes dengan menggunakan pengukuran kadar
Dipalmitoylphosphatidylcholin dalam cairan amnion yang mempunyai
sensitifitas dan spesifisitas 100% dan 96%, yang digunakan untuk
mendeteksi gawat nafas pada janin (4)
6. Pemeriksaan untuk mendiagnosis ketuban pecah dini
Ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW), terjadi sekitar 4,5-7,6%
pada kehamilan. Jika terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu, dapat
diindikasikan mungkin terjadi amnionitis, dan hal ini meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. (2)
Dengan ditemukan banyaknya jenis protein yang terkandung dalam
amnion, termasuk prolaktin, alfa fetoprotein, fetal fibronectin, β-HCG,
dan IGFB-1 (Insulin-Like Growth Factor Binding Protein-1), tentu
mempermudah dalam mendiagnosis ketuban pecah sebelum waktunya.
Jenis protein yang cukup menjanjikan adalah IGFBP-1. Untuk
mendeteksinya, dengan menggunakan dipstick immunokromatografi,
dimana kadarnya pada cairan amnion 100-1000 kali lebih tinggi daripada
dalam serum, dan keberadaannya dalam cairan vagina menunjukkan

12
keberadaan cairan amnion, yang merupakan pertanda pasti ketuban pecah
sebelum waktunya (KPSW). (2)
D. Pencitraan
Pengukuran volume cairan amnion dengan ultrasonografi (USG) telah
menjadi suatu komponen integral dari pemeriksaan kehamilan untuk melihat
adanya resiko kematian janin. Hal ini didasarkan bahwa penurunan perfusi
uteroplasenta dapat mengakibatkan gangguan aliran darah ginjal dari janin,
menurunkan volume miksi dan menyebabkan terjadinya oligohidramnion(5)
Pemeriksaan cairan amnion dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
pemeriksaan secara subjektif, pemeriksaan dengan vertical deep single pocket,
dan dengan metode AFI (Amniotic Fluid Indeks) yang diperkenalkan oleh
Phelan.
a. Secara subjektif
1) Membutuhkan pengalaman yang cukup
2) Secara subjektif dikatakan normal bila: tampak sebagian tubuh
janin melekat pada dinding uterus, dan sebagian lagi tidak
menempel ,diantara tubuh janin dan dinding uterus masih terdapat
cairan amnion
b. Secara Single Pocket
1) Berdasarkan satu kuadran saja
2) Diambil kantong terbesar yang terletak antara dinding uterus dan
tubuh janin.
3) Tidak boleh ada bagian janin yang terletak di dalam area
pengukuran tersebut

13
Gambar 2. Contoh pengukuran secara single pocket, dimana yang diukur adalah jarak
vertical terjauh antara bagian janin dan dinding uterus, dan tidak ada bagian janin
yang terletak dalam area pengukuran tersebut

Interpretasi pengukuran cairan amnion berdasarkan single pocket


Hasil Pengukuran Interpretasi
2cm-8cm Volume cairan amnion normal
>8cm Polihidramnion
8-12cm Polihidramnion ringan
12-16cm Polihidramnion sedang
>16cm Polihidramnion berat
1cm-2cm Borderline, evaluasi ulang
<1 cm Oligohidramnion

14
c. Pengukuran Amnion dengan metode Phelan (4 kuadran / AFI)
1) Abdomen dibagi atas 4 kuadran
2) Setiap kuadran diukur indeks cairan amnionnya
3) Pengukuran harus tegak lurus dengan bidang horizontal dan tidak
boleh ada bagian janin diantaranya(5)

Gambar 3. Metode Phelan.

Gambar 4. Cara meletakkan probe yang benar pada perut pasien.

15
Interpretasi Pengukuran cairan amnion dengan metode AFI
Hasil Pengukuran Interpretasi
>25 cm Polihidramnion
9-25 cm Normal
5-8 cm Borderline
<5 cm Oligohidramnion

E. Terapi
1. Infus Amnion
Transvagina infus amnion dilakukan pada tiga masalah klinik yaitu:
a. Pengobatan dari variabel atau deselarasi denyut jantung janin yang
memanjang.
b. Profilaksis pada kasus – kasus yang diketahui oligohidroamnion
dengan pecah ketuban lama.
c. Untuk mendilusi atau membersihkan mekonium yang tebal. Cara ini
dilakukan dengan memberikan 500 sampai dengan 800 ml bolus
cairan normal salin yang hangat diikuti dengan pemberian infus secara
kontinu sebanyak 3 ml per jam.

C. KELAINAN KUALITAS AMNION PADA KEHAMILAN


1. Variasi warna:
a. Buram dapat mengindikasikan korioamnionitis
b. Kehijauan mengindikasikan bercampur mekonium, korioamnionitis, atau
perdarahan kronis.
c. Merah-coklat mengindikasikan abrupsio yang sudah lama terjadi
d. Merah muda agak gelap mengindikasikan hemolisis, dapat dilihat setelah
kematian janin. (11)

16
2. Bau
Pada infeksi intrapartum didapatkan cairan amnion yang berbau. Infeksi
intrapartum adalah infeksi yang terjadi dalam persalinan. Infeksi dapat juga
terjadi sebelum persalinan berupa korioamnionitis. Faktor predisposisi infeksi
intrapartum adalah distosia, pemeriksaan dalam lebih dari 2 kali, keadaan
umum lemah, ketuban pecah dini, servitis, vaginitis. Manifestasi klinik suhu
meningkat lebih dari 38°C, air ketuban keruh kecoklatan dan berbau,
leukositosis lebih dari 15.000/mm3 pada kehamilan atau lebih dari
20.000/mm3 pada persalinan (8)
Untuk melihat kelainan kualitas dari cairan amnion seperti adanya
mekonium biasanya dilakukan pemeriksaan amniosintesis. USG hanya
digunakan untuk melokalisasi plasenta dan fetus. Selain itu indikasi
amniosintesis dapat untuk mendeteksi kelainan kromosom, kelaianan tuba
neural (alfafetoprotein), penyakit hemolitik akibat inkompatibilitas Rh; untuk
menentukan gangguan faktor X, maturitas fetal, stres fetal, dan maturitas paru
fetal (rasio L/S). Dapat pula dilakukan amnioskopi yaitu pemasangan
instrumen serat optik yang berlampu (amnioskop), ke dalam saluran servikal
untuk visualisasi cairan amnion. Pemeriksaan tersebut jarang dilakukan
karena kemungkinan dapat menyebabkan infeksi (7)

D. KELAINAN AMNION LAINNYA


1. Amnion nodusum:
Nodul berwarna kuning kecoklatan, berukuran 1-5 mm pada selaput amnion
yang dapat lepas (terjadi setelah oligohidramnion lama).
2. Tidak ada amnion:
Ketika amnion ruptur sebelum menyatu dengan korion, menyusut, dan
mengontraksi ketika janin terus bertumbuh di dalam korion. Serpihan amnion
dapat mengumpul sehingga dapat lepas bersama tali pusat janin dan
menyebabkan kelainan yang disebut amniotic band syndrome. (11)

17
BAB III
SIMPULAN

1. Amnion merupakan selaput yang membungkus janin dan berisi liquor amnii.
Selaput amnion merupakan jaringan avaskular yang lentur tetapi kuat.
2. Keadaan patologis pada amnion diantaranya adalah hidramnion dan
oligohidramnion. Hidramnion merupakan suatu keadaan dimana jumlah cairan
amnion lebih dari normal. Sedangkan oligohidramnion erupakan keadaan dimana
jumlah cairan amnion kurang dari normal.
3. Pengukuran volume cairan amnion dengan pencitraan ultrasonografi (USG) dapat
dilakukan dengan tiga cara, yaitu: pemeriksaan secara subjektif, pemeriksaan
dengan vertical deep single pocket, dan dengan metode AFI (Amniotic Fluid
Indeks).

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Bernard G, Ewlgman MD, James P, Grane MD, Fredic D, Frigeletto MD,


Michael L,. et al (1993). Effect of ultrasound screening on perinatal outcome,
The New England Jurnal of Medicine : 329-12
2. Caughy A B, Robinson J N, Norwitz E R. 2008. Contemporary Diagnosis and
Management of Preterm Premature Rupture of Membranes. Review in Obstetrics
and Gynecology. 1:1.
3. Department of human genetics division of medical genetics. 2008. About
Amniocentesis. Emory University School Of Medicine.
4. Federation of Obstetric and Gynecological Societs of India. 2005. Fetal Lung
Maturity. The Journal of Obstetric and Gynecology in India. 55:3 pp: 215-217
5. Hinh N. D dan Ladinsky J.L. 2005. Amniotic Fluid index measurements in
normal pregnancy after 28 gestational weeks. American Journal of Obstetrics
and Gynecology (2004) 191
6. Jeffcoate TN, Scott JS (1959). Polyhydramnion and Oligohydramnion, J. The
Canidian Med Association : 80-02
7. Kee JL (2005). Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik Edisi 2. Jakarta:
EGC.
8. Mansjoer A (2009). Infeksi Intrapartum. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga
Jilid Pertama. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
9. Mochtar R. Sinopsis Obstetric. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1994
10. Nur A, Etika R, Damanik S M, Indarso F, Harianto A. 2012. Pemberian
Surfaktan Pada Bayi Prematur dengan Respiratory Distress Syndrome. Lab/SMF
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr.
Soetomo.
11. Sinclair C (2009). Buku Saku Kebidanan. Jakarta: EGC.

19
12. Tariq S, Cheema S, Ahmad A, Tarique N. 2010. Polyhidramnios: Study of
Causes and Fetal Outcome. Professional Med J 17(4): 660-664
13. Wiknjosastro H, Saifuddin AB Rachimhadi T.editor.Ilmu Kebidanan Edisi ketiga
.Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirhardjo, 1994

1.

20

Anda mungkin juga menyukai